STOP FITNAH!

Rabu, 21 Oktober 2020

 بسم الله الرحمن الرحيم

 


STOP FITNAH!

 

Sikap Yang Telah Dilupakan Ketika Ada Isu dan Berita Miring

 

Ketika mulut tidak dijaga, mudah sekali jatuh ke dalam maksiat lisan seperti ghibah, namimah (mengadu domba), dan dusta. Yang demikian karena memang lisan adalah anggota badan yang paling mudah digerakan, tetapi tahukah kita bahwa lisan adalah anggota badan yang paling banyak menjatuhkan manusia ke jurang neraka.

 

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu’adz,

 

كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا

"Jaga ini!"

 

Beliau berisyarat ke lisannya.

Muadz balik berkata, "Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa karena ucapan yang kita sampaikan?"

 

Saat itu Muadz memandang aneh karena bagaimana lisan yang kecil ini bisa membuat seseorang disiksa di neraka.

 

Maka Beliau bersabda,

 

ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ - أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ - إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ".

 

"Aduh Muadz, ibumu malang sekali karena kehilangan dirimu. Bukankah banyak manusia yang dijungkirbalikkan di atas wajah atau hidungnya karena ulah lisannya." (Hr. Tirmidzi, dan ia menyatakan hasan shahih)

 

Beliau juga bersabda,

 

«إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ»

 

 “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kalimat yang tidak diperhatikan (bahaya)nya, padahal karena kalimat itu ia tergelincir ke dalam neraka melebihi jauhnya antara timur dan barat.” (Muttafaq ‘alaih)

 

 

Demikian juga jika kita perhatikan keadaan di zaman sekarang, berita mudah tersebar tanpa diperiksa lebih dulu kebenarannya. Apa saja yang didengarnya langsung ia sampaikan tanpa memeriksa dahulu kebenarannya, padahal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

 

«كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ»

“Cukuplah seseorang dianggap pendusta ketika menyampaikan semua yang didengarnya.” (Hr. Muslim dari Abu Hurairah)

 

Apalagi berita mengenai kehormatan seseorang, dengan mudahnya tersebar tanpa tabayyun terlebih dahulu, sepertinya tidak ingat firman Allah Ta’ala,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Qs. Al Hujurat: 6)

 

وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ (16) يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (17)

 

“Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Mahasuci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar."---Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. An Nuur: 16-17)

 

Al Hasan Al Basri rahimahullah berkata,

"Ghibah (membicarakan orang lain) ada tiga macam dan semuanya disebutkan dalam kitabullah (terkait keharaman dan dosanya yang besar-pent), yaitu ghibah, ifk, dan buhtan.

Adapun ghibah, yaitu engkau membicarakan tentang saudaramu terkait keadaan dirinya.

Ifk adalah engkau membicarakan saudaramu menurut berita yang sampai kepadamu (tanpa tabayyun)

Sedangkan buhtan adalah engkau membicarakan saudaramu namun tidak sesuai kenyataannya."

(Tafsir Al Qurthubi 16/335)

 

Ketiga-tiganya adalah dosa besar. Jika sesuai kenyataannya disebut ghibah, dan Allah mengumpamakan orang yang mengghibahi orang lain seperti memakan daging saudara yang telah meninggal. Dan jika tidak sesuai dengan kenyataannya disebut Buhtan (dusta).

 

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

 

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ *

 

“Tahukah kamu apa itu ghibah?” Para shahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau menjawab, “Kamu sebutkan tentang saudaramu hal yang tidak disukainya,” Beliau pun ditanya, “Bagaimana jika keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?” Beliau menjawab, “Jika sesuai yang kamu katakan maka kamu telah mengghibahnya, namun jika tidak demikian keadaan saudaramu maka kamu telah berdusta terhadapnya.” (HR. Muslim)

 

Tidakkah mereka yang membicarakan saudaranya –apalagi secara dusta- takut terkena sabda Rasululah shallalahu alaihi wa sallam,

 

َمَنْ قَالَ فِي مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ اللَّهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ

 

“Barang siapa yang berkata tentang seorang mukmin sesuatu yang tidak ada padanya, maka Allah akan menempatkan orang itu ke dalam Radghah Al Khabal (cairan yang keluar dari tubuh penghuni neraka) sampai ia keluar dari pernyataannya itu (dengan bertobat dan meminta maaf).” (Hr. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al Albani)

 

Maka berhentilah mereka dari sikap seperti jika mereka sebagai orang-orang yang beriman.

 

Akhukum fillah Marwan Hadidi

Tanya-Jawab Masalah Agama (4)

Selasa, 20 Oktober 2020

 بسم الله الرحمن الرحيم



Tanya-Jawab Masalah Agama (4)

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:

Berikut tanya jawab berbagai masalah aktual, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

13. Pertanyaan: Izin bertanya ustadz, ana seorang dokter gigi, terkadang mendapatkan pasien yang setelah tindakan ternyata membayar perawatan dengan menggunakan asuransi dan pasien perlu diagnosa dan tanda tangan ana untuk klaim asuransinya, lalu ana berikan diagnosa apa adanya apakah penghasilan ana halal?

Jawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Dalam hal ini tergantung asuransinya dan pihak penerima asuransi. Jika asuransinya halal seperti asuransi atas dasar ta’awun (tolong menolong) atau asuransi syariah yang bukan komersial, maka menandatangani dan menerima gajinya adalah halal. Tetapi jika asuransinya komersial yang di dalamnya terdapat gharar, qimar (pertaruhan/judi) dan riba baik fadhl (kelebihan pada salah satu barang ribawi) dan nasi’ah (adanya penundaan di salah satunya), maka menandatanganinya sama saja membantu dalam hal dosa dan maksiat, sedangkan Allah Ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Tolong-menolonglah di atas kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong di atas dosa dan pelanggaran.” (Qs. Al Maidah: 2)

Demikian juga ketika pihak penerima asuransi boleh menerima asuransi, maka tidak mengapa menandatangani dan menerima gajinya, seperti pihak penerima asuransi mendapatkan bantuan asuransi karena sebagai warga tidak mampu, wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

14. Pertanyaan: saya seorang istri. Awal menikah kita tidak punya harta seperti sekarang alias tidak punya apa-apa. Setelah pernikahan berjalan 2 tahun, kita memulai usaha sampai sekarang dan dari usaha itu sekarang kita mempunyai rumah, mobil, uang dll. Istilah kata kita jadi orang yang punya harta. Yang mau saya tanya apakah istri berhak atas harta tersebut? Istri berperan dari awal usaha itu dibuat/ikut serta bekerja.

Jawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Jika suatu harta diusahakan bersama oleh suami dan istri, kemudian keduanya berpisah atau salah satunya meninggal, maka jika diketahui saham masing-masing pada harta itu, maka diberlakukan hal itu. Misalnya milik suami pada harta itu 60 %, sedangkan milik istri 40 %.

Jika tidak diketahui saham masing-masingnya, maka bisa ditempuh jalan Shulh, Uruf, atau Qadha (keputusan hakim).

Shulh adalah kesepakatan antara suami dan istri berdasarkan musyawarah atas dasar salling ridha.

Dalil pensyariatan Shulh adalah sabda Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam,

«الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ المُسْلِمِينَ، إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا، وَالمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا»

“Shuluh (perdamaian) itu boleh dilakukan antara kaum muslimin kecuali shulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin sesuai syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (Hr. Abu Dawud, dinyatakan ‘hasan shahih’ oleh Al Albani)

Adapun Uruf, maka maksudnya kebiasaan yang berlaku.

Dalam kaidah fiqih disebutkan ‘Al ‘Aadah Muhakkamah’ (artinya: adat itu dapat diberlakukan), namun dengan syarat tidak bertentangan dengan nash syar’i dan sudah berlaku sejak lama.

Sehingga jika dalam harta yang dimiliki bersama (gono-gini) tidak ada kesepakatan antara suami dan istri, maka dilihat apakah dalam masyarakat ada uruf yang berlaku tentang pembagian harta gono-gini. Jika ada, maka bisa diberlakukan.

Sedangkan Qadha  maksudnya keputusan yang ditetapkan oleh hakim setempat terhadap masalah yang disampaikan kepadanya. Dalam kondisi ini seorang hakim harus memperhatikan kondisi suami istri tersebut untuk menentukan pembagian harta gono gini dengan baik. Dan dalam kondisi ini boleh bagi hakim menggunakan hukum perdata yang ada di peradilan selagi tidak bertentangan dengan syariat Islam, wallahu a’lam. (Lihat: https://konsultasisyariah.com/14448-teka-teki-harta-gono-gini.html)

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

Referensi: https://islamqa.info/ar/answers/158869/%D9%85%D9%8A%D8%B1%D8%A7%D8%AB-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B1%D8%A7%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%AA%D9%8A-%D8%AA%D8%B4%D8%A7%D8%B1%D9%83-%D8%B2%D9%88%D8%AC%D9%87%D8%A7-%D9%81%D9%8A-%D9%86%D9%81%D9%82%D8%A7%D8%AA-%D8%A7%D9%84%D8%A8%D9%8A%D8%AA-%D9%88%D9%85%D8%AF%D8%AE%D8%B1%D8%A7%D8%AA%D9%87, https://konsultasisyariah.com/14448-teka-teki-harta-gono-gini.html , dll.

15. Pertanyaan: Assalamu 'alaikum ustadz, saya ingin bertanya. Apa hukum biro jasa pengurusan perpanjangan pajak stnk, mutasi, balik nama atau yang berkaitan? Karena setahu saya dalam Islam tidak ada pajak. Terima kasih ustadz.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Hukum asal biro jasa adalah halal dan imbalan yang diperoleh juga halal karena sebagai imbalan atas usaha dan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak biro jasa yang pergi kesana kemari mengurus berkas-berkas yang harus dimiliki setiap warga negara. Di samping itu, posisinya juga sebagai wakalah (wakil) yang hukumnya sah jika adanya bayaran maupun secara sukarela. Pihak biro jasa dipersilahkan mengambil upah terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Tentunya dengan memperhatikan hukum-hukum agama dalam prakteknya seperti tidak adanya suap-menyuap untuk aparat terkait, dsb.

Dan tidak diperkenankan pihak atau pegawai negeri yang berkewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat secara cuma-cuma menolak memberikan pelayanan sampai diberikan bayaran atau uang kepadanya, karena ini termasuk ghulul (harta khianat) padahal ia telah mendapatkan gaji dari pemerintah.

Demikian juga, jika pekerjaan seseorang sebagai perantara (yang sudah mendapatkan gaji dari pemerintah) yang menghubungkan kepada pihak yang terkait atau berwenang, maka tidak diperbolehkan menerima hadiah atau bayaran, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«مَنْ شَفَعَ لِأَخِيهِ بِشَفَاعَةٍ، فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً عَلَيْهَا فَقَبِلَهَا، فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيمًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا»   

“Barang siapa yang menjadi perantara bagi saudaranya, lalu saudaranya memberinya hadiah kemudian dia menerimanya, maka ia telah mendatangi salah satu pintu besar riba.” (Hr. Abu Dawud, dan dihasankan oleh Al Albani)

Adapun penarikan pajak yang tidak ada timbal baliknya padahal Baitul mal atau keuangan negara masih cukup untuk menanggung keperluan fasilitas umum, maka sebagaimana kita ketahui hukumnya haram, sehingga dosa ditanggung oleh pihak pemungut pajak. Adapun kita yang terpaksa harus membayar pajak -karena terzalimi-, maka tidak berdosa. wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

Referensi: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/38999/

15. Pertanyaan: Bismillah, afwan ustad mau menyanyakan terkait khitbah, kalau misalnya khitbah sekalian memberikan cincin untuk pihak akhwat apakah boleh?  Bagaimana hukumnya ustad? Apakah sama dengan hukum tukar cincin yang tasyabuh? Syukron.

Jawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Khitbah atau lamaran termasuk yang disyariatkan ketika kita hendak menikah. Namun ada hal yang dipermasalahkan para ulama, yakni terkait memberikan cincin untuk pihak akhwat atau tukar menukar cincin antara calon mempelai saat lamaran sebelum akad nikah.

Menurut Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, bahwa hukumnya makruh karena hal itu diambil contohnya dari non muslim (Majmu Fatawa 18/112).

Menurut Syaikh Al Albani rahimahullah, bahwa tradisi tersebut berasal dari orang-orang Nasrani, dimana dahulu seorang pendeta didatangi oleh kedua calon mempelai di gereja lalu ia memakaikan cincin itu di jari calon mempelai wanita.

Dengan demikian, sebaiknya tidak dilakukan hal itu karena di dalamnya terdapat tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir, sedangkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang kita tasyabbuh. Beliau bersabda,

«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka.” (Hr. Abu Dawud, dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)

Di samping itu sering terjadi pelanggaran dalam acara tukar cincin atau memakaikan cincin, di antaranya: dipakaikan cincin emas kepada calon suami, bersentuhan laki dengan wanita padahal belum menjadi mahramnya (masih sebagai ajnabi/asing), adanya keyakinan syirik yaitu bahwa hal itu dapat melanggengkan pernikahan, dsb. Walahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger