Fiqih Shalat Jumat (4)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫نودي للصلاة من يوم الجمعة‬‎
Fiqih Shalat Jumat (4)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan lanjutan tentang fiqih shalat Jumat, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Jumlah jamaah shalat Jumat
Tidak ada khilaf di kalangan ulama, bahwa adanya jamaah adalah salah satu syarat sahnya shalat Jumat. Hal ini berdasarkan hadits Thariq bin Syihab, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ
“Shalat Jumat itu wajib bagi setiap muslim dalam berjamaah kecuali empat orang; budak, wanita, anak-anak, atau orang sakit.” (Hr. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
Namun para ulama berbeda pendapat tentang jumlah jamaah shalat Jumat yang dipandang sah shalat Jumatnya hingga muncul 15 pendapat sebagaimana disebutkan Al Hafizh dalam Al Fath.
Pendapat yang rajih (kuat) adalah bahwa shalat Jumat sah ketika berjumlah dua orang atau lebih berdasarkan riwayat,
«اثْنَانِ فَمَا فَوْقَهُمَا جَمَاعَةٌ»
“Dua orang dan seterusnya adalah jamaah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, namun didhaifkan oleh Al Albani)
Namun Imam Bukhari berdalih dengan hadits lain yang mengisyaratkan bahwa dua orang adalah batas minimal shalat berjamaah, yaitu hadits Malik bin Huwairits, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
«إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ، فَأَذِّنَا وَأَقِيمَا، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا»
“Apabila tiba waktu shalat, maka hendaknya kalian azan dan iqamat, dan yang menjadi imam adalah yang paling tua di antara kamu berrdua.” (Hr. Bukhari)
Imam Syaukani rahimahullah berkata, “Dianggap sah jika dua orang dalam semua shalat berdasarkan ijma, sedangkan shalat Jumat juga sebagai shalat, sehingga tidak bisa dikhususkan dengan hukum lain kecuali dengan adanya dalil, dan tidak ada dalil yang menunjukkan harus diperhatikan jumlah tertentu tidak seperti shalat yang lain.”
Abdul Haq berkata, “Tidak ada hadits shahih yang menyebutkan jumlah tertentu dalam shalat Jumat.”
Imam As Suyuthiy berkata, “Tidak ada satu pun hadits shahih yang menyebutkan jumlah minimal (untuk shalat Jumat).”
Pendapat ini juga dipegang oleh Thabari, Dawud, An Nakha’i, dan Ibnu Hazm.
Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam berkata, “Yang benar bahwa syarat dalam ibadah apa pun harus didasari dalil, namun tidak ada dalil yang menyebutkan jumlah tertentu (dalam shalat Jumat) baik dalam Al Qur’an maupun As Sunnah, meskipun sudah maklum bahwa pelaksanaannya adalah dengan berjamaah sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Musa dalam riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Addiy, serta dalam hadits Abu Umamah dalam riwayat Ahmad dan Thabrani, dan dua orang adalah jumlah minimal shalat berjamaah berdasarkan riwayat “Dua orang adalah jamaah” (hadits dhaif), sehingga dianggap cukup menurut yang tampak.”
Selanjutnya ia berkata, “Beliau (Pensyarah Bulughul Maram) berkata, “Dan yang dinukil dari keadaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah bahwa Beliau melakukan shalat Jumat dalam jumlah banyak orang namun tidak dibatasi dalam jumlah tertentu, dimana hal ini menunjukkan bahwa yang dijadikan patokan adalah sekumpulan orang yang dapat memperlihatkan syiar Islam, dan hal itu tidak mungkin kecuali dalam jumlah yang banyak yang membuat orang munafik marah, orang kafir membuat makar, dan orang beriman bergembira, dan ayat yang mulia juga menunjukkan perintah berjamaah, yang jika dilakukan dalam jumlah sedikit tidak seperti yang ditunjukkan ayat itu maka tidak sah.”
Menurut penulis pendapat yang terakhir hanya lebih utama; bukan berarti tidak sah,  wallahu a’lam.
Tempat shalat Jumat
Shalat Jumat sah dilakukan di kota, desa atau kampung, masjid, bangunan, lapangan luas, sebagaimana sah pula ditunaikan di lebih dari satu tempat.
Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu pernah menulis surat ke penduduk Bahrain, “Adakanlah shalat Jumat di mana saja kamu berada!” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Imam Ahmad berkata, “Isnadnya jayyid.”)
Atsar (riwayat) ini mencakup kota maupun desa atau kampung.
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, “Sesungguhnya shalat Jumat pertama yang diadakan dalam Islam setelah diadakan di masjid Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di Madinah adalah shalat Jumat yang diadakan di Juwa’i; salah satu kampung di Bahrain.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Abu Dawud)
Dari Al Laits bin Sa’ad, bahwa penduduk Mesir dan pesisirnya mengadakan shalat Jumat di zaman Umar dan Utsman dengan perintah mereka berdua, sedangkan di sana terdapat beberapa orang sahabat.
Dari Ibnu Umar, bahwa ia melihat penduduk yang tinggal di sekitar mata air antara Mekkah dan Madinah melakukan shalat Jumat, dan ia tidak menyalahkan mereka. (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih)
Meskipun demikian, yang masyhur dari sejak zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah mengadakan shalat Jumat di masjid Jami yang besar yang bisa menghimpun banyak kaum muslimin, dan ini lebih utama.
Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Dahulu manusia datang bergelombang pada hari Jumat dari tempat tinggal mereka dan tempat-tempat tinggi.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Dari Az Zuhri, bahwa penduduk Dzulhulaifah berkumpul (untuk shalat Jumat) bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika itu mereka datang dengan menempuh perjalanan 6 mil dari Madinah. (Diriwayatkan oleh Baihaqi)
Dari Atha bin Abi Rabah ia berkata, “Penduduk Mina datang shalat Jumat di Mekkah.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi)
Tinjauah terhadap syarat yang ditetapkan para Ahli Fiqih terkait syarat wajibnya shalat Jumat
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa syarat wajibnya shalat Jumat adalah laki-laki, merdeka, sehat, mukim, dan tidak ada uzur yang membolehkan untuk meninggalkannya, sebagaimana telah disebutkan pula bahwa berjamaah juga termasuk syarat sahnya.
Inilah syarat yang didasari dalil dalam As Sunnah, dimana Allah membebankan kita dengannya.
Adapun syarat-syarat lain yang disebutkan sebagian Ahli Fiqih, maka sebagiannya tidak didasari dalil.
Cukup kiranya apa yang disebutkan dalam kitab Ar Raudhah An Nadiyyah ini:
“Shalat Jumat adalah seperti shalat-shalat yang lain  tanpa ada perbedaan karena tidak ada dalil yang membedakannya dengan shalat lainnya.”
Dalam pernyataan ini terdapat isyarat bantahan terhadap syarat yang dibuat terkait shalat Jumat yaitu harus ada imam besar, kota besar, dan jumlah tertentu, bahkan syarat-syarat ini tidak ditunjuki oleh dalil yang menunjukkan dianjurkannya atau  diwajibkannya, apalagi sebagai syarat, bahkan jika ada dua orang yang shalat Jumat di tempat yang tidak ada selain mereka berdua, maka keduanya telah mengerjakan yang diwajibkan kepada mereka berdua. Jika salah satunya berkhutbah, maka keduanya telah mengamalkan sunnah, dan kalau pun meninggalkan khutbah juga sunnah.
Kalau bukan ada hadits Thariq bin Syihab yang mewajibkan setiap muslim melakukannya dengan berjamaah dan tidak adanya praktek di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam jika tidak berjamaah tentu melakukannya secara sendiri-sendiri adalah sah sebagaimana shalat-shalat yang lain.
Adapun riwayat bahwa ada empat hal yang diserahkan kepada pemerintah, yaitu harta fai’, zakat, hudud, dan shalat Jumat, maka menurut para Ahli hadits, bahwa itu bukan ucapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan bukan pula ucapan para sahabat sehingga perlu penjelasan terhadap makna atau takwilnya, bahkan itu adalah ucapan Al Hasan Al Bashri.
Barang siapa yang memperhatikan ibadah yang utama ini yang Allah wajibkan kepada mereka dalam sepekan dan menjadikannya sebagai syiar di antara syiar-syiar Islam, yakni shalat Jumat, dia akan menemukan keanehan terhadap pernyataan-pernyataan yang gugur terkait ibadah ini, demikian juga akan menemukan madzhab-madzhab yang menyimpang, dan ijtihad-ijtihad yang batil.
Misalnya ada yang berkata, “Khutbah itu seperti dua rakaat. Siapa yang tidak mendapatkannya maka tidak sah Jumat.”
Pernyataan ini sepertinya karena tidak tahu riwayat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari banyak jalan, dimana yang satu menguatkan yang lain, bahwa barang siapa yang tidak memperoleh satu rakaat dari dua rakaat shalat Jumat, maka hendaknya ia tambahkan satu rakaat lagi yang lain, dimana dengan begitu shalatnya akan sempurna, dan rupanya ia tidak mengetahui hadits lainnya selain hadits itu.
Yang lain juga ada yang berkata, “Shalat Jumat tidak sah kecuali dengan tiga orang bersama imam, ada pula yang mengatakan empat orang, tujuh orang, sembilan orang, dua belas orang, dua puluh orang, tiga puluh orang, empat puluh orang, lima puluh orang, tujuh puluh orang, dan ada pula yang mengatakan antara jumlah itu. Ada pula yang berpendapat, harus dalam jumlah banyak tanpa ada batasan, dan ada pula yang mengatakan tidak sah kecuali di kota besar. Ada lagi yang berpendapat harus ada masjid besar dan kamar mandinya, sedangkan yang lain berkata ‘harus ada ini dan itu’, dan ada pula yang berpendapat, bahwa shalat Jumat tidak wajib kecuali bersama imam besar, dan jika tidak ada atau imamnya cacat dalam hal keadilan karena salah satu sebab, maka tidak wajib shalat Jumat dan tidak disyariatkan, serta pendapat-pendapat semacam ini tidak ada dasar dalam ilmu dan tidak tercantum dalam Kitabullah serta sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam satu kata pun yang membenarkan pernyataan mereka bahwa itu adalah syarat sahnya shalat Jumat atau salah satu kewajibannya atau sebagai rukunnya.”
Dan penetapan-penetapan semacam ini banyak terjadi sebagaimana yang diisyaratkan namun tidak didasari dalil, atau dalil Al Qur’an, syara’, maupun akal.
Bersambung…
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Subulus Salam (Imam Ash Shan'ani), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger