Fiqih Shalat Sunah Rawatib Ashar, Maghrib, dan Isya

Minggu, 31 Januari 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫السنن الرواتب‬‎
Fiqih Shalat Sunah Rawatib Ashar, Maghrib, dan Isya
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan fiqh shalat sunah rawatib Ashar, Maghrib, dan Isya. Semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Keutamaan shalat sunah empat rakaat sebelum Ashar
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu aliahi wa sallam bersabda,
«رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ العَصْرِ أَرْبَعًا»
“Semoga Allah merahmati seorang yang shalat sebelum Ashar empat rakaat.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Abu Dawud, dan dihasankan oleh Al Albani)
Sebagian ulama berpendapat, bahwa shalat sunah empat rakaat sebelum shalat Ashar termasuk shalat sunah Rawatib yang mu’akkadah (ditekankan). Demikianlah pendapat Abul Khaththab Al Kalwadzani sebagaimana disebutkan dalam Al Mughni (2/125) dan pendapat Asy Syirazi salah seorang ulama madzhab Syafi’i sebagaimana dalam Al Muhadzdzab, sehingga melakukannya termasuk perkara yang sangat dianjurkan. Namun yang lain berpendapat, bahwa shalat sunah empat rakaat sebelum Ashar termasuk shalat sunah rawatib ghairul mu’akkadah (tidak ditekankan).
Pelaksanaan shalat sunah empat rakaat sebelum shalat Ashar
Adapun pelaksanaannya menurut Dr. Muhammad bin Umar Bazmul adalah empat rakaat sekaligus dengan dua kali tasyahhud dan mengucapkan salam di akhirnya.
Dari Ashim bin Dhamurah As Saluliy ia berkata, “Kami pernah bertanya kepada Ali tentang shalat sunah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di siang hari?” Lalu ia menjawab, “Kalian tidak akan sanggup melakukannya,” kami berkata, “Beritahukanlah kepada kami! Kami akan lakukan yang bisa kami lakukan.” Ali berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila selesai shalat Fajar, maka Beliau menahan diri sampai ketika matahari terbit dari sini –yakni dari arah timur- seperti di waktu Ashar ketika matahari belum tenggelam di barat, maka Beliau bangun dan shalat dua rakaat. Selanjutnya Beliau menangguhkan sampai ketika matahari dari sini (timur) masuk ke waktu Zhuhur, maka Beliau bangun dan shalat empat rakaat. Beliau melakukan empat rakaat sebelum shalat Zhuhur dan dua rakaat setelahnya, demikian pula empat rakaat sebelum shalat Ashar. Ketika itu, Beliau memisahkan antara setiap dua rakaat dengan mengucapkan salam kepada para malaikat muqarrabin (yang dekat dengan Allah), para nabi, dan orang-orang yang mengikutinya dari kalangan kaum muslimin dan mukminin.” Ali berkata, “Yang demikian enam belas rakaat shalat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di siang hari, namun sedikit sekali orang yang melakukannya secara rutin.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Albani. Dalam riwayat Nasa’i disebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat dua rakaat ketika matahari tergelincir, dan melakukan shalat empat rakaat sebelum pertengahan siang; Beliau menjadikan salam di akhirnya.”)
Imam At Tirmidzi berkata, “Hadits Ali adalah hadits hasan. Ishaq bin Ibrahim berpendapat agar shalat sunah sebelum shalat Ashar tidak dipisah (dengan salam), ia beralasan dengan hadits ini. Ishaq berkata, “Maksud memisahkan antara kedua rakaat dengan salam adalah dengan bertasyahhud.” Namun Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat, bahwa shalat yang dilakukan di malam dan siang hari adalah dua rakaat-dua rakaat; mereka berdua berpendapat agar pelaksanaan empat rakaat sebelum Ashar dipisah (dengan salam).”
Dr. Muhammad bin Umar Bazmul berkata, “Yang tampak kuat adalah pendapat Ishaq bin Ibrahim. Hal ini diperkuat oleh riwayat Nasa’i, “Beliau melakukan salam di akhirnya.”
Ia juga mengatakan, “(Pelaksanaan) shalat sunah rawatib ini mentakhshis keumuman hadits yang menyebutkan, “Shalat malam dan siang itu dua rakaat-dua rakaat.”
Shalat sunah Rawatib ghairul mu’akkadah
Shalat sunah sebelum Ashar juga boleh dilakukan dua rakaat. Hal ini termasuk shalat sunah rawatib namun ghairul mu’akkadah (tidak ditekankan), sebagaimana shalat sunah dua rakaat sebelum Maghrib dan sebelum Isya.
Dalilnya adalah hadits Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ
 “Antara dua azan (azan dan iqamat) ada shalat.”
Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali, kemudian bersabda, “Bagi siapa yang menghendaki.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Abdullah bin Az Zubair, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ صَلاَةٍ مَفْرُوْضَةٍ إِلاَّ وَ بَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ
“Tidak ada satu shalat fardhu pun melainkan sebelumnya ada shalat sunah dua rakaat.” (HR. Ibnu Hibban dan Thabrani, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5730).
Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat dua rakaat sebelum Maghrib.
Ibnu Abbas berkata, “Kami shalat dua rakaat menjelang matahari tenggelam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kami; namun Beliau tidak memerintahkan dan tidak melarang kami.” (HR. Muslim)
Al Hafizh berkata, “Semua dalil menunjukkan dianjurkannya meringankan shalat sunah dua rakaat tersebut sebagaimana shalat sunah sebelum Fajar.”
