Syarah Kitab Tauhid (49)

Senin, 18 Maret 2019
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫فلما آتاهما صالحا جعلا له شركاء‬‎
Syarah Kitab Tauhid (49)
Nama Yang Diperhambakan Kepada Selain Allah Azza wa Jalla
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, yang banyak merujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
**********
Bab: Nama Yang Diperhambakan Kepada Selain Allah Azza wa Jalla
Firman Allah Ta’ala,
فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحاً جَعَلاَ لَهُ شُرَكَاء فِيمَا آتَاهُمَا فَتَعَالَى الله عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Ketika Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Terj. Qs. Al A’raaf: 190)
Ibnu Hazm berkata, “Para ulama sepakat akan haramnya nama yang diperhambakan kepada selain Allah, seperti Abdu ‘Amr (hamba Amar), Abdul Ka’bah (hamba Ka’bah) dan semisalnya selain Abdul Muththalib.”
Terkait dengan ayat di atas Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, “Setelah Adam menggauli istrinya Hawa, ia pun hamil, lalu Iblis mendatangi keduanya dan berkata, “Aku adalah kawan kamu berdua yang membuat kalian keluar dari surga, kamu harus menaatiku atau aku akan jadikan fisik anakmu memiliki dua tanduk seperti rusa, sehingga ia lahir dari perut istrimu dengan merobeknya. Aku pasti akan melakukannya. Aku pasti akan melakukannya –dengan maksud menakuti keduanya-. Namailah anakmu dengan nama Abdul Harits, namun keduanya menolak perintah Iblis dan ternyata lahir dalam keadaan mati. Kemudian Hawa hamil kembali, lalu Iblis mendatangi keduanya lagi dan berkata seperti sebelumnya, namun keduanya menolak juga perintah keduanya dan janinnya pun mati lagi. Lalu Hawa hamil lagi kemudian Iblis mendatangi keduanya dan mengatakan seperti sebelumnya, namun karena Adam dan Hawa cenderung lebih mencintai keselamatan anaknya, maka keduanya menamai anaknya dengan nama ‘Abdul Harits’. Itulah maksud firman Allah Ta’ala, “Maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu.”(Qs. Al A’raaf: 190) (Hr. Ibnu Abi Hatim)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan pula dengan sanad yang shahih, bahwa Qatadah dalam menafsirkan ayat di atas berkata, “Maksudnya menyekutukan Allah dengan menaati Iblis, bukan dengan beribadah kepadanya.”
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan pula dengan sanad yang shahih dari Mujahid tentang firman Allah Ta’ala,
لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحاً
"Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh (fisiknya normal), (tentulah Kami termasuk orang-orang yang bersyukur).” (Qs. Al A’raaf: 189)
Ia berkata, “Keduanya takut kalau anaknya bukan menjadi manusia.”
Disebutkan pula seperti itu dari Al Hasan, Sa’id, dan lainnya.
**********
Penjelasan:
Hadits Ibnu Abbas di atas diriwayatkan pula oleh Tirmidzi no. 3077 namun didhaifkan oleh Syaikh Al Albani. Juga diriwayatkan oleh Hakim 2/545.
Ibnu Hazm atau Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm Al Qurthubi Azh Zhahihri adalah ulama Andalusia (Spanyol) yang wafat tahun 456 H, semoga Allah merhamatinya.
Dibahas masalah di atas dalam kitab Tauhid adalah untuk menerangkan, bahwa menamakan anak dengan nama yang diperhambakan kepada selain Allah Azza wa Jalla adalah syirik dalam ketaatan dan kufur nikmat.
Pengecualian nama Abdul Muththalib yang disebutkan Ibnu Hazm di atas adalah karena asal nama ini berhubungan dengan perbudakan, atau sebagai pemberitaan dengan nama yang dikenal; bukan sebagai pemberian nama.
Maksud ayat di atas adalah orang-orang musyrik itu menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang dianugerahkan-Nya itu. Mereka memandang anak mereka sebagai hamba bagi berhala yang mereka sembah. Oleh karena itulah mereka menamakan anak-anak mereka dengan Abdul Uzza, Abdu Manaah, Abdu Syam, ‘Abdul Harits dan sebagainya. Padahal seharusnya mereka bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahkan kepada mereka anak yang sempurna fisiknya, namun ternyata mereka malah berbuat syirk, baik syirk dalam beribadah maupun dengan menamai anaknya dengan nama yang diperhambakan kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
Adapun pernyataan bahwa ayat di atas tertuju kepada Adam dan Hawa adalah tidak tepat karena hadits yang menyebutkan demikian tidak shahih, wallahu a’lam.
