بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Syarikah (4)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya,
kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang
syarikah, kami berharap kepada Allah agar Dia menjadikan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahhumma aamin.
H. Syarikah Ta’min (Asuransi)
Syaikh Ahmad Ibrahim memfatwakan tidak bolehnya akad asuransi jiwa, ia
berkata: "Sesungguhnya akad asuransi jiwa adalah tidak sah, lebih jelasnya
saya katakan, "Sesungguhnya pelaku akad asuransi dengan syarikah (Pihak
asuransi) jika pelaku akad telah membayarkan cicilan semasa hidupnya, maka ia
berhak mengambil dari Pihak asuransi uang sejumlah cicilan yang diberikan
beserta keuntungan yang disepakati bersama dengan pihak asuransi. Bagaimana hal
ini dianggap akad mudharabah yang dibolehkan secara syara'? Padahal akad
mudharabah itu misalnya Zaid memberikan kepada Bakr 100 junaih agar Bakr
mengusahakannya di mana untungnya nanti dibagi dua dengan mendapat berapa
persen sesuai kesepakatan, (misalnya) untuk pemilik harta 1/2 dan untuk pelaku
mudharabah 1/2. Yang pertama memperoleh keuntungan karena modalnya, sedangkan
yang kedua karena kerjanya. Bisa saja pihak pertama memperoleh 2/3 sedangkan
pihak kedua 1/3, demikian sebaliknya. Syarat sah mudharabah yang paling asasi
adalah pemilik harta mengambil haknya dari keuntungan usaha karena hartanya dan
karena kerja pelaku mudharabah (mudhaarib). Jika usahanya tidak dijalankan dan
tidak rugi, maka modal diserahkan kepada pemilik modal, si pemilik modal maupun
mudharib tidaklah memperoleh apa-apa karena tidak ada keuntungan sebagai bentuk
praktek hukum mudharabah. Jika usahanya rugi, maka kerugian ditanggung pemilik
modal tidak mudharib, dan si mudharib tidak memperoleh apa-apa terhadap
kerjanya, karena ketika itu ia sebagai syarik (sekutu), bukan sebagai ajir
(orang sewaan). Adapun jika pemilik harta mensyaratkan kepada mudharib boleh
mengambil jumlah tertentu di atas modalnya tanpa melihat usahanya untung atau
rugi, maka ini adalah syarat yang fasid (batal), karena dapat mengarah kepada
memutuskan persekutuan dalam hal keuntungan. Hal ini menyalahi hukum mudharabah,
atau misalnya si mudharib diminta untuk memberikan sejumlah harta khusus untuk
pemilik modal, maka hal ini termasuk memakan harta dengan jalan yang batil.
Jika mudharabah batal karena syarat yang tadi saya sebutkan, dan
demikianlah yang ada dalam akad asuransi, dan usahanya untung, maka keuntungan semuanya
untuk pemilik harta. Adapun mudharib (pelaku mudharabah), maka ia memperoleh
upah mitsl (standar) yang akan dibayarkan pemilik harta berapa saja berdasarkan
kepada riwayat Muhammad rahimahullah, karena ketika ini keadaannya berubah
menjadi ajir (orang sewaan) lantaran batalnya mudharabah dan sudah keluar dari
"sekutu". Namun berdasarkan pendapat Abu Yusuf, yakni fatwanya bahwa
pekerja memperoleh upah mitsl[i] tidak
melebihi yang disepakati dalam akad. Hal itu, karena mudharabah jika sah, maka
si mudharib tidaklah memperoleh kecuali yang telah disepakati bersama
keuntungan. Jika akad telah fasid (batal), maka tidak patut bagi mudharib
mengambil melebihi akad yang sah. Pendapat Muhammad pada asalnya adalah qiyas,
sedangkan pendapat Abu Yusuf merupakan istihsan (anggapan baik) terhadap makna
yang kami katakan.
Inilah mudharabah yang syar'i, dan demikianlah hukum-hukumnya, lalu
apakah akad asuransi termasuk mudharabah yang sah? Jawab, "Tidak, sehingga
ia tergolong ke dalam mudharabah yang fasid (batal), hukumnya secara syara'
adalah seperti yang telah anda dengar di sini, yang hukumnya ternyata menyalahi
undang-undang dalam akad asuransi. Tidak mungkin dikatakan bahwa syarikah
tesebut telah rela dilakukan apa saja oleh para pelaku asuransi dengan
konsekwensi yang ada, karena biasanya akad asuransi yang sesuai aturan adalah
sebagai akad mu'awadhah (tuikar menukar) ihtimaaliyyah (yang mengandung
kemungkinan), apabila dikatakan bahwa apa yang diberikan seorang pelaku
asuransi kepada syarikah (Pihak asuransi) merupakan qardh (pinjaman), di mana
ia bisa menariknya beserta keuntungan selama masih hidup, maka ini merupakan
pinjaman yang menarik manfaat, dan hal itu adalah haram, ini merupakan riba
yang dilarang. Secara umum masalah tersebut bagaimana pun dibolak-balik
ternyata tidak sejalan dengan akad yang dibenarkan syari'at Islam.
Apa yang kami telah terangkan tersebut
adalah ketika seorang pelaku asuransi masih hidup setelah membayarkan secara
cicilan kewajibannya, adapun jika ia meninggal sebelum dibayarkan semua
cicilan, dan bisa saja ia meninggal setelah membayar satu kali cicilan saja, sedangkan
sisanya bisa saja berjumlah sangat besar. Hal itu, karena uang yang diserahkan
dalam asuransi jiwa ukurannya diserahkan kepada salah satu dari kedua pelaku akad
dengan jelas. Jika Pihak asuransi memberikan sesuai kesepakatan untuk ahli
warisnya secara sempurna atau memberikan kepada orang yang ditetapkan oleh
seorang pelaku asuransi memegang kekuasaan untuk mengambil apa yang diwajibkan atas
asuransi setelah meninggalnya. Maka karena hal apa Pihak asuransi menyerahkan
uang sejumlah sekian? Bukankah hal ini merupakan taruhan dan sikap mencoba?
Jika yang demikian bukan termasuk taruhan yang sesungguhnya, maka bagaimana
lagi bentuk taruhan selainnya?
Kemudian apakah terbayang bahwa syara' yang
mengharamkan memakan harta manusia dengan jalan yang batil menjadikan
meninggalnya seseorang sebagai jalan menzalimi ahli warisnya atau orang yang
menduduki posisinya setelah meninggalnya sehingga ia menerima laba yang disepakati
sebelum wafatnya bersama yang lain yang bertaruhan, di mana ia memberikannya
setelah meninggalnya orang yang pertama kepada mereka? Padahal diketahui bahwa
dibolehkan mengadakan kesepakatan dengan uang berapa pun jumlahnya? Lalu sejak
kapan hidup dan meninggalnya seseorang sebagai tempat bisnis, dan termasuk
sesuatu yang menegakkan harta tidak berhenti, ukurannya berapa saja batasnya,
bahkan diserahkan kepada ukuran pelaku akad? Di mana pertaruhan tetap jadi dari
pihak yang lain. Maka seorang pemberi asuransi setelah menunaikan semua yang
ditanggungnya berupa cicilan, ia akan memperoleh harta sekian. Jika meninggal
sebelum dibayarkan semuanya, maka menjadi ahli waris yang ini. Bukankah ini
sama saja judi dan taruhan? Di mana tidak diketahui baik baginya maupun bagi Pihak
asuransi apa yang akan terjadi secara jelas.” (Lihat Fiqhus Sunnah 3/370).
I. Model Asuransi
Syari’ah
Asuransi syariah bukanlah asuransi
untuk mencari keuntungan (konvensional), tetapi ia adalah asuransi ta’awun
(atas dasar tolong-menolong dan suka rela/tabarru’) untuk meringankan beban
musibah yang menimpa anggotanya. Berikut ini contoh asuransi syariah.
Syaikh Abu Bakar Al Jazaa’iriy dalam
Minhajul Muslim berkata, “Tidak apa-apa kalau beberapa kaum muslimin yang salih
di suatu negeri membentuk kotak dimana mereka memberi saham di dalamnya sesuai
dengan gaji bulanan mereka atau sesuai dengan kesepakatan mereka misalnya
setiap orang membayar uang dalam jumlah tertentu, dan kotak tersebut menjadi
waqaf bagi para pesertanya (pemberi saham). Kemudian barang siapa di antara
mereka mendapatkan musibah, misalnya kebakaran, atau kehilangan harta atau
sakit, maka dia diberi uang dari kotak tersebut.
Namun harus diperhatikan hal-hal berikut ini:
1.
Hendaknya pemberi
saham meniatkan sahamnya untuk mendapatkan keridhaan Allah Subhaanahu wa
Ta'aala agar ia mendapatkan pahala karenanya.
2.
Jumlah bantuan
yang akan diberikan kepada para orang yang mendapatkan musibah harus
ditentukan, begitu juga jatah para pemberi saham harus ditentukan, sehingga
segala sesuatu didirikan juga atas asas persamaan yang sempurna.
3.
Tidak ada salahnya
uang kotak asuransi tersebut diinventasikan dengan sistem mudhaarabah di perdagangan,
pembangunan, dan industri yang diperbolehkan.”
Ulama
yang lain memberikan gambaran asuransi ta’awun sbb.:
Beberapa
orang yang berkemungkinan terkena musibah yang serupa berkumpul, dimana
masing-masing mereka memberikan santunan dalam jumlah tertentu, dan santunan
itu dikhususkan untuk menyantuni salah
satu anggota yang terkena musibah.
Jika santunan yang diberikan ternyata melebihi dana yang dibutuhkan, maka
anggota ansuransi berhak menarik kembali. Tetapi jika ternyata kurang, maka
para anggota diminta untuk membantu menutupi kekurangan salah satu anggota yag
terkena musibah itu atau santunan yang berhak
diterima anggota ternyata kurang menutupi kebutuhan orang yang terkena musibah. Para
anggota asuransi ta’awun tidaklah berusaha meraih keuntungan, tetapi berusaha
meringankan kerugian yang menimpa sebagian anggota. Dengan demikian, maka mereka
saling berakad untuk bahu-membahu memikul musibah yang menimpa salah seorang di
antara mereka.
Untuk
asuransi seperti ini telah difatwakan kebolehannya oleh banyak para ulama.
J. Perbedaan
antara asuransi konvensional dengan asuransi ta’awun
1.
Asuransi ta’awun
termasuk akad tabarru’ (suka rela) yang maksudnya adalah tolong-menolong,
sedangkan asuransi konvensional termasuk akad mu’awadhah (tukar-menukar) harta
yang mengandung kemungkinan (tidak jelas).
2.
Santunan dalam
asuransi ta’awun diambil dari cicilan anggota yang sudah ditentukan. Jika
cicilan tersebut tidak mencukupi, maka diminta dari anggota untuk ikut serta
memberikan santunan terhadap sisanya. Jika tidak mungkin keikutsertaan yang
lain untuk menyelesaikan masalahnya, maka tidak terjadi santunan. Hal itu,
karena di sana tidak ada pembebanan untuk menyantuni yang sifatnya mesti.
Adapun asuransi konvensional, maka di sana ada pembebanan untuk mengganti
sebagai timbal balas dari cicilan yang diberikan anggota asuransi. Akibatnya,
pihak asuransi harus siap menanggung resiko sesuatu yang diasuransikan
tersebut; tidak anggota yang lain. Oleh karena itulah, tujuan dari akad ini
adalah timbal balik, tetapi timbal baiknya tidak mengizinkan kedua-duanya untung,
bahkan jika pihak asuransi untung, maka anggota asuransi rugi, atau jika anggota
asuransi untung, maka pihak asuransi rugi. Dengan demikian, akad ini adalah akad timbal balik yang
menjadikan sepihak saja yang untung.
3.
Dalam asuransi
konvensioal, pihak asuransi tidak bisa memberikan santunan lebih jika jumlah
kerugian melebihi cicilan anggota asuransi. Adapun dalam asuransi ta’awun, maka
seluruh anggota bahu-membahu untuk menutupi kebutuhan orang yang terkena
musibah tersebut dengan cicilan mereka itu. Oleh karena itu, anggota asuransi
ta’awun tidak menunggu jumlah tertentu ketika terjadi musibah, bahkan ia
menunggu bahu-membahu dari anggota yang lain sesuai penuhnya kotak asuransi dan
kemampuan anggota untuk menyantuninya. Oleh karena itu, ketenangan yang
diperoleh pihak asuransi ta’awun karena perhatian dari kawan-kawannya yang ikut
serta dalam asuransi ta’awun, bukan karena ada santunan yang ditentukan karena
ada ikatan akad seperti dalam asuransi konvensional.
4.
Asuransi ta’awun
tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan dari sisa dari cicilan yang
diberikan anggota, bahkan ketika ada tambahan dari cicilan yang dikumpulkan
itu, maka dikembalikan kepada anggota asuransi. Tidak seperti dalam asuransi
konvensional yang diperuntukkan kepadanya.
5.
Dalam asuransi
ta’awun, pihak asuransi adalah anggota asuransi juga, ia tidaklah memanfaatkan
cicilan yang diberikan kecuali untuk kebaikan bersama. Berbeda dengan asuransi
konvensional, dimana pihak asuransi adalah unsur di luar dari keanggotaan itu,
sebagaimana pihak asuransi konvensional juga tegak untuk memanfaatkan harta
anggota asuransi yang manfaatnya untuk pihak asuransi.
6.
Asuransi ta’awun
dibentuk tujuannya untuk mewujudkan saling tolong-menolong antara para anggota
asuransi, dimana musibah yang menimpa salah satu anggota diderita pula oleh
yang lain.
7.
Dalam asuransi
ta’awun, para anggota juga berhak memperoleh keuntungan dari investasi terhadap
harta mereka, adapun dalam asuransi konvensional, maka para anggota asuransi
tidak berhak meperoleh laba dari investasi harta mereka.
8.
Asuransi ta’awun
tidak menginvetasikan harta mereka pada jalan yang haram.
9.
Dalam asuransi
ta’awun ada nash dalam akad, bahwa yang diberikan anggota asuransi adalah
tabarru’ (suka rela) dan bahwa ia memberikan cicilan itu untuk membantu anggota
yang membutuhkan bantuan. Adapun dalam asuransi konvensional, maka tidak demikan.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa
nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sabiq), Al
Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Al Fiqhul Muyassar,
Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jaza’iriy), Ru’yah Syar’iyyah fii
syarikatit ta’min at ta’awuniyyah (Khalid bin Ibrahim Ad Da’ijiy) dll.
[i] Upah mitsil adalah upah
yang biasa ditentukan oleh orang yang berpengalaman, dan jauh dari hawa nafsu dan
memihak (upah standar), pilihan mereka tentunya sesuai kesepakatan para pelaku
akad atau berdasarkan pilihan hakim.
0 komentar:
Posting Komentar