بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Jual Beli Salam
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya
dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut
ini merupakan pembahasan tentang jual beli salam berdasarkan syariat Islam yang
kami tulis agar menjadi pedoman dalam praktek jual-beli salam. Semoga Allah
Subhaanahu wa Ta'aala menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamiin.
A.
Ta’rif (definisi) salam
Salam atau disebut juga salaf adalah jual
beli barang yang ditunda yang disifati dan masih dalam tanggungan dengan
bayaran yang didahulukan. Para fuqaha' menamainya dengan nama bai'ul mahaawij,
karena hal tersebut merupakan jual beli barang yang gha'ib (belum ada) yang
perlu dilakukan oleh penjual dan pembeli, di mana pemilik uang butuh membeli
barang, sedangkan pemilik barang butuh memiliki uang sebelum barang itu ada
padanya untuk dipakai buat dirinya dan untuk dibelanjakan buat tanamannya misalnya
agar buahnya dapat matang dengan baik, hal ini termasuk maslahat haajiyah
(kebutuhan).
Untuk Selanjutnya pembeli disebut musallim
atau rabbus salam, penjual disebut musallam ilaih, barang yang
dijual disebut musallam fiih, sedangkan bayaran atau uangnya disebut ra'su
maalis salam.
B. Dalil disyariatkannya jual beli salam
Tentang dalil disyari'atkannya salam ada
dalam Al Qur'an, As Sunnah dan ijma'.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata:
"Saya bersaksi bahwa salaf yang ditanggung hingga waktu tertentu, telah
dihalalkan Allah dalam kitab-Nya dan diizinkan-Nya,” kemudian ia membaca firman
Allah Ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ
بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
"Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. " (Al Baqarah: 282)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma ia berkata:
قَدِمَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي
الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ
فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
"Ketika
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, penduduk Madinah menjual
buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya
dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Barang siapa yang menjual kurma
dengan pembayaran di muka, hendaklah dengan takaran tertentu, timbangan
tertentu dan jangka waktu tertentu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnul Mundzir berkata, "Telah ijma'
orang yang kami hapal dari kalangan ahli ilmu bahwa salam itu boleh."
C. Sesuainya salam dengan ka'idah syari'at
dan hikmah disyariatkannya salam
Salam sejalan dengan syari'at, tidak ada
yang menyalahi qiyas. Hal itu, karena sebagaimana boleh ditunda pembayaran
dalam jual beli, maka boleh juga ditunda barangnya dalam salam tanpa ada
perbedaan di antara keduanya. Perlu diketahui, bahwa syariat salam ini tidaklah
masuk ke dalam larangan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu larangan seseorang
menjual barang yang tidak ada padanya sebagaimana dalam hadits Hakim bin
Hizaam, "Janganlah kamu menjual barang yang tidak ada padamu."
(HR. Ahmad, para pemilik kitab Sunan, dishahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu
Hibban).
Maksud larangan tersebut adalah seseorang
dilarang menjual barang yang tidak sanggup diserahkan kepada pembeli, karena
barang yang tidak dapat diserahkan sama saja tidak ada padanya, sehingga
tergolong sebagai jual beli gharar dan taruhan. Adapun menjual barang yang
disifati dan ditanggung dengan adanya kemungkinan kuat dapat dipenuhi pada
waktu yang ditentukan, maka hal ini tidak termasuk gharar atau taruhan.
Adapun hikmah disyariatkan jual beli salam
adalah untuk melapangkan dan memberi kemudahan kepada manusia. Contohnya penanam
pohon, ia tidak memiliki uang untuk biaya menggarap tanah dan menanam pohon
serta tidak ada orang yang mau meminjamkan, maka dibolehkan baginya melakukan
salam agar tidak hilang usaha mengolah tanahnya.
D. Syarat-syarat jual beli salam
Salam adalah salah satu bentuk jual beli.
Oleh karena itu, untuk sahnya berlaku syarat-syarat jual beli dan ditambah
syarat yang akan dijelaskan berikut. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan
ra'sul maal (pembayaran) dan ada yang berkaitan dengan musallam fiih (barangnya).
Syarat yang berkaitan pada ra'sul maal (bayaran)
1. Diketahui
jenis (bayaran)nya.