Shalat sunah rawatib setelah Maghrib
Shalat sunah rawatib setelah Maghrib berjumlah dua rakaat, dalilnya adalah hadits Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha yang menerangkan keutamaan shalat sunah rawatib dan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Demikian pula hadits Abdullah bin Syaqiq saat ia bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang shalat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia menjawab, “Beliau melakukan shalat di rumahku sebelum Zhuhur empat rakaat, kemudian keluar dan shalat mengimami manusia, lalu masuk ke rumah dan shalat dua rakaat. Beliau juga mengimami manusia shalat Maghrib, kemudian masuk ke rumah dan shalat dua rakaat. Beliau juga shalat Isya mengimami manusia, lalu masuk ke rumahku dan shalat dua rakaat…dst.” (HR. Muslim)
Dari hadits di atas kita mengetahui, bahwa Beliau biasa melakukan shalat sunah di rumahnya kecuali jika ada urusan mendadak, bahkan ada anjuran dari Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan shalat sunah setelah Maghrib di rumah.
Dari Mahmud bin Lubaid ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi Bani Abdul Asyhal dan shalat Maghrib mengimami mereka. Setelah salam Beliau bersabda,
ارْكَعُوا هَاتَيْنِ الرَّكْعَتَيْنِ فِي بُيُوتِكُمْ
“Kerjakanlah dua rakaat ini di rumah kalian.” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
Dari Ka’ab bin Ujrah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Maghrib di Masjid Bani Abdil Asyhal. Setelah Beliau shalat, maka orang-orang bangkit melakukan shalat sunah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِهَذِهِ الصَّلَاةِ فِي الْبُيُوتِ
 “Kerjakanlah shalat ini di rumah.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i, dishahihkan oleh Al Albani)
Kedua hadits di atas menunjukkan dianjurkannya pelaksanaan shalat sunah Ba’diyah Maghrib di rumah.
Bacaan pada shalat sunah ba’diyah (setelah) Maghrib
Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, “Aku tidak dapat menghitung berapa kali aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Qul yaa ayyuhal kafirun (surat Al Kafirun) dan Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlas) pada dua rakaat setelah shalat Maghrib dan dua rakaat sebelum Subuh. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, ia menghasankannya).
Shalat sunah rawatib setelah Isya
Shalat sunah rawatib setelah Maghrib berjumlah dua rakaat, dalilnya adalah hadits Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha yang menerangkan keutamaan shalat sunah rawatib, hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, hadits Abdullah bin Syaqiq yang telah disebutkan di atas. Demikian juga berdasarkan hadits Mughirah bin Sulaiman ia berkata, “Aku mendengar Ibnu Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan dua rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum Subuh.” (HR. Ahmad, dan dinyatakan shahih oleh Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
Anjuran memisahkan (mengadakan jeda) antara shalat fardhu dengan shalat sunah
Dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Ashar, lalu ada seorang yang berdiri shalat, dan diperhatikan oleh Umar, kemudian ia berkata, “Duduklah! Sesungguhnya binasanya Ahli Kitab adalah karena tidak adanya pemisah terhadap shalat mereka.” Mendengar hal itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ibnul Khaththab telah berbuat baik.” (HR. Ahmad dan dinyatakan isnadnya shahih oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Umar bin Atha bin Abul Khuwar, bahwa Nafi bin Jubair pernah mengutusnya menemui As Sa’ib –putera saudari (keponakan) Namir- untuk bertanya perihal shalat yang hendak dilakukannya kemudian dilihat oleh Mu’awiyah, maka ia berkata, “Ya. Aku pernah shalat Jum’at bersamanya di Al Maqshurah. Saat Imam selesai shalat, aku berdiri di tempatku dan shalat lagi. Ketika ia masuk, maka ia mengirim seseorang kepadaku untuk menyampaikan ucapannya, “Jangan kamu ulangi lagi! Jika kamu selesai shalat Jum’at, maka jangan sambung dengan shalat apa pun sehingga engkau berbicara atau keluar, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami demikian, yaitu agar shalat yang satu tidak disambung dengan shalat yang lain sampai kami berbicara atau keluar.” (HR. Muslim)
Baihaqi dalam As Sunanul Kubra (2/191) berkata, “Riwayat ini berlaku untuk shalat Jum’at dan shalat lainnya, karena isi kalimatnya, “agar shalat yang satu tidak disambung dengan shalat yang lain,” demikian pula berlaku bagi imam maupun makmum.”
Habib berkata, “Ibnu Umar tidak suka jika ada seseorang yang shalat sunah di tempat ia melakukan shalat fardhu sampai ia maju ke depan atau mundur, atau berbicara.”
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Bughyatul Mutathawwi’ fii Shalatit Tathawwu’ (Dr. M. Bin Umar Bazmul), Al Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz (Abdul Azhim bin Badawi), Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Tim Ahli Fiqh Saudi Arabia), Maktabah Syamilah versi 3.45, http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=204175 dll.

