Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada
Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan tentang fiqh jual beli yang telah
dibahas sebagiannya dalam risalah sebelumnya, semoga Allah Subhaanahu wa
Ta'aala menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat baik bagi penulis maupun
pembaca, Allahmma amin.
G. Jual beli yang dilarang
Agama Islam melarang sebagian jual beli ketika berakibat
menyia-nyiakan perkara yang lebih penting seperti melalaikan dari mengerjakan
ibadah yang wajib, atau keadaannya memadharatkan (merugikan) orang lain.
Contohnya adalah:
1. Jual beli setelah azan Jumat.
Tidak sah jual beli bagi orang yang berkewajiban shalat Jumat setelah
azan Jumat dikumandangkan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Wahai orang-orang beriman! Apabila
diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (Qs. Al Jumu’ah: 9)
Di ayat tersebut, Allah Subhaanahu wa Ta'ala melarang jual beli pada
saat itu, sedangkan larangan menunjukkan haram dan tidak sahnya jual beli
tersebut.
2. Menjual sesuatu yang diketahui akan digunakan untuk maksiat kepada
Allah atau untuk hal-hal yang haram.
Oleh karena itu, tidak sah menjual perasan kurma kepada orang yang
akan menjadikannya arak dan menjual senjata ketika terjadi fitnah di antara
kaum muslimin.
3. Menjual di atas penjualan saudaranya.
Contohnya adalah seorang berkata kepada orang yang telah membeli
sesuatu dengan harga tertentu, “Saya menjual kepadamu barang itu dengan
harga yang lebih murah dari dia.” Larangan ini berdasarkan hadits Ibnu Umar
radhiyallahu 'anhuma ia berkata,
وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ
“Janganlah sebagian kamu menjual di atas penjualan saudaranya.” (Hr.
Bukhari dan Muslim).
4. Membeli di atas pembelian saudaranya.
Contohnya adalah seorang berkata kepada orang yang telah menjual
sesuatu, “Batalkanlah penjualan itu, aku akan membelinya darimu dengan harga
yang lebih tinggi.” Setelah sebelumnya terjadi kesepakatan antara penjual
dan pembeli terhadap harganya.
5. Jual beli ‘Inah
Gambarannya adalah seseorang menjual barang kepada orang lain dengan
harga tertentu menggunakan tempo, lalu penjual membeli darinya dengan harga
kurang tanpa memakai tempo (cash), dan di akhir tempo, pembeli menyerahkan
pembayaran pertama. Misalnya seorang menjual tanah
dengan harga Rp. 5.000.000,- yang akan dibayar setelah setahun, lalu penjual
membeli lagi dengan harga Rp. 4.000.000 secara tunai, dan tinggallah dalam
tanggungan pembeli Rp. 5.000.000,- yang akan dibayarkan pembeli di akhir tahun.
Hal ini haram karena sama saja menukar empat juta dengan lima juta yang satu
tunai dan yang satu lagi tempo dengan tambahan harga, dan hal ini adalah riba
nasi’ah. Si penjual memperoleh kembali uangnya dan memperoleh tambahannya.
Jual beli ini dilarang, karena sebagai helat (cari celah) kepada riba. Jual
beli ‘Inah pada hakikatnya merupakan pinjaman dalam bentuk jual beli untuk
menghalalkan kelebihannya. Tentang jual beli ‘Inah Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ
بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ
وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى
تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Apabila kalian berjual-beli dengan cara ‘iinah, kalian pegang ekor
sapi dan kalian ridha dengan tanaman kalian serta kalian tinggalkan jihad, maka
Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, yang tidak akan dicabut sampai
kalian kembali kepada agama kalian.” (Hr. Ahmad dan Abu Dawud dari Ibnu Umar,
dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahiihah No. 11).
6. Menjual barang yang belum diterima
Contohnya seorang membeli barang dari seseorang, lalu ia menjual lagi
sebelum diterima dan dibawanya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda.
مَنْ
ابْتَاعَ طَعَامًا فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ
“Barang siapa yang membeli makanan, maka janganlah ia menjual
sampai menerimanya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Zaid bin Tsabit berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
melarang barang-barang dijual di tempat dibelinya sampai dibawa para pedagang
ke tempat tinggal mereka.” (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan isnadnya oleh Imam
Nawawi).
Dengan demikian, tidak boleh bagi orang yang membeli sesuatu langsung
menjualnya sampai ia menerimanya secara sempurna.
7. Menjual buah sebelum tampak baiknya.
Tidak boleh menjual buah sebelum tampak baiknya karena khawatir
terjadinya binasa atau aib sebelum diambil. Hal ini berdasarkan hadits Anas
radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
أَرَأَيْتَ إِذَا مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ بِمَ يَأْخُذُ
أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيهِ
“Bagaimana menurutmu jika Allah menghalangi buahnya, dengan alasan apa
salah seorang di antara kamu memakan harta saudaranya?” (Hr. Bukhari dan
Muslim)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma ia berkata, “Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual buah sampai jelas baiknya,
Beliau melarang penjual dan pembeli.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Untuk diketahui tampak baik adalah dengan menjadi merah buah kurma
atau menguning, jika anggur maka dengan menjadi hitam dan tampak manis. Sedangkan
untuk biji, maka dengan kering dan kerasnya, dsb.
Dibolehkan jual beli yang belum matang dengan syarat langsung dipetik
dan bisa dimanfaatkannya.
8. Jual beli Najsy
Gambaran najsy adalah seseorang bersekongkol dengan
penjual untuk meninggikan nilai barang dagangannya, padahal ia sama sekali
tidak ingin membelinya, tetapi bertujuan agar pembeli tertipu, akhirnya mau
membeli dengan harga tinggi tersebut. Termasuk najasy juga jika si pemilik
barang atau wakilnya mengaku-ngaku
dengan pengakuan batil dan dusta bahwa barang ini sudah ada yang berani
membayar dengan harga sekian. Termasuk najasy juga persekongkolan yang
dilakukan antara penjual dengan orang bawaannya agar barang dagangannya laris
atau agar pembeli mau membeli barang tersebut akibat kata-kata dusta orang
bawaan penjual.
Larangan najsy berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma,
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang najsy. (Hr. Bukhari dan
Muslim)
H. Iqalah
Iqalah
maksudnya membatalkan akad yang telah terjadi antara kedua pelaku akad dan menganulirnya
dengan keridhaan kedua belah pihak. Hal ini terjadi ketika salah satu pelaku
akad menyesal terhadap akad jual beli yang dilakukannya, atau ternyata pembeli
tidak butuh kepada barang itu atau tidak sanggup membayar harganya, lalu
masing-masing penjual atau pembeli menarik kembali haknya tanpa kurang atau
lebih.
Iqalah
hukumnya disyariatkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَهُ اللَّهُ عَثْرَتَهُ
“Barang
siapa yang membebaskan jual-beli seorang muslim, maka Allah akan memaafkan
ketergelincirannya.” (Hr. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan
dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah no. 1800)
I. Akad Murabahah
Murabahah
artinya menjual barang dengan harga dan keuntungan yang telah diketahui oleh
kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Contoh: Pemilik barang berkata,
“Modalku pada barang ini 100 riyal, saya jual kepadamu 100 riyal plus
keuntungan untukku 10 riyal.”
Jual beli
seperti ini boleh, yakni apabila penjual dan pembeli mengetahui harga barang
dan keuntungannya.
Dalilnya
firman Allah Ta’ala,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
“Dan Allah
menghalalkan jual beli.” (Al Baqarah:
275)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. “ (Qs. An Nisaa’: 29) |
Dalam murabahah terwujud keridhaan kedua belah pihak. Hajat menghendaki
untuk dibolehkan jual beli ini, karena sebagian orang tidak menguasai seni
jual-beli, sehingga dia mengandalkan orang lain dalam membeli lalu dia
menambahnya dengan laba tertentu yang diketahui antara keduanya.
J. Jual beli dengan taqsith (kredit)
Maksud jual
beli taqsith adalah jual beli yang pembayarannya dicicil sampai waktu yang
ditentukan. Contoh: seorang penjual memiliki mobil seharga 40.000 riyal jika
tunai, sedangkan jika kredit seharga 60.000 riyal, lalu penjual sepakat dengan
pembeli agar pembayaran dicicil selama 12 kali, dimana setiap akhir bulan si
pembeli membayar 5.000 riyal.
Jual beli
seperti ini hukumnya boleh. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu
'anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membeli makanan
dari orang Yahudi dengan memakai tempo, dan menggadaikan baju besinya
kepadanya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Untuk sahnya
jual beli taqsith ini disyaratkan beberapa syarat berikut ini di samping syarat
jual beli yang telah dibahas sebelumnya:
1. Status barang
dalam wewanang dan kekuasaan penjual saat akad. Oleh karena itu, tidak boleh
bagi keduanya melangsungkan kesepakatan atas harga, penentuan waktu
pembayaran dan angsuran, kemudian si penjual membeli barangnya dan menyerahkan
kepada pembeli. Hal ini haram, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Jangan engkau
menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (Hr. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i,
Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
2. Tidak boleh
menekan pembeli ketika akad atau setelahnya untuk membayar bayaran lebih dari
yang disepakati ketika terlambat membayar cicilan, karena hal itu merupakan
riba.
3. Tidak boleh bagi
pembeli yang mampu, mengulur-ulur pembayaran cicilan ketika tiba waktunya.
4.
Penjual tidak berhak menguasai hak kepemilikan
barang setelah akad, namun
penjual dibolehkan memberi syarat kepada pembeli untuk menggadaikan barang
kepadanya untuk menjamin haknya dalam melunasi cicilan yang sudah disepakati.
Kesimpulannya,
boleh membedakan harga pada barang yang pembayarannya ditunda dengan barang yang dibayar secara langsung
(cash). Demikian juga boleh menyebutkan harga barang jika dibayar kontan dan
jika dibayar dengan cara diangsur dalam waktu yang sudah diketahui. Dan jual
beli ini tidak sah kecuali jika kedua belah pihak sudah memberikan pilihan
dengan memilih yang kontan atau yang kredit.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa
Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar, Al Mulakhkhash Al Fiqhiy dll.
0 komentar:
Posting Komentar