بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh Laqith (Anak Temuan)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini
pembahasan tentang laqith (anak temuan), semoga Allah menjadikannya ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Ta'rif
(definisi) laqith
Laqith
ada kaitannya dengan luqathah, hanyasaja luqathah itu tetkait dengan harta yang
hilang, sedangkan laqith kaitannya dengan anak yang hilang.
Laqith
artinya anak kecil yang belum baligh yang ditemukan di jalan atau tersesat
jalan atau kehilangan keluarganya dan tidak diketahui nasabnya serta tidak
diketahui siapa penanggungnya.
Hukum
memungutnya
Maka
bagi orang yang menemukannya dalam kondisi seperti itu wajib kifayah
mengambilnya; yakni jika ada yang memungutnya, maka yang lain tidak berdosa.
Namun jika ditinggalkan oleh orang-orang, padahal mereka mampu memungutnya,
maka mereka berdosa. Wajibnya memungut anak tersebut berdasarkan keumuman firman
Allah Ta'ala,
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur (
"Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa." (Terj. QS. Al Maa'idah: 2)
Di
samping itu memungutnya sama saja menyelamatkan dirinya sehingga hukumnya wajib
seperti halnya memberinya makan dan menyelamatkannya dari tenggelam.
Laqith
tersebut dihukumi sebagai orang muslim ketika ditemukan di negeri kaum muslim.
Dan jika ditemukan di negeri non muslim, maka dihukumi non muslim, namun
pemungutnya hendaknya memasukkannya ke dalam Islam.
Laqith
dihukumi sebagai orang merdeka dalam semua hukumnya, karena memang asalnya
adalah merdeka. Sedangkan perbudakan adalah sifat yang baru datang.
Harta
yang ditemukan ada pada laqith, maka itu miliknya berdasarkan yang tampak,
karena tangannya menguasainya, dan ia diberi nafkah dari harta itu. Tetapi jika
di sisinya tidak ada harta, maka ia diberi nafkah dari Baitulmal.
Mengaku-ngaku
bernasab dengannya
Barang
siapa yang mengaku ada hubungan nasab dengannya baik laki-laki maupun wanita,
maka ia dihubungkan kepadanya jika memang ada kemungkinan, karena di dalamnya
terdapat maslahat bagi si laqith tanpa ada madharrat bagi yang lain. Ketika
itu, nasabnya ditetapkan dan warisannya diberikan kepada pendakwanya. Jika yang
mendakwakan lebih dari seorang, maka nasabnya ditetapkan untuk orang yang
membawakan bukti terhadap dakwaannya. Jika mereka tidak memiliki bukti atau
masing-masing membawakan bukti, maka si laqith dihadapkan kepada ahli nasab (Qaafah),
jika ahli nasab menghubungkannya kepada salah seorang di antara mereka, maka
anak itu dihubungkan kepadanya jika memang ahli nasab itu mukallaf, laki-laki,
adil dan berpengalaman, hal ini berdasarkan keputusan Umar radhiyallahu 'anhu
di hadapan banyak sahabat.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا
مَسْرُورًا، تَبْرُقُ أَسَارِيرُ وَجْهِهِ، فَقَالَ: " أَلَمْ تَسْمَعِي مَا قَالَ
المُدْلِجِيُّ لِزَيْدٍ، وَأُسَامَةَ، وَرَأَى أَقْدَامَهُمَا: إِنَّ بَعْضَ هَذِهِ
الأَقْدَامِ مِنْ بَعْضٍ "
Dari
Aisyah radhiyallahu 'anha, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah masuk
menemuinya dalam keadaan senang dan bersinar raut mukanya, lalu Beliau berkata,
"Tidakkah kamu mendengar kata-kata Al Mudlijiy tentang Zaid dengan Usamah,
(di mana kepala keduanya ditutup dan kakinya tampak), lalu ia berkata:
"Sesungguhnya kaki-kaki ini yang satu dari yang lain." (HR. Bukhari
dan Muslim)
Jika
kesulitan demikian, dilakukan undian, siapa saja yang keluar undiannya, maka
dialah yang menerimanya.
Adapun
menurut ulama madzhab Hanafi, tidak dipakai qaafah, maupun undian. Bahkan kalau
seandainya jamaah orang sama-sama dalam (pengakuan nasab) terhadap si anak, dan
si anak berhak dimiliki bersama, maka masing-masing mewarisi sebagaimana anak
yang sesungguhnya, dan mereka semua memberikan warisan kepadanya seperti
seorang bapak.
Siapakah
yang lebih berhak terhadap laqith?
Orang
yang menemukannya tentu lebih layak menghadhanahkannya (mengurusnya) apabila
penemunya seorang yang merdeka, adil, amanah dan cerdas, dan hendaknya ia
mendidik dan mengajarkannya. Dan tidak ada hadhanah (kepengurusan) bagi orang
kafir dan fasik terhadap seorang muslim.
Dengan
demikian, disyaratkan bagi pemungutnya sebagai seorang yang berakal, baligh,
merdeka, muslim (jika anak yang dipungut seorang muslim), adil, dan cerdas.
Oleh karena itu, tidak sah jika yang memungutnya anak-anak, orang gila, budak,
orang kafir bagi orang muslim, orang yang fasik, dan orang yang dungu.
Sa'id
bin Manshur meriwayatkan dalam sunannya bahwa Sinin bin Jamilah berkata,
"Saya menemukan anak temuan, lalu saya membawanya kepada Umar bin
Khaththab, lalu ketua saya berkata, "Wahai Amirul mukminin, sesungguhnya
ia adalah seorang yang saleh," maka Umar berkata, "Apakah dia seperti
itu?" ia menjawab, "Ya." Umar berkata, "Bawalah dia, dia
adalah merdeka, untukmu wala'nya[1]
dan kami yang menafkahinya." Sedangkan dalam sebuah lafaz disebutkan,
"Dan kamilah yang akan menyusukannya." sehingga penemu tidak wajib
menafkahinya dan menyusukannya.
Namun
jika anak itu ada pada seorang yang fasik atau mubadzdzir, maka diambil anak
itu dapadanya dan hakim yang mengurus dan mendidiknya.
Jika
penemunya tidak layak memeliharanya, seperti karena fasik atau kafir, sedangkan
laqith (anak temuan) tersebut adalah seorang muslim, maka tidak bisa diakui
diasuhnya, karena kewalian orang fasik dan orang kafir terhadap orang muslim
tidak diterima, karena akan membuat anak itu jauh dari agamanya.
Kita
juga tidak mengakui pemeliharaannya di tangan orang baduwi yang sering
berpindah-pindah, karena hal ini akan membuat lelah si anak. Oleh karena itu,
hendaknya anak diambil dan dialihkan pemeliharaannya kepada kaum muslimin yang
tinggal tetap. Di samping itu, dengan tetapnya si anak di tempat yang tetap
sangat bermaslahat baik bagi agama maupun dunianya dan bisa mendekatkan dia
untuk diketahui keluarganya dan diketahui juga nasabnya.
Menafkahi
laqith
Laqith
diberi nafkah dari harta yang ada bersamanya jika ternyata ada. Namun jika
tidak ada, maka nafkahnya diambil dari Baitul Maal yang disiapkan untuk
kebutuhan kaum muslim. Jika tidak mudah, maka bagi orang yang mengetahui
keadaannya hendaknya memberinya nafkah, karena hal itu termasuk
menyelamatkannya dari kebinasaan. Ia tidak menarik dana dari Baitul Maal
kecuali jika hakim mengizinkan orang itu menafkahi, jika tidak ada izin
untuknya, maka menafkahinya menjadi tabarru' (sukarela).
Harta
waris si laqith
Jika
laqith meninggal dan meninggalkan harta warisan, namun tidak meninggalkan ahli
waris seperti anak, maka harta waris tersebut untuk baitul maal. Jika ia
memiliki isteri, maka isterinya mendapatkan ¼.
Demikian
juga diyatnya diberikan kepada baitul maal, jika ia terbunuh dan bagi penemunya
tidak memiliki hak mewariskan hartanya.
Dan
walinya dalam pembunuhan terhadapnya secara sengaja adalah imam. Ia (imam)
diberikan pilihan antara mengqishash atau diyat untuk Baitul Mal. Imam juga
adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali. Jika si anak ini dianiya
secara sengaja pada selain pembunuhan, maka imam menunggu balighnya dan
cerdasnya agar nantinya ia bisa mengqishas atau memaafkan.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa
Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau'il Kitab was
Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash
Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah, dll.
0 komentar:
Posting Komentar