Syarah Kitab Tauhid (14)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الذبح لغير الله‬‎
Syarah Kitab Tauhid (14)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, yang kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
BAB : MENYEMBELIH BINATANG KARENA ALLAH TIDAK BOLEH DILAKUKAN DI TEMPAT PENYEMBELIHAN YANG BUKAN KARENA ALLAH
Firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ-لاَ تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُواْ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadharatan (kepada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka bersumpah, "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).--“Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalam mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri.” (QS. At Taubah: 107-108)
**********
Jika pada bab sebelumnya penyusun (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah) menerangkan hukum menyembelih untuk selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala, maka pada bab ini beliau menerangkan dilarangnya sarana yang bisa mengantarkan terjadi penyembelihan untuk selain Allah Azza wa Jalla, dan dilarangnya menyerupai orang-orang musyrik yang menyembelih untuk selain Allah, seperti untuk jin, kuburan, patung, dan berhala.
Dalam ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta’ala melarang shalat di masjid dhirar yang dibangun kaum munafik dengan maksud untuk menimpakan madharat (bahaya) kepada kaum mukmin dan memecah-belah kesatuan mereka sekaligus untuk kekafiran kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana mereka meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat di dalamnya. Sebelumnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mau memenuhi tawaran mereka (kaum munafik) karena Beliau belum mengetahui niat jahat mereka, namun setelah Allah turunkan ayat di atas, maka Beliau pun tahu niat jahat mereka, sehingga Allah melarang Beliau melakukan shalat di sana dan memerintahkan shalat di Masjid Quba atau masjid Nabawi yang memang dibangun atas dasar takwa.
Penulis berdalih dengan ayat di atas untuk menerangkan terlarangnya penyembelihan yang dilakukan karena Allah namun di tempat yang di sana dilakukan penyembelihan untuk selain-Nya; yakni sebagaimana masjid dhirar yang dibangun atas dasar maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dilarang melakukan shalat di sana meskipun niatnya Lillah (karena Allah), maka penyembelihan yang dilakukan karena Allah tidak boleh juga dilakukan di tempat yang di sana dilakukan penyembelihan untuk selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Pada ayat di atas juga, Allah Subhaanahu wa Ta’ala memuji orang-orang yang memakmurkan masjid Quba’, bahwa mereka ingin membersihkan diri mereka baik dari kotoran batin, yaitu syirk, maupun kotoran lahir, yaitu najis. Dan Allah menyukai orang-orang yang memiliki sifat ini.
Kesimpulan:
1.    Dilarangnya menyembelih binatang di tempat yang biasa dijadikan kaum musyrik sebagai penyembelihan untuk selain Allah.
2.    Anjuran shalat secara berjamaah.
3.    Menetapkan sifat mahabbah (cinta) bagi Allah sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya.
4.    Dorongan bersuci dari najis dan menyempurnakan wudhu.
5.    Disyariatkan menutup jalan yang mengantarkan kepada kemusyrikan.
**********
Dari Tsabit bin Dhahhak ia berkata, “Ada seorang yang bernadzar menyembelih unta di Buwanah, lalu ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau bertanya, “Apakah di sana terdapat salah satu berhala yang pernah disembah kaum Jahiliyah?” Para sahabat menjawab, “Tidak ada.” Beliau bertanya lagi, “Apakah di sana menjadi tempat perayaan hari raya mereka?” Para sahabat menjawab, “TIdak.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْفِ بِنَذْرِكَ، فَإِنَّهُ لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ
“Penuhilah nadzarmu, karena tidak boleh memenuhi nadzar yang di dalamnya terdapat kemaksiatan kepada Allah dan dalam hal yang tidak dimiliki anak cucu Adam.” (HR. Abu Dawud, dan isnadnya menurut syarat Bukhari dan Muslim)
**********
Tsabit bin Dhahhak bin Khalifah bin Tsa’labah bin Addiy Al Asyhali Al Khazrajiy Al Anshari adalah seorang sahabat yang masyhur. Ia hadir dalam Bai’atur Ridhwan, dan pernah dibonceng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat perang Khandaq, serta menjadi penunjuk jalan Beliau ke Hamra’ul Asad. Ia wafat pada tahun 64 H.
Nadzar secara istilah adalah mewajibakn suatu ibadah yang sebelumnya tidak wajib baginya secara syara’.
Buwanah adalah nama sebuah tempat di sebelah selatan kota Makkah, sebelum Yalamlam; atau anak bukit di belakang Yanbu’.
Dalam hadits di atas diterangkan, bahwa ada seorang yang bernadzar menyembelih unta di sebuah tempat, lalu ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; apakah boleh ia melakukannya atau tidak, kemudian Beliau menanyakan tempat pelaksanaan penyembelihan tersebut; apakah sebelumnya terdapat sesembahan kaum musyrik, atau kaum musyrik memuliakannya dan berkumpul di sana untuk merayakannya. Setelah Beliau diberitahukan bahwa di tempat itu tidak ada hal-hal demikian, maka Beliau menyuruh memenuhi nadzarnya. Selanjutnya Beliau menerangkan, bahwa nadzar tidak boleh dilakukan jika terdapat maksiat kepada Allah atau terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya. Contoh terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya adalah ketika seseorang bernadzar akan memerdekakan budak milik orang lain.
Hadits tersebut merupakan dalil yang tegas dilarangnya penyembelihan karena Allah namun di tempat yang terdapat berhala atau terdapat perayaan kaum musyrik.