Kesimpulan:
1.      Haramnya menamai anak dengan nama yang diperhambakan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2.      Syirik bisa terjadi dalam nama, meskipun tidak bermaksud demikian.
3.      Pemberian Allah Ta’ala kepada seseorang berupa anak adalah nikmat yang patut untuk disyukuri,
4.      Termasuk syukur adalah memberi nama dengan nama yang diperhambakan kepada Allah Azza wa Jalla.
**********
Bab: Penetapan Asma’ul Husna Hanya Untuk Allah
Firman Allah Ta’ala,
وَلِلّهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُواْ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Hanya milik Allah Asmaa’ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. Al A’raaf: 180)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman-Nya “orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya.
Yaitu dengan berbuat syirik (dalam nama-Nya).
Dari Ibnu Abbas pula, bahwa maksudnya, “Mereka menamai Lata dari nama Al Ilah, dan Uzza dari nama Al Aziz.”
Menurut Al A’masy, mereka memasukkan ke dalam Asma’ul Husna nama-nama yang tidak termasuk bagian darinya.
**********
Penjelasan:
Dalam bab ini penyusun (Syaikh M. At Tamimi) hendak membantah orang-orang yang bertawassul (mengadakan perantara) kepada Allah dengan perantaraan orang-orang yang telah mati, dan ingin menerangkan bahwa yang disyariatkan adalah bertawassul dengan menyebut Asma’ul Husna dan Sifat-Nya yang Tinggi.
Al A’masy adalah Sulaiman bin Mihran Al Kufi; seorang Ahli Fiqih yang tsiqah (terpercaya), hafizh dan wara, wafat pada tahun 147 H.
Asma’ul Husna artinya nama-nama Allah Yang sangat Indah, dimana tidak ada nama yang lebih indah dan lebih sempurna dari nama-nama itu.
Maksud ”Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu,” yakni mintalah kepada Allah dengan menyebut Asma’ul Husna dan bertawassullah dengannya. Misalnya dengan berkata, “Yaa Razzaq, urzuqnaa” (artinya: Wahai Pemberi rezeki, berilah kami rezeki).
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan tentang Diri-Nya, bahwa Dia memilki nama-nama yang sangat indah dan sempurna, dan memerintahkan hamba-hamba-Nya meminta kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu, serta meninggalkan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya dengan berbagai bentuk penyimpangan, dan bahwa mereka akan mendapatkan hukuman atas sikapnya.
Catatan:
Ibnul Qayyim dalam Bada'iul Fawa'id (1/1533-154) menyebutkan beberapa contoh ilhad (melakukan penyimpangan) dalam nama-nama Allah sebagai berikut:
Pertama, menamai patung-patung dengan nama-nama-Nya, seperti penamaan yang dilakukan mereka (kaum musyrik kepada sesembahan mereka) dengan nama Laata dari kata ilaahiyyah, nama Uzza dari kata Aziz, menamai patung dengan nama ilaah. Ini pada hakikatnya adalah ilhad, karena mereka mengarahkan nama-nama-Nya untuk nama berhala-berhala dan sesembahan-sesembahan mereka yang batil.
Kedua, menamai Allah Ta'ala dengan nama yang tidak sesuai dengan keagungan-Nya, seperti kaum Nasrani menamai-Nya dengan nama "bapak."
Ketiga, menyifati Allah Ta'ala dengan sifat-sifat kekurangan yang Dia Mahatinggi lagi Mahasuci daripada sifat-sifat itu, seperti perkataan orang-orang Yahudi yang paling keji, "Sesungguhnya Allah miskin."
Keempat, meniadakan kandungan dari nama-nama-Nya dan menolak hakikatnya.
Kelima, menyerupakan sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Mahatinggi Allah dari apa yang dikatakan kaum musyabbihah (orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) dengan ketinggian yang besar.
Di antara ulama ada yang berpendapat, bahwa termasuk ilhad pula mengingkari salah satu di antara nama-nama itu, atau mengingkari sifat dan hukum yang ditunjukkan olehnya sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Mu'aththilah dari kalangan Mu'tazilah, Jahmiyyah, Asy'ariyyah, dan lain-lain.
Menurut Al A’masy, termasuk menyimpang dalam Asma’ul Husna adalah memasukkan nama-nama yang tidak termasuk bagian darinya.
Menurut Syaikh Abu Bakar Al Jazairiy rahimahullah, termasuk ilhad pula adalah yang dilakukan oleh kaum Shufi dengan menetapkan namaa-nama bagi Allah yang tidak disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Kesimpulan:
1.      Menetapkan Asma’ul Husna dan sifat-sifat-Nya Yang mulia sesuai yang layak bagi-Nya, dan dalam hal ini kita menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.
2.      Nama-nama Allah semuanya husna (Mahaindah).
3.      Perintah berdoa kepada Allah dan bertawassul kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah.
4.      Haramnya melakukan penyimpangan terhadap nama-nama-Nya, baik dengan meniadakannya, mentakwilnya, maupun menamai makhluk dengannya.
5.      Perintah berpaling dari orang-orang yang bodoh dan menyimpang, dan tidak memperhatikan mereka.
6.      Ancaman keras bagi orang yang melakukan penyimpangan dalam Asma’ul Husna.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Mulakhkhash fi Syarh Kitab At Tauhid  (Dr. Shalih Al Fauzan), Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (penulis), dll.

Fiqih Shalat Jumat (7)

Senin, 04 Maret 2019
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صلاة الجمعة‬‎
Fiqih Shalat Jumat (7)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan lanjutan tentang fiqih shalat Jumat, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Mendapatkan satu rakaat shalat Jumat atau kurang
Menurut mayoritas Ahli Ilmu, bahwa barang siapa yang mendapatkan satu rakaat shalat Jumat bersama imam, maka ia dianggap mendapatkan shalat Jumat dan ia menambahkan satu rakaat lagi yang kurang.
Dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلَاةِ اَلْجُمُعَةِ وَغَيْرِهَا فَلْيُضِفْ إِلَيْهَا أُخْرَى, وَقَدْ تَمَّتْ صَلَاتُهُ
“Barang siapa yang mendapatkan satu rakaat shalat Jumat atau shalat lainnya, maka tambahkanlah satu rakaat yang kurang, dan shalatnya sempurna.” (Hr. Nasa’i, Ibnu Majah, Daruquthni, lafaz ini adalah lafaznya, dishahihkan oleh Al Albani)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصَّلَاةِ رَكْعَةً، فَقَدْ أَدْرَكَهَا كُلَّهَا
“Barang siapa yang mendapatkan satu rakaat shalat, maka ia mendapatkan shalat itu semuanya.” (Hr. Jamaah Ahli Hadits)
Akan tetapi, jika seseorang mendapatkan kurang dari satu rakaat, maka ia tidak dianggap mendapatkan shalat Jumat dan ia melakukan shalat Zhuhur empat rakaat menurut pendapat kebanyakan ulama.
Yakni ia meniatkan di awal shalat Jumat dan menyempurnakannya dengan shalat Zhuhur.
Ibnu Mas’ud berkata, “Barang siapa yang mendapatkan satu rakaat shalat Jumat, maka tambahkanlah yang kurangnya (satu rakaat lagi). Dan barang siapa yang tidak mendapatkan dua rakaat, maka hendaknya ia kerjakan empat rakaat.” (Diriwayatkan oleh Thabrani dengan sanad hasan)
Ibnu Umar radhiyallahu anhuma berkata, “Apabila engkau mendapatkan satu rakaat shalat Jumat, maka tambahkanlah lagi yang kurang, dan jika engkau mendapatkan mereka dalam keadaan duduk, maka kerjakanlah empat rakaat.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi)
Ini adalah pendapat ulama madzhab Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan Muhammad bin Al Hasan.
Akan tetapi, Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat, bahwa barang siapa yang mendapatkan tasyahud bersama imam, maka ia mendapatkan shalat Jumat itu, sehingga cukup shalat dua rakaat setelah imam salam dan shalat Jumatnya sempurna.
Shalat Ketika Berdesakan
Imam Ahmad dan Baihaqi meriwayatkan dari Sayyar ia berkata, “Aku mendengar Umar berkata saat khutbah, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membangun masjid ini dan kami turut menyertainya, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Ketika berdesakan, maka hendaknya seseorang sujud di atas punggung saudaranya.”  Ketika dilihatnya ada beberapa orang yang shalat di jalanan, maka ia (Umar) berkata, “Shalatlah di masjid.”
Shalat sunah sebelum dan setelah shalat Jumat
Disunahkan melakukan shalat sunah empat rakaat atau dua rakaat setelah shalat Jumat.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُصَلِّيًا بَعْدَ الْجُمُعَةِ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا
“Barang siapa yang hendak shalat setelah shalat Jumat, maka kerjakanlah setelahnya empat rakaat.” (Hr. Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat dua rakaat pada hari Jumat di rumahnya.” (Hr. Jamaah)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam apabila selesai shalat Jumat, masuk ke rumahnya dan shalat dua rakaat, dan memerintahkan orang yang henak shalat sunah mengerjakannya empat rakaat.”
Ia (Ibnul Qayyim) juga berkata, “Guru kami Ibnu Taimiyah berkata, “Jika seseorang shalat di masjid, maka hendaknya ia shalat empat rakaat, dan jika shalat di rumahnya, maka ia shalat dua rakaat,” demikianlah yang ditunjukkan oleh hadits-hadits yang ada.”
Dari Atha dari Ibnu Umar ia berkata, “Dirinya apabila berada di Mekkah dan shalat Jumat, maka ia maju lalu mengerjakan shalat dua rakaat, kemudian maju dan mengerjakan shalat empat rakaat, dan apabila ia berada di Madinah, maka ia shalat Jumat, lalu pulang ke rumahnya dan shalat dua rakaat namun tidak shalat di masjid,” kemudian dirinya ditanya tentang hal itu, maka ia menjawab, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan hal itu.” (Shahih Abu Dawud no. 1035 dan Baihaqi 3/240).
Dalam Shahihain dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat dua rakaat di rumahnya.
Penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
Abu Bakar dari Riyadh bertanya, “Mana yang lebih utama tentang shalat rawatib Jum’at; dua rakaat di rumah atau empat rakaat di masjid setelah shalat Jum’at?”
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Segala puji Allah Rabbul alamin, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya, dan para sahabatnya. Telah shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu shalat Jum’at, maka hendaknya ia shalat setelahnya empat rakaat.” Demikian pula telah shahih dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat dua rakaat di rumahnya. Di antara ulama ada yang berpendapat, bahwa setelah Jum’at seseorang shalat empat rakaat baik di rumah maupun di masjid dengan alasan karena sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam lebih didahulukan daripada perbuatan Beliau. Ada pula yang berpendapat, bahwa shalat setelah Jumat adalah enam rakaat; empat rakaat berdasarkan sabda Beliau, dua rakaat berdasarkan praktek Beliau. Ada pula yang berpendapat, bahwa jika di rumah shalat dua rakaat, dan jika di masjid shalat empat rakaat mengikuti sabda Beliau. Namun yang rajih (kuat) menurutku adalah melakukan shalat empat rakaat baik di rumah atau di masjid berdasarkan keumuman sabda Beliau shallallahu alaihi wa sallam.”
(Silsilah Fatawa Nur ‘alad Darb, kaset no. 356).
Apabila seseorang shalat empat rakaat, maka prakteknya bisa langsung empat rakaat. Ada pula yang berpendapat, bahwa ia bisa shalat dua rakaat salam, lalu dua rakaat salam, namun lebih utama shalat di rumahnya.
Dan jika seseorang shalat di masjid, maka hendaknya ia berpindah dari tempat dimana ia melakukan shalat fardhu.
Adapun tentang shalat sunah sebelum shalat Jumat, maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau tidak melakukan shalat sunah sedikit pun setelah azan, dan tidak ada seorang pun yang menukilkan demikian, karena di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam azan tidak dikumandangkan kecuali setelah Beliau duduk di atas mimbar, lalu Bilal azan, kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallm melakukan khutbah dua kali, setelah itu Bilal iqamat, dan Beliau melakukan shalat mengimami manusia, sehingga tidak mungkin Beliau shalat setelah azan, demikian pula tidak mungkin seorang pun dari kaum muslimin yang ikut shalat dengan Beliau shallallahu alaihi wa sallam, dan tidak ada nukilan dari seorang pun yang menyebutkan bahwa Beliau shalat di rumahnya sebelum berangkat menuju masjid. Dan mengenai shalat sebelum azan, maka Beliau tidak membatasi waktunya, bahkan sabda Beliau shallallahu alaihi wa sallam hanyalah dorongan untuk shalat apabila seseorang tiba di masjid pada hari Jumat tanpa ada batas  waktu tertentu. Misalnya sabda Beliau, “Barang siapa yang berpagi-pagi dan datang lebih cepat dengan berjalan kaki tanpa menaiki kendaraan lalu shalat semampunya…dst.” Inilah yang diriwayatkan dari para sahabat…dst.” Mereka ketika tiba di masjid pada hari Jumat melakukan shalat dari sejak masuk sesuai yang mudah bagi mereka. Di antara  mereka ada yang shalat sepuluh rakaat, ada yang dua belas rakaat, ada yang delapan rakaat, ada yang kurang dari itu. Oleh karena itu, mayoritas para imam sepakat bahwa tidak ada sebelum shalat Jumat shalat sunah yang dibatasi waktunya dengan jumlah tertentu, karena hal itu hanyalah sah dari sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau perbuatan Beliau, sedangkan Beliau tidak mensunnahkan hal itu, baik dengan sabda maupun dengan perbuatan Beliau.”
Bertemunya hari Jumat dengan hari raya dalam satu hari
Apabila bertemu hari Jumat dengan hari raya dalam hari yang sama, maka shalat Jumat gugur bagi orang yang telah shalat Ied.
Dari Zaid bin Arqam ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat (Ied), lalu memberikan keringanan untuk shalat Jumat, Beliau bersabda,
«مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَلْيُصَلِّ»
“Barang siapa yang ingin shalat (Jumat), maka silahkan shalat Jumat.” (Hr. Lima Imam Ahli Hadits selain Tirmidzi, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Hakim, demikian pula oleh Ibnul Madini dan Adz Dzahabi) 
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ»
“Telah berkumpul dalam satu harimu ini dua hari raya, barang siapa yang ingin, maka shalat Ied sudah cukup baginya sehingga tidak shalat Jumat, namun kami melakukannya.” (Hr. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
Dan dianjurkan bagi imam untuk mengadakan shalat Jumat agar orang yang hendak shalat Jumat bisa melakukannya, demikian pula orang yang tadi pagi tidak shalat Ied bisa ikut shalat Jumat. Hal ini berdasarkan hadits di atas.
Menurut ulama madzhab Hanbali, bahwa bagi orang yang tidak shalat Jumat karena telah melakukan shalat Ied wajib menggantinya dengan shalat Zhuhur.
Memberikan Makanan Pada Hari Jumat
Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah menyebutkan,  bahwa dianjurkan memberikan jamuan makanan pada hari Jumat, khususnya untuk kaum muslimin yang fakir.
Oleh karena itu memberikan makanan kepada kaum fakir pada hari itu adalah perkara baik yang dianjurkan.
Al Hafizh Ibnu Rajab berdalih dengan hadits wanita yang menyiapkan makanan untuk para sahabat radhiyallahu anhum setelah shalat Jumat pada setiap pekannya." (Fathul Bari 5/431)
Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu anhu ia berkata, “Kami sangat bergembira pada hari Jumat, karena ada wanita tua yang mengambil sejenis ubi yang kami tanam di sebelah aliran air, lalu ia memasaknya dalam sebuah periuk dan mencampurnya dengan biji gandum tanpa ada lemak maupun minyak. Setelah kami shalat jumat, maka kami datangi wanita itu, lalu ia menghidangkan makanan itu kepada kami, maka kami bergembira pada hari Jumat karena sebab itu, dan kami tidak makan dan tidak tidur siang kecuali setelah shalat Jumat.” (Hr. Bukhari no. 2349)
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Subulus Salam (Imam Ash Shan'ani), dll.

Fiqih Shalat Jumat (6)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صلاة الجمعة‬‎
Fiqih Shalat Jumat (6)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan lanjutan tentang fiqih shalat Jumat, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Disyariatkan berdiri dalam dua khutbah dan disela-selahi duduk ringan di antara keduanya
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Jumat dengan berdiri, lalu duduk, kemudian berdiri lagi sebagaimana yang mereka lakukan sekarang.” (Hr. Jamaah)
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah sambil berdiri, lalu duduk, kemudian berdiri lagi sambil berkhutbah. Barang siapa yang menyatakan bahwa Beliau berkhutbah sambil duduk, maka ia telah berdusta. Demi Allah, aku shalat (lima waktu) bersama Beliau lebih dari 2.000 kali.” (Hr. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Thawus, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah sambil berdiri, demikian pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman, dan orang yang pertama kali duduk di mimbar (saat khutbah)  adalah Mu’awiyah.”
Sebagian ulama berpendapat wajibnya berdiri ketika khutbah dan wajibnya disela-selahi duduk di antara kedua khutbah karena melihat praktek Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Akan tetapi sekedar praktek tidak menunjukkan wajibnya.
Anjuran mengeraskan suara saat khutbah, memendekkannya, dan menumpahkan perhatian padanya
Dari Ammar bin Yasir radhiyallahu anhuma ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alahi wa sallam bersabda,
إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ، وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ، مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ، فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ، وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ
“Sesungguhnya lamanya shalat seseorang dan pendek khutbahnya merupakan tanda pemahamannya, maka perpanjanglah shalat dan pendekkanlah khutbah.” (Hr. Ahmad dan Muslim)
Lama shalat dan singkatnya khutbah sebagai “tanda pemahamannya” adalah karena orang yang pandai agama (faqih) menggunakan kalimat yang singkat namun padat; sehingga ia cukup dengannya.
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasanya memanjangkan shalat dan memendekkan khutbah.” (Hr. Nasa’i dengan isnad yang shahih)
Dari Jabir radhiyallahu anhu ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ، وَعَلَا صَوْتُهُ، وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ: «صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ»  وَيَقُولُ: «بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ» ، وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ، وَالْوُسْطَى، وَيَقُولُ: «أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika khutbah merah kedua matanya, tinggi suaranya, dan tampak kemarahannya sehingga seakan-akan Beliau memperingatkan suatu pasukan dengan berkata, “Musuh akan menyerangmu di pagi dan sore hari.” Beliau bersabda, “Aku diutus menjelang Kiamat seperti dua jari ini,” Beliau merapatkan jari telunjuk dan jari tengahnya dan bersabda, “Amma ba’du: sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad, sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Hr. Muslim dan Ibnu Majah)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dianjurkan khutbah itu fasih, menyentuh, tertib, jelas, tanpa bertele-tele dan kepanjangan, atau melantur tidak karuan, karena hal itu tidak menyentuh secara sempurna di hati, juga jangan sampai keras sehingga tidak tercapai maksudnya, bahkan hendaknya ia memilih kata-kata yang fasih (jelas) dan difahami.”
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Demikian pula khutbah Beliau adalah menguatkan dasar-dasar keimanan kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari berjumpa dengan-Nya, dan menyebutkan surga, neraka, serta kenikmatan yang Allah persiapkan untuk para wali dan mereka yang menaati-Nya, dan menyebutkan azab yang Allah siapkan untuk musuh-musuh-Nya dan para para pelaku maksiat, sehingga dari khutbah itu hati pun dipenuhi keimanan, tauhid, dan mengenal Allah serta peristiwa-peristiwa dahsyat yang Allah tunjukkan, tidak seperti khutbah yang hanya membahas tentang hubungan antara makhluk belaka, yang hanya tangisan terhadap kehidupan dunia dan menakut-nakuti akan kematian. Cara seperti ini tidak menghasilkan keimanan kepada Allah di hati serta tidak mewujudkan tauhid dan pengenalan secara lebih khusus kepada-Nya, serta tidak mengingatkannya terhadap peristiwa-peristiwa dahsyat yang ditunjukkan-Nya, di samping tidak membangkitkan jiwa untuk mencintai-Nya dan rindu berjumpa dengan-Nya, dimana akibatnya para pendengar keluar (dari masjid) tanpa memperoleh faedah selain perasaan bahwa mereka akan mati, harta mereka akan dibagi, dan jasad mereka akan luluh ditelan tanah. Keimanan, tauhid, dan ilmu yang bermanfaat apa yang dihasilkan daripadanya?
Barang siapa yang memperhatikan khutbah  Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan khutbah para sahabatnya, maka ia akan mendapatkan khutbah itu cukup dalam menerangkan petunjuk, tauhid, menyebutkan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, menerangkan pokok-pokok keimanan secara umum, mengajak kepada Allah, menyebutkan nikmat-nikmat-Nya yang membuat manusia cinta kepada-Nya, serta menyebutkan peristiwa dahsyat yang membuat mereka takut terhadap siksa-Nya, serta memuat ajakan untuk mengingat-Nya dan mensyukuri nikmat-Nya yang membangkitkan rasa cinta kepada-Nya, sehingga manusia pun menjadi ingat akan keagungan Allah, sifat-Nya, nama-Nya sehingga mereka memperoleh kecintaan-Nya. Demikian juga dalam khutbah itu mengajak untuk menaati-Nya, mensyukuri-Nya, dan mengingat-Nya sehingga mereka pulang dalam keadaan mencintai-Nya dan Dia pun cinta kepada mereka.
Namun seiring berjalannya waktu, cahaya kenabian pun samar, sehingga syariat dan perintah menjadi tulisan dan kerangka belaka; tanpa diperhatikan lagi hakikat dan tujuannya. Kemudian diberi embel-embel dan hiasan, namun embel-embel itu yang malah dijadikan aturan yang tidak boleh diabaikan dan tujuan malah diabaikan, mereka tambahkan khutbah dengan syair, sajak, hasil sastra, sehingga khutbah itu menjadi cacat, bahkan hati tidak memperoleh bagian daripadanya dan maksud juga tidak tercapai.”
Imam memutuskan khutbah karena suatu hal
Dari Abu Buraidah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah berkhutbah kepada kami, lalu datang Al Hasan dan Al Husain dengan memakai gamis merah sambil berjalan tertatih-tatih, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam turun dari mimbar dan menggendong keduanya dan menaruh di hadapannya, lalu Beliau bersabda,
صَدَقَ اللَّهُ {إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ} [التغابن: 15] نَظَرْتُ إِلَى هَذَيْنِ الصَّبِيَّيْنِ يَمْشِيَانِ وَيَعْثُرَانِ فَلَمْ أَصْبِرْ حَتَّى قَطَعْتُ حَدِيثِي وَرَفَعْتُهُمَا
“Mahabenar Allah. Sesungguhnya harta dan anakmu adalah ujian. Aku melihat dua anak ini berjalan tertatih-tatih, sehingga aku tidak sabar dan membuatku memutuskan khutbahku, dan aku angkat keduanya (ke sini).” (Hr. Lima Imam Ahli Hadits, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Dari Abu Rifa’ah Al Adawi radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku tiba di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat Beliau berkhutbah, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, saya orang asing yang hendak bertanya tentang agama; saya tidak tahu tentang agamaku?” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendatangiku dan meninggalkan khutbahnya hingga berada di hadapanku, lalu disiapkan kursi dari kayu yang kaki-kakinya dari besi, kemudian Beliau duduk di atasnya dan menagajariku ilmu yang Allah Ta’ala ajarkan kepada Beliau. Setelah itu, Beliau mendatangi khutbahnya dan menyelesaikannya.” (Hr. Muslim dan Nasa’i)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu pernah memutuskan khutbahnya karena ada keperluan yang muncul, atau karena ada pertanyaan dari salah seorang sahabatnya, lalu Beliau menjawabnya. Terkadang Beliau turun dari mimbar karena ada kebutuhan, lalu kembali menyempurnakan khutbahnya sebagaimana Beliau pernah turun dari mimbar untuk mengangkat Al Hasan dan Al Husain dan meletakkan di hadapannya, lalu melanjutkan khutbahnya. Terkadang Beliau memanggil seseorang dalam khutbahnya dengan berkata, “Kemarilah! Duduklah wahai fulan!” atau bersabda, “Shalatlah wahai fulan!” Beliau memerintahkan mereka dengan keadaan yang sesuai kondisi saat khutbah.
Haramnya berbicara pada saat khutbah
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat wajibnya diam dan haramnya berbicara ketika khutbah berlangsung meskipun sekedar amar ma’ruf dan nahi munkar, baik ia mendengar khutbah atau tidak.
Dari Abdullah bin Amr, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam Beliau bersabda,
يَحْضُرُ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ، رَجُلٌ حَضَرَهَا يَلْغُو وَهُوَ حَظُّهُ مِنْهَا، وَرَجُلٌ حَضَرَهَا يَدْعُو، فَهُوَ رَجُلٌ دَعَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِنْ شَاءَ أَعْطَاهُ، وَإِنْ شَاءَ مَنَعَهُ، وَرَجُلٌ حَضَرَهَا بِإِنْصَاتٍ وَسُكُوتٍ، وَلَمْ يَتَخَطَّ رَقَبَةَ مُسْلِمٍ، وَلَمْ يُؤْذِ أَحَدًا فَهِيَ كَفَّارَةٌ إِلَى الْجُمُعَةِ الَّتِي تَلِيهَا، وَزِيَادَةِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، وَذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ: {مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا} [الأنعام: 160]
“Ada tiga golongan yang menghadiri shalat Jumat; seorang yang hadir sambil berbuat sia-sia (seperti berbicara), sehingga itulah bagian yang diperolehnya. Ada pula seorang yang hadir yang selalu memanjatkan doa, dimana dirinya senantiasa berdoa kepada Allah Azza wa Jalla; jika Allah menghendaki Dia kabulkan, dan jika Dia menghendaki, maka Dia tolak, dan ada pula yang hadir dengan tenang dan diam, tidak melangkahi pundak orang lain dan tidak menyakiti orang lain, maka shalat Jumat itu akan menjadi penebus dosanya sampai ke Jumat berikutnya ditambah tiga hari, karena Allah Azza wa Jalla berfirman, “Barang siapa yang melakukan kebaikan, maka baginya sepuluh kali lipat.” (Qs. Al An’aam: 160) (Hr. Ahmad dan Abu Dawud dengan isnad jayyid)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الجُمُعَةِ: أَنْصِتْ، وَالإِمَامُ يَخْطُبُ، فَقَدْ لَغَوْتَ
“Apabila engkau berkata kepada saudaramu pada hari Jumat, “Diamlah!” sedangkan imam berkhutbah, maka engkau telah sia-sia (tidak mendapatkan pahala shalat Jumat).” (Hr. Jamaah Ahli Hadits selain Ibnu Majah)
Dari Ubay bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membacakan surat Al Bara’ah (At Taubah) pada hari Jumat, Beliau berdiri mengingatkan peristiwa-peristiwa besar yang Allah perlihatkan. Ketika itu Ubay bin Ka’ab, Abu Darda, dan Abu Dzar menghadap kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu salah seorang di antara keduanya berisyarat kepada Ubay bin Ka’ab dan berkata, “Kapankah surat ini turun wahai Ubay? Karena aku baru kali ini mendengarnya.” Lalu Ubay berisyarat kepadanya untuk diam. Setelah mereka selesai shalat, di antara dua sahabat tadi berkata kepada Ubay, “Aku bertanya kepadamu kapan surat ini turun, namun engkau tidak mau menjawabnya?” Ubay berkata, “Hari ini engkau tidak memperoleh dari shalatmu selain perkara sia-sia tadi.” Lalu sahabat ini pergi mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan menyampaikan pernyataan Ubay kepada Beliau, maka Beliau bersabda, “Ubay benar.” (Hr. Ahmad dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Ada riwayat dari Imam Syafi’i dan Ahmad, bahwa keduanya membedakan antara orang yang bisa mendengarkan khutbah dengan orang yang tidak bisa mendengarnya. Keduanya memandang, bahwa haramnya bicara adalah bagi yang pertama (yang bisa mendengarkan khutbah) tidak bagi yang kedua, meskipun baginya lebih baik diam.
Imam Tirmidzi meriwayatkan pendapat Imam Ahmad dan Ishaq tentang bolehnya menjawab salam dan mendoakan orang yang bersin ketika imam berkhutbah.
Imam Syafi’i berkata, “Kalau seseorang bersin pada hari Jumat (saat khutbah Jumat), lalu ada orang yang mendoakannya, aku harap tidak mengapa, karena mendoakannya adalah sunah, dan kalau ada seorang yang mengucapkan salam kepada orang lain, maka aku memakruhkan hal itu, dan menurutku perlu dijawab, karena salam sunah dan menjawabnya wajib. Adapun berbicara pada saat tidak khutbah, maka boleh.”
Dari Tsa’labah bin Abi Malik ia berkata, “Dahulu mereka masih melakukan obrolan pada hari Jumat saat Umar masih duduk di atas mimbar. Ketika muazin selesai mengumandangkan azan dan Umar berdiri, maka tidak ada seorang pun yang berbicara hingga kedua khutbah itu diselesaikan. Saat iqamat dikumandangkan dan Umar turun dari mimbar, maka mereka berbicara kembali.” (Diriwayatkan oleh Syafi’i dalam Musnadnya)
Imam Ahmad meriwayatkan dengan isnad yang shahih, bahwa Utsman bin Affan saat masih di atas mimbar sedangkan muazin telah melakukan iqamat, ia bertanya kepada sebagian manusia tentang keadaan mereka dan harga pasar.
Bersambung…
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Subulus Salam (Imam Ash Shan'ani), dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger