بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Muzara’ah & Musaaqaah
(bagian 2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya
dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan pembahasan tentang muzara’ah dan
musaaqah, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat,
Allahumma aamiin.
2. Musaaqaah
Musaaqaah
sebagaimana yang telah diterangkan adalah menyerahkan pohon yang ditanami atau
belum ditanam dengan tanahnya kepada orang yang akan menanamnya, menyiraminya
dan mengurusnya sampai bisa berbuah. Sehingga untuk pekerjanya mendapatkan
bagian buah itu, dan sisanya untuk pemiliknya.
Pekerja
dalam musaaqaah disebut musaaqiy, sedangkan penyedia pohon disebut rabbusy
syajar (pemilik pohon). Sedangkan kata syajar (pohon) dipakai untuk setiap yang
ditanam di tanah untuk waktu setahun atau lebih, yakni tidak ada waktu dan
batas tertentu untuk memotongnya, baik pohon itu berbuah maupun tidak.
a.
Disyari'atkannya musaaqaah
Musaaqaah
disyariatkan berdasarkan As Sunnah. Para
fuqaha' sepakat tentang kebolehannya karena kebutuhan manusia terhadapnya,
selain Abu Hanifah, dimana menurutnya bahwa musaaqaah itu tidak boleh. Namun Jumhur
ulama berdalih tentang kebolehannya berdasarkan hadits-hadits berikut:
Imam
Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ
أَوْ زَرْعٍ.
"Bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bermuamalah dengan penduduk Khaibar
dengan mengambil separuh dari hasilnya baik buah atau tanaman."
Imam
Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah sbb.:
قَالَتْ الْأَنْصَارُ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْسِمْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ إِخْوَانِنَا
النَّخِيلَ قَالَ لَا فَقَالُوا تَكْفُونَا الْمَئُونَةَ وَنَشْرَكْكُمْ فِي
الثَّمَرَةِ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
“Orang-orang
Anshar berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Bagikanlah
pohon kurma antara kami dengan saudara-saudara kami." Beliau menjawab,
"Tidak" lalu mereka berkata, "Kamu cukupkan kepada kami biayanya,
nanti kami akan ikutkan kamu untuk memperoleh buah?" Mereka menjawab,
"Kami dengar dan kami ta'at"
Maksud
hadits tersebut adalah bahwa orang-orang Anshar ingin agar kaum muhajirin ikut
serta dalam pohon kurma, lalu mereka menawarkannya kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Beliau pun enggan, lalu orang-orang Anshar
menawarkan agar mereka (kaum muhajirin) mengurusnya, dan mereka akan memperoleh
separuhnya, maka Beliau pun mau.
Dalam
Nailul Awthaar disebutkan: Al Haazimiy berkata: "Telah diriwayatkan dari
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, Abdullah bin Mas'ud, Ammar bin Yaasir,
Sa'id bin Al Musayyib, Muhammad bin Sirin, Umar bin Abdul 'Aziz, Ibnu Abi
Laila, Ibnu Syihab Az Zuhriy, dan di antara ulama madzhab ra'yi seperti Abu
Yusuf Al Qaadhiy dan Muhammad bin Al Hasan, mereka mengatakan, "Dibolehkan
muzara'ah dan musaaqaah dengan memperoleh bagian dari buah atau tanaman, mereka
mengatakan, "Dibolehkan 'akad terhadap muzaara'ah dan musaaqaah secara
bersama-sama, yakni disiraminya pohon kurma dan digarapnya tanah sebagaimana
yang dilakukan terhadap penduduk Khaibar, dan diperbolehkan juga melakukan
'akad terhadap masing-masingnya (muzaara'ah atau musaaqaah) secara
terpisah."
b.
Rukun-rukun musaaqaah
Musaaqaah
memiliki dua rukun:
- Ijab
- Qabul
Musaaqaah
dianggap sah dengan semua yang menunjukkan kepadanya baik berupa perkataan,
tulisan maupun isyarat selama keluar dari orang yang tasharruf (tindakannya)
diperbolehkan.
c.
Syarat sahnya musaaqaah
Para fuqaha rahimahumullah menyebutkan syarat sahnya
musaaqaah, yaitu:
1.
Pohon yang dimusaaqaahkan memiliki buah yang bisa
dimakan. Sehingga tidak sah jika pohonnya tidak berbuah atau berbuah tapi tidak
bisa dimakan. Sebenarnya dalam masalah ini ada khilaf di antara ulama, lihat
pembahasan pohon yang dibolehkan untuk dimusaaqaahkan dalam risalah ini. Hal
itu karena musaaqaah terhadap pohon yang tidak berbuah adalah si musaaqiy bisa
mengambil pelepah, kayunya dsb.
2.
Menetapkan bagian amil (pekerja) atau pemilik tanah
dengan bagian yang jelas dari buahnya. Misalnya 1/3, ¼, dsb. baik bagian yang
disyaratkan itu sedikit atau banyak. Namun kalau syaratnya semua buah harus
untuk seorang saja, maka tidak sah. Termasuk syarat yang tidak sah adalah
menetapkan beberapa kilo (misalnya 10 atau 20 kilo gram) dari buahnya untuk si
amil atau si pemilik tanah. Karena bisa saja hasil atau buahnya tidak banyak,
misalnya hasilnya hanya 22 kilo, sehingga yang lain hanya mendapat 2 kilo.
Demikian juga tidak sah jika
salah satunya menetapkan untuk mendapatkan buah pohon di sekitar ini semuanya,
karena bisa saja pohon di sekitar yang lain tidak berbuah, sehingga yang
mendapat buah hanya yang di sekitar situ saja. Ini dilarang karena
memadharratkan yang lain.
3.
Pohon yang dimusaaqaahkan diketahui baik dengan
dilihat maupun disifatkan dengan sifat yang berbeda, karena tidak sah 'akad
terhadap sesuatu yang masih majhul (tidak jelas).
4.
Waktunya ditentukan, karena musaaqaah merupakan 'akad
yang lazim (harus) seperti akad sewa dan agar tidak ada gharar.
Abu Yusuf dan Muhammad berkata:
"Sesungguhnya menyebutkan lama waktunya tidaklah termasuk syarat musaaqaah
sebagai istihsan, karena waktu matangnya buah biasanya diketahui dan tidak
berbeda dengan perbedaan yang dapat dijadikan pegangan.”
Di antara ulama yang tidak
mensyaratkan syarat tersebut adalah ulama madzhab Zhahiri, mereka berdalih
dengan riwayat Malik secara mursal bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda kepada orang-orang Yahudi, "Saya akui kalian selama
Allah mengakuinya." namun menurut ulama madzhab Hanafi bahwa kapan
saja habis masa musaaqaah sebelum
matangnya buah, maka pohon-pohon dibiarkan kepada pengurusnya agar ia bekerja
terhadapnya tanpa upah sampai matang buahnya.
5.
'Akad musaaqaah itu sebelum tampak baiknya buah itu,
karena dalam keadaan seperti ini butuh diurus. Namun jika sudah tampak baik, di
antara fuqaha' ada yang berpendapat bahwa musaaqah saat ini tidak boleh, karena
tidak ada kebutuhan yang menghendakinya, kalau pun terjadi maka jadinya ijarah
bukan musaaqaah. Namun di antara fuqaha ada juga yang membolehkannya dalam
kondisi itu dengan alasan bahwa musaaqah dibolehkan sebelum Allah menciptakan
buahnya, maka setelah tampak buahnya tentu lebih boleh.
Jika salah satu syarat yang
disebutkan di atas tidak ada, maka batal dan rusaklah musaaqaah, jika musaaqiy
(amil/pengurus) telah lewat waktunya, pohonnya berkembang atau tanamannya
dengan kerjanya, maka ia berhak menerima upah standar, sedangkan berkembangnya
pohon atau tanaman untuk pemiliknya.
