Fiqih Zakat (11)

Sabtu, 29 Februari 2020

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk زكاة الانعام
Fiqih Zakat (11)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang fiqih zakat yang banyak merujuk kepada kitab Fiqhussunnah karya Syaikh Sayyid Sabiq, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Zakat Hewan Ternak
Telah ada dalam hadits-hadits yang shahih yang dengan tegas menyebutkan kewajiban zakat pada unta, sapi, dan kambing. Bahkan ulama juga sepakat untuk mengamalkan kewajiban ini.
Untuk wajibnya zakat pada hewan ternak disyaratkan beberapa syarat berikut:
1. Mencapai nishab
2. Berlalu haul
3. Hewan tersebut harus saimah, yakni hewan tersebut digembalakan di rerumputan mubah pada sebagian besar hari-harinya dalam setahun[i].
Jumhur (mayoritas) para ulama memperhatikan syarat ini, dan tidak ada yang menyelisihinya selain Malik dan Laits, karena keduanya mewajibkan zakat pada hewan ternak secara mutlak, baik yang saimah (digembalakan) maupun yang diberi pakan, baik dipakai untuk bekerja (seperti untuk mengangkut barang) maupun tidak.
Akan tetapi hadits-hadits yang membatasi dengan keadaannya yang harus saimah menunjukkan, bahwa jika diberi pakan maka tidak kena zakat. Penyebutan sifat itu pasti ada faedahnya tidak mungkin tanpa arti.
Ibnu Abdil Bar berkata, “Aku tidak mengetahu seorang pun dari para fuqaha (Ahli Fiqih) di berbagai negeri yang berpendapat seperti Malik dan Laits.”
Zakat Unta
Tidak ada zakat pada unta sampai berjumlah lima ekor. Oleh karena itu, ketika unta berjumlah lima ekor dengan keadaannya yang saimah dan berlalu haul padanya, maka zakat yang dikeluarkan seekor kambing[ii].
Ketika berjumlah 10 ekor, maka zakatnya dua ekor kambing. Demikian seterusnya, setiap bertambah lima, maka zakatnya seekor kambing.
Ketika jumlah unta mencapai 25 ekor, maka zakat yang dikeluarkannya berupa bintu mkhadh (unta betina yang sudah berusia setahun dan masuk tahun kedua) atau ibnu labun (unta jantan yang usianya dua tahun dan masuk tahun ketiga) [iii].
Ketika jumlah unta mencapai 36 ekor, maka zakatnya bintu labun (unta jantan yang usianya dua tahun dan masuk tahun ketiga).
Ketika jumlah unta mencapai 46 ekor, maka zakatnya seekor hiqqah (unta yang telah berusia empat tahun dan masuk tahun kelima).
Ketika jumlah unta mencapai 76 ekor, maka zakatnya dua bintu labun.
Ketika jumlah unta mencapai 91-120 ekor, maka zakatnya dua hiqqah. Apabila jumlahnya lebih, maka setiap 40 ekor zakatnya bintu labun, sedangkan pada setiap 50 ekor zakatnya seekor hiqqah.
Ketika berbeda usia unta dalam hal kewajiban zakat, maka ketika ia berkewajiban mengeluarkan zakat yang jadza’ah, sedangkan dia tidak memiliki jadza’ah dan memiliki hiqqah, maka hiqqah tersebut diterima dengan tambahan dua kambing jika mudah, atau dua puluh dirham. 
Barang siapa berkewajiban mengeluarkan zakat hiqqah, namun yang ada hanya jadza’ah, maka jadza’ah tersebut diterima, lalu pemungut zakat memberikan kepadanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing.
Barang siapa berkewajiban mengeluarkan zakat bintu labun, namun tidak ada bintu labun, yang ada bintu makhadh, maka bintu makhadh itu diterima dengan tambahan dua ekor kambing jika mudah baginya atau 20 dirham.
Barang siapa berkewajiban mengeluarkan zakat bintu makhadh, namun tidak ada, yang ada ibnu labun yang jantan, maka zakatnya diterima tanpa adanya tambahan.
Jika seseorang hanya memiliki 4 ekor unta, maka tidak kena zakat kecuali pemiliknya mau bersedekah[iv].
Demikianlah kewajiban zakat pada unta yang diberlakukan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu anhu di hadapan para sahabat radhiyallahu anhum tanpa ada yang menyelisihi.
Dari Az Zuhri dari Salim dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menetapkan kewajiban zakat namun tidak ditampakkan tulisan itu kepada para amilnya hingga Beliau wafat, maka Abu Bakar menampakkannya, lalu tulisan itu diamalkan sampai ia wafat, kemudian Umar menampakkannya, lalu tulisan itu diamalkan sampai ia wafat.
Ayah Salim berkata, “Ketika Umar wafat pada hari wafatnya, tulisan tersebut menyatu dengan wasiatnya.”
Zakat Sapi[v]
Adapun sapi, maka tidak ada zakatnya sampai berjumlah 30 ekor yang saimah (mendapatkan makanan dengan cara digembalakan) dan berlalu setahun. Ketika inilah zakatnya seekor tabi (sapi jantan yang berusia setahun) atau tabi’ah (sapi betina yang berusia setahun)
Dan tidak ada lagi zakatnya sampai berjumlah 40 ekor yang zakatnya seekor musinnah[vi] (sapi betina yang usianya dua tahun), dan tidak ada zakat padanya sampai berjumlah 60 ekor. Ketika telah mencapai 60 ekor, maka zakatnya dua ekor tabi.
Ulama yang lain berpendapat, zakat sapi yang jumlahnya 40 ekor adalah yang musinnah, kecuali jika keseluruhannya jantan, maka tidak mengapa yang jantan sebagaimana telah disepakati ulama.
Jika 70 ekor, maka zakatnya seekor musinnah dan seekor tabi. Jika 80 ekor, maka zakatnya 2 ekor musinnah. Jika 90 ekor, zakatnya 3 tabi. Jika 100 ekor zakatnya seekor musinnah dan 2 tabi. Jika jumlahnya 110, maka zakatnya 2 ekor musinnah dan seekor tabi. Jika 120 ekor, maka zakatnya 3 musinnah atau 4 ekor tabi. Demikian seterusnya, setiap 30 ekor zakatnya seeekor tabi, dan setiap 40 ekor zakatnya seekor musinnah.
Zakat kambing[vii]
Kambing tidak ada zakatnya sampai mencapai 40 ekor. Ketika telah mencapai 40 ekor dan berlalu setahun, maka zakatnya seekor syath (kambing) sampai berjumlah 120.
Ketika berjumlah 121, maka zakatnya 2 ekor kambing sampai 200 ekor.
Ketika berjumlah 201 ekor, maka zakatnya 3 ekor kambing sampai berjumlah 300 ekor. Ketika melebihi 300, maka setiap 100 ekor zakatnya seekor kambing.
Jika domba, maka diambil yang jadza’ah (enam bulan atau lebih), dan jika kambing, maka diambil yang tsaniyyah (setahun penuh).
Para ulama sepakat, bolehnya mengeluarkan yang jantan dalam zakat, apabila semua kambing yang telah mencapai nishab terdiri dari kambing jantan.
Jika hanya betina, atau ada jantan dan betina, maka boleh mengeluarkan yang jantan menurut ulama madzhab Hanafi, namun menurut yang lain harus yang betina.
Hukum Awqash
Awqash adalah bentuk jamak dari kata waqsh, yaitu hewan-hewan yang berada di antara dua batas kewajiban zakat (misalnya hewan kambing di antara 40 dan 121). Menurut kesepakatan ulama, hewan-hewan tersebut tidak dizakati. Hal ini dapat difahami dari sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam terkait zakat unta misalnya,
فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ، فَفِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ أُنْثَى، فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَثَلاَثِينَ إِلَى خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ فَفِيهَا بِنْتُ لَبُونٍ أُنْثَى
 “Apabila mencapai 25, maka zakatnya bintu makhadh yang betina. Apabila jumlahnya mencapai 36 sampai 45, maka zakatnya bintu labun yang betina.” (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasa’i, dan Darimi)
Terkait zakat sapi, Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا بَلَغَتْ ثَلَاثِينَ فَفِيهَا عِجْلٌ تَابِعٌ جَذَعٌ أَوْ جَذَعَةٌ حَتَّى تَبْلُغَ أَرْبَعِينَ، فَإِذَا بَلَغَتْ أَرْبَعِينَ فَفِيهَا بَقَرَةٌ مُسِنَّةٌ
“Ketika sapi telah berjumlah 30 ekor, maka zakatnya seekor sapi yang tabi, baik yang jadza’ah jantan maupun betina sampai berjumlah 40 ekor. Ketika telah mencapai 40 ekor, maka zakatnya seekor sapi yang musinnah (2 tahun).” (Hr. Nasa’i, dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
Terkait zakat kambing, Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَفِي سَائِمَةِ الْغَنَمِ إِذَا كَانَتْ أَرْبَعِينَ، فَفِيهَا شَاةٌ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ
“Pada kambing yang saimah (diberi makan dengan digembala) apabila berjumlah 40 ekor, maka zakatnya seekor kambing sampai berjumlah 120 ekor.” (Hr. Abu Dawud, dinyatakan shahih oleh Al Albani)
Oleh karena itu, antara 25 sampai dengan 36 unta adalah waqsh; tidak kena zakat.
Demikian pula antara 30 ekor sapi dengan 40 ekor sapi juga waqsh, demikian pula pada kambing.
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.


[i] Inilah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad. Menurut Syafi’i, bahwa jika hewan diberi pakan dengan kadar ukuran yang sebenarnya hewan itu masih hidup tanpa pakan itu, maka tetap wajib zakat. Jika hewan tersebut tidak dapat hidup tanpa pakan tersebut, maka tidak wajib zakat, dan hewan masih bisa hidup tanpa makan selama dua hari; tidak lebih.
[ii] Kambing atau syaath adalah kambing jadza’ah, yakni apabila biri-biri atau domba yang usianya hampir setahun, atau jika kambing sudah berusia setahun.
[iii] Tidak diambil hewan jantan dalam zakat apabila pada hewan yang telah mencapai nishab itu ada betina selain Ibnu Labun ketika tidak ada bintu makhadh. Apabila unta itu semuanya jantan, maka boleh mengambil yang jantan.
[iv]  Imam Syaukani berkata, “Hal ini dan semisalnya menunjukkan bahwa zakat tertuju kepada ‘ain (barangnya), jika tertuju kepada nilai, tentu penyebutan itu sia-sia, karena nilai berubah sesuai perubahan waktu dan tempat.
[v] Termasuk pula kerbau.
[vi] Menurut madzhab Hanafiyyah, bahwa diperbolehkan mengeluarkan yang musinnah (sapi betina yang usianya dua tahun) dan yang musin (sapi jantan yang usianya dua tahun).  .
[vii] Termasuk domba atau biri-biri dan kambing. Dan karena keduanya sejenis, maka digabungkan berdasarkan ijma sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnul Mundzir.

Kritik Terhadap 3 Pernyataan Menyimpang

Kamis, 27 Februari 2020
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk Meluruskan penyimpangan
Kritik Terhadap 3 Pernyataan Menyimpang
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut kritik terhadap pernyataan menyimpang yang disampaikan oleh seorang tokoh di negeri ini, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Kritik Terhadap 3 Pernyataan Menyimpang
Pernyataan tersebut adalah:
1. Musuh besar Pancasila adalah Agama,
2. Assalamu alaikum perlu diganti dengan salam Pancasila, dan
3. Ijma berada di atas Al Qur’an dan Hadits
Pernyataan dan Jawaban
Pernyataan Pertama, bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila
Jawab: Pernyataan ini sebenarnya ingin membenturkan agama dengan Pancasila dan agar praktek pengamalan agama tidak diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari seperti yang dilakukan orang-orang Sekuler yang memisahkan agama dalam kehidupan sehari-hari.
Padahal kalau kita perhatikan, bahwa agama Islam tidak hanya mengatur hubungan seseorang dengan Allah tetapi mengatur pula hubungan seseorang dengan orang lain, bukan hanya di masjid, bahkan di luar masjid pun kita diperintahkan berakhlak, beradab, dan bermuamalah yang Islami. Baik Pancasila dan UUD 45 pun memberikan kebebasan kepada pemeluk agama untuk mengamalkan ajaran agamanya.  Bahkan yang benar, bahwa musuh Pancasila adalah Komunisme.
Dengan agama, maka kehidupan manusia menjadi baik dan tertata, meninggalkannya membuat kehidupan manusia tidak teratur dan akan rusak seperti pengguna jalan raya yang tidak mau mengikuti aturan lalu lintas yang akibatnya timbul kekacauan dan kecelakaan di jalan raya.
Pernyataan Kedua, perlu adanya salam yang bisa menaungi seluruh agama agama yang ada di Indonesia, sehingga perlu diganti As Salamu alaikum dengan Salam Pancasila.
Jawab: Pernyataan ini merupakan usaha untuk mengganti sesuatu yang terbaik dengan sesuatu yang rendah dan mengikuti jejak orang-orang Yahudi yang mengganti ucapan yang diperintahkan Allah dengan ucapan yang tidak diperintahkan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ
“Apakah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (Qs. Al Baqarah: 61)
Saat orang-orang Yahudi diperintahkan mengucapkan hiththah (bebaskanlah kami dari dosa-dosa), mereka menggantinya dengan hinthah (sebutir biji dalam sebuah gandum) sehingga mereka mendapatkan kehinaan.
Padahal salam bukan hanya ajaran Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, bahkan warisan nenek moyang kita yaitu Nabi Adam alaihis salam.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا، ثُمَّ قَالَ: اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلَى أُولَئِكَ مِنَ المَلاَئِكَةِ، فَاسْتَمِعْ مَا يُحَيُّونَكَ، تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ، فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ، فَقَالُوا: السَّلاَمُ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللَّه
"Allah menciptakan Adam dengan tinggi 60 hasta, selanjutnya Dia berfirman, "Pergilah dan ucapkanlah salam kepada para malaikat itu dan dengarkanlah ucapan salam mereka kepadamu yang akan menjadi ucapan salammu dan anak keturunanmu." Adam berkata, "As Salamu 'alaikum." Maka para malaikat menjawab, "Wa 'alaikumus salam wa rahmatullah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Pernyataan ketiga, hukum tertinggi adalah ijma atau konsensus.
Jawab: Ini adalah pernyataan kufur, padahal dalam ilmu Ushul Fiqih saja urutan sumber hukum adalah Al Qur’an, lalu as Sunnah, kemudian Ijma. Dan umat Islam sepakat, baik kalangan ulamanya, penuntut ilmunya, maupun kalangan awam, bahwa hokum tertinggi adalah Al Qur’an, lalu As Sunnah, kemudian ijma.
Ijma pun harus punya sandaran dalam Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak boleh menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah.
Dengan demikian, ketiga pernyataan tersebut di atas adalah pernyataan sesat dan menyesatkan yang wajib ditolak oleh umat Islam karena bertentangan dengan ajaran Islam.
Nasihat kami kepada orang yang menyampaikan pernyataan di atas adalah :
1. Segera istighfar dan tobat, serta meralat pernyataan itu karena Allah akan menerima tobat orang yang kembali dan bertobat kepada-Nya.
2. Berhati-hati dalam berbicara.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (Hr. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
«إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا، يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ، أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ»
“Sesungguhnya seorang hamba ada yang mengucapkan kata-kata yang tidak dipedulikannya, padahal karenanya ia jatuh ke dalam neraka yang jauhnya melebihi jauhnya antara timur dan barat.” (Hr. Muslim)
3. Ingatlah firman Allah Ta’ala,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata. (Qs. Al Ahzaab: 36)
4. Ingatlah bahwa dunia hanya sementara, dan bahwa dia -sebagaimana saya dan kita semua- akan meninggal dunia, kemudian masing-masing kita akan diminta pertanggung jawaban terhadap amal yang kita kerjakan.
Allah Ta’ala berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Setiap yang berjiwa akan merasakan mati. Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Qs. Ali Imran: 185)
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa Nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Al Faqir Ilallah Marwan Hadidi, M.Pd.I

200 Tanya-Jawab Akidah (2)

Sabtu, 22 Februari 2020
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk العقيدة الصحيحة
200 Tanya-Jawab Akidah (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut 200 tanya jawab akidah berdasarkan Al Qur’an dan As Sunah yang merujuk kepada kitab A’lamus Sunnah Al Mansyurah Li’tiqad Ath Thaifah An Najiyah Al Manshurah karya Syaikh Hafizh bin Ahmad Alu Hakami rahimahullah, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
200 Tanya-Jawab Akidah Islam
15. Pertanyaan: Apa dalil bahwa Islam secara tafsil (rinci) didefinisikan dengan rukun Islam yang lima?
Jawab: Yaitu sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits yang menyebutkan jawaban Beliau terhadap pertanyaan malaikat Jibril kepadanya,
«الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا»
“Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah jika engkau mampu mengadakan perjalanan ke sana.”(Hr. Bukhari dan Muslim)
Beliau juga bersabda, “Islam dibangun di atas lima dasar.” Beliau menyebutkan kelima rukun tadi hanyasaja (dalam hadits tersebut) rukun haji didahulukan sebelum puasa, dan kedua hadits tersebut ada dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim).”
16. Pertanyaan: Di manakah posisi dua kalimat syahadat dalam agama Islam?
Jawab: Seseorang tidak masuk ke dalam Islam kecuali dengan dua kalimat syahadat. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Qs. An Nuur: 62)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ،
“Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Dan dalil-dalil lainnya yang sangat banyak.
17. Pertanyaan: Apa dalil syahadat Laailaahaillallah?
Jawab: Yaitu firman Allah Ta’ala,
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu juga menyatakan yang demikian itu. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Qs. Ali Imran: 18)
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah.” (Qs. Muhammad: 19)
وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا اللَّهُ
“Dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah.” (Qs. Shaad: 65)
وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ
“Dan sekali-kali tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah.” (Qs. Shaad: 65)
قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا
Katakanlah, "Jika ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai 'Arsy.” (Qs. Al Israa’: 42)
Dan dalil-dalil lainnya.
18. Pertanyaan: Apa makna syahadat Laailaahaillallah?
Jawab: Maknanya adalah meniadakan penyembahan atau peribadatan kepada selain Allah dan menetapkannya untuk Allah Azza wa Jalla saja; tidak ada sekutu bagi-Nya dalam beribadah kepada-Nya sebagaimana tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (tuhan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang batil. Sesungguhnya Allah Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (Qs. Al Hajj: 62)
19. Pertanyaan:  Apa saja syarat syahadat Laailaahaillallah yang harus ada semuanya pada diri seseorang agar bermanfaat?
Jawab: Syarat-syaratnya ada tujuh, yaitu:
Pertama, mengetahui maknanya yang di dalamnya terdapat penafian sesembahan selain Allah dan penetapan bahwa yang berhak disembah hanya Allah.
Kedua, meyakini dengan hatinya.
Ketiga, tunduk kepada konsekwensinya baik lahir maupun batin.
Keempat, menerimanya tanpa menolaknya baik bagian maupun konsekwensinya.
Kelima, ikhlas dalam menyatakannya.
Keenam, membenarkannya dari lubuk hatinya; bukan hanya sekedar di lisan.
Ketujuh, mencintainya, mencintai orang yang menyatakannya, berwala (memberikan loyalitas) dan berbara’ (berlepas diri) karenanya.
20. Pertanyaan: Apa dalil syarat ‘mengetahui maknanya’ dalam Al Qur’an dan As Sunnah?
Jawab: Firman Allah Ta’ala,
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat adalah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka mengetahui(nya).” (Qs. Az Zukhruf: 86)
Mengakui yang hak adalah menyatakan tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan mereka mengetahui makna yang mereka ucapkan di lisannya.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، دَخَلَ الْجَنَّةَ»
“Barang siapa yang meninggal dunia dalam keadaan mengetahui Laailaahaillallah, maka dia akan masuk surga.” (Hr. Muslim)
21. Pertanyaan:  Apa dalil syarat ‘meyakini dengan hatinya’ dari Al Qur’an dan As Sunnah?
Jawab: Yaitu firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Qs. Al Hujurat: 15)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ، لَا يَلْقَى اللهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا، إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ»
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku utusan Allah. Tidaklah seorang hamba menghadap Allah dengan persaksian ini tanpa ragu-ragu melainkan akan masuk surga.” (Hr. Muslim)
Beliau juga pernah bersabda kepada Abu Hurairah radhiyallahu anhu,
مَنْ لَقِيتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطَ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ، فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ
“Barang siapa yang engkau temui di balik kebun ini bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dengan meyakininya di hati, maka berilah kabar gembira dengan surga kepadanya.” (Hr. Muslim)
Keduanya ada dalam kitab Shahih.
22. Pertanyaan: Apa dalil syarat ‘tunduk kepada konsekwensinya’ dalam Al Qur’an dan As Sunnah?
Jawab: Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (Qs. Luqman: 22)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا ِلمَا جِئْتُ بِهِ"
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (Disebutkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Al Khathib dalam At Tarikh, dan Ibnu Baththah dalam kitab Al Iman. Namun isnadnya berpusat oada Nu’aim bin Hammad seorang yang dhaif, di samping seorang perawi dari Ibnu Amr terdapat kemajhulan. Ibnu Rajab menerangkan, bahwa penshahihan terhadap hadits ini sangat jauh sekali karena menyendirinya Nu’aim dengan hadits tersebut di samping isnadnya diperselisihkan sebagaimana rawi bernama Uqbah bin Aus juga seorang yang majhul. Demikian takhrij ringkas dari Abu Shuhaib Usamah.)
23. Pertanyaan: Apa dalil syarat ‘menerimanya’ dari Al Qur’an dan As Sunnah?
Jawab: Allah Ta’ala berfirman berkenaan dengan orang-orang yang menolaknya,
احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ
 (kepada Malaikat diperintahkan), "Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah,” (Qs. Ash Shaaffat: 22)
Sampai firman Allah Ta’ala,
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (35) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ (36)
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, "Laa ilaaha illallah" (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri,--Dan mereka berkata, "Apakah kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" (Qs. Ash Shaaffat: 35-36)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الهُدَى وَالعِلْمِ، كَمَثَلِ الغَيْثِ الكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ، قَبِلَتِ المَاءَ، فَأَنْبَتَتِ الكَلَأَ وَالعُشْبَ الكَثِيرَ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ، أَمْسَكَتِ المَاءَ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى، إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلَأً، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ، وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِه
"Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya seperti hujan deras yang menimpa sebuah tanah, di antara tanah itu ada yang subur siap menerima air dan menumbuhkan tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang banyak, ada pula tanah yang tandus, tetapi dapat menampung air, lalu Allah menjadikannya bermanfaat bagi manusia, kemudian mereka meminum airnya, mengambil airnya dan bercocok tanam. Hujan itu juga menimpa tanah yang lain yang seperti tanah datar yang licin yang keadaannya tidak menampung air dan tidak menumbuhkan tanaman. Demikianlah perumpamaan orang yang faham agama Allah dan bermanfaat baginya (petunjuk dan ilmu) yang Allah mengutusku dengannya, ia pun belajar dan mengajarkan dan perumpamaan orang yang tidak mengangkat kepalanya (tidak peduli) dan tidak mau menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya." (Hr. Bukhari dan Muslim)
Bersambung...
Wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Maktabah Syamilah, A’lamus Sunnah Al Manyurah Li’tiqad Ath Thaifah An Najiyah Al Manshurah (Syaikh Hafizh bin Ahmad Alu Hakami, takhrij Abu Shuhaib Usamah bin Abdullah Alu Athwah), dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger