بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Shalat Jumat (3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada
Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan lanjutan tentang fiqih shalat
Jumat, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjadikan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Wajibnya Shalat Jum’at
Para ulama sepakat, bahwa shalat Jumat
hukumnya fardhu ‘ain, dan jumlahnya dua rakaat, berdasarkan firman Allah
Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ
مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang beriman! Apabila
diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.” (Qs. Al Jumu’ah: 9)
Demikian juga berdasarkan hadits
riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa ia
mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«نَحْنُ الآخِرُونَ السَّابِقُونَ
يَوْمَ القِيَامَةِ، بَيْدَ أَنَّهُمْ أُوتُوا الكِتَابَ مِنْ قَبْلِنَا، ثُمَّ هَذَا
يَوْمُهُمُ الَّذِي فُرِضَ عَلَيْهِمْ، فَاخْتَلَفُوا فِيهِ، فَهَدَانَا اللَّهُ، فَالنَّاسُ
لَنَا فِيهِ تَبَعٌ اليَهُودُ غَدًا، وَالنَّصَارَى بَعْدَ غَدٍ»
“Kita adalah umat terakhir namun
terdahulu (diberi keputusan) pada hari Kiamat, hanya saja mereka diberi kitab
sebelum kita, dan sebenarnya hari inilah yang diwajibkan kepada mereka
(memuliakannya), namun mereka berselisih, lalu Allah menunjuki kita, maka
orang-orang sebelum kita mengikuti kita; orang-orang Yahudi besok, sedangkan
orang-orang Nasrani esok lusa.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu,
bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda terhadap orang-orang yang
meninggalkan shalat Jumat,
«لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ
رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ، ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنِ الْجُمُعَةِ
بُيُوتَهُمْ»
“Aku hendak memerintahkan seseorang
shalat mengimami manusia, lalu aku bakar rumah-rumah orang-orang yang tidak
shalat Jumat.” (Hr. Ahmad dan Muslim)
Dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar
radhiyallahu anhum, bahwa keduanya mendengar Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda di atas tangga mimbarnya,
«لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ
عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ، أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ، ثُمَّ
لَيَكُونُنَّ مِنَ الْغَافِلِينَ»
“Hendaknya orang-orang berhenti
meninggalkan shalat Jumat atau Allah akan menutup hati mereka sehingga mereka
menjadi orang-orang yang lalai.” (Hr. Muslim, Ahmad, dan Nasa’i dari hadits
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas)
Dari Abul Ja’d Adh Dhamriy yang juga
sebagai sahabat Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ
تَهَاوُنًا بِهَا، طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ»
“Barang siapa yang meninggalkan shalat
Jumat tiga kali karena meremehkan, maka Allah akan mengecap hatinya.” (Hr. Lima
Ahli Hadis, Ahmad, dan Ibnu Majah dari hadits Jabir, dishahihkan oleh Ibnus
Sakan)
Orang Yang Berkewajiban Shalat Jumat
dan Orang Yang Tidak Diwajibkan Shalat Jumat
Shalat Jumat wajib bagi seorang muslim
yang merdeka, berakal, baligh, mukim, dan mampu mendatanginya tanpa adanya
udzur yang membolehkan untuk tidak mendatanginya.
Adapun mereka yang tidak diwajibkan
shalat Jumat adalah:
1. Wanita,
2. Anak-anak
Keduanya telah disepakati para ulama
tentang tidak wajibnya shalat Jumat bagi mereka.
3. Orang sakit yang kesulitan berangkat
ke masjid, atau khawatir bertambah sakitnya, atau lama sembuhnya atau jadi
tertunda sembuhnya.
Termasuk juga orang yang merawatnya,
sedangkan tugas itu tidak bisa diserahkan kepada yang lain.
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu
anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ،
أَوْ مَرِيضٌ
“Shalat Jumat itu wajib atas setiap
muslim dengan berjamaah kecuali empat orang, yaitu: budak, wanita, anak-anak, dan
orang sakit.” (Hr. Abu Dawud. Imam Nawawi berkata, “Isnadnya shahih sesuai
syarat Bukhari dan Muslim.” Al Hafizh berkata, “Dishahihkan oleh lebih dari
seorang.” Ia juga berkata, “Apabila telah sahih bahwa Thariq bertemu Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, maka ia adalah seorang sahabat menurut pendapat
yang rajih (kuat), dan jika telah shahih bahwa ia tidak mendengar dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam maka riwayatnya adalah mursal sahabi, dan diterima
menurut pendapat yang rajih.”)
4. Musafir.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma,
dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ
جُمُعَةٌ
“Bagi Musafir tidak berkewajiban shalat Jumat.” (Hr. Daruquthni)
Menurut Syaikh Sayyid Sabiq, bahwa
apabila musafir telah singgah saat shalat Jumat dilaksanakan, maka menurut
kebanyakan Ahli Ilmu tidak wajib shalat Jumat, karena Nabi shallallahu alaihi
wa sallam pernah bersafar, lalu Beliau tidak shalat Jumat; bahkan Beliau
melakukan shalat Zhuhur dan Ashar dengan dijamak taqdim (di awal waktu) dan
tidak melakukan shalat Jumat. Hal yang sama juga dilakukan oleh para khulafa
rasyidin dan lainnya.
5. Orang yang berutang yang keadaannya
kesusahan, dimana dirinya khawatir ditahan, serta orang yang bersembunyi dari
pemimpin yang zalim.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma,
bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ
يَأْتِهِ، فَلَا صَلَاةَ لَهُ، إِلَّا مِنْ عُذْرٍ»
“Barang siapa yang mendengar azan,
namun ia tidak mau mendatangi, maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada
uzur.” (Hr. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
6. Seorang yang beruzur yang diberi
keringanan untuk tidak menghadiri shalat berjamaah.
Uzur di sini misalnya hujan, jalan
berlumpur, udara dingin, dsb.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma,
bahwa ia pernah berkata kepada muazinnya pada hari ketika hujan lebat, “Apabila
engkau mengucapkan “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, ” maka jangan
ucapkan, “Hayya alash shalah.” Ucapkanlah “Shalluu fii buyutikum,”
(artinya: shalatlah di rumah kalian). Ketika itu manusia menganggap aneh hal
itu, maka Ibnu Abas berkata, “Hal ini telah dikerjakan oleh orang yang lebih
baik dariku (maksudnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam).
Sesungguhnya shalat Jumat adalah kewajiban, dan aku tidak ingin membuat kalian
keluar berjalan di lumpur dan jalan licin.”
Dari Abu Malih, dari ayahnya, bahwa ia
hadir bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada saat perjanjian Hudaibiyah
di hari Jumat, lalu mereka diguyur hujan, namun tidak membuat basah bagian
bawah sandal mereka, maka Beliau menyuruh mereka melakukan shalat di tempatnya
masing-masing. (Hr. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
Mereka yang disebutkan di atas tidak
wajib shalat Jumat, namun harus melakukan shalat Zhuhur, dan jika di antara
mereka ada yang shalat Jumat, maka sah shalat Jumatnya dan gugur kewajiban
shalat Zhuhur.
Bahkan kaum wanita pernah hadir di
masjid di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan ikut shalat Jumat
bersama Beliau.
Catatan:
Menurut Syaikh Al Albani rahimahullah,
hadits Abu Malih itu menunjukkan bahwa kejadian itu terjadi ketika safar, dan
sudah maklum bahwa tidak ada kewajiban Jumat ketika safar, sehingga hadits
tersebut tidaklah menunjukkan bahwa hujan termasuk uzur meninggalkan shalat
Jumat, bahkan hanya sebagai uzur meninggalkan shalat jamaah (sebagaimana beliau
terangkan dalam Tamamul Minnah).
Waktu Shalat Jumat
Jumhur (mayoritas) para sahabat dan
tabi’in berpendapat, bahwa waktu shalat Jumat adalah waktu Zhuhur. Hal ini
berdasarkan hadits riwayat Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Baihaqi
dari Anas radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat
Jumat setelah matahari bergeser (ke barat; tiba waktu Zhuhur).
Dalam riwayat Ahmad dan Muslim, bahwa
Salamah bin Al Akwa berkata, “Kami pernah shalat Jumat bersama Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam saat matahari bergeser (ke barat), lalu kami
mencari-cari bayangan.
Imam Bukhari berkata, “Waktu shalat
Jumat adalah ketika matahari tergelincir (ke barat dari tengah langit).”
Demikian pula diriwayatkan dari Umar,
Ali, An Nu’man bin Basyir, dan Umar bin huraits radhiyallahu anhum.
Imam Syafi’i rahimahullah
berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan para
pemimpin setelahnya melakukan shalat Jumat setelah matahari bergeser.”
Ulama madzhab Hanbali dan Ishaq
berpendapat, bahwa waktu shalat Jumat dari awal waktu shalat Ied sampai akhir
waktu Zhuhur. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad,
Muslim, dan Nasa’i dari Jabir ia
berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat Jumat, lalu kami pergi
mendatangi unta-unta kami dan kami istirahatkan setelah matahari bergeser.”
Dalam hadits ini terdapat ketegasan,
bahwa mereka melakukan shalat Jumat sebelum matahari tergelincir.
Dalil lainnya adalah atsar (riwayat)
Abdullah bin Sayyidan As Silmiy radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku shalat Jumat
bersama Abu Bakar. Ketika itu khutbah dan shalatnya sebelum tiba pertengahan
siang, lalu aku hadir shalat Jumat bersama Umar. Ketika itu shalat dan
khutbahnya kira-kira di pertengahan siang. Aku juga shalat Jumat bersama
Utsman. Saat itu, shalat dan khutbahnya setelah matahari bergeser. Selama itu,
aku tidak pernah melihat ada orang yang mencela dan mengingkarinya.”
(Diriwayatkan oleh Daruquthni dan Imam Ahmad dalam riwayat putranya Abdullah,
dimana ia berhujjah dengannya seraya berkata, “Demikian pula diriwayatkan dari
Ibnu Mas’ud, Jabir, Sa’id, dan Mu’awiyah, bahwa mereka shalat sebelum matahari
tergelincir (sebelum Zhuhur), dan tidak ada yang mengingkari, sehingga menjadi
ijma.”)
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari
Suwaid bin Ghaflah, bahwa ia pernah shalat bersama Abu Bakar dan Umar saat
matahari tergelincir (setelah tiba waktu Zhuhur), dan isnadnya kuat.
Namun jumhur ulama mengomentari, bahwa
hadits Jabir di atas maksudnya bersegera melakukan shalat Jumat namun setelah
matahari tergelincir (ke barat) tanpa menundanya hingga cuaca sejuk, dan bahwa
shalat serta mengistirahatkan unta terjadi setelah matahari tergelincir.
Mereka juga mengomentari atsar Abdullah
bin Sayyidan, bahwa atsar itu dhaif. Al Hafizh berkata, “Seorang tabi’in besar
namun tidak diketahui keadilannya.” Ibnu Addiy berkata, “Seperti seorang yang
majhul.” Imam Bukhari berkata, “Tidak dimutaba’ahkan haditsnya dan bertentangan
dengan riwayat yang lebih kuat.”
Namun menurut Syaikh Al Albani dalam Tamamul
Minnah terkait atsar Ibnu Sayidan, bahwa telah meriwayatkan darinya empat
orang yang tsiqah, dan ia juga disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat
(5/31), demikian pula oleh Al Ijilliy dalam Ats Tsiqat (258/820).
Menurut Syaikh Al Albani, bahwa ia adalah seorang yang hasan haditsnya menurut
jalan sebagian ulama seperti Ibnu Rajab dan lainnya.”
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari
Suwaid bin Ghaflah, bahwa ia pernah shalat bersama Abu Bakar dan Umar saat
matahari tergelincir, dan isnadnya kuat.
Menurut penulis, bahwa waktu shalat
Jumat adalah waktu shalat Zhuhur dan boleh sebelum tiba waktu Zhuhur
sebagaimana yang telah disebutkan dalilnya, wallahu a’lam,
Bersambung…
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa
shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid
Sabiq), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Subulus
Salam (Imam Ash Shan'ani), dll.
0 komentar:
Posting Komentar