Kesimpulan:
1.    Larangan melaksanakan nadzar di tempat yang terdapat berhala.
2.    Larangan melaksanakan nadzar di tempat yang terdapat perayaan kaum musyrik.
3.    Hendaknya seorang mufti bertanya lebih lanjut kepada penanya sebelum berfatwa.
4.    Syariat menutup jalan yang bisa mengantarkan kepada kemusyrikan.
5.    Penyembelihan yang dilakukan di tempat kaum musyrik menyembelih atau di tempat mereka mengadakan perayaan merupakan sebuah kemaksiatan.
6.    Nadzar yang mengandung maksiat tidak boleh dilaksanakan,
7.    Wajibnya menunaikan nadzar yang kosong dari maksiat dan pada milikinya.
8.    Nadzar merupakan ibadah, sehingga tidak boleh mengarahkannya kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
9.    Tidak menyerupai kaum musyrik dalam ibadah dan hari raya mereka.


Bersambung...
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Fathul Majid (Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh), Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Ishabah fii Tamyizish Shahabah (Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani), dll.

Fawaid Riyadhush Shalihin (11)

Senin, 25 Januari 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الصبر‬‎
Fawaid Riyadhush Shalihin (11)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut Fawaid (Kandungan Hadits) Riyadhush Shalihin yang banyak kami rujuk dari kitab Syarh Riyadhush Shalihin karya Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy, kitab Bahjatun Nazhirin karya Syaikh Salim bin Ied Al Hilaliy,  dan lainnya. Hadits-hadits di dalamnya banyak merujuk kepada kitab Riyadhush Shalihin, akan tetapi kami mengambil matannya dari kitab-kitab hadits induk. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ العُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا، وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ»  
وَقَالَ النَّبيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إنَّ عِظَمَ الجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ البَلاَءِ، وَإنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ»
(43) Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada seorang hamba, maka Allah menyegerakan hukuman baginya di dunia, dan apabila Allah menghendaki keburukan pada seorang hamba, maka Dia biarkan orang itu berada di atas dosanya sehingga ia datang memikul dosa-dosanya pada hari Kiamat.” (Hadits ini dinyatakan hasan karena syawahidnya oleh Syaikh Salim Al Hilaliy)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya besarnya balasan (pahala) sesuai dengan besarnya cobaan, dan sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kaum, maka Dia menguji mereka. Barang siapa yang ridha dengan ujian itu, maka ia akan mendapatkan keridhaan Allah, dan barang siapa yang keluh-kesah dan benci, maka ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya.” (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan.” Dan dihasankan oleh Al Albani, namun didhaifkan oleh Salim Al Hilaliy)
Fawaid:
1. Penyegeraan hukuman di dunia merupakan tanda bahwa Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, karena hal itu dapat menghapuskan dosa-dosanya.
2. Azab di akhirat lebih pedih. Oleh karena itu, orang yang tidak dikehendaki Allah memperoleh kebaikan, maka Dia tunda hukuman untuknya sampai pada hari Kiamat sehingga ia memperoleh kehinaan di hari itu.
3.  Manusia diberi ujian sesuai tingkat keimanan mereka.
4. Bersabar terhadap musibah dan penyakit dapat menghapuskan dosa-dosa.
5. Seorang mukmin seharusnya ridha terhadap ujian yang menimpanya, tidak keluh kesah dan jengkel terhadapnya.
6. Cobaan yang besar menghasilkan pahala yang besar.
7. Berita gembira bagi seorang mukmin yang mendapat musibah, bahwa musibah yang dialaminya merupakan tanda bahwa Allah mencintainya.
8. Dorongan agar seseorang bersabar dan ridha terhadap musibah yang dialaminya agar memperoleh ridha dari Allah Azza wa Jalla.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ ابْنٌ لِأَبِي طَلْحَةَ يَشْتَكِي، فَخَرَجَ أَبُو طَلْحَةَ، فَقُبِضَ الصَّبِيُّ، فَلَمَّا رَجَعَ أَبُو طَلْحَةَ، قَالَ: مَا فَعَلَ ابْنِي، قَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ: هُوَ أَسْكَنُ مَا كَانَ، فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ العَشَاءَ فَتَعَشَّى، ثُمَّ أَصَابَ مِنْهَا، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَتْ: وَارُوا الصَّبِيَّ، فَلَمَّا أَصْبَحَ أَبُو طَلْحَةَ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ، فَقَالَ: «أَعْرَسْتُمُ اللَّيْلَةَ؟» قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا» فَوَلَدَتْ غُلاَمًا، قَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ: احْفَظْهُ حَتَّى تَأْتِيَ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَتَى بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَرْسَلَتْ مَعَهُ بِتَمَرَاتٍ، فَأَخَذَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «أَمَعَهُ شَيْءٌ؟» قَالُوا: نَعَمْ، تَمَرَاتٌ، فَأَخَذَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَضَغَهَا، ثُمَّ أَخَذَ مِنْ فِيهِ، فَجَعَلَهَا فِي فِي الصَّبِيِّ وَحَنَّكَهُ بِهِ، وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللَّهِ (متفق عليه. وَفِي رِوَايَةٍ لِلبُخَارِيِّ: قَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ: فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ: فَرَأيْتُ تِسْعَةَ أوْلاَدٍ كُلُّهُمْ قَدْ قَرَؤُوا القُرْآنَ، يَعْنِي: مِنْ أوْلاَدِ عَبدِ الله الْمَوْلُوْدِ. وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: مَاتَ ابْنٌ لِأَبِي طَلْحَةَ، مِنْ أُمِّ سُلَيْمٍ، فَقَالَتْ لِأَهْلِهَا: لَا تُحَدِّثُوا أَبَا طَلْحَةَ بِابْنِهِ حَتَّى أَكُونَ أَنَا أُحَدِّثُهُ قَالَ: فَجَاءَ فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ عَشَاءً، فَأَكَلَ وَشَرِبَ، فَقَالَ: ثُمَّ تَصَنَّعَتْ لَهُ أَحْسَنَ مَا كَانَ تَصَنَّعُ قَبْلَ ذَلِكَ، فَوَقَعَ بِهَا، فَلَمَّا رَأَتْ أَنَّهُ قَدْ شَبِعَ وَأَصَابَ مِنْهَا، قَالَتْ: يَا أَبَا طَلْحَةَ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ قَوْمًا أَعَارُوا عَارِيَتَهُمْ أَهْلَ بَيْتٍ، فَطَلَبُوا عَارِيَتَهُمْ، أَلَهُمْ أَنْ يَمْنَعُوهُمْ؟ قَالَ: لَا، قَالَتْ: فَاحْتَسِبِ ابْنَكَ، قَالَ: فَغَضِبَ، وَقَالَ: تَرَكْتِنِي حَتَّى تَلَطَّخْتُ، ثُمَّ أَخْبَرْتِنِي بِابْنِي فَانْطَلَقَ حَتَّى أَتَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرَهُ بِمَا كَانَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «بَارَكَ اللهُ لَكُمَا فِي غَابِرِ لَيْلَتِكُمَا» قَالَ: فَحَمَلَتْ، قَالَ: فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ وَهِيَ مَعَهُ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا أَتَى الْمَدِينَةَ مِنْ سَفَرٍ، لَا يَطْرُقُهَا طُرُوقًا، فَدَنَوْا مِنَ الْمَدِينَةِ، فَضَرَبَهَا الْمَخَاضُ فَاحْتُبِسَ عَلَيْهَا أَبُو طَلْحَةَ، وَانْطَلَقَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: يَقُولُ أَبُو طَلْحَةَ: إِنَّكَ لَتَعْلَمُ، يَا رَبِّ إِنَّهُ يُعْجِبُنِي أَنْ أَخْرُجَ مَعَ رَسُولِكَ إِذَا خَرَجَ، وَأَدْخُلَ مَعَهُ إِذَا دَخَلَ، وَقَدِ احْتَبَسْتُ بِمَا تَرَى، قَالَ: تَقُولُ أُمُّ سُلَيْمٍ: يَا أَبَا طَلْحَةَ مَا أَجِدُ الَّذِي كُنْتُ أَجِدُ، انْطَلِقْ، فَانْطَلَقْنَا، قَالَ وَضَرَبَهَا الْمَخَاضُ حِينَ قَدِمَا، فَوَلَدَتْ غُلَامًا فَقَالَتْ لِي أُمِّي: يَا أَنَسُ لَا يُرْضِعُهُ أَحَدٌ حَتَّى تَغْدُوَ بِهِ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أَصْبَحَ احْتَمَلْتُهُ، فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ... وَذَكَرَ تَمَامَ الحَدِيثِ.
(44) Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu ia berkata, “Abu Thalhah mempunyai seorang putera yang sedang sakit. Ketika Abu Thalhah keluar rumah ternyata anaknya telah meninggal dunia. Saat Abu Thalhah kembali, ia berkata, “Bagaimana kabar puteraku?” Ummu Sulaim menjawab, “Dia dalam keadaan yang paling tenang.” Lalu istrinya menyiapkan makan malam, kemudian ia pun makan malam. Setelah itu, Abu Thalhah menggaulinya. Seusai menggaulinya, maka Ummu Sulaim berkata, “Makamkanlah anakmu.” Di pagi harinya, Abu Thalhah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukan kejadian itu, lalu Beliau bertanya, “Apakah semalam engkau menggauli istrimu?” Abu Thalhah menjawab, “Ya.” Beliau berdoa, “Ya Allah, berikanlah berkah kepada keduanya.” Selanjutnya Ummu Sulaim melahirkan anak laki-laki lagi. Abu Thalhah berkata kepadaku (Anas bin Malik), “Jagalah dia sampai engkau bawa ke hadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka dibawalah puteranya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dikirimkan bersamanya beberapa butir kurma, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendongnya dan bertanya, “Ada sesuatu yang dibawa?” Lalu dijawab, “Ada, yaitu beberapa butir kurma.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya dan mengunyahnya, lalu mengeluarkannya dan menaruhnya ke mulut si anak kemudian mengolesi langit-langit mulutnya dengannya dan Beliau menamainya Abdullah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat Bukhari disebutkan, “Ibnu Uyaynah berkata, “Salah seorang Anshar berkata, “Aku melihat sembilan anak, semuanya dapat membaca dan hapal Al Qur’an.” Yakni anak dari Abdullah yang lahir tersebut.