2. Diketahui
jumlahnya
3. Diserahkan
dalam majlis secara sempurna.
Syarat pada musallam
fiih (barangnya)
1. Masih
dalam tanggungan
2. Disifati
dengan sifat yang menghasilkan pengetahuan terhadap ukurannya dan sifatnya yang
membedakan dengan lainnya agar gharar itu hilang dan hilang perselisihan.
3. Waktunya
diketahui sampai kapan.
Lalu apakah boleh sampai dipetik, tibanya
orang yang hajji dan sampai diberikan?
Imam Malik berpendapat: "Dibolehkan
selama diketahui seperti beberapa bulan atau beberapa tahun."
Faedah:
Di antara ulama ada yang mensyaratkan bahwa
barangnya harus yang biasanya ada pada saat tiba waktunya, jika biasanya tidak
ada, seperti penyerahan kurma pada musim dingin, maka tidak sah karena termasuk
gharar.
Khilaf tentang syarat harus adanya jangka
waktu penyerahan
Jumhur ulama berpendapat bahwa jangka
waktunya harus diperhatikan dalam masalah salam, mereka berkata, "Tidak
boleh salam itu langsung pada saat itu." Sedangkan ulama madzhab Syafi'i
berpendapat bahwa boleh hukumnya dilakukan pada saat itu (langsung), karena
apabila ditunda saja boleh dengan adanya kemungkinan gharar, maka bolehnya
diberikan langsung, jelas lebih boleh. Dan penyebutan batas waktu dalam hadits
bukanlah karena sebagai syarat, bahkan maknanya jika sampai batas waktu
tertentu, maka harus jelas kapan waktunya.
Sedangkan Imam Syaukaani berkata,
"Yang benar adalah apa yang dipegang oleh ulama madzhab Syafi'i yakni
tidak harus diperhatikan jangka waktu karena tidak ada dalil yang menunjukkan
demikian, sehingga tidaklah diharuskan menentukan suatu hukum tanpa dalil.
Adapun jika dikatakan, "Bahwa jika tidak diberikan tempo, maka sama
seperti jual beli barang yang tidak ada, dan tidak diberikan rukhshah dalam hal
ini kecuali dalam salam, dan tidak ada perbedaan antara salam dengan jual beli
selain adanya batas waktu,” maka dijawab bahwa shighat sudah menjadi pemisah
(antara jual beli dengan salam) dan itu sudah cukup."
E. Tidak disyaratkan pada musallam fiih
(barang yang disalamkan) harus ada pada musallam ilaih (penjual)
Tidak disyaratkan pada salam si penjual
sudah memiliki barangnya, bahkan hendaknya si penjual memperhatikan ada atau
tidak ketika tempo sudah tiba. Ketika barang tidak ada pada saat waktunya tiba,
maka akad bisa batal, dan tidaklah mengapa jika barang belum ada sebelum tiba
waktunya.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Muhammad bin
Al Mujaalid ia berkata:
بَعَثَنِي عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ شَدَّادٍ وَأَبُو بُرْدَةَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقَالَا سَلْهُ هَلْ كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُسْلِفُونَ فِي الْحِنْطَةِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ كُنَّا نُسْلِفُ
نَبِيطَ أَهْلِ الشَّأْمِ فِي الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّيْتِ فِي كَيْلٍ
مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ قُلْتُ إِلَى مَنْ كَانَ أَصْلُهُ عِنْدَهُ
قَالَ مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ ثُمَّ بَعَثَانِي إِلَى عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْلِفُونَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ نَسْأَلْهُمْ أَلَهُمْ حَرْثٌ أَمْ لَا
'Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah
mengutusku untuk menemui 'Abdullah bin Abi Aufaa radliallahu 'anhuma dan
keduanya berkata, “Tanyakanlah kepadanya apakah para sahabat Nabi shallallahu
'alaihi wasallam di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mempraktekkan jual
beli salaf pada biji gandum?" 'Abdullah berkata, "Kami mempraktekkan
salaf dengan orang-orang blasteran bangsa Syam pada biji gandum, beras dan
kismis dengan takaran yang pasti sampai waktu yang pasti pula.” Aku bertanya,
"Apakah kepada orang yang memiliki asalnya (barangnya)?” Dia berkata,
"Kami tidak pernah menanyakan hal ini kepada mereka.” Kemudian keduanya
mengutus aku untuk menemui 'Abdurrahman bin Abzaa lalu aku bertanya kepadanya,
maka dia berkata, "Para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
mempraktekkan salaf di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan kami tidak
pernah menanyakan kepada mereka apakah mereka memiliki pertanian atau
tidak?"
F. Akad tidaklah batal karena mendiamkan
tentang tempat penyerahannya
Jika kedua pelaku akad diam terhadap penentuan
tempat penyerahannya, maka salam tetap sah meskipun belum ditentukan tempatnya,
karena tidak diterangkan dalam hadits. Kalau hal itu menjadi syarat, tentu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam akan menyebutkannya sebagaimana menyebutkan
tentang takaran, timbangan dan waktunya.
G. Bolehkah mengambil barang selain
musallam fiih (barang) sebagai gantinya?
Jumhur fuqaha' berpendapat tidak boleh
mengambil barang selain musallam fiih sebagai gantinya jika masih tetap berlaku
akad salam, karena hal itu sama saja menjual hutang musallam fiih sebelum
menerimanya, juga berdasarkan riwayat berikut:
مَنْ أَسْلَفَ فِي
شَئْ ٍفَلاَ يَصْرِفْهُ إِلَى غَيْرِهِ
"Barangsiapa
yang melakukan salaf pada sesuatu, maka ia tidak boleh berpindah kepada yang
lain." (HR. Daruquthni dari Ibnu Umar, di dalamnya terdapat 'Athiyyah bin
Sa'ad, dan haditsnya tidak bisa dipakai hujjah)
Namun Imam Malik dan Ahmad membolehkannya,
Ibnul Mundzir berkata: "Telah sah dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata:
"Apabila kamu melakukan salaf pada sesuatu sampai waktu tertentu, maka
jika mengambil barang yang kamu salafkan (maka ambillah). Jika tidak, maka
ambillah sebagai gantinya yang kurang daripadanya, dan janganlah kamu mengambil
untung dua kali." (Diriwayatkan oleh Syu'bah). Hal ini adalah perkataan
sahabat, dan perkataan sahabat adalah hujjah selama tidak menyelisihi. Inilah
yang dikuatkan Ibnul Qayyim,
ia berkata setelah menguraikan
masing-masing dalil kedua belah pihak, "Maka jelas, bahwa tidak ada nas
yang melarang, demikian juga tidak ada ijma' dan qiyas, bahkan nas dan qias
menghendaki untuk dihukumi boleh. Yang wajib ketika terjadi perselisihan adalah
mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun
jika terjadi pembatalan akad salam karena iqalah dan semisalnya, maka ada yang
berpendapat "Tidak boleh mengambil ganti dari barang yang tidak sejenis
terhadap hutang salam." Namun ada yang berpendapat, "Dibolehkan
mengambil gantinya." Inilah pendapat Imam Syafi'i dan pilihan Al Qaadhiy
Abu Ya'la dan Ibnu Taimiyah."
Ibnul Qayyim juga berkata, "Inilah
yang benar, karena hal ini merupakan ganti yang masih tetap dalam tanggungan,
maka dibolehkan mengambil ganti sebagaimana hutang yang lain seperti qardh dan
lainnya."
Catatan:
1. Pembeli tidak diperbolehkan
menjual barang yang disalamkan sampai ia menerimanya karena adanya larangan
menjual barang yang belum diterima.
2. Tidak sah diberlakukan
hiwalah (pemindahan hutang) pada salam, karena hiwalah itu hanya berlaku pada hutang
yang memang sudah tetap, sedangkan salam masih bisa dibatalkan.
3. Jika kesulitan membawakan
barang pada saat tiba waktunya, misalnya salam pada buah, ternyata pohonnya
tidak berbuah tahun ini, maka si pembeli bisa bersabar sampai ada buahnya atau
dibatalkan dan meminta uangnya yang dahulu. Karena akad apabila tidak jadi,
maka harus dikembalikan uangnya, jika uangnya telah habis, maka harus dicari
gantinya.
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar, Fiqhus Sunnah, Al Mulakhkhash Al
Fiqhi dll.
0 komentar:
Posting Komentar