بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Syuf’ah (bag. 3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan tentang pembahasan syuf’ah, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
H. Syuf'ah
di antara para syafii'
Jika syuf'ah
dilakukan antara lebih dari seorang syafii', di mana mereka adalah para pemilik
saham yang berbeda-beda, maka masing-masingnya mengambil barang yang dijual itu
sesuai kadar sahamnya, hal ini menurut Imam Malik, dan pendapat paling shahih
di antara dua pendapat Imam Syafi'i dan Ahmad. Hal itu, karena ia merupakan hak
yang dapat diambil dengan sebab kepemilikan, oleh karenanya sesuai kadar
kepemilikan. Ulama madzhab Hanafi dan Ibnu Hazm berkata, “Sesubgguhnya hal itu
sesuai jumlah orang, karena mereka sama-sama berhak memiliknya.”
I. Pewarisan
syuf'ah
Imam Malik, Syafi'i
dan para penduduk Hijaz berpendapat bahwa syuf'ah diwariskan dan tidak batal
karena wafat. Jika syuf'ah telah wajib baginya, lalu ia meninggal dan tidak
mengetahuinya atau mengetahuinya lalu meninggal sebelum bisa mengambil, maka
hak tersebut berepindah kepada ahli waris diqiaskan dalam masalah harta
lainnya. Adapun Imam Ahmad, ia berpendapat bahwa hal itu tidak diwariskan,
kecuali jika mayyit sebelumnya telah memintanya. Sedangkan ulama madzhab Hanafi
berpendapat, “Sesungguhnya hak ini tidak dapat diwariskan sebagaimana ia tidak
dijual meskipun mayitnya meminta syuf'ah, kecuali jika hakim menetapkan
untuknya lalu ia meninggal.”
J. Tindakan
yang dilakukan oleh pembeli
Tindakan yang
dilakukan pembeli pada barang sebelum syafii' mengambil syuf'ahnya adalah sah.
Hal itu, karena tindakan tesebut dilakukan pada miliknya. Jika dijualnya, maka
syafii' berhak mengambil dengan salah satu dari dua jual beli. Jika ternyata
dihibahkan, diwaqfkan, disedekahkan atau dijadikan mahar dan sebagainya, maka
tidak ada lagi syuf'ah. Hal itu, karena di dalamnya terdapat madharrat terhadap
yang diambil, karena miliknya sudah hilang tanpa ganti, dan madharrat tidak
dapat dihilangkan dengan madharrat juga. Adapun tindakan yang dilakukan pembeli
setelah si syafii' mengambil syuf'ahnya, maka hal itu batal karena berpindahnya
milik menjadi milik syafii' dengan adanya permintaannya.
K. Si
pembeli membangun bangunan sebelum memiliki syuf'ah
Apabila pembeli
membangun bangunan atau menanam pohon pada bagian yang disyuf'ahkan sebelum
diberlakukan syuf'ah, lalu ia memilikinya dengan syuf'ah, maka menurut Imam
Syafi'i dan Abu Hanifah bahwa si syafii' berhak memberikan nilai bangunan dalam
keadaan roboh, dan memberikan nilai pohon yang ditanam dalam keadaan sudah
dicabut atau membebaninya untuk dirobohkan. Imam Malik berkata, “Tidak ada
syuf'ah, kecuali jika memberikan kepada
si pembeli uang senilai bangunan yang dibangunannya atau pohon yang
ditanamnya.”
L. Shulh
(damai) dengan menggugurkan syuf'ah
Jika dilakukan sulh terhadap haknya
dalam syuf'ah atau menjualnya kepada pembeli, maka perbuatannya adalah batal
dan menggugurkan haknya dalam syuf'ah. Ia pun harus mengembalikan dari pembeli apa
yang telah diambilnya sebagai ganti. Hal ini menurut pendapat Imam Syafi'i,
sedangkan menurut imam yang tiga, hal itu adalah boleh, bahkan ia berhak
memiliki sesuatu yang diberikan pembeli.
M.
Kesimpulan hukum-hukum yang terkait dengan syuf’ah
1.Tidak boleh bagi sekutu menjual bagiannya sampai memberitahukan atau
menawarkan kepada sekutunya. Jika ia telah menjualnya tanpa memberitahukan
lebih dulu, maka kawan sekutunya lebih berhak terhadapnya.
2.Syuf’ah hanya berlaku pada tanah dan sesuatu yang tidak bisa dipindahkan,
jika bisa dipindahkan, misalnya barang-barang, hewan, dsb. maka tidak berlaku
(lihat pula pembahasan tentang syarat-syarat syuf’ah).
3.Syuf’ah adalah hak syar’i, tidak boleh dicari helat (celah) untuk
menggugurkannya, karena ia disyariatkan untuk menghindarkan madharat dari
sekutunya.
4.Syuf’ah berlaku bagi para sekutu sesuai kadar kepemilikan mereka. Siapa
yang berhak mendapatkan syuf’ah, maka ia mengambilnya dengan harga penjualannya
baik secara tempo maupun kontan.
5.Syuf’ah berlaku karena bagian yang berpindah dari seorang sekutu merupakan
jual beli yang tegas atau semakna dengannya. Oleh karena itu, tidak ada syuf’ah
pada sesuatu yang berpindah dari miliki sekutu tanpa ada jual beli, seperti
dihibahkan tanpa ganti, atau diwarisi atau diwasiati.
6.‘Aqaar (sesuatu yang tidak bisa dipindahkan) yang berpindah kepemilikan dengan
adanya jual beli harus bisa dibagi. Oleh karena itu, tidak ada syuf’ah pada
barang yang tidak bisa dibagi, seperti kamar mandi kecil, sumur, dan jalan.
7.Syuf’ah bisa dituntut segera setelah ia mengetahui sesuatu dijual. Jika
tidak dituntut sewaktu dijual, maka menjadi batal. Kecuali jika ia belum tahu,
maka tetap berlaku syuf’ahnya. Demikian pula masih berlaku, jika ia menundanya
karena adanya uzur, seperti tidak tahu hukumnya atau uzur lainnya (lihat pula
pembahasan syarat-syarat syuf’ah).
8.Objek syuf’ah itu tanah yang belum dibagi dan belum dibatasi, serta apa
yang ada di sana berupa pepohonan dan bangunan. Jika sudah dibagi, tetapi masih
ada sebagian perlengkapan yang disekutui antara beberapa tetangga, seperti
jalan, air, dan semisalnya, maka menurut pendapat yang paling shahih, syuf’ah
tersebut masih berlaku.
9.Si syafii’ harus mengambil semua yang dijual, tidak mengambil sebagian dan
meninggalkan sebagian. Yang demikian tidak lain untuk menghindarkan madharat
dari pembeli.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhi
(Syaikh Shalih Al Fauzan), Fiqh Muyassar, dll.
0 komentar:
Posting Komentar