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Putera Abu Thalhah dan Ummu Sulaim meninggal dunia, lalu Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya, “Jangan sampaikan kepada Abu Thalhah berita kematian puteranya sampai saya yang akan menyampaikannya.” Lalu Abu Thalhah datang dan menyuguhkan makan malam untuknya, ia pun makan dan minum, lalu istrinya berhias sebaik-baiknya, sehingga Abu Thalhah menggaulinya. Saat istrinya mengetahui bahwa ia telah kenyang dan telah menggaulinya, maka Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana menurutmu jika ada sekumpulan orang yang memberikan pinjaman barang kepada sebuah keluarga   , lalu mereka hendak mengambil kembali pinjamannya, maka apakah keluarga itu berhak menolaknya?” Abu Thalhah menjawab, “Tidak berhak.”  Ummu Sulaim berkata, “Maka haraplah pahala atas kematian anakmu.” Abu Thalhah pun marah dan berkata, “Engkau biarkan aku (tidak mengetahui kematian anakku) sehingga aku mengotori tubuhku (dengan menggaulimu), kemudian engkau baru memberitahuku.” Ia pun pergi mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukan kejadian itu, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah memberimu berkah pada peristiwa yang terjadi di malam harimu.” Lalu istrinya hamil. Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat safar, sedangkan Ummu Sulaim ikut safar juga bersama suaminya. Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika tiba di Madinah dari safar, tidak mendatanginya di malam hari. Ketika mereka telah dekat dengan Madinah, tiba-tiba Ummu Sulaim merasakan sakit hendak melahirkan, sehingga membuat Abu Thalhah berhenti, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus berangkat, Abu Thalhah pun berkata, “Wahai Rabbi, sesungguhnya engkau mengetahui, bahwa aku senang keluar bepergian bersama Rasul-Mu ketika Beliau keluar dan senang pula bersamanya ketika Beliau masuk, sekarang aku terhalalang sebagaimana yang Engkau ketahui.” Tiba-tiba Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah! Aku tidak merasakan lagi rasa sakit yang tadi aku rasakan. Ayo berangkat!” Maka kami pun berangkat. Ketika sampai, barulah Ummu Sulaim merasakan sakit lagi hendak melahirkan, lalu lahirlah seorang anak laki-laki. Anas berkata, “Ibuku berkata kepadaku, “Wahai Anas, jangan biarkan ada seorang pun yang menyusuinya sampai engkau bawa ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ketika tiba pagi harinya, maka aku membawa anak itu ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam…dst.”
Fawaid:
1. Putera Abu Thalhah yang meninggal adalah Abu Umair yang pernah diajak bercanda oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Wahai Abu Umair, apa yang terjadi pada Nughair (burung kecil mainannya).” 
2. Keutamaan sabar dan menyerahkan urusan kepada Allah Azza wa Jalla, dan bahwa orang yang bersikap demikian akan mendapatkan ganti di dunia dan pahala di akhirat.
3. berhiasnya seorang istri kepada suami.
4. Seorang istri berusaha melakukan hal yang bermaslahat bagi suaminya dan melayaninya.
5. Dibolehkannya menggunakan sindiran jika diperlukan, dan bahwa hal tersebut tidak termasuk dusta, tentunya selama tidak membatalkan suatu hak dan membenarkan yang batil, serta mengandung kemungkinan secara bahasa.
6. Terkabulnya doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7. Barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.
8. Disyariatkan menghibur orang yang terkena musibah dan menenangkannya.
9. Keutamaan Ummu Sulaim dan kesabarannya. Bahkan ia yang menjadikan maharnya terhadap suaminya, yaitu Abu Thalhah saat suaminya melamarnya cukup dengan masuk ke dalam Islam. Ia juga hadir dalam perang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membantu  para mujahidin, semoga Allah meridhainya.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Tathriz Riyadh Ash Shalihin (Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy), Syarh Riyadh Ash Shalihin (Muhammad bin Shalih Al Utsaimin),  Bahjatun Nazhirin (Salim bin ’Ied Al Hilaliy), Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, dll.

Syarah Hadits Niat (3)

Minggu, 24 Januari 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫إنما الأعمال بالنيات‬‎
Syarah Hadits Niat (3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan syarah (penjelasan) hadits tentang niat. Semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Masalah fiqh yang berkaitan dengan niat[i]
1.        Ishtish-haabun niyyah (menempelnya niat)
Apa maksud istish-haabun niyyah? Jawab: “Ishthish-haab secara bahasa artinya menemani (mulaazamah), sedangkan menurut fuqaha adalah, “Menempelnya niat dalam suatu amal dari awal sampai selesai.” Istish-habun niyyah itu terbagi dua: Ishthish-hab dzikr dan Ishthish-hab hukm.
Ishthish-hab dzikr misalnya seorang yang beribadah tetap terus menghadirkan niatnya dari awal ibadahnya hingga selesai.
Lalu apakah hal ini wajib? Jawab, “Tidak. Tidak wajib menghadirkan niat dari awal sampai selesai karena akan membuat kesulitan orang yang beribadah, juga karena seseorang tidak mampu untuk tidak memikirkan hal lain ketika beribadah. Oleh karena itu, dianjurkan saja untuk menghadirkan niat dari awal sampai selesai namun tidak wajib.
Sedangkan ishthish-hab hukm yaitu seseorang berniat untuk memasuki suatu ibadah dan tidak memutuskannya (membatalkannya), atau mengerjakan hal yang bertentangan dengan yang diniatkannya, istish-hab hukum ini adalah syarat sahnya amal. Oleh karena itu, ia wajib melakukan hal itu dari awal sampai selesai (yakni tidak berniat melakukan ibadah yang lain). Misalnya seseorang ingin shalat, ketika ia bertakbir dan masuk ke dalam shalat, ia tidak boleh berniat untuk memutuskan (membatalkan) shalatnya, apabila ia berniat untuk memutuskan shalatnya maka batallah shalatnya itu. Contoh lain adalah seseorang yang berpuasa niatnya untuk beribadah kepada Allah Tabaraka wa Ta'aala, lalu ia niatkan untuk memutuskan puasanya, maka puasanya batal karena putusnya niat (tidak ishthish-hab hukm).
2.       Memutuskan niat dalam ibadah-ibadah berikut :
a.      Shalat.
Apabila seseorang berniat untuk keluar dari shalat dengan memutuskan niatnya (seperti dengan berniat melakukan hal yang lain) maka shalatnya batal sesuai kesepakatan ulama sebagaimana dinukil oleh As Suyuuthiy dan lain-lain.
b.      Puasa.
Apabila seseorang berniat keluar dari puasa maka batallah puasanya menurut pendapat yang rajih dari pendapat Ahli Ilmu dan pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama karena niat itu syarat dalam puasa secara keseluruhan. Oleh karena itu, apabila diputuskan di tengah-tengahnya  (dengan berniat buka) sehingga sisa puasanya tidak di atas niat maka maka batal puasanya itu. Jika batal sebagiannya maka seluruhnya (dari terbit fajar sampai tenggelam matahari) ikut batal.
c.       Nusuk (ibadah Hajji atau Umrah).
Apabila seseorang berniat keluar dari nusuknya setelah memulai maka ia tidak boleh keluar dari nusuknya kecuali setelah ditunaikan nusuknya itu atau dengan bertahallul karena ih-shaar (terhalang), inilah yang dipegang jumhur ulama dan sebagai pendapat yang rajih menurut kebanyakan Ahli Ilmu, berdasarkan dalil “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lillah” (artinya: sempurnakan hajji dan umrah karena Allah)[ii]. Asy Sya’biy dan Ibnu Zaid berkata, “Maksud ‘sempurnakanlah’ adalah sempurnakanlah hajji dan umrah setelah memulai masuk ke dalamnya (ihram), karena siapa saja yang sudah berihram untuk nusuk (naik hajji atau umrah) ia wajib meneruskan dan tidak boleh dibatalkan.”
3.      Qalbun niyyah (mengubah niat dari ibadah yang satu ke ibadah yang lain).
Kapankah seseorang boleh qalbun niyyah?
Jawab: Seseorang boleh qalbun niyyah karena ada maslahat syar’i. Misalnya;
a.      Dalam shalat
1)           Seseorang bertakbir dalam shalat fardhu dengan perkiraan bahwa waktunya sudah masuk, lalu ternyata belum masuk, maka ia boleh mengubah niatnya dari shalat fardhu ke shalat sunnah.
2)           Seseorang bertakbir untuk shalat sendiri, kemudian ada shalat jamaah yang ditegakkan, maka menurut pendapat yang shahih dari pendapat ahli ilmu adalah ia mengubah niat shalat fardhu sendiri menjadi shalat sunnah, lalu ia menyempurnakan shalat sunnahnya itu, kemudian ikut shalat berjamaah.
b.      Dalam hajji
Seseorang berihram (berniat) hajji ifrad (hajji saja) atau qiran (menggabung antara hajji dengan umrah) namun tidak membawa hady (binatang sembelihan), iapun kemudian mengubah niatnya ke hajji tamattu’ maka ini boleh bahkan mustahab (dianjurkan), karena tamattu’ (mendahulukan umrah baru hajji) lebih utama daripada hajji qiran.
4.      Hukum-hukum yang berkaitan dengan niat menjadi imam dan makmum
a.      Hukum niat menjadi imam
Pendapat yang rajih dan shahih dari pendapat Ahli Ilmu adalah bahwa niat menjadi imam itu bukanlah syarat sah shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah. Misalnya seorang shalat zhuhur sendiri lalu datang orang lain ikut shalat bersamanya sebagai ma’mum maka shalatnya insya Allah adalah sah. Contoh yang lain adalah seorang shalat sunnah lalu ada orang lain yang ikut shalat bersamanya, maka boleh bagi orang lain untuk berma’mum kepadanya dan ikut shalat bersamanya meskipun ia berniat di awal shalatnya sendiri.
b.      Lalu apa hukum berniat menjadi ma’mum? Jawab: Imam madzhab yang empat sepakat bahwa bagi seseorang kalau hendak berma’mum harus berniat sebelum memasuki shalat.
Mengapa ma’mum harus berniat berma’mum sebelum memasuki shalat bersama imam? Jawabnya, “Karena berniat untuk mengikuti adalah perbuatan lebih dari niat shalat sendiri, perbuatan lebih itu adalah mutaaba’ah (mengikuti imam), juga karena ma’mum tidak melakukan perbuatan shalat kecuali setelah dipimpin imam, oleh karenanya butuh berniat.”
c.       Apa hukum orang yang melakukan shalat fardhu berma’mum kepada orang yang melakukan shalat sunnah? Jawab: Hukumnya adalah boleh, sebagaimana Mu’adz bin Jabal setelah shalat Isya di belakang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu ia shalat lagi mengimami kaumnya (sebagaimana dalam riwayat Muslim), shalat yang kedua yang dilakukan Mu’adz adalah sunnah sedangkan kaumnya melakukan shalat fardhu di belakangnya.
d.      Orang yang shalat fardhu bermakmum di belakang orang yang shalat fardhu.
Apabila seorang shalat fardhu bermakmum kepada orang yang shalat fardhu, maka makmum yang shalat fardhu di belakangnya ada tiga keadaan :
1.      Zhahir dan bathin keduanya (imam dan makmum) sama.
2.      Zhahir keduanya sama (seperti gerakannya) sedangkan bathin keduanya berbeda.
3.      Zhahir dan bathinnya berbeda.
Zhahir di sini maksudnya adalah hai-ah/sifat (praktek atau gerakan shalat), sedangkan bathin maksudnya adalah niatnya.
Contoh no. 1 adalah imam shalat ‘Ashar dan makmum juga shalat ‘Ashar maka keduanya; zhahir dan bathinnya sama.
Contoh no. 2 adalah imam shalat ‘Ashar sedangkan makmum shalat Zhuhur, ini maksud zhahirnya sama namun bathin (niatnya) berbeda.
Contoh no. 3 imam shalat ‘Isya sedangkan makmum shalat Maghrib, inilah yang dimaksud berbeda zhahir dan bathin.
Contoh no. 1 sudah sama-sama kita ketahui hukumnya dengan jelas, lalu bagaimana dengan no. 2 dan 3?
Jawab: No. 2 dan 3 ini ada ikhtilaf di kalangan Ahli Ilmu, yang shahih dan rajih di antara pendapat itu adalah untuk no. 2 itu boleh dilakukan meskipun imam dan makmum berbeda bathinnya (niatnya) berdasarkan hadits yang lalu. Adapun no. 3 tidak boleh dilakukan karena imam itu dijadikan untuk diikuti.
Namun Syaikh Ibnu Baz dalam masalah ini berpendapat ketika ia ditanya sbb.[iii]:
“Terkadang ketika menjama’ antara  Maghrib dan ‘Isya karena hujan, ada sebagian jamaah yang hadir (terlambat). Ketika itu imam melakukan shalat ‘Isya, orang-orang itu (yang datang terlambat) langsung masuk ke dalam shalat bersama imam dengan mengira bahwa ia (imam) shalat Maghrib, lalu apa sikap yang harus mereka lakukan?”
Ia menjawab, “Mereka harus duduk setelah rakaat ketiga (tidak bangkit bersama imam), membaca tasyahhud dan doa lalu melakukan salam bersama imam[iv]. Kemudian mereka melakukan shalat ‘Isya setelahnya untuk mencapai keutamaan jamaah dan mengerjakan shalat secara tertib dimana hal itu wajib…dst.”.
e.      Shalat sunat dengan niat lebih dari satu hukumnya boleh, misalnya seseorang shalat sunat dengan niat shalat sunat wudhu’, shalat tahiyyatul masjid, dan shalat sunat rawatib Zhuhur, maka tidak mengapa, namun lebih utama dipisah. Adapun untuk shalat fardhu, maka tidak bisa sambil berniat shalat sunat.
f.       Shalat orang yang mukim di belakang musafir, apa hukumnya? Jawab: “Para fuqaha sepakat bolehnya orang yang mukim berma’mum kepada yang musafir sebagaimana dalam hadits bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bila datang ke Makkah, Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dengan orang-orang sebanyak 2 rak’at (diqashar), setelah selesai Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَهْلَ مَكَّةَ أَتِمُّوا صَلَاتَكُمْ فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ * (مالك)
“Wahai penduduk Makkah, sempurnakan shalat kalian karena kami orang yang sedang safar.” (HR. Malik)
Catatan: Seorang musafir jika sebagai imam mengimami orang-orang yang mukim hendaknya setelah shalat memberitahukan kepada ma’mumnya agar menyempurnakan shalatnya.
g.      Apa hukum shalat orang musafir di belakang orang yang mukim?
Jawab, “Para fuqaha sepakat bolehnya musafir bermakmum kepada yang mukim, caranya si musafir ikut shalat 4 rakaat dengan yang mukim, karena makmum diperintahkan mengikuti imam.” Hal ini sebagaimana dalam riwayat Ahmad bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya oleh Musa bin Salamah,
إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعًا وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ قَالَ تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ * (احمد)
“Kami jika bersama kamu melakukan shalat empat rakaat dan apabila kami pulang ke rumah, kami melakukan dua rakaat?” Ibnu Abbas berkata, “Itu adalah Sunnah Abil Qaasim (sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam).” (Diriwayatkan oleh Ahmad)
Wallahu a'lam wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Makbatah Syamilah versi 3.45, Mausu'ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur'ani was Sunnah), Untaian Mutiara Hadits (Penulis), dll.


[i] Pembahasan ini banyak merujuk kepada kutaib "Mabaahits fin niyyah" oleh Syaikh Shalih bin Muhammad Al 'Ulyawiy.
[ii] QS. Al Baqarah : 196
[iii] Fatawa muhimmah tata’allaq bish shalaah hal. 96.
[iv] Mungkin Syaikh Ibnu Baz mengqiaskan dengan shalat khauf –wallahu a’lam-..
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger