بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Shalat Jumat (5)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada
Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan lanjutan tentang fiqih shalat
Jumat, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjadikan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Khutbah Jumat
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat
bahwa khutbah Jumat hukumnya wajib. Mereka berdalih dengan hadits-hadits shahih
yang menyebutkan bahwa Beliau senantiasa berkhutbah pada setiap pelaksanaan
shalat Jumat. Mereka juga berdalih dengan sabda Beliau, “Shallu kamaa
ra’aytumuni ushalliy” (artinya: shalatlah sebagaimana kalian lihat aku
shalat). Dalil lainnya adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ
مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
“Wahai orang-orang yang beriman!
Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu mengingat
Allah.” (Qs. Al Jumuah: 9)
Mereka menafsirkan ‘dzikrullah’ di ayat
ini dengan khutbah, karena kandungan khutbah yang memuat dzikrullah.
Namun Imam Syaukani mengkritik pendapat
yang menyatakan wajib dengan beberapa alasan berikut:
Bahwa sekedar perbuatan (praktek Nabi
shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah) tidak menunjukkan wajib. Sedangkan
perintah shalat seperti yang dilakukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya
perintah melakukan sesuai cara Beliau, sedangkan khutbah bukan shalat. Adapun
dzikrullah pada ayat di atas maksudnya adalah shalat Jumat.
Oleh karena itu, menurut Imam Syaukani
bahwa yang tampak adalah pendapat Al Hasan Al Basri, Dawud Azh Zhahiri, dan Al
Juwaini, bahwa khutbah Jumat adalah sunah.
Anjuran Imam mengucapkan salam saat
menaiki mimbar, pengumandangan azan ketika imam telah duduk, dan hendaknya
makmum menghadap kepada imam
Dari Jabir radhiyallahu anhu bahwa Nabi
shalallallahu alaihi wa sallam saat menaiki mimbar mengucapkan salam. (Hr. Ibnu
Majah, namun dalam isnadnya terdapat Ibnu Lahi’ah, dimana ia adalah seorang
yang dha’if, namun hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani karena melihat
riwayat-riwayat penguatnya).
Hadits di atas dalam riwayat Al Atsram
dalam Sunannya dari Asy Sya’bi, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam secara
mursal. Sedangkan dalam Marasil Atha dan lainnya disebutkan, bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam saat menaiki mimbar menghadapkan wajahnya kepada
manusia, lalu berkata, “As Salamu alaikum.”
Asy Sya’bi berkata, “Abu Bakar dan Umar
melakukan hal itu.”
Dari As Sa’ib bin Yazid radhiyallahu
anhu ia berkata, “Azan pada hari Jumat awalnya ketika imam sudah duduk di atas
mimbar di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar.
Tetapi di zaman Utsman ketika manusia semakin banyak, ditambahkan azan ketiga
di Zaura (sebuah tempat di pasar Madinah), sedangkan muazin Nabi shallallahu
alaihi wa sallam hanya seorang.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, Nasa’i, dan Abu
Dawud)
Dalam sebuah riwayat para Ahli Hadits
di atas disebutkan, “Pada masa kekhalifahan Utsman, ketika jumlah manusia
semakin banyak, maka Utsman memerintahkan dikumandangkan azan ketiga pada hari
Jumat, dan azan itu dikumandangkan di Zaura, hingga hal itu tetap berlaku.”
Dalam riwayat Ahmad dan Nasa’i
disebutkan, “Bilal pernah mengumandangkan azan ketika Nabi shallallahu alaihi
wa sallam duduk di atas mimbar dan melakukan iqamat saat Beliau turun (dari
mimbar).”
Dari Addi bin Tsabit dari ayahnya dari
kakeknya ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam apabila berdiri di atas
mimbar, maka para sahabat menghadapkan wajahnya kepada Beliau.” (Hr. Ibnu
Majah. Hadits ini meskipun terdapat pembicaraan, hanyasaja Imam Tirmidzi
berkata, “Demikianlah yang diamalkan menurut para Ahli Ilmu dari kalangan para
sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan lainnya. Mereka menganjurkan
untuk menghadap ke imam saat ia berkhutbah.” Menurut Syaikh Al Albani, hadits
tersebut shahih karena memiliki syahid-syahid (penguat dari jalan lain) yang
marfu maupun yang mauquf sebagaimana ia takhrij dalam Ah Shahihah no.
2080. Di antara syahidnya adalah yang disebutkan dalam Shahihain dari
Abu Sa’id Al Khudri ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam duduk
di atas mimbar, lalu kami duduk di sekitarnya.”)
Anjuran agar isi khutbah memuat pujian
kepada Allah Ta’ala, shalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
nasihat, dan pembacaan Al Qur’an
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam diberikan (kalimat)
yang menghimpun kebaikan dan penutupnya –atau ia berkata: pembuka-pembuka
kebaikan-; Beliau mengajarkan kepada kami khutbah dalam shalat dan khutbah
ketika ada hajat. Khutbah ketika shalat adalah:
«التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ
وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ،
السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ»
“Semua keagungan, ibadah (baik ibadah ucapan
maupun perbuatan), semua yang baik adalah milik Allah. Salam atasmu wahai Nabi,
serta rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam atas kami dan atas hamba-hamba
Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah
kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.”
Khutbah ketika ada hajat adalah:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ، وَنَسْتَعِينُهُ،
وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ
لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“Segala
puji milik Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, meminta
ampunan kepada-Nya, berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan
keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah
maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya
maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
yang berhak disembah kecuali Allah saja; tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.
Kemudian
engkau lanjutkan khutbahmu dengan tiga ayat dalam Al Qur’an:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ}
.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan beragama Islam.” (Qs. Ali Imran: 102)
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاءً
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيباً}
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan dari
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Qs. An Nisaa’: 1)
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً
سَدِيداً , يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً} .
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar,--Niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Barang siapa menaati Allah
dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Qs.
Al Ahzaab: 70-71)
أَمَّا بَعْدُ.
Amma
ba’du (adapun setelah itu):
(Hr.
Ibnu Majah, Tirmidzi, Nasa’i, dan Abu Dawud, namun lafaz ini adalah lafaz Ibnu
Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma,
bahwa ada seorang yang berbicara kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang
sesuatu, lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ،
نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ، فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلِ
اللَّهُ، فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ
لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، أَمَّا بَعْدُ»
“Segala
puji milik Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, meminta
ampunan kepada-Nya, berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan
keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah
maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya
maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada
tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, dan
aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Amma ba’du.” (Hr.
Nasa’i, dishahihkan oleh Al Albani)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ فَهِيَ
كَاليَدِ الجَذْمَاءِ
“Setiap khutbah yang tidak ada ucapan
syahadat, maka seperti tangan yang kusta.” (Hr. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi,
dishahihkan oleh Al Albani)
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu
anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selalu khutbah (pada
saat pelaksanaan shalat Jumat) dan melakukan duduk di antara dua khutbah,
membacakan beberapa ayat, dan mengingatkan manusia.” (Hr. Jamaah selain Bukhari
dan Tirmidzi)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma ia
berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Jumat
dengan berdiri, lalu duduk, kemudian berdiri lagi sebagaimana yang mereka
lakukan saat ini.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu
anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa Beliau tidak berlama-lama
dalam memberi nasihat pada hari Jumat; Beliau hanya menyampaikan kalimat yang
ringan.” (Hr. Abu Dawud, dihasankan oleh Al Albani)
Dari Samurah bin Jundab radhiyallahu
anhu, bahwa Nabi Allah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«احْضُرُوا الذِّكْرَ، وَادْنُوا
مِنَ الْإِمَامِ، فَإِنَّ الرَّجُلَ لَا يَزَالُ يَتَبَاعَدُ حَتَّى يُؤَخَّرَ فِي
الْجَنَّةِ، وَإِنْ دَخَلَهَا»
“Datangilah khutbah, mendekatlah dengan imam,
karena seseorang senantiasa saling menjauh (dari imam dan shaf pertama)
sehingga dia ditempatkan di belakang di surga meskipun masuk.” (Hr. Abu Dawud,
dan dihasankan oleh Al Albani)
Dari Ummu Hisyam binti Haritsah bin
Nu’man radhiyallahu anhuma ia berkata, “Aku tidak menerima surah ‘Qaaf wal
Qur’anil Majid’ melainkan dari lisan Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, karena Beliau biasa membacanya pada setiap hari Jumat di atas mimbar
saat berkhutbah kepada manusia.” (Hr. Ahmad, Muslim, Nasa’i, dan Abu Dawud)
Dari Ya’la bin Umayyah ia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca di atas mimbar ayat “Wa
naadaw yaa maalik.” (Qs. Az Zukhruf: 77) (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dari Ubay bin Ka’ab, bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam membaca surah Tabaraka (Al Mulk) pada hari Jumat
ketika berdiri (khutbah), Beliau mengingatkan kami terhadap peristiwa-peristiwa
besar yang Allah datangkan.” (Hr. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Dalam kitab Ar Raudhah An Nadiyyah
disebutkan, “Ketahuilah, bahwa khutbah yang masyru (sesuai syariat) adalah yang
biasa dilakukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam berupa targhib (adanya
dorongan) dan tarhib (adanya ancaman). Ini sebenarnya ruh suatu khutbah yang
karenanya disyariatkan. Adapun pensyaratan adanya hamdalah, shalawat, atau
membaca salah satu ayat Al Qur’an, maka semua itu di luar dari tujuan utama
disyariatkan khutbah. Ketika hal itu dilakukan dalam khutbah Nabi shallallahu
alaihi wa sallam bukan berarti bahwa hal itu hal yang mesti dan syarat yang
harus dilakukan. Orang yang jujur tentu yakin, bahwa tujuan utama khutbah Jumat
adalah memberi nasihat bukan kalimat sebelumnya seperti pujian kepada Allah dan
shalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”
Menurut penulis, meskipun begitu,
mengawali khutbah dengan hamdalah dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam apalagi dengan syahadat tentu lebih utama dan sepatutnya tidak
ditinggalkan dalam khutbah Jumat.
Bersambung…
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa
shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid
Sabiq), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Subulus
Salam (Imam Ash Shan'ani), dll.
0 komentar:
Posting Komentar