Faedah:
Menurut
pendapat yang benar bahwa musaaqaah adalah akad yang harus, tidak bisa
dibatalkan kecuali dengan keridhaan yang lain. Dan tidak dapat tidak harus
ditentukan batas lamanya dengan masih tetapnya pohon.
e.
Pohon yang dibolehkan untuk dimusaaqaahkan
Para
fuqaha' juga berbeda pendapat tentang sesuatu yang boleh dimusaaqahkan, di
antara mereka ada yang membatasinya hanya pada pohon kurma seperti Dawud, namun
di antara mereka ada yang menambah di samping pohon kurma, yaitu pohon angggur
seperti Imam Syaafi'i. A juga yang lebih luas lagi seperti ulama madzhab
Hanafi, menurut mereka sah saja terhadap berbagai pohon, sayuran dan semua yang
memiliki akar di tanah, di mana tidak ada waktu akhir untuk dicabut. Bahkan
semua pepohonan yang jika ditebang tumbuh lagi seperti bawang kucai dan tebu.
Demikian
juga sah terhadap pohon yang satuannya saling menyusul dan tumbuh
sedikit-sedikit seperti terong. Jika seorang menyerahkan kepada orang lain
kurma basah yang sudah selesai dipetik dengan syarat siap mengurus dan
menyiraminya sehingga keluar benih dan nanti hasilnya dibagi dua, maka hal itu
dibolehkan tanpa diterangkan lamanya.
Sedangkan
menurut Imam Malik bahwa musaaqah juga dibolehkan pada setiap akar yang tetap
seperti delima, buah tin dan Zaitun dsb. yang tidak menjadi sumber pokok,
demikian juga pada akar yang tidak tumbuh seperti mentimun dan semangka jika
pemiliknya lemah terhadapnya, demikian juga pada tanaman. Adapun menurut ulama
madzhab Hanbali bahwa musaaqah boleh pada setiap buah yang dimakan. Dalam Al
Mughniy disebutkan, "Musaaqaah sah terhadap pohon yang tidak perlu
disirami sebagaimana boleh pada pohon yang butuh disirami," demikianlah
yang dipegang Imam Malik, ia berkata, "Kami tidak mengetahui adanya khilaf
padanya."
f.
Tugas musaaqiy (amil/pekerja)
Tugas
musaaqiy sebagaimana yang dikatakan Imam
Nawawi adalah bahwa ia berkewajiban untuk memenuhi segala yang dibutuhkan untuk
memperbaiki buah dan kebutuhannya setiap tahun seperti disirami, dibersihkan
aliran sungainya, diperbaiki tempat-tempat tumbuhnya pepohonan, dikawinkannya,
dibersihkan rerumputan dan batang-batang darinya, menjaga buah, memetiknya dsb.
Adapun yang tujuannya adalah menjaga asal dan tidak berulang setiap tahun seperti bangunan kebunnya, galian sumur dan
sebagainya maka kewajiban pemiliknya.
Dengan
demikian, si ‘Amil (pekerja) harus melakukan hal yang membuat buah menjadi
baik, seperti membajak, menyirami, menghilangkan dahan-dahan yang merugikan
pohon (seperti benalu) dan buah, mengawinkan pohon kurma, mengeringkan buah,
memperbaiki aliran air dan mengalirkannya ke pohon.
Bagi
pemilik pohon harus berusaha menjaga harta asal, yaitu pohon. Seperti dengan
menggali sumur, membangun tembok, memenuhkan air di sumur dsb.
Bagi
pemiliknya juga harus menyiapkan sesuatu yang menguatkan pohon seperti pupuk
dsb.
g.
Ketika musaaqiy lemah (tidak sanggup) bekerja
Apabila
musaaqiy tidak sanggup bekerja karena sakit atau bersafar dengan safar yang
jauh karena mendesak, maka musaaqaah dibatalkan. Hal ini tentunya jika pihak yang
lain telah mensyaratkan untuk bekerja sendiri. Jika tidak membuat syarat
sebelumnya, maka musaaqaah tidak batal bahkan si musaaqiy harus mencarikan
orang untuk menggantikannya. Hal ini menurut ulama Hanafi. Adapun Imam Malik,
ia berkata, "Apabila si musaaqiy tidak sanggup bekerja dan telah tiba
penjualan buah, maka ia tidak berhak mencarikan yang lain bahkan ia harus
menyewa seseorang untuk bekerja meskipun tidak ada sesuatu untuk menyewa dari
bagiannya pada buah itu. Imam Syafi'I berpendapat, "Musaaqaah itu batal
karena lemah (tidak sanggup mengurus)."
h.
Meninggalnya salah satu dari dua orang yang melakukan 'akad
Jika
salah satu dari dua orang yang melakukan 'akad meninggal, dan pada pohon itu
ada buah yang belum tampak baiknya, maka untuk maslahat kedua belah pihak
hendaknya si pekerja atau ahli warisnya melanjutkan pekerjaan itu sampai
buahnya masak meskipun harus memaksa pemilik pohon atau ahli warisnya, karena
dalam hal ini tidak ada seorang pihak pun yang terkena madharrat. Si pekerja
juga tidak berhak mendapatkan upah dalam masa antara batalnya akad dan masaknya
buah.
Jika
si pekerja atau ahli warisnya enggan bekerja setelah habis masanya atau batalnya
'akad, maka mereka tidak bisa dipaksa, akan tetapi jika mereka ingin memetik
buahnya sebelum matangnya, maka belum bisa, bahkan hak tersebut menjadi milik
pemiliknya atau ahli warisnya dalam salah satu dari tiga macam hal ini:
1.
Sepakat untuk dipetik buah dan dibagikan sesuai
kesepakakan.
2.
Diberikan kepada si pekerja atau ahli warisnya uang
senilai bagiannya yang khusus, yaitu keberhakannya dalam memetik.
3.
Menafkahi pohon sampai buahnya matang, lalu mendatangi
si musaaqiy atau ahli warisnya terhadap harta yang telah dikeluarkannya atau mengambil
buah sebagai jatahnya. Hal ini merupakan madzhab ulama Hanafi.
Kesimpulan tentang muzaara’ah dan
musaaqaah
1.
Amil (pengurus) harus melakukan segala yang dapat
membuat buah menjadi baik, baik dengan penggarapan tanah, penyiraman,
pembersihan, pemeliharaan, pengawinan, pengeringan buah, dsb.
2.
Pemilik tanah harus melakukan segala yang dapat
menjaga harta asal (dasar), seperti dengan menggali sumur, memenuhkan air,
membangunkan dinding dan penghalang, menyiapkan peralatan, dan alat semprot
air.
3.
Amil memiliki bagiannya ketika buah telah tampak.
4.
Bagi masing-masing pelaku akad berhak membatalkan akad
kapan saja, karena ia adalah akad ja’iz (boleh) tidak lazim/mesti. Jika akad
batal, sedangkan buah telah tampak, maka buah itu dibagi antara kedua pelaku
akad itu sesuai syarat yang mereka buat. Jika amil membatalkan akad sebelum
tanaman muncul atau buahnya tampak, maka ia tidak memperoleh apa-apa, karena ia
telah ridha dengan pengguguran haknya seperti ‘amil dalam mudharabah. Tetapi,
jika pemilik harta membatalkan sebelum tampak buahnya dan setelah pengurusan
dimulai, maka si amil berhak memperoleh upah terhadap pekerjaannya.
5.
Jika dilakukan musaaqaah dan muzaara’ah dalam waktu
yang biasanya buah sempurna pada waktu itu, tetapi pada tahun itu ternyata
tidak demikian, maka amil tidak memperoleh apa-apa.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa
nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Fiqh
Muyassar, dll.
0 komentar:
Posting Komentar