بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqih Jihad (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul ‘aalamin, shalawat dan
salam semoga terlimpah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kepada
keluarganya, sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat,
amma ba’du:
Berikut ini merupakan fiqh jihad agar seseorang dapat
mengetahui hakikat jihad yang sesungguhnya dalam Islam. Semoga Allah menjadikan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
A. Ta’rif (definisi) jihad
Jihad secara bahasa artinya mengerahkan kemampuannya.
Sedangkan secara istilah, jihad adalah mengerahkan kemampuan untuk memerangi
orang-orang kafir dan menolak gangguan
mereka.
B. Keutamaan jihad dan hikmahnya
Jihad adalah puncak Islam sebagaimana yang disebutkan
oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Wa dzirwatu
sanamihil jihaadu fii sabilillah,” (artinya: Dan puncaknya adalah jihad fii
sabilillah) (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hasan shahih,” Ahmad dalam
Musnadnya, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi
no. 2110)
Jihad dinamakan puncak Islam karena dengannya Islam
menjadi tinggi dan jaya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala melebihkan orang-orang
yang berjihad di jalan-Nya dan menjanjikan surga untuk mereka. Ayat-ayat Al
Qur’an dan hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan jihad dan
orang-orang yang berjihad cukup banyak.
Adapun hikmah disyariatkan jihad adalah karena maksud
dan tujuan yang mulia dan agung, yaitu:
1.
Membebaskan manusia dari
penyembahan kepada makhluk menuju penyembahan kepada Allah Al Khaliq. Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman:
öNèdqè=ÏG»s%ur
4Ó®Lym
w cqä3s?
×puZ÷GÏù
tbqà6tur
ß`Ïe$!$#
¼ã&#à2
¬! 4
“Dan perangilah mereka,
agar tidak ada fitnah dan agar agama itu semata-mata untuk Allah.” (Al Anfaal: 39)
2.
Menyingkirkan kezaliman dan
mengembalikan hak kepada pemiliknya, lihat Al Hajj: 39.
3.
Menghinakan orang-orang kafir dan
membalas tindakan jahat mereka kepada kaum muslimin, lihat At Taubah: 14.
C. Hukum jihad
Jihad dalam arti khusus, yakni berjihad melawan
orang-orang kafir hukumnya fardhu kifayah; jika telah ada yang melakukannya,
maka bagi yang lain yang tidak melakukannya tidak berdosa, dan bagi yang lain
itu hukumnya sunat. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang
tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang
berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan
orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk
satu derajat. Kepada masing-masing mereka, Allah menjanjikan pahala yang baik
(surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk
dengan pahala yang besar,” (Terj. An
Nisaa’: 95)
Ayat ini
menunjukkan bahwa jihad fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain. Kalau seandainya
jihad itu fardhu ‘ain, maka orang-orang yang duduk itu tentu mendapatkan
ancaman. Dalil lain yang menunjukkan bahwa jihad adalah fardhu kifayah adalah
di surah At Taubah: 122.
Disyaratkan dalam
berjihad kaum muslimin memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berjihad melawan
musuh-musuh mereka. Jika mereka tidak memiliki kekuatan atau kemampuan, maka
gugurlah hal itu dari mereka sebagaimana perkara wajib lainnya pun gugur ketika
tidak memiliki kemampuan.
Ibnul Qayyim menerangkan
beberapa tahapan jihad di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
sebagai berikut:
Tahapan pertama,
dilarang, yaitu ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum muslimin di
Mekah, mereka diperintahkan untuk menahan diri, dan tetap mendirikan shalat dan
menunaikan zakat. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Tidakkah kamu
perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, "Tahanlah tanganmu
(dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!" (Terj.
An NIsaa’: 77)
Larangan ini adalah
karena kaum muslimin tidak sanggup, tidak memiliki negeri maupun kekuatan. Oleh
karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan Nabi-Nya bersabar,
memaafkan dan menunggu sampai tiba saatnya. Orang yang berperang pada tahapan
ini sama saja telah bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya, karena akibat dari
peperangan yang dilakukannya pada tahapan ini berdampak bahaya bagi kaum
muslimin dan bagi dakwah, dan karena kaum kafir akan menguasai kaum muslimin.
Tahapan kedua,
ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hijrah ke Madinah dan telah tegak
Negara Islam, maka diizinkan bagi Beliau berperang namun belum diperintahkan,
lihat surah Al Hajj: 39-40.
Tahapan ketiga,
diperintahkan memerangi orang yang memerangi dan menahan diri terhadap orang
yang tidak memerangi. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui
batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.” (Terj. Al Baqarah: 190)
Ini dinamakan juga
dengan perang daf’ (membela diri).
Tahapan keempat,
ketika kaum muslimin kuat dan memiliki kekuatan, demikian pula Islam memiliki
Negara, maka mereka diperintahkan berperang secara mutlak. Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman:
“Apabila sudah habis
bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu
jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah ditempat
pengintaian.” (At Taubah: 5)
“Dan perangilah
mereka agar tidak ada fitnah dan agar agama itu semata-mata untuk Allah.”
(Terj. Al Anfaal: 39)
Maka Allah Subhaanahu
wa Ta'aala memerintahkan perang secara mutlak. Ketika mereka telah
bersiap-siap, telah memiliki kekuatan dan persiapan, maka Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam melakukan peperangan, perang Badar, perang Uhud, Khandaq,
dsb. sampai tiba penaklukkan (Mekah), dan manusia masuk ke dalam agama Allah
secara berbondong-bondong, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
wafat, lalu setelahnya terjadi perkara murtad, maka Abu Bakar memerangi mereka.
Setelah selesai memerangi mereka, ia (Abu Bakar) mulai berjihad melawan orang-orang
kafir, ia pun membuat pasukan untuk memerangi Persia dan Romawi, lalu ia pun
wafat, kemudian digantikan oleh Umar radhiyallahu 'anhu, ia pun meneruskan
penaklukkan sehingga berhasil menaklukkan kerajaan Kisra dan Kaisar serta
berhasil menyebarkan agama, dan mereka (kaum muslimin) berhasil menguasai semua
penjuru, baik bagian timur maupun barat, inilah perang dalam Islam.” (Lihat Ta’liqat
Mukhtasharah ‘alaa Matnil ‘Aqidah Ath Thahawiyyah oleh Syaikh Shalih Al
Fauzan).
D. Kapankah
jihad menjadi fardhu ‘ain?
Ada beberapa keadaan
yang di sana
jihad menjadi fardhu ‘ain, yaitu:
Pertama, jika musuh
menyerang negeri kaum muslimin dan menempatinya atau mengepungnya, maka ketika
itu wajib bagi semua individu muslim memerangi mereka dan menolak gangguan
mereka.
Kedua, jika ia menghadiri
peperangan, yaitu ketika bertemu dua pasukan, maka ketika itu jihad menjadi
fardhu ‘ain, dan bagi yang hadir itu diharamkan melarikan diri dari peperangan.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Wahai
orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir
yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).” (Terj. Al Anfaal: 15)
Tetapi
dikecualikan dua keadaan berikut:
a. Berbelok untuk siasat perang agar
penyerangan bisa lebih kuat.
b. Bergabung dengan pasukan baru
kaum muslimin agar lebih kuat.
Ketiga, ketika imam menentukan orang-orangnya dan
ia meminta mereka berangkat berjihad, lihat At Taubah: 38-39.
Keempat, jika ia dibutuhkan untuknya, maka ketika
ini jihad menjadi wajib ‘ain baginya.
E. Syarat
Jihad
Ada tujuh syarat untuk wajibnya jihad; yaitu beragama
Islam, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, memiliki kemampuan baik fisik
maupun harta, dan selamat dari sakit dan bahaya.
