Akhlak Malu

Selasa, 26 Mei 2015
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الحياء من الإيمان‬‎
Akhlak Malu
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang akhlak Malu. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Ada seorang Anshar yang mengkritik dan mencela saudaranya karena sifat malunya yang tinggi, ia meminta kepadanya agar mengurangi sifat malu itu. Ketika itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melewati keduanya dan mendengar mereka berdua, maka Beliau bersabda kepada orang itu (yang mencela saudaranya),
دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الْإِيمَانِ
“Biarkanlah dia, sesungguhnya malu itu bagian dari iman.” (Muttafaq ‘alaih)
Apa malu itu?
Malu adalah jiwa merasa kecil karena aib dan kekeliruan. Malu merupakan bagian dari keimanan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Iman itu ada enam puluh cabang lebih, dan malu adalah salah satu cabang keimanan.” (Muttafaq ‘alaih)
Bahkan, malu dan iman adalah dua sahabat dan kawan yang tidak dapat dipisahkan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلْحَيَاءُ وَالْاِيْمَانُ قُرَنَاءُ جَمِيْعًا، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا  رُفِعَ الْاَخَرُ
Malu dan iman adalah dua hal yang sepasang. Jika yang satu diangkat, maka yang lain akan terangkat.” (HR. Hakim dan Baihaqi dalam Asy Syu’ab, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1603)
Perlu diketahui, bahwa akhlak malu tidaklah menghalangi seorang muslim dari berkata yang hak (benar), mencari ilmu, beramr ma’ruf atau bernahy munkar. Keadaan-keadaan ini bukanlah tempat untuk bersikap malu, hanyasaja bagi seorang muslim dalam melakukan semua itu disertai adab dan hikmah (kebijaksanaan). Seorang muslim mencari ilmu, dan ia tidak malu bertanya terhadap hal yang tidak ia ketahui. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang perkara yang kecil, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawabnya tanpa sikap malu. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
«نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الأَنْصَارِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ»
“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka mendalami agama.”
Malu Allah ‘Azza wa Jalla
Di antara sifat Allah Ta’ala adalah bahwa Dia malu dan suka menyembunyikan aib hamba-hamba-Nya. Dia mencintai malu dan menyembunyikan aib hamba-hamba-Nya. Oleh karenanya, hanya sedikit dalam kitab-Nya orang-orang yang dibuka aibnya seperti Fir’aun yang tidak punya rasa kasihan sampai berani menyembelih anak laki-laki Bani Israil yang tidak berdosa, Haman pembantu Fir’aun dalam kejahatan, Qarun penumpuk harta yang tidak mau memberi orang yang kesusahan, Abu Lahab penentang dakwah Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam pembawa rahmat dan kebenaran.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla malu dan suka menyembunyikan, Dia suka sifat malu dan menyembunyikan kesalahan (hamba-hamba-Nya).” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1756)
Malu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling malu. Apabila Beliau tidak suka sesuatu, maka para sahabat mengenali Beliau pada wajahnya. Oleh karena itu, apabila sampai berita kepada Beliau sesuatu yang tidak Beliau inginkan dari kaum muslimin, maka Beliau tidak mengarahkan pembicaraan kepadanya. Beliau tidak mengatakan, “Kenapa si fulan berbuat begini dan begitu.” Tetapi Beliau mengatakan, “Mengapa orang-orang melakukan ini” tanpa menyebut nama seseorang agar tidak membuatnya malu.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bukanlah seorang yang bertindak buruk dan berkata-kata keji, Beliau juga tidak pernah berteriak-teriak di pasar. Yang demikian karena rasa malu yang tinggi pada diri Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Macam-macam malu
Malu ada banyak macamnya, di antaranya:
1. Malu kepada Allah
Seorang muslim memiliki adab terhadap Allah Subhaanahu wa Ta'aala, ia malu kepada-Nya. Oleh karena itu, ia pun mensyukuri nikmat Allah, tidak mengingkari kebaikan Allah dan karunia-Nya, dan hatinya pun penuh dengan rasa takut kepada Allah dan ta’zim kepada-Nya. Ia juga tidak terang-terangan berbuat maksiat serta tidak melakukan perbuatan buruk dan hina, karena dia mengetahui bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala memperhatikannya, mendengar dan melihatnya. Allah Ta’ala berfirman terhadap orang-orang yang melakukan maksiat tanpa rasa malu kepada-Nya,
يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلاَ يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللّهِ
“Mereka dapat bersembunyi dari manusia, namun mereka tidak dapat bersembunyi dari Allah.” (QS. An Nisaa’: 108)
Seorang muslim malu kepada Tuhannya, maka apabila ia mengerjakan suatu dosa atau maksiat, ia pun malu kepada Allah dengan malu yang sangat, ia segera kembali kepada Tuhannya meminta maaf dan ampunan-Nya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اِسْتَحْيُوا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَسْتَحْيِي وَالْحَمْدُ لِلَّهِ قَالَ لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
“Bersikap malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya!” Maka para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami Al Hamdulillah merasa malu kepada Allah.” Beliau menjawab, “Bukan itu maksudnya. Tetapi, malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah kamu menjaga kepalamu dan apa yang ia terima, menjaga perutmu dan apa yang ia kandung serta kamu ingat kematian dan saat binasa. Barang siapa yang menginginkan akhirat, maka ia akan tinggalkan perhiasan kehidupan dunia. Barang siapa yang melakukan hal itu, maka sunguh ia telah merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benatnya.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 935)
2. Malu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
Seorang muslim merasa malu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, oleh karena itu ia konsisten di atas sunnah Beliau, menjaga apa yang Beliau bawa berupa ajaran-ajaran yang hak serta berpegang dengannya.
3. Malu kepada manusia
Seorang muslim juga merasa malu dengan manusia. Oleh karena itu, ia pun tidak mengurangi hak yang harus ia berikan kepada mereka, tidak mengingkari perkara ma’ruf yang telah mereka lakukan bersamanya dan tidak berbicara buruk dengan mereka serta tidak membuka aibnya di depan mereka (di depan umum). Pernah seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِي مِنْهَا وَمَا نَذَرُ قَالَ احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِي بَعْضٍ قَالَ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَيَنَّهَا قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا قَالَ اللَّهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنْ النَّاسِ
“Wahai Rasulullah, terhadap aurat kami, mana saja yang perlu kami datangi dan mana saja yang perlu kami tinggalkan?” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Jagalah auratmu kecuali kepada istrimu dan budak yang kamu miliki.” Orang itu berkata lagi, “Wahai Rasulullah, (bagaimanakah) apabila suatu kaum bersama-sama dengan yang lain?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika kamu sanggup agar tidak ada seorang pun yang melihat, maka lakukanlah.” Ia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah jika salah seorang di antara kami sedang sendiri?” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Allah lebih berhak kamu bersikap malu kepada-Nya daripada manusia.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la, Hakim dan Baihaqi, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 203)
Termasuk sikap malu seorang muslim adalah dengan menundukkan pandangannya dari yang haram dan dari pandangan yang mengganggu orang lain.
Sifat malu juga membuat seorang muslim tidak berkata keji, dan bertindak kasar dan keras, karena sifat ini adalah sifat penghuni neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«الحَيَاءُ مِنَ الإِيمَانِ، وَالإِيمَانُ فِي الجَنَّةِ، وَالبَذَاءُ مِنَ الجَفَاءِ، وَالجَفَاءُ فِي النَّارِ»
“Malu bagian dari iman, dan iman tempatnya di surga. Perkataan keji bagian dari kasar, dan kasar tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi dan Hakim dari Abu Hurairah, dishahihkan oleh Al Albani)
Termasuk malu juga adalah wanita muslimah selalu berhijab (memakai jilbab) dalam pakaiannya. Oleh karena itu, ia tidak memperlihatkan tubuhnya, ia juga menjadikan malu sebagai cirinya, dan perilakunya pun yang menunjukkan kepada kesuciannya dan kebersihannya. Ia selalu berkata,
زِينَتِيْ دَوْمَاحَـَيـــائِـيْ وَاحْـتِشَـامِـي رَأسُ مَا لِيْ
Perhiasan yang selalu menempel padaku adalah rasa malu.
Malu itulah modal dalam hidupku.
Keutamaan malu
Malu memiliki kedudukan yang agung di sisi Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Malu mengajak manusia mengerjakan kebaikan dan menghindarkannya dari keburukan. Oleh karena itulah, maka malu semuanya baik, berkah, dan bermanfaat bagi pemiliknya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ
“Malu itu tidak mendatangkan selain kebaikan.” (Muttafaq ‘alaih)
Beliau juga bersabda,
الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ
“Malu semuanya baik.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim menjadikan rasa malu sebagai akhlak yang selalu melekat padanya sehingga ia memperoleh keridhaan Rabbnya Subhaanahu wa Ta'aala. Seorang penyair berkata,
إِذَا لَـْم تَخْــشَ عَاقِبَـةَ اللَّـيَـالِي
وَلَـْم تَسْتَحْيِ فـَاصْنَـعْ مَا  تَـشَــاءُ
فَـلاَ وَاللـهِ مَا  فِي الْعَيْشِ خَيْــرٌ
وَلاَ الدُّنْيَا إِذَا ذَهَبَ الْحَيَاءُ
Jika engkau tidak takut terhadap akibat dari malam-malam yang berlalu
Dan kamu pun tidak merasa malu, maka berbuatlah sekehendakmu
Demi Allah, tidak ada kebaikan dalam hidup di dunia ketika malu telah pergi berlalu
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': http://islam.aljayyash.net/, Maktabah Syamilah versi 3.45, Modul Akhlak kelas 8 (Penulis), dll.

Fardhu-Fardhu Shalat (3)

Senin, 25 Mei 2015
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الصلاة‬‎
Fardhu-Fardhu Shalat (3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang fardhu-fardhu shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
9.     Salam
Kewajiban salam  berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan praktek Beliau. Beliau bersabda,
«مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ»
“Kunci shalat adalah bersuci, awalnya takbir, dan akhirnya salam.” (HR. Ahmad, Syafi’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi dari Ali radhiyallahu ‘anhu. Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits paling shahih dan paling baik tentang masalah ini.”)
Dari Amir bin Sa’ad, dari ayahnya , ia berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri sehingga terlihat putihnya pipi Beliau.” (HR. Ahmad, Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Dari Wa’il bin Hujr ia berkata, “Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau mengucapkan ke sebelah kanannya, “As Salamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh,” dan ke sebelah kirinya, “As Salamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.” (Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram berkata, “HR. Abu Dawud dengan isnad yang shahih.”)
Praktek salam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Syaikh Al Albani dalam kitabnya Sifat Shalat Nabi berkata,
“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke sebelah kanannya, “As Salamu ‘alaikum wa rahmatullah,” sehingga terlihat putihnya pipi kanan Beliau, dan ke sebelah kirinya, “As Salamu ‘alaikum wa rahmatullah,” sehingga terlihat putihnya pipi kiri Beliau.” (HR. Muslim seperti itu, Abu Dawud, Nasa’i, dan Tirmidzi, ia menshahihkannya).
Terkadang Beliau menambahkan pada salam pertama kalimat, “Wa barakatuh.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih).
Terkadang Beliau mengucapkan ke sebelah kanannya, “As Salamu alaikum wa rahmatullah,” dan ke sebelah kirinya hanya mengucapkan, “As Salamu ‘alaikum,” (HR. Nasa’i, Ahmad, dan As Siraj dengan sanad yang shahih).
Terkadang Beliau hanya mengucapkan sekali salam, “As Salamu ‘alaikum,” ke arah depannya menyerong sedikit ke arah kanan. (HR. Ibnu Khuzaimah, Baihaqi, dan Adh Dhiya dalam Al Mukhtarah)..
Para sahabat ketika mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri berisyarat dengan tangan mereka, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (menegur mereka), “Mengapa kalian berisyarat dengan tangan seperti ekor kuda liar. Jika salah seorang di antara kamu mengucapkan salam, maka hendaknya ia menoleh ke kawannya dan tidak berisyarat dengan tangannya. Ketika mereka shalat bersama Beliau, mereka tidak melakukannya lagi. (HR. Muslim, Abu Awanah, As Siraj, Ibnu Khuzaimah, dan Thabrani. Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Sesungguhnya cukup salah seorang di antara kamu meletakkan tangannya di paha, kemudian mengucapkan salam kepada saudaranya yang ada di sebelah kanan dan sebelah kiri.”)
(Shifat Shalat Nabi hal. 188)
Wajibnya salam pertama dan sunahnya salam kedua
Jumhur ulama berpendapat, bahwa salam pertama hukumnya fardhu (wajib), dan bahwa salam kedua hukumnya sunah.
Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat, bahwa shalat orang yang mengucapkan salam sekali saja adalah boleh.”
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni berkata, “Tidak ada nash dari Imam Ahmad yang menegaskan wajibnya dua kali salam, ia hanya mengatakan, “Salam dua kali adalah paling shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,” maka silahkan berpendapat disyariatkannya hal itu tanpa mewajibkan sebagaimana pendapat yang lain. Hal ini ditunjukkan pada pernyataannya, “Dan yang paling kusukai adaah dua kali salam.” Di samping itu, karena Aisyah, Salamah bin Al Akwa’, dan Sahl bin Sa’ad meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam sekali. Dan kaum muhajirin mengucapkan salam sekali.”
Dari penjelasan di atas kita dapat simpulkan, bahwa yang disyariatkan, yakni disunahkan dua kali salam, namun yang wajib hanya sekali.
Para ulama menjelaskan, bahwa yang wajib hanya sekali salam. Jika hanya salam sekali, maka dianjurkan mengucapkan salamnya ke arah depannya, tetapi jika dua kali salam, maka ia jadikan salam yang pertama ke sebelah kanannya, sedangkan salam yang kedua ke sebelah kirinya sambil menoleh hingga terlihat pipinya.
Jika seseorang mengucapkan salam ke kanan atau ke kiri, atau ke arah depannya, atau salam pertama ke kiri, lalu salam kedua ke kanan, maka tetap sah shalatnya dan telah tercapai dua kali salam, akan tetapi ia kehilangan keutamaan dalam hal kaifiyatnya (Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq pembahasan Fara’idhush Shalah tentang salam).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), Shifat Shalat Nabi (M. Nashiruddin Al Albani), dll.

Fardhu-Fardhu Shalat (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الصلاة‬‎
Fardhu-Fardhu Shalat (2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang fardhu-fardhu shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
6.     Bangkit dari ruku dan berdiri lurus dengan thuma’ninah
Hal ini berdasarkan perkataan Abu Humaid menerangkan sifat shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ
“Ketika Beliau mengangkat kepalanya (dari ruku), maka badannya lurus sehingga tulang-tulang punggung kembali ke tempatnya semula.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menerangkan sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu, “Beliau ketika mengangkat kepalanya dari ruku tidak melakukan sujud sampai badannya berdiri lurus.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا
“Kemudian bangkitlah (dari ruku) hingga engkau berdiri lurus.” (HR. Bukhari dan Muslim)
لَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى صَلَاةِ رَجُلٍ لَا يُقِيمُ صُلْبَهُ بَيْنَ رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ
“Allah tidak melihat shalat seseorang yang tidak meluruskan tulang punggungnya (berdiri lurus) antara ruku dan sujudnya.” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah dan dihasankan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
7.     Sujud
Kewajiban sujud tercantum dalam Al Qur’an dan diterangkan lebih lanjut dalam As Sunnah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang keliru shalatnya, “Kemudian sujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam keadaan sujud dan bangkitlah hingga engkau thuma’ninah ketika duduk, lalu sujudlah hingga engkau thuma’ninah ketika sujud.”
Dengan demikian, sujud pertama, bangun dari sujud, dan sujud kedua hukumnya fardhu di setiap rakaat baik shalat fardhu maupun sunah.
Batasan thuma’ninah
Thuma’ninah artinya diam sejenak setelah tetapnya anggota badan, sebagian ulama memperkirakan batasan minimalnya, yaitu seukuran ucapan tasbih.
Anggota sujud
Anggota sujud ada tujuh, yaitu: wajah (berikut hidungnya), dua telapak tangan, dua lutut, dan dua kaki.
عَنِ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِذَا سَجَدَ الْعَبْدُ سَجَدَ مَعَهُ سَبْعَةُ أَطْرَافٍ: وَجْهُهُ، وَكَفَّاهُ، وَرُكْبَتَاهُ، وَقَدَمَاهُ "
Dari Al Abbas bin Abdul Muththalib, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang hamba bersujud, maka sujud pula bersamanya tujuh anggota badan, yaitu wajahnya, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua kakinya.” (HR. Jamaah Ahli Hadits selain Bukhari)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan sujud di atas tujuh anggota badan, dan tanpa mengumpulkan (menarik atau menggulung) rambut dan kain. (Tujuh anggota badan itu adalah) dahi, kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki.”
Dalam sebuah lafaz disebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الجَبْهَةِ، وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَاليَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ، وَأَطْرَافِ القَدَمَيْنِ »
“Aku diperintahkan bersujud di atas tujuh anggota badan, yaitu dahi, Beliau berisyarat dengan tangannya ke hidung (berikut hidung), kedua tangan, kedua lutut, dan ujung dua kaki.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat disebutkan,
«أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعٍ، وَلَا أَكْفِتَ الشَّعْرَ، وَلَا الثِّيَابَ، الْجَبْهَةِ، وَالْأَنْفِ، وَالْيَدَيْنِ، وَالرُّكْبَتَيْنِ، وَالْقَدَمَيْنِ»
“Aku diperintahkan sujud di atas tujuh anggota badan dengan tidak menarik rambut dan menggulung baju. (Tujuh anggota badan itu adalah) dahi, hidung, kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki.” (HR. Muslim dan Nasa’i)
Dari Abu Humaid, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud menekan hidung dan dahinya ke tanah. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, ia menshahihkannya. Ia berkata, “Inilah yang diamalkan di kalangan Ahli Ilmu, yaitu agar seseorang sujud di atas dahi dan hidungnya.”)
Jika seseorang sujud di atas dahinya tidak ikut hidungnya, maka menurut sebagian Ahli Ilmu, sudah cukup (sah), namun menurut yang lain tidak cukup (tidak sah) sampai ia sujud di atas dahi dan hidungnya.
8.     Duduk terakhir sambil membaca tasyahhud
Demikianlah yang sudah masyhur dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu bahwa Beliau duduk terakhir dan membaca tasyahhud di sana. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada orang yang keliru shalatnya, “Jika engkau angkat kepalamu setelah sujud terakhir dan kamu duduk seukuran tasyahhud, maka telah sempurna shalatmu.
Ibnu Qudamah berkata, “Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata, “Sebelum difardhukan tasyahhud kepada kami, kami mengucapkan, “Assalamu ‘alallah qibala ibaadih, As Salamu ‘alaa Jibril, As Salaamu ‘alaa Mikail,” (artinya: salam atas Allah dari hamba-hamba-Nya, salam atas Jibril, dan salam atas Mikail) lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian mengucapkan “As Salaamu alallah” tetapi ucapkanlah “At Tahiyyaatu lillah...dst.” Hal ini menunjukkan bahwa tasyahhud itu hukumnya fardhu (wajib) setelah sebelumnya tidak fardhu.”
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كُنَّا إِذَا كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصَّلاَةِ، قُلْنَا: السَّلاَمُ عَلَى اللَّهِ مِنْ عِبَادِهِ، السَّلاَمُ عَلَى فُلاَنٍ وَفُلاَنٍ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لاَ تَقُولُوا السَّلاَمُ عَلَى اللَّهِ، فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّلاَمُ، وَلَكِنْ قُولُوا: التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، فَإِنَّكُمْ إِذَا قُلْتُمْ أَصَابَ كُلَّ عَبْدٍ فِي السَّمَاءِ أَوْ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ، فَيَدْعُو "
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami ketika bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat biasa mengucapkan, “As Salamu ‘alallah min ‘ibaadih           , as salamu ‘alaa fulan wa fulaan,” (artinya: keselamatan untuk Allah dari hamba-hamba-Nya, keselamatan untuk fulan dan fulan), lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian katakan “Keselamatan untuk Allah” karena Allah adalah As Salam (Maha Penyelamat), akan tetapi katakanlah,
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ
Artinya, Segala pengagungan untuk Allah, demikian pula ibadah badan dan ucapan. Salam atas Nabi, serta rahmat Allah dan berkah-Nya semoga dilimpahkan kepadanya. Salam untuk kami dan untuk hamba-hamba Allah yang saleh.
Beliau bersabda, “Jika kalian ucapkan kalimat ini, maka akan mengena kepada semua hamba di langit atau di antara langit dan bumi.”
(selanjutnya ia mengucapkan),
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Artinya: Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.”
Beliau juga bersabda, “Selanjutnya ia memilih doa yang disukainya untuk digunakannya berdoa.” (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Tirmidzi, Al Khaththabi, Ibnu Abdil Bar, dan Ibnul Mundzir berkata, “Tasyahhud Ibnu Mas’ud adalah hadits yang paling shahih tentang tasyahhud. Dalam hal keshahihan, setelah tasyahhud Ibnu Mas’ud adalah tasyahhud Ibnu Abbas, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami tasyahhud sebagaimana Beliau mengajari kami Al Qur’an, Beliau mengucapkan,
«التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ، الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ»
Artinya: Segala pengagungan untuk Allah, demikian pula semua keberkahan, ibadah badan dan ucapan. Salam atas Nabi, serta rahmat Allah dan berkah-Nya semoga dilimpahkan kepadanya. Salam untuk kami dan untuk hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.” (HR. Syafi’i, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i. Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Abduhu wa Rasuuluh,” setelah kata “Muhammadan”).
Imam Syafi’i berkata, “Hadits-hadits tentang tasyahhud telah diriwayatkan secara berbeda-beda. Namun lafaz ini lebih aku sukai karena lebih lengkap.”
Al Hafizh berkata, “Syafi’i ditanya tentang pilihannya terhadap tasyahhud Ibnu Abbas, lalu ia menjawab, “Karena aku melihat cakupannya yang luas dan aku mendengarnya dari Ibnu Abbas secara shahih. Menurutku lafaz itu lebih menyeluruh dan banyak daripada yang lain. Aku pegang lafaz tasyahhud itu bukan berarti mencela orang yang berpegang dengan lafaz tasyahhud yang lain yang memang shahih.” 
Ada pula lafaz tasyahhud lainnya, yaitu tasyahhud yang dipilih oleh Imam Malik, ia meriwayatkan dalam Al Muwaththa dari Abdurrahman bin Abdul Qari, bahwa ia mendengar Umar bin Khaththab ketika berada di atas mimbar mengajarkan tasyahhud, ia berkata, “Ucapkanlah oleh kalian,
التَّحِيَّاتُ للهِ، الزَّاكِيَاتُ للهِ، الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ للهِ؛ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ  مُحَمَّداً عَبْدُ اللهِ  وَرَسُولُهُ.
Artinya: Segala pengagungan, segala yang suci, yang baik, dan semua shalat adalah untuk Allah. Salam atasmu wahai Nabi, demikian pula rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam untuk kami dan hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya.
Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata, "Saat Beliau wafat, kami mengucapkan "As Salaamu 'alan nabiy" maksudnya bahwa para sahabat mengucapkan "As Salaamu 'alaika ayyuhan nabiyyu..dst." dalam tasyahhud saat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup. Namun ketika Beliau telah wafat, mereka mengucapkan "As Salaamu 'alan nabiyy..dst." (lihat Shifat Shalatin Nabi hal. 161).
Ada pula tasyahhud yang diriwayatkan Abu Dawud dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Umar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau dalam tasyahhudnya mengucapkan,
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ - قَالَ: قَالَ ابْنُ عُمَرَ: زِدْتَ فِيهَا: وَبَرَكَاتُهُ - السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ - قَالَ ابْنُ عُمَرَ: زِدْتُ فِيهَا: وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ - وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Artinya: “Segala pengagungan, semua shalat, dan semua yang baik adalah untuk Allah. Salam atasmu wahai Nabi, demikian pula rahmat Allah dan keberkahan-Nya.”
Ibnu Umar berkata, “Aku tambahkan kata “wa barakatuh,
“Salam atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah.”
Ibnu Umar berkata, “Aku tambahkan kata “wahdahu laa syarika lah,
“Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al Albani)
Imam Muslim dan Abu Awanah meriwayatkan dari Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang sedang duduk (tasyahhud), maka hendaknya ucapan salah seorang di antara kamu adalah,
التَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ لِلَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Artinya: Segala pengagungan, semua yang baik, dan semua shalat adalah untuk Allah. Salam atasmu wahai Nabi, demikian pula rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam untuk kami dan hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya.
Ibnu Abi Syaibah, As Siraj, dan Baihaqi meriwayatkan dari Al Qasim bin Muhammad, bahwa Aisyah mengajarkan kami ucapan tasyahhud, ia berisyarat dengan tangannya sambil mengucapkan,
اَلتَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ الزَّاكِيَاتُ للهِ اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ . . .
Selebihnya sama seperti tasyahhud Ibnu Mas’ud.
Imam Nawawi berkata, “Hadits-hadits tentang tasyahhud ini semuanya shahih, namun yang paling shahih berdasarkan kesepakatan para Ahli Hadits adalah hadits Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas.”
Imam Syafi’i berkata, “Dengan lafaz tasyhhud mana saja cukup, dan para ulama telah sepakat bolehnya masing-masing tasyahhud itu.”
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), Shifat Shalat Nabi (M. Nashiruddin Al Albani), dll.

Fardhu-Fardhu Shalat (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الصلاة‬‎
Fardhu-Fardhu Shalat (1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang fardhu-fardhu shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Fardhu-fardhu shalat
Shalat memiliki fardhu-fardhu dan rukun-rukun yang daripadanya terwujud hakikat shalat, dimana jika salah satunya ditinggalkan, maka shalat tidak terwujud dan belum dianggap secara syara’.
1.     Niat[i]
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّمَاالْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ ينكحها فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka berarti hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya (dan ia akan beruntung), dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak diperolehnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai niat hijrahnya (hijrahnya sangat hina).” (HR. Bukhari)
Tentang melafazkan niat
Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan berkata, “Niat artinya bermaksud dan berazam melakukan sesuatu. Tempatnya di hati; tidak ada kaitannya dengan lisan sama sekali. Oleh karenanya, tidak ada nukilan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tentang melafazkan niat. Lafaz niat yang diada-adakan ketika hendak memulai bersuci dan shalat telah dijadikan kesempatan oleh setan untuk menundukkan orang-orang yang was-was, dimana setan berhasil menahan mereka dan membuat mereka tersiksa karenanya, bahkan membuat mereka berusaha memperbaiki dalam melafazkannya. Oleh karenanya engkau  melihat salah seorang di antara mereka mengulang-ulangnya dan memaksa jiwanya untuk melafazkanya, padahal itu bukan bagian shalat sedikit pun.”
2.     Takbiratul Ihram
Hal ini berdasarkan hadits Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ»
“Kunci shalat adalah bersuci, dimulai dengan takbir, dan diakhiri dengan salam.” (HR. Syafi’i, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits yang paling shahih dan paling baik dalam masalah ini.” Hadits ini dishahihkan pula oleh Hakim dan Ibnus Sakan).
Lafaznya adalah “Allahu akbar,” berdasarkan hadits Abu Humaid, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak shalat berdiri lurus dan mengangkat kedua tangannya, lalu mengucapkan, “Allahu akbar.” (HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Al Bazzar juga meriwayatkan dengan isnad yang shahih sesuai syarat Muslim, dari Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdiri shalat mengucapkan “Allahu akbar.”
Dan dalam hadits orang yang shalatnya keliru dalam riwayat Thabrani disebutkan, “(Hendaknya) ia mengucapkan, “Allahu akbar.”
3.     Berdiri dalam shalat fardhu.
Hukumnya wajib berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ bagi yang mampu berdiri. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (QS. Al Baqarah: 238)
Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku terkena bawasir, lalu aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat (ketika terkena penyakit itu), maka Beliau bersabda,
«صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ»
“Shalatlah sambil berdiri. Jika tidak sanggup, maka sambil duduk, dan jika tidak sanggup, maka sambil berbaring.” (HR. Bukhari)
Demikianlah kesepakatan ulama, sebagaimana mereka juga bersepakat menganjurkan untuk merenggangkan dua kaki saat berdiri.
Faedah:
Adapun dalam shalat sunah, maka diperbolehkan shalat sambil duduk meskipun mampu berdiri, hanyasaja pahala orang yang shalat sunah sambil berdiri lebih sempurna daripada orang yang shalat sambil duduk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ
“Shalat yang dilakukan seseorang sambil duduk adalah separuh shalat orang yang berdiri.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Amr)
Dan jika seseorang tidak sanggup berdiri dalam shalat fardhu, maka ia tetap shalat semampunya, karena Allah tidaklah membebani kecuali sesuai kemampuannya. Ia juga memperoleh pahala sempurna tanpa dikurangi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا»
“Jika seorang hamba sakit atau bersafar, maka akan dicatat untuknya pahala seperti yang ia lakukan ketika mukim dan sehat.” (HR. Bukhari dari Abu Musa)
4.     Membaca surat Al Fatihah pada setiap rakaat, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ»
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah.” (HR. Jamaah dari Ubadah bin Ash Shamit)
مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ
“Barang siapa yang shalat namun tidak membaca Ummul Qur’an, maka shalat itu kurang.” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim dari Abu Hurairah)
لاَ تُجْزِئُ صَلاَةٌ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah.” (HR. Daruquthni dengan isnad yang shahih)
Abu Sa’id berkata, “Kami diperintahkan membaca Fatihatul kitab (Al Fatihah) dan surat yang mudah.” (HR. Abu Dawud. Al Hafizh dan Ibnu Sayyidin Nas berkata, “Isnadnya shahih.”)
Dalam hadits orang yang keliru shalatnya disebutkan, “Kemudian bacalah Ummul Qur’an...dst.” hingga Beliau bersabda, “Lakukanlah hal itu pada setiap rakaat.”
Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa salllam senantiasa membaca surat Al Fatihah pada setiap rakaat, baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunah. Dan prinsip dalam masalah ibadah adalah ittiba’ (mengikuti contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
“Shalatlah sebagaimana kalian lihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Faedah:
Para ulama sepakat, bahwa basmalah adalah bagian dari ayat di surat An Naml, namun mereka berbeda pendapat tentang basmalah yang terletak di awal surat hingga menjadi tiga pendapat yang masyhur, yaitu:
Pertama, bahwa basmalah termasuk al fatihah, dan termasuk bagian surat yang lain. Oleh karena itu, membaca basmalah wajib pada surat Al Fatihah, hukum membacanya sama seperti hukum membaca surat Al Fatihah baik pada shalat sir (dipelankan bacaannya) maupun jahar (dikeraskan bacaannya). Dalil terkuat pendapat ini adalah hadits Nu’aim Al Mujmir, ia berkata, “Aku shalat di belakang Abu Hurairah, lalu ia membaca “Bismillahirrahmaanirrahim,” kemudian membaca Ummul Qur’an...dst.” Di akhir hadits disebutkan, bahwa Abu Hurairah berkata, “Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang paling mirip di antara kalian shalatnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban. Al Hafizh dalam Al Fath berkata, “Ia adalah hadits yang paling shahih yang berkenaan dengan menjaharkan basmalah.”)
Kedua, basmalah adalah ayat tersendiri yang diturunkan untuk keberkahan dan memisahkan antara beberapa surat, dan bahwa membaca basmalah pada surat Al Fatihah hukumnya boleh, bahkan dianjurkan, tetapi tidak disunahkan menjaharkannya. Pendapat ini berdasarkan hadits Anas radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka tidak menjaharkan Bismillahirrahmanirrahim.” (HR. Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Thahawi dengan isnad yang sesuai syarat Bukhari dan Muslim).
Ketiga, Basmalah bukan termasuk surat Al Fatihah dan bukan termasuk surat-surat yang lain, sehingga makruh dibaca baik ketika sir maupun jahar, dan baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunah. Namun pendapat ini tidak kuat.
Ibnul Qayyim menggabung antara pendapat pertama dan kedua dengan mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang menjaharkan Bismillahirrahmaanirrahim, namun mensirkannya lebih sering Beliau lakukan daripada menjaharkannya. Tidak diragukan lagi, bahwa Beliau tidak selalu menjaharkannya di siang dan malam hari lima kali, baik ketika mukim maupun safar. Beliau juga menyembunyikan bacaan basmalah di hadapan para khulafa’urrasyidin, di hadapan mayoritas sahabat, dan penduduk kotanya di masa-masa yang utama.”
Jika tidak bisa membaca Al Fatihah
Al Khaththabiy berkata, “Hukum asalnya, shalat tidaklah sah tanpa membaca Al Fatihah. Namun sudah maklum, bahwa surat Al Fatihah diwajibkan atas orang yang mampu membacanya, bukan kepada yang tidak mampu. Jika seorang yang shalat tidak mampu membaca surat Al Fatihah, namun mampu membaca surat yang lain, maka ia harus membaca surat yang mampu itu sebanyak tujuh ayat, karena dzikr yanag paling utama setelah surat Al Fatihah adalah ayat Al Qur’an yang semisalnya. Jika ternyata tidak mampu mempelajari sedikit pun ayat Al Qur’an karena ada kekurangan pada tabiat dirinya, buruknya hapalan, atau berat pada lisannya, atau musibah yang menimpanya, maka dzikr yang plaing utama setelah Al Qur’an adalah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan, yaitu tasbih (ucapan Subhaanallah), tahmid (ucapan alhamdulillah), dan tahlil (ucapan Laailaahaillallah).”
Pernyataan Al Khaththabiy di atas dikuatkan oleh hadits Rifa’ah bin Rafi’, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan shalat kepada seseorang, lalu Beliau bersabda,
فَإِنْ كَانَ مَعَكَ قُرْآنٌ فَاقْرَأْ بِهِ، وَإِلَّا فَاحْمَدِ اللَّهَ وَكَبِّرْهُ وَهَلِّلْهُ
 “Jika kamu memiliki hapalan Al Qur’an, maka bacalah. Jika tidak, maka pujilah Allah (tahmid), besarkanlah Dia (takbir), dan esakanlah Dia (tahlil).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, ia menghasankannya. Dan diriwayatkan pula oleh Nasa’i dan Baihaqi,  dan dishahihkan oleh Al Albani).
5.     Ruku’
Tentang kewajiban ruku telah disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا
“Wahai orang-orang yang beriman! Ruku dan sujudlah kalian...dst.” (QS. Al Hajj: 77)
Ruku terwujud dengan membungkukkan badan dengan menyentuhkan kedua tangan ke kedua lutut, dan harus dilakukan dengan thuma’ninah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tsummarka’ hatta tathma’inna raaki’an,” (Kemudian rukulah hingga engkau thuma’ninah dalam ruku).
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " " أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ " ". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ؟ قَالَ: " " لَا يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلَا سُجُودَهَا " " أَوْ قَالَ: " " لَا يُقِيمُ صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ "
Dari Abdullah bin Abu Qatadah, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia paling buruk melakukan pencurian adalah orang yang mencuri shalatnya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang mencuri shalatnya?” Beliau menjawab, “Dia tidak menyempurnakan ruku dan sujudnya,” atau Beliau bersabda, “Dia tidak meluruskan tulang punggungnya ketika ruku dan sujud.” (HR. Ahmad, Thabrani, Ibnu Khuzaimah, dan Hakim, ia berkata, “Shahih isnadnya,” dan dishahihkan oleh Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تُجْزِئُ صَلَاةٌ لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ فِيهَا صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ»
Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak meluruskan tulang punggungnya ketika ruku dan sujud.” (HR. Lima Imam Ahli Hadits, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Thabrani, dan Baihaqi. Baihaqi berkata, “Isnadnya shahih.” Tirmidzi berkata, “Hasan shahih.”)
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu pernah melihat seorang yang tidak sempurna ruku dan sujudnya, maka ia berkata, “Engkau belum shalat. Kalau sekiranya engkau mati, maka engkau mati tidak di atas fitrah (agama) yang Allah menciptakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atasnya.” (HR. Bukhari)
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), dll.


[i] Sebagian ulama menyatakan, bahwa niat adalah syarat; bukan rukun.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger