بسم
الله الرحمن الرحيم
Bagaimana Menerjemahkan Bahasa Arab Dengan Baik?
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan
tentang bagaimana menerjemahkan bahasa Arab dengan baik, semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
amin.
Ta’rif (Definisi) ‘Terjemah’
Terjemah pada umumnya
diartikan dengan menerangkan kata atau kalimat berbahasa asing
ke dalam bahasa yang biasa digunakan. Bisa juga diartikan dengan mengalih-bahasankan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain.
Macam-Macam Terjemah
Terjemah terbagi ke
dalam tiga macam:
Pertama, terjemah interbahasa.
Disebut juga siyaghat bi alfazhin ukhra
(mengungkapkan sebuah kata atau kalimat dengan kata-kata berbeda dalam
bahasa yang sama). Contoh: kata ‘ لَزِمَ ‘ diartikan dengan ‘
ثَبَتَ وَدَامَ ‘ (artinya: tetap).
Kedua, terjemah antar bahasa. Disebut juga sebagai terjemah hakiki. Contoh penerjemahan kalimat
berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia:
كَتَبَ
أَحْمَدُ الرِّسَالَةَ
Artinya:
Ahmad menulis surat.
Ketiga, terjemah antar simbol. Misalnya
menerjemahkan kata ‘kepala’, ‘mata’ atau ‘pedang’ dengan menyuguhkan gambar-gambar
kepala, mata, atau pedang.
Pembagian Terjemah Antar
Bahasa
Pada
prakteknya, penerjemahan antar bahasa, seperti dari bahasa Arab ke dalam bahasa
Indonesia terbagi ke dalam beberapa macam:
Pertama, tarjamah harfiyyah atau terjemah
kata-perkata. Terjemah ini biasa digunakan untuk pemula yang baru belajar
bahasa Arab agar ia dapat mengetahui arti sebuah kata dan menambah
perbendaharaan kata.
Hanyasaja
perlu diketahui, bahwa susunan bahasa Arab dengan bahasa Indonesia berbeda,
sehingga jika disusun menjadi sebuah kalimat menjadi tidak enak dibaca dan
didengar.
Biasanya
urutan kata dalam sebuah kalimat berbahasa Indonesia terdiri dari Subjek +
Predikat + Objek, akan tetapi susunan kalimat berbahasa Arab biasanya terdiri
(diawali) dari Fi’il (Predikat) + Subjek (Fa’il) + Maf’ul bih (Objek), yakni
kata kerja lebih didahulukan daripada fa’il (pelaku).
Kedua, tarjamah ma’nawiyah. Yang dijadikan
perhatian dalam terjemah ini adalah maksud atau makna (inti) dari suatu
kalimat.
Ketiga, tarjamah ibda’iyah (terjemah kreatif). Ciri terjemah ini
adalah, bahwa kalimat terjemahannya tidak tampak seperti dari bahasa lain, enak
dibaca dan didengar, menarik pembaca, mengandung sastra, dsb.
Contoh:
وَقُمْتُ أَذْرُعُ
الشُّرْفَةَ جِيْئَةً وَذُهُوْبًا, وَالرّسَالَةُ فِي يَمِيْنِي وَقَدْ هَاجَتْ
فِي تَفْسِي عَاطّفَةُ الذِّكْرَى لِأَيَّامِ رِقَاقٍ, قَضَيْتُهَا نَاعِمَ الْبَال
خَلِيَّ الْفُؤَادِ وَرَأَيْتُ إِلَى الرِّسَالَةَ فَوَقَعَتْ عَيْنِيْ عَلَى قَوْلِ
الصَّدِيْقِ "إِنَّنَا مُقْبِلُوْنَ عَلَى أَيَّامِ طُمَأْنيْنَة وَأَمَانٍ
Aku
berjalan mondar-mandir di beranda. Surat itu kugenggam dalam tanganku,
sementara dalam hatiku bergejolak emosi kenangan hari-hari indah yang
kulewatkan dengan hati riang dan tanpa beban. Kupandangi surat itu, dan
terbacalah kata-kata sang kawan, “Kami sedang menyongsong hari ketenangan dan
kedamaian.”
Keempat, tarjamah bit tasharruf, artinya terjemah
dengan adanya perubahan atau penyesuaian, dimana terkadang maksudnya agar lebih
mudah dipahami, atau hendak mengambil point pentingnya saja, atau karena hal
lain.
Kelima, tarjamah tafsiriyyah.
Maksudnya terjemah yang juga merupakan tafsir dan penjelas terhadap kalimat asing tersebut.
Dalam terjemah ini tidak diperhatikan kata-perkata, bahkan perhatiannya lebih
tertuju kepada memperjelas maksud teks, sehingga tidak meninggalkan pertanyaan ‘apa maksudnya?’ di
kalangan pembaca.
Hal yang perlu
diperhatikan dalam menerjemah
Ada dua hal penting yang
perlu diperhatikan oleh para penerjemah, yaitu:
Pertama, karya terjemahan harus
mampu mengungkapkan makna yang sebenarnya dari teks asli (mengungkapkan maksud
penulis).
Kedua, sedapat mungkin, hasil
terjemahan harus tetap menjaga keaslian gaya bahasa teks aslinya (memperhatikan
kelembutan atau ketegasan, sastra, ciri khas penulis dalam mengungkapkan, dsb.).
Modal Yang Perlu
Dimiliki Dalam Menerjemahkan
Ada
beberapa modal yang perlu dimiliki dalam menerjemahkan, di antaranya:
1.
Menguasai bahasa asli (yang nantinya akan diterjemahkan).
2.
Menguasai tata bahasa. Misalnya dalam bahasa Arab, tata bahasanya adalah Nahwu
dan Sharaf.
Lebih baik lagi menguasai ilmu sastra atau Balaghah.
3. Menguasai
bahasa yang hendak diterjemahkan kepadanya (bahasa target). Demikian pula menguasai tata bahasanya. Misalnya kita hendak menerjemahkan teks berbahasa Arab ke
bahasa Indonesia, maka kita harus menguasai tata bahasa Idonesia, seperti mengetahui
Ejaan Yang Disesuaikan (EYD) atau ejaan yang berlaku, penyusunan kalimat yang
benar, penggunaan tanda baca, dsb.
4. Mampu memilih kata dan
menggunakan kalimat yang memperjelas maksudnya. Hal itu, karena maksud dari
penerjemahan adalah menerangkan kata atau kalimat; jangan sampai membingungkan pembaca.
5.
Melihat contoh-contoh hasil terjemah orang lain.
Langkah-Langkah
Menerjemahkan Yang Baik
Berikut langkah-langkah
dalam menerjemahkan yang baik:
1. Memahami seluruh isi
teks atau buku yang hendak diterjemahkan agar mendapatkan gambaran umum atau
pesannya.
2. Tidak menggunakan
tarjamah harfiyyah atau kata-perkata, karena berbeda susunan bahasa lain dengan
susunan bahasa kita.
3. Memahami maksud ungkapan-ungkapan tertentu, misalnya kalimat:
‘ يَا فَتَّاحُ يَا مَطْلُوْبُ ’ artinya:
pagi-pagi sudah membawa persoalan.
‘ قَتَلَ الْوَقْتَ ’ artinya: membuang-buang waktu.
‘ سَبَقَ
السَّيْفُ الْعَذَلَ ’ artinya: Nasi sudah menjadi bubur.
4.
Mengerti suasana hati penulisnya atau semangat bahasanya.
5. Melakukan
amanah ilmiyyah, yakni menerjemahkan apa adanya, tanpa memberikan
tambahan. Jika kita hendak memberikan catatan, maka kita harus menunjukkan
bahwa itu tambahan dari kita.
6. Menguasai
beberapa cabang atau disiplin ilmu, terutama jika buku yang hendak kita
terjemahkan berkenaan dengan suatu cabang atau disiplin ilmu, maka kita harus
memahami istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu tersebut, agar kita
dapat menerjemahkan dan menerangkan istilah-istilah yang digunakan dalam buku
tersebut.
7. Hendaknya
hasil terjemahan seakan-akan bukan dari bahasa asing, bahkan seakan-akan
tulisan itu dari bahasa kita, karena susunannya mengikuti bahasa kita.
8.
Memilih kata-kata yang biasa digunakan dalam tulisan, bukan kata-kata dalam
percakapan sehari-hari yang tidak digunakan dalam bahasa tulisan.
9.
Menggunakan bahasa yang halus, tidak menggunakan bahasa yang kasar.
10.
Membaca kembali hasil terjemahan.
Mengenal Sekilas Kaidah
Penulisan Yang Benar Dalam Bahasa Indonesia
1. Contoh penulisan yang
benar sesuai EYD (Ejaan yang disesuaikan):
Akhlak, berkah, doa,
jumat, khotbah, khusyuk, maaf, mubazir, nasihat, rezeki, uzur, Alquran, risiko,
kaus, saksama, dsb.
2. Contoh penulisan huruf
Kapital (Besar):
a. Ungkapan yang
berkenaan dengan nama Tuhan dan kitab suci, misalnya: Allah Yang Mahakuasa, aku
hamba-Mu, dan agamaku Islam.
b. Unsur nama gelar
kehormatan, keturunan, keagamaan, dan pangkat yang diikuti nama orang atau
penggantinya, misalnya: Imam Abu Hanifah, Nabi Ibrahim, dan Sekretaris Jenderal
Deplu.
c. Unsur nama orang,
misalnya: Ahmad Nafi.
d. Nama bangsa, suku
bangsa, dan bahasa, kecuali jika dipakai sebagai bentuk dasar kata keturunan,
misalnya: …memakai bahasa Arab sebagai…dan menjawakan.
e. Nama tahun, bulan,
hari, hari raya, dan nama peristiwa sejarah, misalnya: hari Jumat, Perang Uhud.
f. Nama khas dalam
geografi, misalnya: Gunung Uhud, Danau Toba.
g. Semua kata dalam
penulisan nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan, misalnya:
“Perjalanan Menuju Mekah.”
h. Kata penunjuk
hubungan kekerabatan yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan, misalnya: Para
bapak mengunjungi Bapak Abdulah.
i. Singkatan nama gelar,
pangkat, dan sapaan, misalnya: Dr., M.Sc., dan Sdr., Perserikatan
Bangsa-Bangsa, Anda.
3. Huruf miring
Penggunaan huruf miring
dalam kalimat biasa digunakan untuk nama buku, majalah, dan surat kabar.
Misalnya: surat kabar Solopos. Demikian pula digunakan untuk nama ilmiah
atau ungkapan asing, kecuali yang telah disesuaikan ejaannya, misalnya: Oriza
Sativa, politik devide et impera, kudeta (dari coup d’etat).
4. Contoh penulisan kata
yang benar:
Bertanda tangan,
ditandatangani, di masjid, dibesar-besarkan, lauk-pauk, ibu-bapak,
belasungkawa, olahraga, hamba-Nya, si kecil, se-Indonesia, adapun, per meter, kg, Rp, ABRI, MPR, Bappenas,
rudal, di bawah, di antara, kerja sama, berkembang biak, terima kasih, tanda
tangan, orang tua, bertanggung jawab, di kemudian hari, antarsekolah,
antarteman, kacamata, fotokopi, diperhatikan, pancausaha, minimarket,
tunanetra, waswas, ekstrakurikuler, dipertanggungjawabkan.
5. Angka dan lambang
bilangan:
Rp. 10.000, tiga
perempat, seperenam belas, dua pertiga, kedua, ke-2, 200 juta, 12.00, 12.345
orang.
6. Pemakaian tanda baca:
a. Titik, biasa
digunakan di akhir kalimat, singkatan nama orang, singkatan gelar, dan
singkatan sapaan.
Contoh: Saya suka membaca Al Quran, M. Rasyid, Dr.
Nashir Al Aql, Bpk.
b. Koma, biasa
digunakan ketika kalimat yang satu masih terkait dengan kalimat selanjutnya,
dan pada contoh-contoh di bawah ini:
saya ingin datang,
tetapi hari hujan.
“Saya berbahagia
sekali,” kata ibu,
Jakarta, 10 Dzulhijjah
1438 H
Fulan, M.A
Guru saya, Pak Ibrahim,
pandai sekali.
“Baca dengan teliti!”
kata Bu Guru.
c. Titik koma, biasa
dipakai untuk memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis dan setera.
Contoh:
Ayah mengurus tanamannya
di kebun; ibu sibuk bekerja; adik menghapal hadits.
Malam makin larut; kami
belum selesai juga.
Hari semakin siang;
dagangannya belum juga terjual.
d. Titik dua,
biasa dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap yang diikuti rangkaian. Contoh:
STDI mempunyai dua jurusan: Ilmu Hadits dan Syariah.
e. Tanda Hubung,
biasa dipakai untuk menyambung unsur-unsur kata ulang. Misalnya: anak-anak,
berulang-ulang, dsb.
f. Tanda pisah,
biasa dipakai untuk membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan
di luar bangun utama kalimat.
Contoh: Keberhasilan itu
–saya yakin- dapat dicapai setelah kita berusaha keras sambil berdoa dan
bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla.
g. Tanda tanya,
digunakan di akhir kalimat tanya. Misalnya: Kapan dia berangkat?
h. Tanda seru,
biasa digunakan di akhir kalimat perintah atau larangan, atau pernyataan kaget.
Misalnya: Bacalah Al Quran! Jangan ghibahi fulan! Alangkah mulianya para
sahabat!
i. Tanda kurung, biasa
digunakan untuk menerangkan maksud suatu kata atau singkatan. Contoh: kitab ini
ditahqiq (diteliti) oleh Syaikh…
j. Tanda kurung siku
([…]), biasa digunakan untuk tambahan penjelasan dalam tanda kurung.
Contoh: Persamaan kedua proses ini (perbedaannya dibicarakan di bab II [lihat
halaman 35-38]) perlu dibahas di sini.
k. Tanda petik (“…“),
biasa digunakan untuk mengapit pembicaraan, mengapit judul, karangan, atau bab
dalam sebuah kalimat. Contoh:
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling baik di antara kalian adalah
orang yang belajar Al Quran dan mengajarkannya.”
Bacalah “Pembagian
Tauhid” dalam buku Aqidatut Tauhid karya Dr. Shalih Al Fauzan.
l. Tanda petik
tunggal (‘…’), biasa digunakan untuk mengapit makna, terjemahan,
atau penjelasan kata, atau ungkapan asing. Contoh: feed-back ‘balikan’.
m. Tanda garis miring,
biasa dipakai sebagai ganti kata tiap, per, atau sebagai tanda bagi dalam
pecahan dan rumus matematika.
Contoh: harganya Rp. 1.000/lembar, kecepatannya 20 m/s, 7/8,
dsb.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan Hadidi, M.PdI
(Dosen Fan fit Tarjamah STID Muhammad
Natsir)
Maraji’: Buku Pintar Menerjemah Arab-Indonesi (Nur
Mufid dan Kaserun), https://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Pedoman_penulisan_tanda_baca , dll.
0 komentar:
Posting Komentar