Oleh karena
itu, jihad tidak wajib bagi orang kafir, karena jihad merupakan ibadah,
sedangkan ibadah tidak wajib atasnya dan tidak sah darinya, dan lagi karena
tidak ada dalam dirinya keikhlasan, amanah, dan ketaatan, sehingga tidak
diizinkan keluar bersama pasukan kaum muslimin. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam kepada laki-laki musyrik yang mengikuti Beliau
dalam perang Badar, “Apakah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?” Ia
menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda,
ارْجِعْ فَلَنْ
أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ
“Pulanglah,
aku tidak akan meminta bantuan dengan orang musyrik[i].”
(HR. Muslim)
Demikian
pula jihad tidak wajib bagi anak kecil yang belum baligh, karena ia belum
terkena beban. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa
ia pernah menawarkan dirinya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
pada perang Uhud, sedangkan ketika itu ia berusia 14 tahun, maka Beliau tidak
mengizinkannya berperang (HR. Bukhari dan Muslim).
Jihad juga
tidak wajib bagi orang gila, karena diangkat pena darinya dan tidak termasuk
orang yang menerima beban agama.
Jihad juga
tidak wajib bagi budak, karena ia dimiliki tuannya, dan tidak wajib pula bagi
wanita berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ قَالَ نَعَمْ
عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لَا قِتَالَ فِيهِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
“Wahai
Rasulullah, apakah wanita wajib berjihad?” Beliau menjawab, “Ya, mereka wajib
berjihad yang tidak ada peperangannya, yaitu haji dan umrah.” (HR. Ibnu Majah,
Baihaqi dan lainnya, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ no.
1185)
Jihad juga
tidak wajib bagi yang tidak mampu, yaitu orang yang tidak mampu membawa senjata
karena lemah atau sudah tua, demikian juga bagi orang fakir yang tidak
mendapatkan harta untuk mengadakan perjalanan kepadanya, apalagi untuk menafkahi
keluarganya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Tidak ada
dosa (karena tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang
yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka
nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada
jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,”(Terj. At
Taubah: 91)
Jihad juga
tidak wajib bagi orang yang terkena bahaya atau penyakit atau lainnya di antara
uzur yang menjadikan seseorang tidak wajib berjihad, karena kelemahan menafikan
kewajiban. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Tidak ada
dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang
sakit (apabila tidak ikut berperang).”(Terj. Al
Fat-h: 17)
F. Orang-orang
yang tidak wajib berjihad
Berikut ini
beberapa golongan orang yang tidak wajib berjihad:
1. Orang gila
2. Anak-anak
3. Wanita
4. Budak. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
لِلْعَبْدِ الْمَمْلُوكِ
الصَّالِحِ أَجْرَانِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَالْحَجُّ وَبِرُّ أُمِّي لَأَحْبَبْتُ أَنْ أَمُوتَ وَأَنَا مَمْلُوكٌ
“Untuk budak
yang saleh mendapatkan dua pahala.” Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, kalau
bukan karena jihad fii sabilillah dan berhaji serta berbakti kepada ibuku,
tentu aku suka jika aku mati dalam keadaan sebagai budak.” (HR. Bukhari.
Kata-kata “Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya…dst” menurut pendapat
yang sahih adalah ucapan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
5. Orang yang lemah fisiknya, kurang
hartanya, sakit, dan pada anggota badannya cacat seperti buta dan pincang yang
parah.
6. Orang yang tidak mendapatkan izin
kedua orang tua atau salah satunya jika jihadnya sunat. Hal ini berdasarkan
hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhuma, bahwa ada seorang yang datang
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meminta izin kepada Beliau untuk
berjihad, maka Beliau bersabda, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Ia
menjawab, “Ya.” Maka Beliau bersabda, “Maka kepada keduanya hendaknya kamu
berjihad (bersungguh-sungguh dalam berbakti).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tetapi jika
jihadnya fardhu ‘ain, maka orang tua tidak berhak menghalangi dan si anak tidak
perlu meminta izin.
7. Orang yang berhutang jika pemberi
pinjaman tidak mengizinkan, sedangkan jihadnya adalah sunat. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الْقَتْلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُكَفِّرُ كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا
الدَّيْنَ
“Terbunuh di jalan Allah
menghapuskan segala sesuatu selain hutang.” (HR. Muslim)
Tetapi jika jihadnya fardhu ‘ain, maka tidak
perlu izin kepada pemberi pinjaman.
8. Ulama yang tidak ada di negerinya
selain dia, karena jika ia terbunuh, tentu manusia akan kehilangan, karena
tidak mungkin ada yang dapat menggantikan posisinya. Jika memang tidak
ditemukan orang yang lebih fakih daripadanya, maka gugur jihad baginya karena
melihat kebutuhan kaum muslimin kepadanya.
Wallahu
a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa
man waalaah.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Fiqhul Muyassar,
Subulus Salam, Nailul Awthar, Ta’liiqat Mukhtasharah ‘alaa Matnil ‘Aqiidah As
Salafiyyah (Syaikh Shalih Al Fauzan) dll.
[i] Penyusun
Subulussalam berkata, “Hadits tersebut di antara dalil yang dipakai orang yang
berpendapat tidak bolehnya meminta bantuan dengan kaum musyrik dalam perang.
Ini merupakan pendapat segolongan Ahli Ilmu, tetapi ulama madzhab Hadawi, Abu
Hanifah dan kawan-kawannya berpendapat boleh, alasannya kata mereka karena Beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meminta bantuan dengan Shafwan bin Umayyah
pada perang Hunain, dan meminta bantuan kepada Yahudi Bani Qainuqa’ dan memberi
bagian (harta) untuk mereka (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al Maraasil, dan
diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Az Zuhriy secara mursal, tetapi hadits-hadits
mursal Az Zuhriy adalah dha’if. Adz Dzahabiy berkata, Karena ia (Az Zuhri)
banyak keliru, oleh karena itu pada mursalnya terdapat mirip tadlis, namun
Baihaqi menshahihkan hadits Abu Humaid As Sa’idiy, bahwa Beliau menolak mereka.
Mushannif (Al Hafizh Ibnu Hajar) berkata, “Dijama’ (dipadukan) antara beberapa
riwayat, bahwa yang Beliau tolak pada perang Badar itu karena Beliau berfirasat
bahwa orang tersebut senang dengan Islam sehingga Beliau tolak dengan harapan
ia masuk Islam, ternyata firasat Beliau benar, atau karena meminta bantuan
dengan orang kafir pada awalnya dilarang, lalu Beliau memberikan keringanan
padanya, dan ini lebih dekat (kepada kebenaran),” dan Beliau telah meminta
bantuan pada perang Hunain dengan sekumpulan kaum musyrik, Beliau melunakkan
(hati) mereka dengan ghanimah. Namun ulama madzhab Hadawi mensyaratkan bahwa
bersamanya (imam) harus ada kaum muslimin sehingga ia (imam) memberlakukan
keputusan hanya bersama mereka (kaum muslimin). Dalam Syarh Muslim disebutkan,
bahwa Imam Syafi’i berkata, “Jika orang kafir itu baik pandangannya terhadap
kaum muslimin dan kebutuhan menghendaki untuk meminta bantuan kepadanya, maka
dilakukan. Jika tidak, maka makruh.” Dan diperbolehkan meminta bantuan dengan
orang munafik berdasarkan ijma’ karena Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam
meminta bantuan dengan Abdullah bin Ubay dan kawan-kawannya.”
Penyusun Nailul Awthar berkata, “Wal
hasil, bahwa zhahir dari dalil-dalil adalah tidak bolehnya meminta bantuan
dengan orang musyrik secara mutlak.”
0 komentar:
Posting Komentar