بسم الله الرحمن الرحيم
Ringkasan
Sejarah Peradaban Islam
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ringkasan sejarah peradaban Islam, semoga
Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
amin.
ERA NUBUWWAH
A. Tahun Gajah
Menurut Muhammad Sulaiman Al Manshur Furi dan Mahmud Pasya, Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam dilahirkan pada hari Senin pagi tanggal 20 atau 22
April tahun 571 M betepatan tanggal 9 Rabiul Awwal tahun gajah. Disebut tahun
gajah, karena pada tahun itu pasukan bergajah yang dipimpin Abrahah gubernur
Yaman hendak menghancurkan Ka’bah yang kemudian dibinasakan Allah Azza wa Jalla
sebagaimana tertera di surah Al Fil.
Nasab Beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim
bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib
bin Fihr (Quraisy) bin Malik bin An Nadhr bin Kinanah; salah seorang anak Nazar
bin Ma’d bin Adnan yang merupakan anak cucu Ismail bin Ibrahim. Ibu Beliau
bernama Aminah binti Wahb Az Zuhriyyah Al Qurasyiah.
B. Masa Kecil Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam hingga dewasa
Ayah Beliau wafat saat Beliau masih dalam kandungan. Setelah Beliau lahir,
maka kakek Beliau Abdul Muththalib menamainya dengan Muhammad, lalu selanjutnya
disusukan oleh Halimah As Sa’diyyah di perkampungan Bani Sa’ad, dan kemudian
ibu Beliau wafat pada saat usia Beliau belum genap 6 tahun. Selanjutnya Beliau
diasuh oleh kakeknya Abdul Muththalib yang merupakan tokoh di kalangan Quraisy.
Namun pada saat usia Beliau 8 tahun, kakek Beliau wafat, hingga Beliau diasuh
oleh pamannya, yaitu Abu Thalib. Ketika itu pamannya kekurangan harta, namun
banyak tanggungannya, maka Beliau membantunya dengan menggembala kambing milik
penduduk Mekah.
Saat usia Beliau 12 tahun, pamannya mengajak berdagang ke Syam, namun ada
seorang pendeta bernama Buhaira yang menyaksikan hal yang menakjubkan padanya
dan tampak olehnya akan menjadi orang besar di kemudian hari, maka Buhaira
menyuruh Abu Thalib agar membawanya pulang agar tidak disakiti oleh orang-orang
Yahudi.
Saat usia beliau semakin dewasa, Beliau ikut serta bersama penduduk Mekah
dalam hal-hal penting seperti dalam perang Fijar yang terjadi antara kaum
Quraisy dengan kaum Qais di bulan Haram (usia Beliau ketika itu 20 tahun),
demikian pula ikut serta dalam perjanjian Fudhul yang isinya membela orang yang
terzalimi di Mekah.
Saat usia Beliau 25 tahun, Beliau membawa barang dagangan milik Khadijah ke
Syam, dan sepulang dari Syam datang lamaran dari Khadijah karena ia melihat
akhlak, kejujuran, dan amanah Beliau shallallahu alaihi wa sallam.
Saat usia Beliau 35 tahun, kaum Quraisy membangun Ka’bah kembali dan
pembangunan itu dibagi bersama antara berbagai kabilah. Saat bangunan telah
mencapai Hajar Aswad, mereka berselisih terkait siapa yang berhak menaruh Hajar
Aswad ke tempat semula, lalu mereka sepakat untuk menyerahkan kepada orang yang
pertama masuk ke Masjid, ternyata Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa salam adalah
orang yang pertama masuk ke masjid, lalu Beliau meminta disiapkan kain, dan
masing-masing kabilah memegang ujungnya, dan ketika hajar aswad telah sampai di
tempatnya, maka Beliau mengambil Hajar Aswad dan meletakkannya ke tempat
semula.
C. Tahun 611 M/13 SH (Sebelum Hijrah)
Pada saat usia Muhammad shallallahu alaihi wa sallam memasuki 40 tahun,
Allah mengangkatnya sebagai Nabi dengan turunnya surah Al ‘Alaq saat Beliau
bertahannuts (mengasingkan diri) di gua Hira. Kemudian Allah menurunkan surah
Al Muddatstsir sehingga Beliau menjadi rasul dan sejak saat itu, Beliau
mendakwahi kaumnya. Orang yang pertama kali beriman adalah istrinya Khadijah
binti Khuwailid radhiyallahu anha, disusul oleh putra pamannya yaitu Ali bin Abi Thalib, dan
Zaid bin Haritsah budak Beliau. Setelah itu, Beliau mengajak Abu Bakar, sahabat
karib Beliau, dan dengan perantaraan Abu Bakar banyak orang-orang yang memeluk
Islam, antara lain: Utsman bin Affan, Zubair bin Awam, Sa’ad bin Abi Waqqash,
Abdurrahman bin ‘Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, Arqam
bin Abil Arqam, Fathimah binti Khaththab (adik Umar bin Khaththab) beserta
suaminya Sa’id bin Zaid dan beberapa orang lainnya dari kabilah Quraisy. Mereka inilah yang diberi gelar “As Saabiquunal Awwaluun”
yang artinya: Orang-orang yang pertama kali masuk Islam.
Dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi selama tiga
tahun, kemudian Allah memerintahkan untuk mendakwahi manusia secara
terang-terangan.
D. Tahun 615 M
Selama Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam mendakwahkan Islam,
tantangan dari kaumnya tidak pernah berhenti. Hingga akhirnya Beliau
memerintahkan sebagian sahabatnya untuk hijrah ke Habasyah. Hal ini terjadi
pada tahun kelima dari kenabian. Ketika itu rombongan yang berhijrah terdiri
dari sepuluh orang pria dan lima orang wanita dipimpin oleh Utsman bin Mazh’un
radhiyallahu anhu. Inilah hijrah yang pertama dalam sejarah Islam.
Pada tahun keenam dari kenabian Hamzah bin Abdul Muththalib masuk Islam,
disusul kemudian oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu anhuma, sehingga keadaan
kaum muslimin semakin kuat; mereka pun berani melakukan shalat dan thawaf di
Ka’bah.
E. Tahun 622 M/1 H
Inilah babak baru
perjuangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Saat di Mekah, konsentrasi
Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah pembinaan akidah dan memantapkan
keyakinan akan kebenaran Islam, maka ketika di Madinah – di samping pembinaan
akidah-, Nabi shallallahu alaihi wa sallam membina dari sisi hukum dan ibadah.
Saat berada di
Madinah, Beliau membangun masjid, mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar,
mengadakan perjanjian damai dengan non muslim, serta meletakkan dasar-dasar
politik, ekonomi, dan sosial kemasyarakat, karena Islam mencakup agama dan
Negara.
F. Tahun 1 H-10 H/622-632 M
Meskipun kaum muslimin sudah
meninggalkan Makkah, kaum Quraisy masih saja memusuhinya dan bertekad untuk
menghancurkannya.
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam bukanlah hanya sebagai pemimpin agama saja, bahkan lebih dari itu Beliau
adalah pemimpin untuk suatu masyarakat yang sedang membangun suatu negara yang
berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran hakiki. Oleh karena itu, Beliau
berkewajiban membela masyarakat itu dari setiap rongrongan yang membahayakannya.
Untuk tugas ini, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menurunkan ayat yang mengizinkan
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan umatnya mengangkat senjata guna membela diri. Allah
Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
أُذِنَ لِلَّذِينَ
يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan
(berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah
dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu.” (QS. Al Hajj: 39)
Inilah ayat yang pertama kali turun
mengenai peperangan. Dari ayat ini kita mengetahui bahwa jihad disyariatkan
untuk membela diri dan membela dakwah ketika dihalangi.
Dengan
turunnya ayat di atas (Al Hajj: 39), Mulailah Beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam membentuk pasukan.
Tercatat ada sekitar 27 ghazwah (perang yang dihadiri Nabi shallallahu
alaihi wa sallam) dan 47 sariyyah (perang tanpa dihadiri Nabi shallallahu
alaihi wa sallam) selama Beliau di Madinah.
Pada tahun ke-2 H
terjadi perang Badar (tanggal 17 Ramadhan).
Pada tahun ke-3 H
terjadi perang Uhud (tanggal 15 Syawwal).
Pada tahun ke-4 H
terjadi peristiwa sumur Ma’unah (pembunuhan yang menimpa para sahabat
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang bermaksud mengajarkan agama ke
penduduk Nejed).
Pada tahun ke-5 H
terjadi perang Khandaq (parit), yaitu pada tanggal 5 Syawwal.
Pada tahun ke-6 H
terjadi perjanjian Hudaibiyah (tanggal 5 Dzulqa’dah)
Pada tahun ke-7 H
terjadi perang Khaibar (di bulan Shafar), umrah qadha (di bulan Dzulqa’dah)
Pada tahun ke-8 H
terjadi perang Mu’tah (pada bulan Jumadil Ula), demikian pula terjadi Fathu
Makkah (penaklukan Mekah), perang Hunain dan Thaif.
Pada tahun ke-9 H
terjadi perang Tabuk (di bulan Rajab).
Pada tahun ke-10
H, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menuaikan haji wada (bulan
Dzulhijjah).
Pada tahun 11 H/632 M Rasulullah shallalalhu alaihi wa
sallam wafat, yaitu
pada hari Senin, 12
Rabiul Awwal. Beliau wafat
pada usia 63 tahun.
Dalam hitungan 23 tahun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdakwah,
ada lebih dari ratusan ribu sahabat yang masuk Islam.
Dua
puluh tiga tahun lamanya, sejak Beliau diangkat menjadi rasul, berjuang tidak
mengenal lelah dan derita untuk menegakkan agama Allah, agama Islam. Tidak ada
satu pun kebaikan kecuali beliau telah menunjukkan kepada umatnya, dan tidak
ada satu pun keburukan kecuali beliau telah memperingatkan umatnya agar
dijauhi. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Beliau, keluarganya,
sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga akhir zaman.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat setelah risalah Islam telah
sempurna, sementara kekuasaan Islam membentang di seluruh Jazirah Arab.
ERA KHULAFA RASYIDIN (11-40 H/632-661 M)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
خِلَافَةُ النُّبُوَّةِ ثَلَاثُونَ سَنَةً، ثُمَّ يُؤْتِي اللَّهُ الْمُلْكَ
أَوْ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ
Kekhalifahan
Nubuwwah (di atas jalan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) selama 30 tahun[i]. Selanjutnya Allah
memberikan kerajaan atau kekuasaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki."
(HR. Abu Dawud dan Hakim, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami'
no. 3257)
A. Era Khilafah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 H)
Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, terjadilah
perselisihan di antara sahabat tentang siapa yang berhak untuk menjadi pemimpin
bagi kaum muslimin. Perselisihan itu akhirnya dapat diselesaikan ketika Abu
Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu anhu terpilih sebagai khalifah pertama.
Para tokoh kaum Muhajrin dan Anshar membaiat Abu Bakar di Saqifah Bani
Sa’idah (bangunan beratap Bani Sa’idah) yang terletak di barat daya Masjid
Nabawi, lalu orang-orang menyusul membaiat Abu Bakar di masjid. Selanjutnya Abu
Bakar berkhutbah setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya sebagai berikut:
أَمَّا
بَعْدُ ,
أَيُّهَا
النَّاسُ، فَإِنَّي قَدْ وُلِّيْتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ، فَإِنْ أَحْسَنْتُ
فَأَعِيْنُوْنِي وَإِنْ أَسَأْتُ فَقَوِّمُوْنِي ، اَلصِّدْقُ أَمَانَةٌ وَالْكَذِبُ
خِيَانَةٌ وَالضَّعِيْفُ فِيْكُمْ قَوِيٌّ عِنْدِيْ حَتَّى أُرْجِعَ عَلَيْهِ حَقَّهُ
إِنْ شَاءَ اللهُ، وَالْقَوِيُّ فِيْكُمْ ضَعِيْفٌ حَتَّى آخِذَ الْحَقِّ مِنْهُ إِنْ
شَاءَ اللهُ.
لاَ يَدَعُ
أَحَدٌ مِنْكُمُ الْجِهَادَ فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ ضَرَبَهُمُ اللهُ بِالذُّلِّ
، وَلاَ تَشِيْعُ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ إِلاَّ عَمَّهُمُ اللهُ بِالْبَلاَءِ
Amma ba’du:
Wahai manusia! Aku telah diangkat sebagai pemimpin bagi kalian padahal aku
bukanlah orang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, maka bantulah
aku, dan jika aku berbuat salah, maka luruskanlah. Kejujuran adalah amanah,
dusta adalah khianat. Orang yang lemah di antara kalian adalah orang yang kuat
di sisiku sehingga aku dapat mengembalikan haknya insya Allah, dan orang yang
kuat di antara kalian adalah orang yang lemah di hadapanku sehingga aku akan
ambil hak darinya insya Allah. Tidaklah suatu kaum meningalkan jihad fi
sabililah melainkan Allah akan menimpakan kehinaan, dan tidaklah suatu kaum
melakukan perbuatan keji terang-terangan melainkan Allah akan mengirimkan azab
secara merata. (Al Bidayah wan Nihayah 5/248 dan 6/301 karya Ibnu Katsir
dan ia menyatakan isnadnya shahih, Baihaqi dalam As Sunanul Kubra juz 6
hal. 353 no. 12788, dan Ibnu Jarir dalam At Tarikh 2/237, dan Ibnu
Hisyam dalam As Sirah 6/82 dari Ibnu Ishaq, ia berkata, “Telah
menceritakan kepadaku Az Zuhri, telah menceritakan kepadaku Anas bin Malik,”
juga diriwayatakan oleh Ibnu Hibban dalam As Sirah hal. 419)
Selama masa kepemimpinan Abu Bakar Ash Shiddiq, ia banyak melakukan
tugas-tugas mulia, seperti memberangkatkan pasukan Usamah bin Zaid untuk
melawan pasukan Romawi yang mengancam kaum muslimin sebagai pelaksanaan
terhadap wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, memerangi orang-orang
yang murtad, memerangi orang yang enggan membayar zakat, memerangi nabi palsu
seperti Musailmah Al Kadzdzab dan pasukannya, membukukan Al Qur’an, menaklukan
sebagian wilayah Persia dan Romawi.
*****
Pesan Abu Bakar kepada pasukan Usamah bin Zaid
Abu Bakar mengantarkan Usamah untuk berjihad melawan Romawi. Ketika itu Abu
Bakar berjalan kaki sedangkan Usamah menaiki kendaraan, maka Usamah berkata,
“Wahai Khalifah Rasulullah, demi Allah, engkau harus naik atau aku akan turun.”
Abu Bakar berkata, “Demi Allah, engkau tidak boleh turun, dan aku tidak akan
naik. Tidak masalah bagiku jika kedua kakiku berlumuran debu di jalan Allah
sesaat.” Selanjutnya Abu Bakar berpesan kepada pasukan Usamah,
لا تَخُونُوا وَلا تَغِلُّوا، وَلا
تَغْدِرُوا وَلا تُمَثِّلُوا، وَلا تَقْتُلُوا طِفْلا صَغِيرًا، وَلا شَيْخًا
كَبِيرًا وَلا امْرَأَةً، وَلا تَعْقِرُوا نَخْلا وَلا تُحَرِّقُوهُ، وَلا
تَقْطَعُوا شَجَرَةً مُثْمِرَةً، وَلا تَذْبَحُوا شَاةً وَلا بَقَرَةً وَلا
بَعِيرًا إِلا لِمَأْكَلَةٍ، وَسَوْفَ تَمُرُّونَ بِأَقْوَامٍ قَدْ فَرَّغُوا
أَنْفُسَهُمْ فِي الصَّوَامِعِ، فَدَعُوهُمْ وَمَا فَرَّغُوا أَنْفُسَهُمْ لَهُ
“Janganlah kalian berkhianat, janganlah melakukan ghulul (mengambil barang
ghanimah secara khianat), jangan melanggar janji, jangan mencincang, jangan
membunuh anak kecil, lansia, wanita, dan jangan menebang pohon kurma dan
membakarnya, dan jangan menebang pohon yang berbuah, تjangan
menyembelih kambing, sapi, atau unta kecuali jika ingin dimakan. Kelak kalian
akan mendatangi orang-orang yang menetap
beribadah di biara. Biarkanlah mereka dan keadaannya.” (Tarikh Ath Thabari
juz 3 hal. 226)
*****
Pasukan Khalid dan 4 pasukan yang dikirim ke Syam
Penaklukan dimulai dengan pengiriman pasukan dibawah komando Khalid bin
Walid untuk menaklukkan Irak, dan pengiriman empat pasukan untuk menaklukkan
Syam.
Adapun empat pasukan yang dikirim Abu bakar ke Syam tersebut adalah pasukan
pertama dipimpin oleh Yazid bin Abi Sufyan, pasukan kedua dipimpin oleh
Syurahbil bin Hasanah, pasukan ketiga dipimpin oleh Abu Ubaidah Ibnul Jarrah,
sedangkan pasukan keempat dipimpin oleh Amr bin Ash, lalu kepemimpinan
pasukan-pasukan yang diberangkatkan ke Syam itu dialihkan kepada Khalid bin
Walid yang datang dengan membawa separuh pasukannya (kurang lebih 9.000
personel) sehingga berhasil meraih beberapa kemenangan yang di antaranya lima
kemenangan dalam sebulan, yaitu pada bulan Shafar tahun 13 H.
Sedangkan pasukan kaum muslimin yang berada di negeri-negeri Persia dan
Irak dipimpin oleh Al Mutsanna bin Haritsah. Mendengar pasukan Khalid ditarik
ke Syam, maka pasukan Persia memanfaatkan kesempatan itu dengan menyerang
kembali pasukan kaum muslimin hingga pasukan kaum muslimin terpaksa menarik
diri dari beberapa wilayah yang telah ditaklukkan. Maka pada masa pemerintahan
Umar, ia mengirimkan bala bantuan kepada pasukan Al Mutsnna bin Haritsah hingga
kota Madain yang merupakan ibukota Imperium Sasan (Persia ke-2) jatuh di tangan
kaum muslimin.
Selanjutnya, sampai berita kepada Khalid bin Walid bahwa pasukan-pasukan
Romawi bergabung di sebuah kota bernama Jeliq di Palestina, maka Khalid segera
membawa pasukannya ke sana sehingga terjadilah pertempuran besar yang dikenal
dengan nama perang Ajnadin dan kaum muslimin berhasil meraih kemenangan ketika
itu. Penaklukkan pun dilanjutkan hingga kaum muslimin bersiap-siap menghadapi
pasukan Romawi dalam perang Yarmuk, namun Abu Bakar radhiyallahu anhu telah
lebih dulu wafat. Abu Bakar wafat pada hari Senin tanggal 22 Jumada Akhir tahun
13 H/634 M setelah sakit demam yang menimpanya pada dalam usia 63 tahun, dan
dimakamkan di rumah Aisyah radhiyallahu anha di samping kubur Nabi shallallahu
alaihi wa sallam.
Abu Bakar menjadi khalifah dalam waktu dua tahun tiga bulan delapan hari,
akan tetapi telah memberikan jasa yang besar terhadap Islam dan kaum muslimin.
B. Era Umar bin Khaththab (13-23 H/634-643 M)
Setelah Abu Bakar wafat, beliau mewasiatkan agar kaum muslimin mengangkat
Umar sebagai khalifah. Maka naiklah Umar sebagai khalifah kedua dengan gelar
Amirul Mukminin. Selama masa kepemimpinannya, khalifah Umar banyak melakukan
perluasan wilayah Islam hingga pada masanya Islam telah mencapai lebih dari 1/3
dunia. Di masanya, Romawi dan Persia yang merupakan dua negara adidaya dunia
ditaklukkan, demikian pula Mesir, bagian utara Afrika, dan beberapa jazirah di
Laut Tengah.
Penaklukan kawasan barat (negeri-negeri Syam)
1. Perang Yarmuk (14 H/635 M)
Umar mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Khalid bin Walid dengan jumlah
kurang lebih 24.000 menghadapi 200.000 pasukan Romawi. Ada yang mengatakan bahwa jumlah kaum
muslimin 36.000 personil sedangkan jumlah pasukan Romawi 240.000 personil,
wallahu a’lam.
Ketika itu pasukan Romawi kalah dan lari tunggang langgang dan dikejar kaum
muslimin, sehingga kaum muslimin berhasil menawan dan mendapatkan ghanimah
dalam jumlah banyak.
Ketika sisa-sisa
pasukannya yang kalah datang menghadap kepada Heraclius, ia berkata,
"Celaka kalian, sampaikan kepadaku,
'bukankah mereka manusia seperti kalian?"
Mereka menjawab,
"Ya."
Dia berkata lagi,
"Apakah kalian lebih banyak jumlahnya atau mereka?"
Sisa pasukannya
yang kalah berkata, "Bahkan kita lebih banyak."
Heraclius berkata,
"Lalu mengapa kalian kalah?"
Maka salah seorang
di antara mereka berkata, "Aku akan menjawabnya, namun engkau berjanji
untuk memberikan keamanan kepadaku."
"Katakan, dan
engkau akan aman," kata Heraclius
Dia pun berkata,
"Memang mereka adalah manusia seperti kita, akan tetapi mereka shalat
malam dan berpuasa di siang hari, memenuhi janji, beramar ma'ruf dan bernahi
mungkar, serta saling menghargai. Adapun kita, maka kita meminum arak, berzina,
mengerjakan larangan dan ingkar janji, marah-marah dan menzalimi, serta
memerintahkan hal yang dimurkai Allah dan melarang hal-hal yang diridhai Allah
serta kita melakukan kerusakan di muka bumi."
Umar bin Khattab
radhiallahu anhu berkata, "Kita mengalahkan mereka dengan ketaatan kita
dan banyaknya dosa mereka."
(Al Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir)
Disebutkan bahwa Romawi dan Persia berperang selama 700 tahun dengan lebih dari 1000 pertempuran. Masing-masing tidak mampu menghabisi yang lain. Lalu datanglah pasukan Khalid Ibnul Walid radhiyallahu 'anhu bersama para lelaki yang beriman kepada Allah. Ia bersama pasukannya berhasil menghancurkan Romawi dan Persia hanya dalam waktu 4 tahun. Dia hancurkan Persia dengan 15 pertempuran dan dia hancurkan Romawi dengan 9 pertempuran.
2. Penaklukan Damaskus dan kota lainnya di wilayah Syam.
3. Pembukaan Baitul Maqdis (15 H/636 M)
Setelah ditaklukkan Damaskus, maka Abu Ubaidah Ibnul Jarrah komandan
pasukan kaum muslimin pengganti Khalid bin Walid menulis surat ke penduduk
sekitar Baitul Maqdis mengajak mereka masuk Islam atau membayar pajak. Jika
tidak, maka akan dilakukan peperangan, namun mereka menolak ajakan itu, hingga
Abu Ubaidah berangkat bersama pasukannya mengepung Baitul Maqdis yang akhirnya
mereka meminta damai. Namun orang-orang Nasrani kala itu meminta agar Khalifah
Umar hadir untuk menerima penyerahan kota itu, maka Umar pun datang dan membuat
surat keamanan dengan nama Uhdah Umariyyah dan menerima kunci-kunci
Baitul Maqdis.
4. Penaklukan wilayah pantai Syam.
5. Penaklukan Mesir (20 H/640 M)
Umar bin Khaththab mengirimkan pasukan dibawah pimpinan Amr bin Ash dalam
jumlah 8.000 personel ke Mesir, lalu ia berhasil menaklukkan Al Arisy, Farma,
benteng Babalion, dan Iskandariyyah.
Proses penaklukan Mesir agak terhambat, maka Umar mengirimkan 4.000 personel yang dikomandoi oleh 4 orang sahabat yang setara dengan seribu orang. Mereka ini adalah Zubair bin Awam, Miqdad bin Al Aswad, Ubadah bin Ash Shamit, dan Maslamah bin Mikhlad radhiyallahu anhum untuk membantu Amr bin Ash.
6. Penaklukan Libya.
Penaklukan kawasan timur (negeri-negeri Persia)
1. Perang Namariq (13 H/634 M)
2. Perang Jisr (Sya’ban 13 H/634 M)
3. Perang Buwaib (Ramadhan 13 H/634 M)
4. Perang Qadisiyyah Kubra (Muharram 16 H/637 M)
Ketika itu pasukan kaum muslimin di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi waqqash,
sedangkan pasukan Persia di bawah pimpinan Rustum dengan pasukannya yang
berjumlah 120.000 personel. Ketika itu kaum muslimin berhasil mengalahkan
pasukan Persia.
*****
Kisah Rib’i bin Amir berdialog dengan Rustum
Dalam perang Qadisiyyah Rustum panglima perang Persia meminta kepada Sa’ad
bin Abi Waqqash dikirimkan seseorang untuk berbicara kepadanya, maka Sa’ad
mengirimkan seorang sahabat bernama Rib’i bin Amir radhiyallahu anhu kepada
Rustum.
Rib’i pun masuk menemui Rustum yang ketika itu majlisnya dipenuhi bantalan-bantalan
bersulam emas dengan permadani yang indah dan perhiasan yang mewah. Di samping
itu, Rustum sendiri juga bermahkota emas dan duduk di ranjang emas, sedangkan
Rib’i masuk dengan pakaian tebal dengan membawa senjata berupa pedang dalam
sarungnya dan tameng sambil menaiki kudanya yang pendek. Ia terus menaiki
kudanya hingga menginjak permadani itu lalu turun dan mengikat kudanya dengan
dua bantal yang ada yang dirobeknya. Ketika ia mendekat ke Rustum, maka
prajurit Rustum berkata, “Letakkan senjatamu!” Rib’i berkata, “Aku tidaklah
datang untuk meletakkan senjataku atas perintahmu. Akan tetapi aku datang atas
undangan kalian. Jika kalian tidak suka dengan keadaanku ini, maka aku pulang.”
Rustum pun berkata, “Izinkan dia masuk!” Maka Rib’i datang dengan berjalan
sambil menusuk dan merobek bantal-bantal yang ada di hadapannya. Sesampainya di
hadapan Rustum, maka Rustum berkata, “Apa yang membuatmu datang ke negeri ini?”
Rib’i berkata,
اَللهُ ابْتَعَثَنَا
لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادِهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ
رَبِّ الْعِبَادِ، وَمِنْ ضِيْقِ الدُّنْيَا إِلَى سَعَتِهَا، وَمِنْ جَوْرِ الْأَدْيَانِ
إِلَى عَدْلِ الْإِسْلاَمِ، فَأَرْسَلَنَا بِدِيْنِهِ إِلَى خَلْقِهِ لِنَدْعُوَهُمْ
إِلَيْهِ، فَمَنْ قَبِلَ ذَلِكَ قَبِلْنَا مِنْهُ وَرَجَعْنَا عَنْهُ، وَمَنْ أَبَى
قَاتَلْنَاهُ أَبَدًا حَتَّى نفضي إلى موعود الله
“Allah yang mengirim kami untuk mengeluarkan siapa saja yang Dia kehendaki
dari hamba-hamba-Nya dari peribadatan antar sesama hamba menuju peribadatan
kepada Allah Tuhan seluruh hamba, dari sempitnya dunia kepada kelapangannya,
dari kezaliman berbagai agama kepada keadilan Islam. Dia mengirim kami dengan
membawa agama-Nya ke tengah-tengah makhluk-Nya agar mengajak mereka kepada-Nya.
Siapa saja yang menerima hal itu, maka kami terima dan kami tinggalkan mereka.
Tetapi siapa yang menolak, maka kami akan memeranginya selama-lamanya sampai
kami memperoleh janji Allah.”
Rustum bertanya, “Apa janji Allah?” Rib’i menjawab, “Surga bagi mereka yang
meninggal dunia dalam memerangi orang-orang yang enggan masuk ke dalam Islam,
dan kemenangan bagi mereka yang masih hidup.” Rustum berkata, “Aku telah
mendengar perkataan kalian, lalu bisakah kalian menunda masalah ini agar
kami perhatikan dulu dan kalian sambil
menunggu.” Rib’i berkata, “Ya. Tetapi berapa hari kami tunggu; sehari atau dua
hari?” Ia berkata, “Bahkan sampai kami mengirim surat kepada orang-orang yang
berpandangan di antara kami dan para tokoh kami untuk kami bermusyawarah dengan
mereka.” Rib’i balik berkata, “Yang ditetatapkan Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam kepada kami adalah kami memberi tangguh tidak lebih dari tiga hari.
Oleh karena itu, perhatikanlah keadaanmu dan keadaan kaummu lalu pilihlah salah
satu dari tiga ini setelah berlalu tiga hari; masuk Islam, perang, atau
membayar jizya (pajak) sedangkan kalian dalam keadaan hina, dan aku menjadi
penjamin bagimu terhadap sahabat-sahabatku.”
Rustum pun heran dan berkata kepadanya, “Apakah kamu pemimpin mereka
sehingga berani menetapkan?” Rib’i menjawab, “Tidak. Akan tetapi kaum muslimin
seperti satu jasad, dimana yang berada di bawah melindungi yang berada di atasnya.” (Lihat Al Bidayah wan Nihayah
7/43-44).
*****
5. Penaklukan ibukota Persia (Madain) bulan Shafar 16 H/637 M, dan
kota-kota lainnya hingga hancurnya imperium Persia.
6. Penaklukan kota Jalaula
7. Penaklukan Ashthakhar (17 H/638 M)
8. Penaklukan Nahawand (21 H/641 M)
Ketika itu, Umar ingin terjun langsung memimpin pasukan untuk menghabiskan
pasukan Persia, namun para sahabat mencegahnya, akhirnya diberangkatkanlah
Nu’man bin Muqrin Al Muzanniy ke Nahawand dengan 30.000 pasukan menghadapi
pasukan gabungan Persia yang berjumlah 150.000. saat itu pasukan musuh terbunuh
lebih dari 100.000 berikut komandannya Fairuzan. Ketika itu juga Nu’man gugur
sebagai syahid lalu digantikan oleh Hudzaifah bin Al Yaman, dan ditaklukanlah
Nahawand, Ishbahan, Qasyan (Qum), dan Karman.
Perang Nahawand disebut juga Fathul Futuh (Pembuka terhadap berbagai
penaklukan) karena kemenangan dalam perang ini memberikan jalan untuk
mengakhiri pemerintahan Persia, perbendahaarn Kisra berhasil dikuasai, dan
negeri-negeri sisanya dapat ditaklukkan dengan mudah.
9. Penaklukan berbagai wilayah Persia (22-23 H/643 M)
Demikianlah penaklukan Islam terbesar di sepanjang sejarah terjadi pada
masa kekhalifahan Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu.
Umar radhiyallahu anhu mengatur administasi negara
Umar radhiyallahu anhu mendata para prajurit yang ikut serta menaklukkan
berbagai wilayah dan memberi mereka gaji, membentuk dewan atau kabinet, membagi
wilayahnya ke dalam delapan wilayah, yaitu Makkah, Madinah, Palestina, Syam,
jazirah Efrat, Basrah, Kufah, dan Mesir, serta menetapkan gubernur di
masing-masing wilayah itu. Ia juga yang menertibkan surat-menyurat dan
menjadikan bulan hijrah Nabi shallallahu alaihi wa sallam (Muharram) sebagai
bulan pertama dalam kalender Hijriah.
Wafatnya Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu
Umar wafat sebagai syahid karena ditikam dengan pisau beracun oleh seorang
Majusi bernama Abu Lu’lu’ah saat shalat Subuh. Sebelum beliau wafat, ia memilih
enam orang sahabat yang dijamin masuk surga, yaitu Utsman, Ali, Thalhah, Az
Zubair, Abdurrahman bin Auf, dan Saad bin Abi waqqash untuk memilih salah
seorang di antara mereka sebagai khalifah. Ia wafat pada bulan Dzulhijjah tahun
23 H/643 M.
C. Era Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Setelah Umar wafat dan telah dibentuk panitia syura (musyawarah) yang
dipilih oleh Umar, maka berkumpullah enam sahabat tersebut, namun masing-masing
mereka menolak jabatan itu hingga akhirnya terpilihlah Utsman bin Affan
radhiyalllahu anhu yang juga tidak berharap menjadi khalifah. Lagi pula usia
Utsman ketika itu 70 tahun.
Selama masa kepemimpinannya, Utsman radhiyallahu anhu melakukan banyak
penaklukan dan perluasan wilayah baik melalui darat maupun laut mengikuti jejak
Umar radhiyallahu anhu. Namun masa akhir dari kekhalifahan Utsman merupakan
masa-masa penuh fitnah dan cobaan, hingga akhirnya rumah Beliau dikepung
kemudian beliau bunuh secara terzalimi oleh kaum munafik dan khawarij saat beliau
sedang membaca Al Qur’an. Beliau wafat sebagai syahid pada hari Jumat 10
Dzulhijjah tahun 35 H, dan dimakamkan di Baqi.
Penaklukan kawasan barat
Di masa Utsman, ditaklukan benua
Afrika, Byzantium (tahun 27 H/647 M), Siprus (tahun 28 H/648 M), terjadi perang
Dzatush shawari di tepi laut (tahun 31 H/651 M) yang dipimpin Abdullah bin Abis
Sarh atas komando Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dimana pemimpin musuh yaitu
Kostantin terbunuh dan pasukan Romawi kalah telak. Mu’awiyah pun melanjutkan
penyerangan sampai ke batas Amuriah (dekat kota Ankara) pada tahun 33 H/653 M.
Penaklukan Kawasan Timur
Ditaklukan wilayah Farghanah (29
H/649 M), dilanjutkan ke Kabul, Hindustan, dan ke Jurjan.
Ketika itu, Afrika, Qabrus, Armenia,
negeri-negeri Sind (berbatasan dengan India), Kabul, Farghanah, Balakh, dan
Hirah di bawah kekuasaan Islam. Demikian pula negeri-negeri yang coba-coba
membatalkan perjanjian berhasil ditundukan baik yang ada di Persia, Khurasan,
dan Babul Abwab.
Di samping melakukan penaklukan,
Utsman bin Affan radhiyallahu anhu juga memperluas Masjid Nabawi, membuat
armada laut untuk menjaga wilayah kaum muslimin yang berada di tepi laut dari
serangan Byzantum. Demikian pula menyatukan bacaan Al Qur’an dengan lahjah
(dialek) Quraisy yang merupakan lahjah bangsa Arab agar umat tidak berpecah belah.
D. Era Ali bin Abi Thalib (35-40
H/656-661 M)
Setelah wafatnya Utsman bin Affan,
maka dipilihlah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu sebagai penggantinya. Awalnya
ia menolak, namun para sahabat mendesaknya, hingga akhirnya ia menerimanya. Selanjutnya
Ali berpindah ke Kufah dan menjadikannya sebagai ibukota pemerintahannya.
Ketika itu, beliau disibukkan menyelesaikan
berbagai fitnah dan perpecahan yang menimpa kaum muslimin setelah terbunuhnya
Utsman bin Affan sehingga tidak banyak penaklukan dan perluasan wilayah ketika
itu. Bahkan terjadi peperangan ketika itu antara kaum muslimin seperti yang
terjadi pada perang Jamal (36 H/656 M), perang Shiffin (37 H/657 M), dan perang
Nahrawan (38 H/658 M).
Perang Jamal
Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan
radhiyallahu anhu, Ali tidak segera melakukan qishas terhadap pembunuhnya sampai
urusan di Madinah menjadi stabil di samping beliau juga tidak tahu pasti siapa
pembunuhnya, namun beberapa orang sahabat berpendapat agar pembunuh Utsman
segera diqishas.
Pada bulan Jumada Akhir tahun 36 H pihak
sahabat yang meminta disegerakan qishas tampil untuk meminta disegerakan qishas
dan untuk mendamaikan kaum muslimin. Yang ada di pihak ini adalah Aisyah Ummul
Mukminin, Az Zubair, Thalhah, dan kaum muslimin yang bersamanya, mereka datang
ke Basrah, dan untuk memperbaiki keadaan ini maka Ali radhiyallahu anhu bersama
pasukannya datang ke Basrah untuk meminta mereka kembali ke Madinah. Al Hasan
bin Ali menasihati ayahnya agar tidak berangkat, karena bertemunya dua pasukan biasanya menimbulkan
peperangan. Saat itu benih-benih perdamaian telah muncul dan hendak dibuat
kesepakatan, namun para pembunuh Utsman takut kalau Ali bersepakat dengan
mereka untuk menahan orang-orang yang telah membunuh Utsman, maka mereka
membawa pasukan untuk menyerang Thalhah dan Az Zubair, sehingga Thalhah dan Az
Zubair menyangka bahwa Ali telah memeranginya. Mereka juga mendorong manusia
untuk saling berperang supaya tidak ada kesepakatan, maka kedua pasukan pun
berperang di hadapan unta yang Aisyah berada di atas tandunya sehingga terbunuh
di hadapannya 70 orang, maka Ali segera menyembelih unta itu untuk menghentikan
peperangan dan memerintahkan melindungi Sayyidah Aisyah radhiyallahu anha dan
dapat membawanya ke Madinah. Perang pun berhenti dan fitnah pun redam, namun
masih sisa satu lagi, yakni terkait Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu.
Perang Shiffin
Sebab terjadinya perang Shiffin
adalah karena ada khilaf antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan terkait pembunuh Utsman, dimana Mu’awiyah menuntut agar pembunuh Utsman
segera diqishas, sedangkan Ali bin Abi Thalib menginginkan agar didahulukan
pembaiatan terhadap beliau agar umat ini tidak berpecah belah untuk selanjutnya
dibahas terkait pembunuh Utsman. Atau sebabnya adalah karena ketika Ali bin Abi
Thalib telah dibaiat menjadi khalifah, namun gubernur Syam yaitu Mu’awiyah dan
penduduknya menolak untuk membaiat Ali karena hendak menuntut qishas terhadap
Utsman, maka Ali bin Abi Thalib mengirimkan Jarir bin Abdullah Al Bajalliy
menemui Mu’awiah untuk mengajaknya berbaiat. Saat mendengar apa yang
disampaikan Jarir, maka Mu’awiyah bermusyawarah dengan Amr bin Ash, lalu Amr
mengusulkan kepada Mu’awiyah untuk mengumpulkan penduduk Syam dan membawa
mereka ke Irak untuk menuntut qishas terhadap Utsman bin Affan radhiyallahu
anhu, namun ketika bertemu dua pasukan dan telah dilakukan perundingan yang
terjadi adalah peperangan, dan ketika itu kemenangan telah tampak di pihak Ali,
maka Amr bin Ash berusaha menghentikan peperangan ini dengan menyeru pasukan
Mu’awiyah mengangkat mushaf di ujung tombak; yang maksudnya agar menjadikan Al
Qur’an sebagai pemutus masalah di antara mereka agar pasukan Ali berhenti
sekaligus mengajaknya berhukum dengan Al Qur’an. Inilah yang disebut Tahkim. Peperangan pun berhenti, Ali mengizinkan pasukannya
pulang ke Kufah, sedangkan Mu’awiyah menggerakkan pasukannya ke Syam, dan
masing-masing memerintahkan untuk melepaskan tawanannnya.
*****
Surat Kaisar Romawi kepada Mu'awiyah
ketika terjadi perselisihan antara Mu'awiyah dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhuma
Dari Kaisar Romawi kepada Mu'awiayah,
“Kami telah mengetahui perselisihan
yang terjadi antara anda dengan Ali bin Abi Thalib, dan menurut penilaian kami,
Andalah yang paling berhak menempati posisi sebagai khalifah. Jika Anda
memerintahkan kepadaku (untuk menyiapkan pasukan), niscaya aku akan mengirimkan kepadamu
sejumlah pasukan yang akan membawakan kepadamu kepala Ali bin Abi Thalib.
Surat kaisar romawi ini pun dibalas
oleh Mu'awiyah,
Dari Mu'awiyah kepada Heraklius.
“Ini adalah perselisihan antara dua
saudara, lalu mengapa Anda ingin turut campur dalam urusan mereka berdua.
Jika engkau tidak membungkam mulutmu
sendiri, maka aku akan mengirim kepadamu sebuah pasukan, barisan pertamanya
telah sampai kepadamu dan barisan terakhirnya masih di tempatku hanya untuk
mendatangkan kepalamu untukku agar aku serahkan kepada Ali bin Abi Thalib.”
*****
Kemunculan Khawarij
Selanjutnya ada kurang lebih 12.000
orang yang menolak tahkim, bahkan sampai mengkafirkan Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu anhu, maka Ali dan para fuqaha dari kalangan sahabat berdialog
dengan mereka hingga sebagian di antara mereka rujuk, sedangkan sisanya menolak.
Pada tahan 38 H kaum Khawarij (yang
memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin) berkumpul di sebuah tempat bernama
Nahrawan, lalu Ali memerangi mereka setelah menegakkan hujjah kepada mereka,
sebagian besar mereka terbunuh, sebagian lagi melarikan diri dan mereka
terpecah belah lagi menjadi 20 kelompok.
Pada tahun 39 H Ali dengan Mu’awiyah mengadakan
perdamaian untuk menghentikan peperangan dengan syarat Mu’awiyah tetap sebagai
gubernur Syam.
Setelah berbagai fitnah dan
perpecahan berhasil diredam. Musuh-musuh
Islam dari kalangan kaum kafir dan munafik tidak tenang melihat kenyataan
seperti ini. Mereka melihat umat ini telah aman dan damai kembali, dan dakwah
Islam kembali disebarkan. Kemudian berkumpullah tiga orang khawarij yang merasa
dendam setelah Amirul Mukminin memporak-porandakan kesatuan mereka dan
menghilangkan fitnah mereka. Mereka sepakat untuk membunuh Amirul Mukminin Ali
bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan gubernur Syam, dan ‘Amr bin ‘Ash
gubernur Mesir agar umat tidak memiliki khalifah.
Pada hari Jumat tanggal 16 atau 17 Ramadhan tahun 40 H,
para pembuat makar ini coba merealisasikan rencana jahat tersebut. Hal ini
terjadi ketika Ali radhiyallahu ‘anhu keluar mengajak manusia shalat Subuh,
lalu Ibnu Muljim memukul Ali dengan pedangnya,
lantas Ali terus mengucapkan Laailaahaillallah dan berkata, “Saya berhasil (memperoleh syahid), demi Allah Tuhan Pemilik Ka’bah.” (Al Khulafa’ur
Rasyidun hal. 80-81).
Pembai’atan Al Hasan bin Ali
radhiyallahu anhuma
Setelah Ali wafat, maka dibaiatlah Al
Hasan bin Ali cucu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, namun kepemimpinan
Beliau tidak lama, bahkan hanya berjalan kurang lebih 6 atau 7 bulan. Beliau
melihat lemahnya para pengusungnya, sedangkan umat butuh bersatu, maka beliau
lebih mengutamakan shulh (perdamaian), kemudian beliau melepaskan jabatan dan
memberikannya kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 41
H/661 M. Tahun ini kemudian dikenal dengan ‘Amul Jamaah atau tahun Jamaah
karena bersatunya kaum muslimin di bawah seorang pemimpin.
ERA BANI UMAYYAH/UMAWIYYAH (41-132 H/661-749 M)
Daulah Bani (keturunan) Umayyah
dinisbatkan kepada Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf, dimana Umayyah
termasuk tokoh Quraisy di masa Jahiliyyah. Ketika itu dia dan pamannya, yaitu
Hasyim bin Abdi Manaf berlomba-lomba dalam hal kedudukan dan kehormatan.
Setelah Islam datang, perlombaan itu berubah menjadi permusuhan, dimana Bani
Umayyah menentang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan dakwahnya,
sedangkan Bani Hasyim membantu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan
melindunginya. Ketika itu Bani Umayyah tidak masuk ke dalam Islam kecuali
setelah terjadi Fathu Makkah.
Hubungan Nasab Bani Umayyah dan Bani
Abbasiyyah
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa
sallam bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf.
Alawiyyun keturunan Ali bin Abi
Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf.
Abbasiyyun keturunan Abbas bin Abdul
Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf.
Mu’awiyah bin Abu Sufyan bin Harb
bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf.
Utsman bin Affan bin Abil Ash bin
Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf.
Marwan bin Al Hakam bin Abil Ash bin
Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf.
Kelebihan Bani Umayyah
Muawiyah adalah seorang sahabat
mulia meskipun beliau berijtihad saat keluar menentang Ali bin Abi Thalib dan
ijtihadnya keliru, namun ia tetap sebagai seorang yang adil, karena para
sahabat semuanya adil.
Mu’awiyah juga melanjutkan jihad dan penaklukan yang
sebelumnya sempat terhenti karena fitnah yang menimpa Utsman bin Affan
radhiyallahu anhu. Ia juga memindahkan pusat pemerintahan dari Kufah ke
Damaskus. Di zamannya wilayah kekuasaan Islam telah mencapai Asia Tengah, Cina,
bagian tengah Eropa, dan perbatasan Prancis.
Dari Ummu Haram Al Anshariyyah, bahwa ia mendengar Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
َأوَّلُ جَيْشٍ
مِنْ أُمَّتِي يَغْزُوْنَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا
“Pasukan pertama umatku yang
berperang di lautan, memiliki keberhakan (masuk surga).” (Hr. Bukhari)
Maksud 'memiliki keberhakan' adalah
bahwa mereka mengerjakan perbuatan yang membuat mereka mesti masuk surga.
Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul
Bari (6/127) berkata,
"Muhallab berkata, "Dalam
hadits ini terdapat keutamaan Mu'awiyah karena dialah orang pertama yang
berperang di lautan."
Mu’awiyah juga mengangkat Uqbah bin
Nafi sebagai komandan pasukan di wilayah Maghrib, dan melalui beliau
ditaklukkan berbagai wilayah. Mu’awiyah juga mengizinkan kepadanya membangun
kota Al Qairawan.
Marwan bin Al Hakam termasuk
thabaqah (lapisan) pertama dari kalangan tabiin dan meriwayatkan dari banyak
para sahabat seperti Umar bin Khaththab, Utsman, dan lain-lain. Sedangkan Abdul
Malik termasuk Ahli Ilmu dan Ahli Fiqih, dan Umar bin Abdul Aziz termasuk imam
mujtahid.
Bani Umayyah biasa memuliakan Ahli
Ilmu dan orang-orang utama dan tidak masuk ke dalam perkara qadha (peradilan).
Melalui Bani Umayyah Islam tersebar
luas sehingga bagian timurnya sampai ke Cina, dan bagian baratnya sampai ke
Andalusia (Spanyol) dan bagian selatan Perancis.
Puncak kejayaan umat Islam
berlangsung selama Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah, bahkan ada
yang memasukkannya ke dalam Khulafa Rasyidin.
Di samping penaklukan dan perluasan
wilayah, di era Bani Umayyah ilmu pengetahuan agama dan dunia,
penemuan-penemuan ilmiyah, ilmu kedokteran dan sains berkembang pesat. Para
mufassir, Ahli Hadits dan Ahli Qiraat banyak muncul di era Bani Umayyah.
Pembangunan negeri juga menjadi prioritas proyek setiap khalifah, pembangunan
jalan raya, pabrik, gedung, masjid, dan panti asuhan untuk orang cacat.
Daulah Bani Umayyah berlangsung
selama 91 tahun. Diawali oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan setelah penyerahan dari
Al Hasan bin Ali radhiyallahu anhuma, dan diakhiri oleh Marwan bin Muhammad
setelah dikalahkan dalam perang Az Zaab oleh pasukan Abbasiyyah pada bulan
Jumada Ula tahun 132 H/749 M.
Para khalifah Bani Umayyah
1. Mu’awiyah bin Abi Sufyan (41-60
H/661-679 M)
2. Yazid bin Mu’awiyah (60-64
H/679-683 M)
Di masa Yazid terjadi berbagai fitnah dan gejolak sampai terbunuh Al Husain
bin Ali, ada usaha membunuh Abdullah bin Az Zubair oleh Hajjaj bin Yusuf yang
dikirim Yazid sehingga Ka’bah dihujani serangan Manjeniq (alat pelempar)
sehingga sebagian sisi-sisinya roboh.
3. Mu’awiyah bin Yazid (64 H/683 M,
hanya bertahan 40 hari)
64-73 H/683-692 M masa terjadi
percampuran kepemimpinan antara Bani Umayyah dengan Khalifah Abdullah bin Az
Zubair.
Kekhalifahan keluarga Marwan
4. Marwan bin Hakam (64-65 H/683-684 M)
Ia juga juga berusaha memerangi
Abdullah bin Az Zubair, tetapi tidak berhasil.
5. Abdul Malik bin Marwan bin Hakam
(65-86 H/684-705 M)
Di masa ini Abdul Malik mengirimkan
pasukan dibawah pimpinan Hajjaj bin Yusuf menuju Mekkah untuk merebut kekuasaan
Abdullah bin Az Zubair yang telah menjadikan Mekkah sebagai pusat kekuasaannya,
dan Abdullah bin Az Zubair pun terbunuh oleh Hajjaj sehingga Mekkah di bawah
kekuasaan Bani Umawiyyah.
Di masa Abdul Malik bin Marwan
huruf-huruf diberi titik untuk mempermudah membaca Al Qur’an, dan di masa ini
pula dibangun Masjid Qubbatush Shakhrah di Baitul Maqdis.
6. Al Walid bin Abdul Malik (86-96
H/705-714 M)
Di masanya Andalusia (Spanyol)
ditaklukkan, yaitu pada tahun 95 H.
Spanyol ditaklukkan Bani Umawiyyah
dengan pengiriman pasukan Thariq bin Ziyad dan Musa bin Nushair.
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99
H/714-717 M)
8. Umar bin Abdul Aziz bin Marwan
(99-101 H/717-719 M)
Beliau terkenal sebagai khalifah
yang adil, di masanya umat Islam berada dalam puncak kejayaan, bahkan sebagian
ulama ada yang memasukkan beliau sebagai Khulafa Rasyidin.
9. Yazid bin Abdul Malik (101-105
H/719-723 M)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125
H/723-742 M)
11. Al Walid bin Yazid bin Abdul
Malik (125-126 H/742-743 M)
12. Yazid bin Al Walid bin Abdul
Malik (126 H/743 M)
13. Ibrahim bin Al Walid bin Abdul
Malik (126-127 H/743-744 M)
14. Marwan bin Muhammad bin Marwan
(127-132 H/744-749 M)
Penaklukan-Penaklukan Pada masa bani
Umayyah
Penaklukan pada masa Bani Umayyah meliputi tiga wilayah:
Pertama, melawan
pasukan Romawi di Asia
Timur. Penaklukan ini sampai pada pengepungan Kostantinopel dan beberapa kepulauan di laut tengah.
Kedua, wilayah
Afrika utara. Penaklukan ini sampai ke samudra Atlantik kemudian melintas ke gunung Thariq hingga ke Spanyol.
Ketiga, wilayah timur, penaklukan sampai ke bagian timur Irak, kemudian meluas ke wilayah
Turkistan di utara, serta ke wilayah Sind di bagian
selatan.
Perlu diketahui, bahwa perluasan
Islam berhenti setelah Bani Umayyah, dimana pada masa Bani Abbasiyyah tidak
banyak mengadakan penaklukan meskipun dakwah Islam tetap tersebar melalui para
da’i dan pedagang.
Kemudian setelah itu dilakukan perluasan wilayah secara
militer oleh orang-orang Bani Ghaznawi dan orang-orang Utsmani.
ERA BANI ABBASIYYAH (132 H-656 H/749-1200
M)
Daulah Bani Abbasiyyah berkuasa
setelah berakhirnya daulah Bani Umayyah, yaitu ketika As Saffah (khalifah
pertama Bani Abbasiyyah) berhasil mengalahkan Marwan bin Muhammad (khalifah
terakhir Bani Umayyah) dalam perang di sungai Az Zaab berdekatan dengan Mosul.
Dengan demikian, semua wilayah Islam di bawah kendali Bani Abbasiyyah selain
Andalusia (Spanyol) yang berdiri sebagai Daulah Bani Umawiyyah dibawah pimpinan
Abdurrahman Ad Dakhil.
Daulah Abbasiyyah berdiri pada tahun
132 H/749 M dan berakhir pada tahun 656 H/1258 M setelah pasukan Mongol
menghancurkan Bagdad yang merupakan ibukota Daulah Bani Abbasiyyah dan membunuh
khalifah terakhir Bani Abbasiyyah.
Bani Abbasiyyah berkuasa dari tahun
132-656 H atau kurang lebih 524 tahun.
Pemerintahan mereka dibagi menjadi
dua periode sebagaimana istilah para sejarawan:
Pertama, Daulah Abbasiyyah Periode 1 (132-247 H/749-861
M). Periode ini adalah masa kejayaan para khalifah Abbasiyyah. Ada sepuluh
penguasa pada periode ini:
1. Abul Abbas Abdullah bin Muhammad
As Saffah (132-136 H/749-753 M)
2. Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad
Al Manshur (137-158 H/753-774 M)
3. Muhammad bin Abdullah bin
Muhammad Al Mahdi (158-169 H/774-785 M)
4. Musa bin Muhammad bin Abdullah Al
Hadiy (169-170 H/785-786 M)
5. Harun bin Muhammad bin Abdullah
Ar Rasyid (170-193 H/786-808 M)
6. Muhammad bin Harun bin Muhammad
Al Amin (193-198 H/808-813 M)
7. Abdullah bin Harun bin Muhammad
Al Ma’mun (198-218 H/813-833 M)
8. Muhammad bin Harun bin Muhammad
Al Mu’tashim (218-227 H/833-841 M)
9. Harun bin Muhammad bin Harun Al
Watsiq (227-232 H/841-846 M)
10. Ja’far bin Muhammad bin Harun Al
Mutawakkil (232-247 H/846-861 M)
Kisah Keteguhan Imam Ahmad bin Hanbal Penulis Al Musnad
Imam Ahmad rahimahullah mengalami hidup di masa delapan khalifah di
atas (Al Mahdi, Al Hadiy, Ar Rasyid, Al Amin, Al Ma’mun, Al Mu’tashim, Al
Watsiq, dan Al Mutawakkil).
Empat khalifah yang pertama (Al Mahdi, Al Hadiy, Ar Rasyid, dan Al Amin) di
atas madzhab salaf. Sedangkan tiga khalifah setelahnya, yaitu Al Ma’mun, Al
Mu’tashim, dan Al Watsiq malah membuat fitnah ke tengah-tengah manusia (dengan
menyatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk). Tokoh fitnah ini adalah Ahmad bin
Abi Duad (seorang tokoh Mu’tazilah). Sedangkan khalifah Al Mutawakkil, maka dia
berada di atas madzhab Salaf.
Fitnah ini dimulai pada tahun 218 H, dimana bagi yang tidak setuju dengan
pernyataan itu akan mendapatkan sanksi berupa pemenjaraan, dipersempit
kehidupannya, dipukul, dipecat, atau tidak mendapat santunan dari Baitul Mal.
Sebab timbulnya fitnah ini adalah karena penerjemahan buku-buku Persia,
Romawi, Yunani dan Hindu ke dalam bahasa Arab dan dekatnya khalifah kepada Ahli
bid’ah.
Di antara ulama yang mendapat cobaan ini adalah Muhammad bin Sa’ad juru
tulis Al Waqidi, Yahya bin Ma’in, Abu Khaitsamah, Abu Muslim Al Mustamliy,
Ismail bin Dawud Al Jauzi, Ahmad Ad Dauraqi, Ibnu Abi Mas’ud, namun mereka
karena khawatir dibunuh, maka mereka menyetujui pernyataan itu –semoga Allah
mengampuni mereka-. Tinggallah Imam Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Nuh,
Ubaidullah bin Umar Al Qawaririy, Al Hasan bin Hammas Sajjadah. Mereka ini
menolak menyetujui pernyataan itu sehingga mereka dipenjara dan dibelenggu,
namun Al Qawariri dan Sajjadah akhirnya menyetujui karena terpaksa, sedangkan
Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh tetap menolaknya. Ketika itu, Imam Ahmad dan
Muhammad bin Nuh dihadapkan ke Al Ma’mun dalam keadaan dibelenggu rantai, namun
Imam Ahmad berdoa kepada Allah agar tidak ditampakkan wajah Al Ma’mun, sehingga
ketika beliau sampai di Riqqah, beliau mendapatkan kabar bahwa Al Ma’mun telah
meninggal dunia, sehingga keduanya dipulangkan ke Bagdad. Namun di tengah
perjalanan, Muhammad bin Nuh rahimahullah wafat lalu dishalatkan oleh
Imam Ahmad rahimahullah.
Ujian terhadap Imam Ahmad semakin bertambah ketika Al Mu’tashim menjabat
sebagai khalifah pada tahun 218 H. Saat itu Imam Ahmad dicambuk berkali-kali,
dan beliau menahan siksaan ini selama 28 atau 30 bulan, namun beliau tetap
teguh di atas keimanannya.
Pada bulan Ramadhan tahun 221 H, Imam Ahmad dilepaskan dari penjara,
sehingga beliau berada di penjara dua tahun empat bulan.
Setelah Allah menyembuhkan sakitnya karena siksaan itu, maka Imam Ahmad
kembali mengajar, berfatwa, hadir dalam shalat Jumat dan Jamaah sampai wafat Al
Mu’tashim pada tahun 227 H.
Pada tahun 231 H, khalifah Al Watsiq melarang orang lain bertemu dengan
Imam Ahmad, beliau harus tetap berada di rumah, dan tidak boleh keluar untuk
shalat Jumat dan jamaah.
Pada tahun 233 H, saat Al Mutawakkil menjadi khalifah, ia menampakkan sunnah, menyingkirkan bid’ah, dan memadamkan fitnah serta memuliakan Imam Ahmad sehingga tidak memberikan jabatan kepada seseorang kecuali setelah bermusyawarah dengannya.
Kedua, Daulah Abbasiyyah Periode 2
(247-656 H/861-1258 M). Periode ini adalah periode lemahnya para khalifah dan
lenyapnya kekuasaan mereka. Masa ini dikuasai oleh kalangan militer. Bahkan wilayah kekuasaan Bani Abbasiyyah
banyak yang lepas selain Irak karena pembangkangan para gubernurnya seperti
yang dilakukan Ahmad bin Thulun yang memimpin secara independen wilayah Mesir,
Syam, Hijaz, dan Tihamah serta membangun Daulah Thuluniyyah. Di samping itu,
bangsa Turki dan Persia juga menguasai pasukan Abbasiyyah karena sikap Bani
Abbasiyyah yang mengutamakan mereka di atas bangsa Arab, sehingga kewibaan
khalifah pung hilang, dan bermunculan daulah-daulah yang berdiri sendiri
seperti Daulah Saljuk, Daulah Fathimiyyah, Daulah Buwaihiyyah, Daulah
Khawarzmiyyah, dll.
Ada 27 khalifah pada periode ini:
11. Muhammad bin Ja’far Al Mutawakkil
Al Muntashir (247-248 H/861-862 M)
12. Ahmad bin Muhammad Al Mu’tashim Al
Musta’in (284-252 H/862-866 M)
13. Muhammad bin Ja’far Al Mutawakkil Al Mu’taz (252-255
H/866-868 M)
14. Muhammad bin Harun Al Watsiq Al Muhtadi (255-256
H/868-869 M)
15. Ahmad bin Ja’far Al Mutawakkil Al Mu’tamid (256-279
H/869-892 M)
16. Ahmad bin Thalhah bin Ja’far Al Mu’tadhid (279-289
H/892-901 M)
17. Ali bin Ahmad Al Mu’tadhid Al Muktafi (289-295
H/901-907 M)
18. Ja’far bin Ahmad Al Mu’tadhid Al Muqtadir (295-320
H/907-932 M)
19. Muhammad bin Ahmad Al Mu’tadhid Al Qahir (320-322
H/932-933 M)
20. Muhammad bin Ja’far Al Muqtadir Ar Radhiy (322-329
H/933-940 M)
21. Ibrahim bin Ja’far Al Muqtadir Al Muttaqi
(329-333/940-944 M)
22. Abdullah bin Ali Al Muktafi Al Mustakfi (333-334
H/944-945 M)
Dari no. 11-22 di atas, pemerintahan di bawah dominasi
Turki.
23. Al Fadhl bin Ja’far Al Muqtadir Al Muthi’ (334-363
H/945-973 M)
24. Abdul Karim bin Al Fadhl Al Muthi Ath Tha’i’ (363-381
H/973-991 M)
25. Ahmad bin Ishaq Al Muqtadir Al Qadir (381-422
H/991-1030 M)
26. Abdullah bin Ahmad Al Qadir Al Qa’im (422-467
H/1030-1074 M)
Dari no. 23-26 di atas, pemerintahan di bawah dominasi
Bani Buwaihi (Syi’ah Rafidhah).
27. Abdullah bin Muhammad Al Qa’im Al Muqtadi (467-487
H/1074-1094 M)
28. Ahmad bin Abdullah Al Muqtadi Al Mustazh-hir (487-512
H/1094-1118 M)
29. Al Fadhl bin Ahmad Al Mustazh-hir Al Mustarsyid
(512-529 H/1118-1134 M)
30. Manshur bin Al Fadhl Al Mustarsyid Ar Rasyid (529-530
H/1134-1135 M)
31. Muhammad bin Ahmad Al Mustazh-hir Al Muqtafi (530-555
H/1135-1160 M)
32. Yusuf bin Muhammad Al Muqtafi Al Mustanjid (555-566
H/1160-1170 M)
33. Al Hasan bin Yusuf Al Mustanjid Al Mustadhi’ (556-575
H/1170-1179 M)
34. Ahmad bin Al Hasan Al Mustadhi An Nashir (575-622
H/1179-1225 M)
35. Muhammad bin Ahmad An Nashir Azh Zhahir (622-623
H/1225-1226 M)
36. Manshur bin Muhammad Azh Zhahir Al Mustanshir
(623-640 H/1226-1242 M)
37. Abdullah bin Manshur Al Mustanshir Al Mu’tashim
(640-656 H/1242-1258 M)
Dari no. 27-37 di atas, pemerintahan di bawah dominasi
Bani Saljuk-Sunni.
Bani Abbasiyyah berakhir setelah mendapat serangan Mongol
yang dipimpin oleh Hulaku Khan dari Tartar. Dihancurkanya kota Bagdad dan
dibunuh para penduduknya ketika itu oleh pasukannya, demikian pula dibakar
perpustakaan besar Islam ketika itu dan dilemparkan ke sungai. Lalu sebagian
dari orang-orang Bani Abbasiyyah yang masih hidup pergi ke kairo, dan di
sanalah kemudian mereka diangkat menjadi Khalifah oleh Daulah Mamalik, namun tidak
ada peran yang berarti, karena pemerintahan diatur oleh Daulah Mamalik.
Ibnu Daqiqil Ied rahimahullah berkata, “Sesungguhnya bangsa Tartar berhasil menguasai negeri-negeri timur (kaum muslimin) karena kaum muslimin mempelajari filsafat dan lemahnya pengamalan terhadap syariat.” (Majmu Fatawa 2/345)
Negeri-negeri kecil yang memisahkan
diri pada abad kedua hijriah
Sebelumnya dunia Islam menjadi satu kesatuan selama masa
pemerintahan Khulafa Rasyidin dan Bani Umawiyyah. Sejak runtuhnya Bani
Umawiyyah mulailah terjadi keretakan dalam dunia Islam. Sebagian wilayah
memisahkan diri dari Bani Abbasiyyah dan menjadi negeri independen. Yang
pertama adalah berdirinya pemerintahan Bani Umawiyyah di Andalus (Spanyol) pada
tahun 138 H/755 M, selanjutnya pemerintahan Khawarij di Maghrib pada tahun 140
H/757 M. pada awalnya Bani Abbasiyyah hendak menghancurkan pemerintahan itu,
namun kemudian mereka membiarkannya.
Kalau kita perhatikan, negeri-negeri yang memisahkan diri
semuanya berada di bagian barat dunia Islam, seperti pada tabel berikut:
No. |
Pemerintahan |
Tempat |
Masa Berkuasa |
1 |
Bani Umawiyyah |
Andalus |
138-422 H/755-1030 M |
2 |
Bani Midrar |
Sajalmasah (Maghrib) |
140-297 H/757-909 M |
3 |
Rustumiyyah |
Maghrib Tengah (Al Jaza’ir) |
160-296 H/776-908 M |
4 |
Adarisah |
Marakisy (Maghrib) |
172-375 H/788-985 M |
5 |
Aghalibah |
Qairawan (Tunisia) |
184-296 H/800-908 M |
Para pemimpin Bani Umawiyyah di Andalus
1. Abdurrahman Ad Dakhil (138-172 H/755-788 M)
2. Al Hakam bin Hisyam (180-206 H/796-821 M)
3. Abdurrahman bin Al Hakam (206-238 H/821-852 M)
4. Muhammad bin Abdurrahman (238-273 H/852-886 M)
5. Abdullah bin Muhammad (275-300 H/888-912 M)
6. Abdurrahman bin Muhammad An Nashir (300-350 H/912-961
M)
Para Pemimpin Bani Midrar
1. Isa bin Yazid Al Aswad (140-155 H/757-771 M)
2. Abul Qasim Samku (155-168 H/771-784 M)
3. Ilyasa bin Abul Qasim (174-208 H/790-823 M)
4. Maimun bin Midrar (224-263 H/838-876 M)
Para Pemimpin Pemerintahan Rustumiyyah
1. Abdurrahman bin Rustum (160-168 H/776-784 M)
2. Abdul Wahhab bin Abdurrahman (168-208 H/784-823 M)
3. Al Aflah bin Abdul Wahhab (208-258 H/823-871 M)
4. Abul Yaqzhan Muhammad bin Al Aflah (260-281 H/873-894
M)
Para Pemimpin Pemerintahan Adarisah
1. Idris bin Abdullah bin Al Hasan (172-177 H/788-793 M)
2. Idris bin Adris (177-213 H/793-828 M)
3. Muhammad bin Idris bin Idris (213-221 H/828-835 M)
4. Yahya bin Idris bin Umar (292-310 H/904-922 M)
Para Pemimpin Pemerintahan Aghalibah
1. Ibrahim bin Al Aghlab bin Salim (184-196 H/800-811 M)
2. Ziyadatullah bin Ibrahim (201-223 H/816-837 M)
3. Ibrahim bin Ahmad (261-289 H/874-901 M)
Negeri-Negeri Penting Yang Memisahkan Diri dari Bani
Abbasiyyah Periode ke-2 (Abad ke-3 Hijriah/ke-9 Miladiyah)
1. Ath Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H/820-872 M)
2. Al Ya’fariyyah di Shan’a (225-393 H/839-1002 M)
3. Az Zabadiyyah di Zabid (203-412 H/818-1021 M)
4. Az Zaidiyyah (Ath Thalibiyyah) di Thabaristan (250-316
H/864-928 M)
5. Ath Thuluniyyah di Mesir dan Syam (254-292 H/868-905
M)
6. Ash Shaffariyyah di Iran, Herat, dan Asia Tengah
(254-298 H/868-910 M)
7. As Samaniyyah di Asia Tengah dan lainnya (261-390
H/874-1000)
8. Az Zaidiyyah (Bani Ar Rassiy) di Sha’dah dan Shan’a
(280-1382 H/893-1962 M)
9. Al Ubaidiyyah (Fathimiyyah) di Mesir (297-567
H/909-1171 M)
Daulah ini adalah Daulah Syi’ah yang
berebut kekuasaan dan wilayah dengan Daulah Abbasiyyah dalam menguasai Syam,
sebagaimana Daulah ini juga berebut wilayah bagian utara Afrika dengan Daulah
Umawiyyah yang berada di Andalus. Daulah ini pernah menundukan dua tanah suci
(Haramain) antara tahun 965-1070 M.
Pada tahun 358 H pemimpin Daulah ini
yaitu Al Mu’iz mengirimkan komandannya bernama Jauhar Ash Shaqli untuk
menaklukan Mesir, dan ia pun berhasil menaklukkannya kemudian menggabungkannya
ke Daulah Fathimiyyah, lalu dibangunlah kota Kairo dan Masjid Jami Al Azhar.
Ketika itu pusat pemerintahan Daulah ini berada di Kairo.
Daulah ini berakhir setelah terjadi
perselisihan antar menteri di zaman Khalifah Al Adhid Lidinillah, dimana Syawir
bin Mujir As Sa’diy dengan Dhirgham bin Amir Al Mundziri Al Lukhamiy berebut
mengambil posisi menteri. Ketika itu Dhirgham meminta bantuan dengan kaum
Salibis yang ada di Baitul Maqdis, sedangkan Syawir meminta bantuan kepada
Nuruddin Mahmud pemimpin Daulah Zankiyyah di Mosul yang kemudian mengirimkan
komandannya Asaduddin Syirkuh dengan putra saudaranya yaitu Shalahuddin Al
Ayyubi ke Mesir. Perselisihan pun berakhir setelah terbunuhnya dua menteri itu
dan dicopotnya pemimpin Daulah Fathimiyyah ini yaitu Al Adhid, dan Mesir
dikuasai oleh Shalahuddin Al Ayyubi.
Negeri-Negeri Penting Yang Memisahkan Diri dari Bani
Abbasiyyah Periode ke-2 (Abad ke-4 Hijriah/ke-10 Miladiyah)
1. Al Hamdaniyyah di Mosul dan Halb (317-394 H/929-1003
M)
2. Al Buwaihiyah di beberapa wilayah (320-447 H/932-1055
M)
3. Al Akhsyaidiyyah di Mesir (323-358 H/934-968 M)
4. Imran bin Syahin di Biththih
(Irak) (329-408 H/940-1017 M)
5. Al Ghaznawiyyah di Ghaznah, sebagian besar wilayah
Iran, Asia Tengah, dan sebagian India (349-579 H/960-1017 M)
6. Az Zairiyyah di Al Jazair dan Tunisia (362-563
H/972-1167 M)
7. Al Aqiliyyah di Mosul (386-489 H/996-1095 M)
8. Az Zanatiyyah di Tharablis/Libiya (390-540 H/999-1145
M)
Negeri-Negeri Penting Yang Memisahkan Diri dari Bani
Abbasiyyah Periode ke-2 (Abad ke-5 Hijriah/ke-11 Miladiyah)
1. Al Asadiyyah di Al Hilah (403-551
H/1012-1156 M)
2. As Saljukiyyah Al Kubra di beberapa wilayah (432-583
H/1037-1187 M)
3. Bani Hammad di Al Jazair (398-547 H/1007-1152 M)
4. An Najahiyyah di Zabid-Yaman (403-554 H/1012-1159 M)
5. Al Murdasiyah di Halab (414-472 H/1023-1079 M)
6. Kerajaan Ath Thawaif di Andalusia (422-484 H/1030-1091
M)
7. Al Murabithun di Maghrib dan Andalusia (448-541
H/1056-1147 M)
8. Ash Shalihiyyah di Yaman (450-569 H/1058-1173 M)
9. Al Uyuniyyah di Bahrain (466-636 H/1073-1238 M)
10. Al Khawarizimiyyah di Khawarizm (470-628 H/1077-1230
M)
11. Bani Zari di Aden (476-569 H/1083-1173 M)
12. Al Hamdaniyyah di Shan’a (492-596 H/1099-1174 M)
13. Al Artiqiyyah di benteng Kaifa dan Maridin (495-811
H/1101-1408 M)
14. Al Buriyyah di Damaskus (497-549 H/1103-1154 M)
Negeri-Negeri Penting Yang Memisahkan Diri dari Bani
Abbasiyyah Periode ke-2 (Abad ke-6 Hijriah/ke-12 Miladiyah)
1. Al Muwahhidun di Maghrib dan Andalus (514-764
H/1120-1275 M)
2. Az Zankiyyah di Syam dan Mesir (521-660 H/1127-1261 M)
3. Al Ghawiriyyah di India (543-686 H/1148-1287 M)
4. Bani Mahdi di Yaman (554-569 H/1159-1173 M)
5. Al Ayyubiyyah di Mesir, Syam, dan Yaman (567-648
H/1171-1250 M)
Daulah ini dibangun oleh Shalahuddin
Al Ayyubi yang terkenal jihadnya melawan kaum Salibis. Daulah ini merupakan lanjutan Daulah Zankiyyah yang
menguasai Suriah dan bagian utara Irak. Setelah sultan Nuruddin Mahmud wafat,
maka digantikan oleh Shalahuddin al Ayyubi yang kemudian menjadi pemimpin
daulah ini.
Nuruddin Mahmud mengikuti jejak ayahnya, yaitu Imaduddin
Zankiy yang menyatukan berbagai barisan Islam dalam melawan kaum salibis.
Ketika itu Shalahuddin membantu Nuruddin Mahmud dalam
menyelesaikan masalah Mesir yang ketika itu dikuasai Daulah Bani Fathimiyyah,
dan ia berhasil menguasainya. Setelah Nuruddin wafat, maka Shalahuddin
mengumumkan kepemimpinannya terhadap wilayah Mesir dan mendapatkan persetujuan
Bani Abbasiyyah. Ia juga berhasil memperluas wilayahnya sehingga Syam dan
bagian utara Irak berada dalam wilayahnya, sebagaimana ia berhasil
menggabungkan wilayah Hijaz, Tihamah, dan Yaman. Daulahnya di sebelah barat sampai ke bagian timur Tunisia dan
memanjang ke negeri-negeri Naubah.
Shalahuddin Al Ayyubi dan jihadnya
terhadap kaum Salibis Nasrani
Pada masa Shalahuddin Al Ayyubi,
Mesir menjadi pusat perhatian dunia Islam karena gerakan jihad terhadap kaum
Salibis, dimana beliau berhasil mengalahkan mereka dalam perang Hiththin dan
merebut kembali Baitul Maqdis. Ia dan pasukannya berhasil menghadapi pasukan
besar Salibis yang datang ke timur dipimpin oleh tiga pemimpin besar Eropa,
yaitu Richard raja Inggris, Phillipe Agustus raja Prancis, dan Friedrich
Barbarossa raja Jerman.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Perjalanan hidup para raja berbeda-beda, di antara mereka ada yang adil dan mengikuti syariat, memiliki kekuatan lagi amanah serta menegakkan jihad dan keadilan seperti yang dilakukan Nuruddin Mahmud bin Zankiy di Syam, jazirah, dan Mesir. Di antara mereka juga ada raja muslim yang memuliakan perintah Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam seperti Shalahuddin (Al Ayyubi). Di antara mereka juga ada yang bermaksud mengikuti syariat dan menggugurkan semua yang menyelisihinya seperti yang dilakukan Nuruddin ketika meniadakan aturan-aturan penguasa yang menyelisihi syariat yang sebelumnya ada di Syam, Mesir, dan jazirah. Saat itu harta melimpah ruah dan Allah melimpahkan keberkahan, ia juga berhasil menaklukkan beberapa negeri serta menundukkan musuh karena sebab keadilan dan kebaikannya.” (Jami’ul Masail)
*****
Malam Hari di Perang Hitthin
Pada malam perang Hitthin, sebuah
peperangan monumental kaum muslimin dimana mereka dapat mengembalikan Baitul Maqdis
ke dalam kekuasaan Islam serta menaklukkan pasukan Salib. Pada malam itu
panglima Shalahuddin Al Ayyubi berkeliling melakukan pengawasan pada seluruh
kemah-kemah tentarannya, ia mendengarkan beberapa kemah penghuninya tengah
melaksanakan qiyamullail, kemah yang lain tengah berzikir, sedangkan kemah
berikutnya sedang membaca Al Qur'an. Demikian seterusnya, hingga beliau
melintasi sebuah kemah yangg sepi sebab seluruh penghuninya terlelap tidur,
maka sang panglima mengatakan kepada pengawalnya, “Dari arah kemah inilah kita
akan kebobolan,” maksudnya dari kemah inilah kita bisa dikalahkan.
*****
Pasukan Shalahuddin juga berhasil mengalahkan Bani Fathimiyyah Syi’ah dan menegakkan pemerintahannya di Mesir.
Ibnu Katsir menyebutkan, bahwa ketika Shalahuddin menjadi pemimpin di Mesir, maka ia memecat para hakim yang Syi’ah.
Shalahuddin Al Ayyubi juga membangun masjid, madrasah, dan benteng di Kairo
serta membentengi Kairo dan Fusthat. Ia juga banyak mewaqafkan madrasah dan
masjid, khususnya Baitul Maqdis dan Masjid Al Aqsha sebagaimana ia juga
memberikan waqaf kepada para ulama dan kaum fakir penduduk Iskandariyyah
sebagai bentuk pemuliaannya terhadap mereka karena mereka tetlah membantunya
saat kaum Salibis mengepungnya.
Salahuddin wafat di Damaskus dalam
usia 55 tahun, namun meninggalkan Daulah yang kuat yang mengalahkan kaum
Salibis, hanyasaja sepeninggalnya daulah ini terbagi ke dalam beberapa Daulah
kecil yang dipimpin oleh anak-anaknya.
Selanjutnya Sultan Al Kamil
(keponakan Salahuddin) melawan tentara Salibis yang menyerang Dimyath dalam
perang Salib kelima, lalu dilanjutkan oleh anaknya Ash Shalih Najmuddin Ayyub
yang melawan pasukan Salib dibawah pimpinan Louis IX raja Prancis yang ketika
itu Dimyath direbut dan Al Manshurah dikepung, namun Ash Shalih keburu wafat
sebelum terjadi perang Al Manshurah, tetapi istrinya Syajaratuddur
menyembunyikan berita wafatnya dan mempimpin pasukan bersama para komandan
pasukan dari kalangan Mamalik (para budak) milik Ash Shalih. Mereka adalah
Izzuddin Ayabik, Aqthay, Quthuz, dan Baibaras sehingga diraihlah kemenangan,
dan Louis IX ditawan. Selanjutnya Thuransyah bin Ash Shalih naik tahta, namun
ia dibunuh oleh Syaratuddur dan mamalik (para budak) ayahnya, kemudian Syajaratuddur
naik tahta (sebagaimana dalam daulah Mamalik setelah ini) dan menikah dengan
Izzuddin Aybik, namun kemudian ia dibunuh oleh Syajaratuddur agar ia sendiri
yang berkuasa dalam Daulah Mamalik, akan tetapi Mamalik Aybik kemudian membunuh
Syajaratuddur dan mengangkat anak Aybik Al Manshur sebagai sultan sehingga
berakhirlah Daulah Ayyubiyyah dan digantikan oleh Daulah Mamalik.
Negeri-Negeri Penting Yang Memisahkan Diri dari Bani
Abbasiyyah Periode ke-2 (Abad ke-7 Hijriah/ke-13 Miladiyah)
Abad ini adalah abad dimana khilafah Abbasiyyah
dihancurkan oleh pasukan Mongol.
1. Bani Rasul di Yaman (626-858 H/1228-1454 M)
2. Al Hafshiyyah di Tunis (625-941 H/1227-1534 M)
3. Bani Ushfur dan Bani Jabr di Bahrain (636-927
H/1238-1520 M)
4. Al Mariniyyah di Maghrib (642-871 H/1244-1466 M)
5. Al Mamalik di Mesir dan Syam (648-792 H/1250-1389 M)
ERA MAMALIK/MAMLUK
(WILAYAH KEKUASAAN MELIPUTI MESIR, SYAM DAN HIJAZ) TAHUN 658-923 H/1259-1517 M
Daulah Mamalik menyandang nama khilafah Islamiyyah karena
merangkul para khalifah Bani Abbasiyyah dan mengembalikan khilafah kepada
mereka meskipun sekedar nama setelah sebelumnya mengalami keruntuhan.
Daulah Mamalik berhasil menang melawan Mongol dan Tartar
dan membendung serangan mereka yang membabi-buta, dan tidak ada yang dapat
membendungnya selain mereka seperti yang terjadi pada perang ‘Ain Jalut tahun
658 H/1259 M.
Daulah ini juga berhasil mengusir pasukan Salib dari
kawasan timur.
Hijaz tunduk di bawah pemerintahan Daulah Mamalik. Hijaz
adalah wilayah yang menjadi dambaan hati kaum muslimin. Barang siapa yang
berhasil menjadikannya sebagai wilayah kekuasaannya, maka mereka mendapatkan
penghargaan dan penghormatan dari yang lain serta ketaatan.
Daulah Mamalik juga berada di posisi tengah yang sangat
strategis secara geografis antara dunia Islam bagian barat dan timur.
Mereka juga yang menghadang serangan Portugis yang
kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Khilafah Utsmaniyyah.
Suasana keagamaan di tengah-tengah Daulah Mamalik dan
rakyat secara umum sedang meningkat. Hal ini tampak jelas dengan aktivitas
keagamaan yang banyak pada saat itu,
bahkan banyak para ulama yang muncul pada era ini seperti Imam Nawawi, Al Iz
bin Abdissalam, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Adz Dzahabi, Ibnu
Katsir, dan lain-lain.
Asal Usul Mamalik
Mamalik adalah bentuk jamak dari kata ‘mamluk’
yang artinya budak yang dibeli dengan uang.
Para sultan daulah Al Ayyubiyyah menghadirkan mereka dari
berbagai negeri berbeda, terutama: Turkistan, Kaukaz, Asia Kecil, dan
negeri-negeri di Asia Tengah. Setelah itu mereka dibeli pada saat masih
kanak-kanak dan ditempatkan secara terisolir dari kebanyakan manusia di
benteng-benteng khusus. Mereka dididik dengan pendidikan agama dan militer yang
sesuai lalu dibentuk menjadi pasukan. Banyak di antara mereka yang menduduki
posisi tinggi dan dihormati, dan mereka memiliki kelebihan dalam keberanian dan
pantang menyerah. Mereka tidak pernah menyatakan loyalitasnya kepada siapa pun
selain kepada Islam yang menjadi agama mereka.
Apakah mereka memang budak?
Perlu diketahui, bahwa sebenarnya mereka bukan budak,
karena mereka sejatinya adalah orang-orang merdeka, dan penjual-belian mereka
adalah batil. Ketika itu ada ayah yang menjual anaknya untuk diserahkan kepada
orang-orang tertentu di istana. Orang-orang kuat dan pedagang budak juga menangkap
anak-anak kecil untuk mereka jual. Jelas kedua transaksi ini dilarang oleh
Islam. Dalam Islam tidak diperkenankan perbudakan kecuali melalui perang agama
yang tidak lain adalah jihad fi sabililah. Dengan demikian, dari sudut pandang syariah mereka
adalah orang-orang merdeka; dan bukan budak.
Era Mamalik dibagi menjadi dua fase berdasarkan
kesepakatan mayoritas sejarawan:
1. Mamalik Bahriyyah (648-792 H/1250-1389 M)
2. Mamalik Barjiyyah (792-923 H/1389-1517 M)
Ini berarti pemerintahan mereka berlangsung selama 275
tahun.
Para Sultan Mamalik Bahriyyah
1. Syajaratud Dur tahun 648 H/1250 M berakhir dengan
dibunuh.
2. Izzuddin Aibik tahun 648 H/1250 M berakhir dengan
dibunuh.
3. Nuruddin Ali Ibnu Aybik 655 H/1257 M berakhir dengan
dicopot dari jabatan.
4. Saifuddin Quthuz tahun 657 H/1258 M berakhir dengan
dibunuh.
Setelah Bagdad yang merupakan pusat
pemerintahan Bani Abbasiyyah jatuh ke tangan Mongol, maka hal ini menimbulkan
ketakutan besar bagi bangsa Mesir dan Syam. Saat itu pemerintah Mesir setelah
wafat Syajaratuddur dalam keadaan lemah, karena dipegang oleh Nuruddin Ali Ibnu
Aybik seorang yang masih muda usianya, maka seorang ulama di Mesir bernama Al
Izz bin Abdissalam bangkit dan mengumumkan untuk mengganti Nuruddin dengan
Quthuz dengan syarat ia bisa mengajak jihad, maka Quthuz pun memegang
pemerintahan ini dan menampakkan keberanian yang luar biasa terhadap para
delegasi pasukan Mongol dan tidak gentar dengan ancaman-ancaman yang diberikan.
Quthuz pun mengirimkan orang-orang
di Kairo dan di berbagai tempat di Mesir untuk menyerukan jihad fi sabililah
melawan Mongol.
Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah berkata tentang Quthuz, “Ia adalah seorang yang saleh, rajin shalat berjamaah, tidak mengkonsumi minuman yang memabukkan seperti yang dilakukan sebagian raja.”
Pada tanggal 15 Ramadhan tahun 658
H/1259 M terjadi perang ‘Ain Jalut dekat Palestina antara pasukan Mamalik di
bawah pimpinan Sultah Saifuddin Quthuz dan panglimanya Azh Zhahir Baibaras
melawan pasukan Mongol di bawah pimpinan Kitubuqa (wakil Hulaku) sehingga
setelahnya Mongol tidak mampu lagi menyerang wilayah Islam bagian timur.
Namun sepulang dari peperangan itu,
ia dibunuh. Ada yang mengatakan, bahwa ia dibunuh oleh Azh Zhahir Baibaras.
5. Azh Zhahir Baibaras tahun 658 H/1259 M
berakhir dengan wafatnya.
Selanjutnya Baibaras melanjutkan
penyerangan ke Tartar dalam berbagai pertempuran dan memindahkan kekhalifahan
Abbasiyyah ke Mesir agar Daulah Mamalik menjadi Khilafah Islamiyyah pula.
Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah berkata tentang Baibaras, “Ia ibarat singa yang menerkam.”
6. As Sa’id Barakah bin Baibaras tahun 676 H/1277 M
berakhir dengan dicopot dari jabatan.
7. Al Adil Badruddin bin Baibaras tahun 678 H/1279 M
berakhir dengan dicopot dari jabatan.
8. Al Manshur Qalawun tahun 678 H/1279 M berakhir dengan
wafatnya.
9. Al Asyraf Khalil bin Qalawun tahun 689 H/1290 M
berakhir dengan dibunuh.
10. An Nashir Muhammad bin Qalawun tahun 963 H/1293 M
berakhir dengan dicopot dari jabatannya.
11. Al Adil Katabgha tahun 694 H/1294 M.
12. Al Manshur Lajin 696 H/1296 M berakhir dengan dibunuh.
13. An Nashir bin Muhammad bin Qalawun tahun 698 H/1298 M
berakhir dengan dipecat.
14. Al Muzhaffar Baibaras Abi Syankir tahun 708 H/1308 M
berakhir dengan dibunuh.
15. An Nashir
Muhammad bin Qalawun tahun 709 H/1309 M berakhir dengan wafat.
16. Al Manshur Abu Bakar bin Muhammad tahun 741 H/1340 M
berakhir dengan dicopot.
17. Al Asyraf Kajak bin Muhammad tahun 742 H/1341 M
berakhir dengan dicopot dari jabatannya.
18. An Nashir Ahmad bin Muhammad tahun 742 H/1341 M
berakhir dengan dicopot dari jabatannya.
19. Ash Shalih Ismail bin Muhammad tahun 743 H/1342 M
berakhir dengan dicopot dari jabatannya.
20 Al Kamil Sya’ban bin Muhammad tahun 746 H/1345 M
berakhir dengan dibunuh.
21. Al Muzahaffar Amir Haj bin Muhammad tahun 747 H/1346
M berakhir dengan dibunuh.
22. An Nashir Hasan bin Muhammad tahun 748 H/1347 M
berakhir dengan dicopot dari jabatannya.
23. Ash Shalih Shalih bin Muhammad tahun 752 H/1351 M
berakhir dengan dicopot dari jabatannya.
24. An Nashir Hasan
bin Muhammad tahun 755 H./1354 M berakhir dengan dibunuh..
25. Al Manshur Muhammad bin Amir Haj tahun 762 H/1360 M
berakhir dengan dicopot dari jabatannya..
26. Al Asyraf Sya’ban bin Hasan tahun 764 H/1362 M
berakhir dengan dibunuh.
27. Al Manshur Ali
bin Sya’ban tahun 778 H/1376 M berakhir dengan wafatnya.
28. Ash Shalih Haji bin Al Asyraf Sya’ban tahun 783
H/1381 M berakhir dengan dicopot dari jabatannya..
29. Ash Shalih Haji bin Al Asyraf Sya’ban tahun 791
H/1388 M berakhir dengan dicopot dari jabatannya..
Di antara para sultan tersebut, yang paling menonjol
adalah Saifuddin Quthuz dan Azh Zhahir Baibaras. Demikian pula Al Manshur Qalawun, Al Asyraf Shalahuddin Khalil, dan An Nashir Muhammad bin Qalawun. Merekalah yang
berhasil menyingkirkan kaum Salibis dari Syam.
Di antara peristiwa penting pada era Mamalik adalah:
1. Pada tanggal 15 Ramadhan tahun
658 H/1259 M terjadi perang ‘Ain Jalut dekat Nablus di Palestina antara pasukan
Mamalik di bawah pimpinan Sultah Saifuddin Quthuz dan panglimanya Azh Zhahir
Baibaras melawan pasukan Mongol di bawah pimpinan Kitubuqa (wakil Hulaku). Saat
itu kaum muslimin berhasil memenangkan peperangan itu dan berhasil mengusir
Mongol dari wilayah Syam, sehingga Mesir dan Syam di bawah kekuasaan Daulah
Mamalik. Setelah kemenangan ini, Mamalik melanjutkan menyerang Mongol ke arah
utara dan menimpakan lagi kekalahan kepada mereka di Qaisarah (Asia Kecil).
2.
Pada tahun 667 H/1268 M Azh Zhahir Baibaras mampu meluaskan pengaruhnya ke
Hijaz.
Azh Zhahir Baibaras pernah mengundang Ahmad putra
Khalifah Bani Abbasiyyah Azh Zhahir ke Kairo. Sebelumnya Ahmad melarikan diri
dari Bagdad setelah dihancurkan oleh pasukan Mongol. Kemudian dia dibaiat
sebagai khalifah dan diberi gelar dengan Al Muntashir pada tahun 659 H/1260 M.
Tujuan Azh Zhahir Baibaras melakukan hal itu adalah untuk
menguatkan pusat kekuasaan di Kairo dan menarik dukungan negeri-negeri Islam
serta melindungi kursi kekuasaan Mamalik dengan legalitas syariah. Selanjutnya
Bani Abbasiyyah secara berturut-turut berkuasa dengan jumlah khalifah 18 orang
antara tahun 659-923 H/1260-1517 M, namun mereka tidak memiliki kekuasaan
khilafah selain namanya saja. Mereka ketika itu hanya sekedar simbol namun
tidak mencampuri urusan Negara. Mereka tidak memiliki daya dan upaya, pandangan
maupun kebijakan apa pun.
3.
Antara tahun 660-690 H/1261-1291 M orang-orang Mamalik berjihad melawan tentara
salib dan berhasil menarik kembali kota-kota di Syam yang sebelumnya di tangah
mereka.
4.
Pada tahun 680 H/1281 M Al Manshur berhasil mengalahkan bangsa Tartar.
5.
Pada tahun 702 H/1302 M
An Nashir Muhammad bin Qalawun menaklukkan kepulauan Arwad dan mengusir tentara
Salibis daripadanya sehingga mereka tidak ada lagi di bagian timur negeri Islam.
6. Pada tahun yang sama pasukan
Tartar dikalahkan dengan sangat telak dalam perang Syaqhab dekat Damaskus.
Ketika itu hadir dalam perang ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Khalifah Bani Abbasiyyah di Mesir
1. Al Mustanshir tahun 659 H/1260 M
2. Al Hakim bi Amrillah I tahun 661 H/1262 M
3. Al Mustakfi billah I tahun 701 H/1301 M
4. Al Watsiq billah I tahun 736 H/1335 M
5. Al Hakim bi Amrillah II tahun 742 H/1341 M.
6. Al Mu’tadhid billah I tahun 753 H/1352 M
7. Al Mutawakkil ‘Alallah I tahun 763 H/1361 M lalu
dicopot.
8. Al Watsiq bilah II tahun 785 H/1383 M
9. Al Musta’shim tahun 788 H/1386 M
10. Al Mutawwakkil ‘alallah I tahun 791 H/1388 M
11. Al Musta’in billah tahun 808 H/1405 M kemudian
dicopot.
12. Al Mu’tadhid billah II tahun 815 H/1412 M.
13. Al Mustakfi billah II tahun 845 H/1441 M
14. Al Qa’im bi Amrillah tahun 854 H/1450 M
15. Al Mustanjid billah tahun 859 H/1454 M
16. Al Mutawakkil ‘alallah II tahun 884 H/1479 M
17. Al Mutamassik billah tahun 893 H/1487 M
18. Al Mutawakkil ‘alallah III tahun 914 H/1508 M yang
kemudian menyerahkan pemerintahan kepada Sultan Utsmani Salim pada tahun 923 H/1517 M
Para Sultan Mamalik Barjiyyah
Pada tahun 792 H/1389 M sultan Ash
Shalih Haji dicopot dari jabatannya dan digantikan oleh Sultan Barquq, sehingga
berpindahlah kekuasaan dari Mamalik bahriyyah ke Mamalik Barjiyyah. Berikut
para sultan Mamalik Barjiyyah (Jarakisah) dari tahun 792-923 H/1389-1517 M:
1. Azh Zhahir Barquq tahun 792
H/1389 M berakhir dengan wafatnya.
2. An Nashir Farj bin Barquq tahun
801 H/1398 M berakhir dengan dicopot dari jabatannya.
3. Al
Manshur Abdul Aziz bin Barquq menjabat selama tiga bulan, kemudian dicopot dari
jabatannya.
4. An Nashir Farj –untuk kedua kalinya menjabat- tahun
808 H/1405 M, berakhir dengan dibunuh.
5. Al Mu’ayyid Syaikh tahun 815 H/1412 M berakhir dengan
wafatnya.
6. Al Muzhaffar Ahmad bin Al Mu’ayyid berkuasa hanya
beberapa bulan, lalu dicopot dari jabatannya.
7. Azh Zhahir Thuthar berkuasa hanya beberapa bulan,
kemudian wafat.
8. Ash Shalih Muhammad bin Thuthar berkuasa hanya
beberapa bulan, lalu dicopot dari jabatannya.
9. Al Asyraf Barsibay tahun 825 H/1421 M berakhir dengan
wafatnya.
10. Al Aziz Yusuf bin Barsibay berkuasa hanya beberapa
bulan, lalu dicopot dari jabatannya.
11. Azh Zhahir Jaqmaq tahun 842 H/1438 M, berakhir dengan
wafatnya.
12. Al Manshur Utsman bin Jaqmaq hanya berkuasa beberapa
bulan, lalu dicopot dari jabatannya.
13. Al Asyraf Inal tahun 857 H/1453 M berakhir dengan
wafatnya.
14. Al Mu’ayyid Ahmad bin Inal berkuasa hanya beberapa
bulan, lalu dicopot dari jabatannya.
15. Azh Zhaihir Khasyqadam tahun 865 H/1460 M berakhir
dengan wafatnya.
16. Azh Zhahir Balbay berkuasa hanya dua bulan, lalu
dicopot dari jabatannya.
17. Azh Zhaihir Tamarbigha berkuasa hanya dua bulan, lalu
dicopot dari jabatannya.
18. Khairbik berkuasa hanya semalam, lalu dicopot dari
jabatannya.
19. Al Asyraf Qaytabai tahun 872 H/1467 M berakhir dengan
wafatnya.
20. An Nashir Muhammad bin Qaytabai tahun 901 H/1495 M berakhir dengan dicopot dari
jabatannya.
21. Qanshuh tahun 902 H/1496 M berakhir dengan dibunuh.
22. An Nashir Muhammad berkuasa untuk yang kedua kalinya
tahun 903 H/1497 M berakhir dengan dibunuh.
23. Azh Zhahir Qanshuh tahun 904 H/1498 M berakhir dengan dicopot dari jabatannya.
24. Janbalath tahun 905 H/1499 M berakhir dengan dibunuh.
25. Al Adil Thumanbay I berkuasa hanya beberapa bulan,
kemudian dibunuh.
26. Al Asyraf Qanshuh Al Ghawri tahun 906 H/1500 M berakhir dengan dibunuh.
27. Thumanbay II tahun 922-923 H/1516-1517 M berakhir dengan dibunuh.
Pemimpin paling menonjol di antara mereka adalah Al
Asyraf Barsibay, Al Asyraf Qaytabai, dan Al Asyraf Qanshuh Al Ghawri.
Akhir Pemerintahan Mamluk
Pemerintahan Syi’ah Ash Shafawiyyah bersekutu dengan
orang-orang Portugis melawan pasukan Utsmani yang meminta bantuan kepada
orang-orang Mamalik melawan musuh mereka yang bersekutu itu, tetapi orang-orang
Mamalik tidak mau memberikan bantuan. Bahkan mereka melarang pasukan Utsmani
masuk ke wilayah mereka dalam usaha melawan pasukan Portugis.
Kemudian pasukan Utsmani di bawah pimpinan Sultan Salim
Al Utsmani berhasil mengalahkan pasukan Shafawiyyah dalam perang Jaladiran pada
tahun 920 H/1514 M. mereka juga berhasil masuk ke ibukotanya yaitu Tibriz,
sehingga Irak berhasil masuk ke dalam wilayah kekuasaan Utsmani.
Setelah itu, mereka juga berhasil mengalahkan
pemerintahan Mamalik di negeri Syam dalam perang Mar Dabiq di Halab. Ketika itu
sultan Qanshuh Al Ghawriy terbunuh pada tahun 922 H/1516 M.
Kemudian Sultan Salim melanjutkan serangannya ke Mesir
dan berhasil menang atas orang-orang Mamalik dalam perang Raidaniyyah di Kairo.
Pada perang ini sultan Thumanbai terbunuh dan berakhirlah kekuasaan Mamalik.
Demikian pula Khalifah terakhir Bani Abbasiyyah yaitu Al Mutawakkil ‘Alallah di
Kairo turun tahta dan menyerahkan kekuasaan kepada Sultan Salim pada tahun 923
H/1517 M. Dengan demikian, Syam dan Mesir tunduk kepada pemerintahan Utsmani.
Ketika itu juga para pemimpin Hijaz datang ke Kairo dan menyatakan taat kepada
pemerintahan Utsmani.
Demikianlah berakhirnya pemerintahan Mamalik dan
berpindah kepada pemerintahan Utsmani.
ERA PEMERINTAHAN UTSMANI (923-1342 H/1517-1923 M)
Imam Ahmad meriwayatkan dengan
sanadnya yang sampai kepada Abdullah bin Amr bin Ash ia berkata, “Ketika kami
duduk menulis di dekat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tiba-tiba
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya, “Kota mana yang lebih dulu
ditaklukkan; apakah Konstantinopel atau Rumiyyah (Roma)?” Maka Rasululah
shallalahu alaihi wa salam bersabda,
مَدِينَةُ هِرَقْلَ تُفْتَحُ
أَوَّلًا " يَعْنِي قُسْطَنْطِينِيَّةَ
“Kota Heraclius
lebih dulu,” yakni Konstantinopel.” [ii]
Selama 5 abad pemerintahan Utsmani
telah memainkan peran utama dalam menjaga kaum muslimin. Khilafah Utsmani
merupakan pusat khilafah Islamiyyah, karena merupakan pemerintahan Islam yang
terkuat pada masa itu.
Sekalipun pemerintahan ini telah
muncul sejak tahun 699 H/1299 M namun belum menjadi khilafah. Bahkan
orang-orang Utsmani belum mengumumkan kekhilafahan sampai Khalifah Abbasiyyah di
Kairo menyerahkan kekhilafahannya kepada mereka pada tahun 923 H/1517 M.
Jasa-Jasa Khilafah Utsmani
1. Memperluas
wilayah negeri-negeri Islam, di antaranya adalah menaklukan Konstantinopel.
Mereka telah mendatangi Eropa sampai di Austria, lalu mengepungnya lebih dari
sekali sebagaimana
mereka juga telah menguasai seluruh kepulauan di lautan tengah dan menariknya
ke pangkuan Islam.
Pada masa kekuasaan Daulah
Utsmaniyah terdahulu, kapal-kapal armada perang mereka jika melintasi pelabuhan
pelabuhan Eropa, serentak seluruh gereja di kota-kota pesisir pantai itu
mengehentikan pukulan lonceng-lonceng gereja sebab mereka sangat takut jika hal
itu dapat memancing kaum muslimin untuk menaklukkan negeri mereka.
2. Menghadapi orang-orang salib dalam berbagai front. Mereka
telah mendatangi Eropa timur untuk meringankan tekanan kaum Nasrani terhadap Andalusia,
akan tetapi kemudian Andalusia jatuh karena keadaannya yang sangat lemah.
Mereka juga mengusir keberadaan Portugis dari negeri-negeri kaum muslimin. Di
antara ambisi Portugis adalah menguasai Laut Merah dan menyerbu Hijaz, namun
semua rencana ini digagalkan oleh khilafah Utsmani. Mereka (khilafah Utsmani)
juga telah menghadapi Spanyol saat mereka hendak menguasai Maroko setelah
kejatuhan Andalusia. Mereka juga membela kaum muslimin menghadapi Rusia di Asia
Tengah dan wilayah Laut Hitam.
3. Kekaisaran Utsmani menghadapi
Zionisme. Sejak lama orang-orang Yahudi memimpikan untuk mendirikan sebuah
negara bagi mereka di Palestina. Pada masa itu gerakan mereka telah semakin
gencar. Disebutkan, bahwa mereka telah menawarkan berbagai tawaran menggiurkan
kepada Sultan Abdul Hamid II guna memperoleh restunya. Namun seluruh tawaran
itu ditolak dengan keras sebagaimana orang-orang Utsmani juga menolak
orang-orang Yahudi tinggal di wilayah Sinai di Mesir.
4. Kekaisaran Utsmani juga telah
memerangi Syi’ah Rafidhah yang menampilkan diri dalam kekausaan Shafawiyyah.
Kaum muslimin di negeri-negeri teluk dan Irak telah merasakan penderitaan yang
sangat akibat ulah orang-orang Syi’ah Rafidhah ini.
5. Berperan dalam menyebarkan Islam.
Banyak kabilah Syarkis yang masuk Islam lewat tangan mereka. Mereka juga
menyebarkan Islam di negeri-negeri yang mereka datangi baik di Eropa maupun
Afrika.
6. Masuknya orang-orang Utsmani di
sebagian wilayah Islam telah melindunginya dari bencana penjajahan yang telah
menimpa wilayah lain.
7. Pemerintahan Utsmani telah
menguasai negeri-negeri Islam hingga luasnya mencapai kira-kira 20 juta km
persegi.
8. Eropa memerangi orang-orang
Utsmani karena mereka adalah orang-orang muslim; bukan karena mereka
orang-orang Turki. Mereka memusuhinya karena dendam terhadap kekalahan mereka
dalam perang Salib. Eropa melihat bahwa pemerintahan Utsmani telah menghidupkan
kembali semangat jihad.
9. Pemerintahan Utsmani mencerminkan
kesatuan kaum muslimin, karena merupakan pusat khilafah.
Pendirian Pemerintahan Utsmani
Orang-orang Utsmani bernasab kepada
kabilah Qobi yang berasal dari kabilah-kabilah Al Ghizz (Oghuz) At Turkmaniyyah
yang beragama Islam dari negeri Turkistan. Ketika terjadi penyerbuan pasukan
Mongol ke negeri ini, kakek mereka Sulaiman Syah bin Qaya Aleb berhijrah
bersama kabilahnya ke negeri Romawi, lalu ke Syam, kemudian ke Irak.
Kabilah ini kemudian terpecah-pecah,
sebagian ada yang ke negeri asalnya, dan ada pula yang berada di bawah pimpinan
Urthogral bin Sulaiman pergi ke arah utara Anatolia diikuti oleh 400 keluarga
Turkmaniyah. Saat itu wilayah tersebut
di bawah kekuasaan Sultan Saljuk Alauddin Kaokobad. Urthogral membantunya dalam
menghalangi sebagian serangan melawan orang-orang Byzantium, karena sebab ini
ia diberi wilayah Eskisehir (bagian barat laut Turki) yang masih dalam batas wilayah Romawi. Urthogral
wafat pada tahun 687 H/1288 M lalu digantikan oleh anaknya Utsman yang kemudian
pemerintahan Utsmani dinisbatkan kepadanya, dimana ia adalah pemimpin
pertamanya.
Para Sultan Daulah Utsmani
No. |
Nama |
Awal
Kekuasaan |
Ciri Fase |
1. |
Utsman bin
Urthogral |
699 H/1299 M |
Para Sultan yang kuat |
2. |
Urkhan bin
Utsman |
726 H/1325 M |
|
3. |
Murad I bin
Urkhan |
761 H/1359 M |
|
4. |
Bayazid I bin
Murad |
792-805
H/1389-1402 M |
|
5. |
Muhammad I
bin Bayazid |
816 H/1413 M |
Masa Pertikaian di antara anak-anak Bayazid |
6. |
Murad II bin
Muhammad |
824 H/1421 M |
|
7. |
Muhammad II
(Al Fatih) |
855 H/1451 M |
|
8. |
Bayazid II
bin Muhammad |
886 H/1481 M |
|
9. |
Salim I bin
Bayazid |
918 H/1512 M |
Masa kekuatan dan khilafah |
10. |
Sulaiman (Al
Qanuni) bin Salim |
926 H/1519 M |
|
11. |
Salim II bin
Sulaiman |
974 H/1566 M |
Masa Kelemahan |
12. |
Murad III bin
Salim |
982 H/1574 M |
|
13. |
Muhammad III
bin Murad |
1003 H/1594 M |
|
14. |
Ahmad I bin
Muhammad |
1012 H/1603 M |
|
15. |
Musthafa I
bin Muhammad |
1026 H/1617 M |
|
16. |
Utsman II bin
Ahmad |
1027 H/1617 M |
|
17. |
Musthafa I
(menjabat kedua kalinya) |
1031 H/1621 M |
|
18. |
Murad IV bin
Ahmad |
1032 H/1622 M |
|
19 |
Ibrahim I bin
Ahmad |
1049 H/1639 M |
|
20. |
Muhammad IV
bin Ibrahim |
1058 H/1648 M |
|
21. |
Sulaiman II
bin Ibrahim |
1099 H/1687 M |
|
22. |
Ahmad II bin
Ibrahim |
1102 H/1690 M |
|
23. |
Musthafa II
bin Muhammad |
1106 H/1694 M |
|
24. |
Ahmad III bin
Muhammad |
1115 H/1703 M |
|
25. |
Mahmud I bin
Mushthafa |
1143 H/1730 M |
|
26. |
Utsman III bin
Mushthafa |
1168 H/1754 M |
|
27. |
Musthafa III
bin Ahmad |
1171 H/1757 M
|
Masa Kemerosotan dan Kemunduran |
28. |
Abdul Hamid I
bin Ahmad |
1187 H/1773 M |
|
29. |
Salim III bin
Mushthafa |
1203 H/1788 M |
|
30. |
Musthafa IV
bin Abdul Hamid |
1222 H/1807 M |
|
31. |
Mahmud II bin
Abdul Hamid |
1223 H/1808 M |
|
32. |
Abdul Majid I
bin Mahmud |
1255 H/1839 M |
|
33. |
Abdul Aziz
bin Mahmud |
1277 H/1860 M |
|
34. |
Murad V bin
Abdul Majid |
1293 H/1876 M |
|
35. |
Abdul Hamid
II bin Abdul Majid |
1293 H/1877 M |
|
36. |
MuhammadRasyad
bin Abdul Majid |
1328 H/1910 M |
Dikuasai oleh organisasi persatuan dan pembangunan |
37. |
Muhammad
Wahiduddin bin Abdul Majid |
1337 H/1918 M |
|
38. |
Abdul Majid
bin Abdul Aziz |
1340-1342
H/1921-1923 M |
Penjelasan Singkat Tentang Khilafah Utsmaniyyah
Di masa Khilafah Utsmani kekuasaan Islam membentang di
seluruh timur dan barat. Hal ini tidak terlepas dari karakter dan tabiat bangsa
Turki Seljuk yang memiliki semangat berjihad yang tinggi.
Puncak kejayaan mereka dicapai pada masa sultan Sulaiman
I yang dijuluki Al Qanuni, dimana pada masanya dinasti Utsmani menjadi Negara
adikuasa di dunia. Dia berhasil menguasai Beograd, kepulauan Rodhesia, semenanjung Krym dan
ibukotanya Valachie, menerobos Eropa hingga sampai di Wina ibukota Austria, dia
melakukan pengepungan terhadapnya dua kali
dan menaklukan Hungaria, serta memerangi orang-orang Portugis di pesisir India
serta menundukkan sebagian besar wilayah negeri-negeri Arab. Dengan demikian,
dinasti Utsmani berhasil menguasai negeri-negeri Eropa seperti Hungaria,
Beograd, Albania, Yunani, Rumania, Serbia, Bulgharia, di samping sebagian besar
wilayah timur Islam. Di sini, pemerintahan Utsmani telah sampai ke batas
terjauhnya. Kekuasaannya memanjang dari Hungaria ke Aswan dekat dengan jeram sungai Nil, dari
sungai Furat dan jantung Iran ke Babul Mandub di sebelah selatan Jazirah
Arabia. Setelah Sulaiman Al Qanuni penaklukan terhenti dan pemerintahan mulai
menuju masa kelemahan dan kemundurannya.
Tokoh lain yang berperan penting
adalah sultan Muhammad Al Fatih yang pada masanya Konstantinopel (ibukota
kekaisaran Byzantium) berhasil ditaklukan pada tahun 857 H/1453 M setelah ia
mengepungnya dari segenap penjuru[iii]. Dalam perang itu, kaisar Byzantium
terbunuh, kemudian sultan Muhammad Al Fatih menamainya dengan Islambul (kota Islam)
-yang sekarang diganti dengan nama Istanbul- dan menjadikan sebagai ibukotanya.
Ia juga menaklukan negeri Serbia dan ibukotanya Beograd, menaklukan negeri
Maurah, menggabungkan Valachia, Bosnia, dan Herzik. Di masa ini, penduduknya
masuk Islam. Ia juga menaklukan sebagian kepulauan Yunani dan Italia, serta
menetapkan jizyah kepada banyak pemerintahan.
Turki Utsmani adalah bangsa militer,
para khalifahnya memiliki mental jihad yang tinggi. Hampir semua jenis persenjataan modern di masa itu digunakan
oleh militer Utsmani. Di era Dinasti Utsmani, negeri-negeri utara seperti
China, Mongol, Tasken, Turkistan, dan sebagian besar wilayah Rusia tunduk
kepada kekuasaan Utsmani dan membayar upeti selama kurun waktu lebih dari 200
tahun. Demikian pula sebagian besar wilayah barat.
Saat sultan Abdul Hamid II naik tahta, beliau termasuk
salah seorang khalifah Utsmani yang terkenal keras dan tegas terhadap Ziionis.
Sikap tegas ini membuat bangsa barat (khususnya Yahudi) menanam rasa dendam
hingga mereka membuat konspirasi untuk menghancurkan
Turki Utsmani.
Pada tahun 1343 H/1924 M,
seorang Freemasonry licik, Musthafa Kamal Ataturk dengan bantuan lobi-lobi
Zionis Yahudi menjadi pemimpin Presiden dan dihapuslah khilafah serta mendorong
Turki ke arah sekularisme (paham yang memisahkan antara agama
dengan negara), menutup
sekolah-sekolah Islam, menyuruh wanita muslimah melepaskan jilbab, bahkan ia
ganti lafaz azan dengan bahasa Turki.
Ketika ini
berakhirlah Khilafah Islamiyyah. Innaa lillahi wa innaa ilaihi rajiun.
Nasihat
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata,
ما يذكر من أن ((
حب الوطن من الإيمان )) وأن ذلك حديث عن رسول الله صلىٰ الله عليه وسلم كذب .
حب الوطن إن كان
لأنه وطن إسلامي فهذا تحبه لأنه إسلامي ، ولا فرق بين وطنك الذي هو مسقط رأسك ، أو
الوطن البعيد من بلاد المسلمين ؛ كلها وطن الإسلام يجب أن نحميه .
【 شرح رياض الصالحين
(٦٦/١) 】
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata, "Pernyataan bahwa 'cinta tanah air
sebagian dari iman' dan menyatakan bahwa itu adalah hadits Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam adalah dusta. Cinta tanah air jika memang tanah
airnya adalah negeri Islam (adalah benar), karena berarti mencintainya karena
sebagai negeri Islam, dan tidak ada bedanya antara negeri tempat kelahiranmu
dengan negeri kaum muslimin lainnya yang berada jauh, bahwa semua adalah negeri
Islam yang harus kita bela.” (Syarah
Riyadh Ash Shalihin 1/66)
Khatimah (Penutup)
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
«إِذَا تَبَايَعْتُمْ
بِالْعِينَةِ ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ،
وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ
حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ»
“Apabila kalian
berjual-beli dengan cara ‘ienah[iv], kalian pegang buntut-buntut sapi,
kalian ridha dengan tanaman kalian[v], dan kalian tinggalkan jihad, maka
Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak dicabut-Nya sampai
kalian kembali kepada agama kalian.” (Hr. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Marwan
bin Musa
Maraji: Maktabah Syamilah, Mujaz At Tarikh Al Islami (Ahmad Ma’mur Al Usairiy), Poster ’Umat Islam dari Fase Nubuwwah Hingga Abad 15 Hijiriyah’ (Kelompok Kitab Telaah ’Ar Risalah’), Maktabah Syamilah, https://ar.wikipedia.org/wiki/%D8%AA%D8%A7%D8%B1%D9%8A%D8%AE_%D8%A5%D8%B3%D9%84%D8%A7%D9%85%D9%8A dll.
[i] Abu Bakar menjadi khalifah selama 2 tahun 3 bulan lebih 21
hari. Umar bin Khaththab menjadi khalifah selama 10 tahun 6 bulan lebih 4 hari.
Utsman bin Affan menjadi khalifah selama 12 tahun kurang 12 hari. Sedangkan Ali
bin Abi Thalib menjadi khalifah selama 5 tahun 3 bulan kurang 14 hari. Dan Ali
radhiyallahu 'anhu terbunuh pada tahun ke-40 H. Jika ditotal tahun berikut
bulannya adalah 30 tahun.
Ada pula yang berpendapat, bahwa masa khilafah nubuwwah
itu termasuk kepemimpinan Al Hasan yang menjadi khalifah kurang lebih 7 bulan.
Abu Bakar selama 2 tahun 3 bulan 10 hari, Umar selama 10 tahun 6 bulan 8 hari,
Utsman 11 tahun 11 bulan 9 hari, Ali 4 tahun 9 bulan 7 hari, sedangkan Al Hasan
7 bulan, dimana jika semua tahun ditotal berikut bulannya menjadi 30 tahun, wallahu a’lam.
[ii] Syaikh Al Albani
rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad (2/176), Darimi (1/126), Ibnu
Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (2/153/47), Abu Amr Ad Dani dalam As
Sunan Al Waridah fil Fitan (2/116), Hakim (3/422 dan 4/508), Abdul Ghani Al
Maqdisi dalam kitab Al Ilm (2/30/1) ia berkata, “Hadits hasan isnadnya,”
dishahihkan oleh Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi.” Al Albani berkata,
“Hadits tersebut keadaannya seperti yang disampaikan keduanya (Hakim dan Adz
Dzahabi).”
Al Albani berkata, “Rumiyyah dalam hadits tersebut adalah
Roma sebagaimana dalam Mu’jamul Buldan yang merupakan ibukota Itali saat
ini. Penaklukan yang pertama (Konstantinopel) telah terjadi oleh Muhammad Al
Fatih Al Utsmani sebagaimana sudah masyhur. Hal itu terjadi setelah berlalu
lebih dari 800 tahun dari sabda Nabi shallalahu alaihi wa salam terkait
penaklukan kota itu, dan akan terwujud penaklukan kedua dengan izin Alah Ta’ala
dan pasti terwujud, bahkan engkau akan tahu kebenaran beritanaya setelah
berlalu beberapa waktu. Dan tidak diragukan lagi, bahwa terwujudnya penaklukan
kedua menghendaki kembalinya khilafah rasyidah kepada umat Islam. Dan hal ini
termasuk berita gembira yang disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam
dalam haditsnya,
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا
إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ،
فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ
يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا، فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ،
ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً،
فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا،
ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ " ثُمَّ سَكَتَ،
“Telah terjadi
kenabian di tengah-tengah kalian sesuai kehendak Allah, kemudian diangkat-Nya
ketika Dia menghendakinya. Kemudian akan dilanjutkan oleh khilafah di atas
jalan kenabian dan tetap ada sesuai kehendak Allah, lalu diangkat ketika Allah
berkehendak untuk mengangkatnya. Selanjutnya ada kerajaan yang zalim dan akan
tetap berada sesuai kehendak Allah, lalu diangkat-Nya ketika Dia menghendaki,
lalu ada kerajaan yang kejam (menindas) dan akan tetap berada selama Allah kehendaki,
lalu diangkat-Nya ketika Dia menghendaki, selanjutnya ada khilafah yang berada
di atas jalan kenabian.” Kemudian Beliau diam.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (4/273) ia berkata,
“Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud Ath Thayalisi, telah
menceritakan kepada kami Dawud bin Ibrahim Al Wasithi, telah menceritakan
kepada kami Habib bin Salim , dari Nu’man bin Basyir ia berkata, “Kami pernah
duduk-duduk di masjid. Saat itu Basyir menahan pembacaan haditsnya, kemudian
datang Abu Tsa’labah Al Khusyanniy dan berkata, “Wahai Basyir bin Sa’ad, apakah
engkau hafal hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terkait para
pemimpin?” Lalu Hudzaifah berkata, “Aku hafal khutbah Beliau.” Abu Tsa’labah
kemudian duduk, lalu Hudzaifah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa salam
bersabda...dst.”
Habib (rawi hadits ini) berkata, “Ketika Umar bin Abdul
Azizi menjabat sebagai khalifah, dimana Yazid bin Nu’man bin Basyir menjadi
pendampingnya. Aku menulis hadits ini untuknya dan aku mengisahkan hadits ini
kepadanya dan aku mengatakan, “Aku harap Amirul Mukminin Umar (bin Abdul Aziz)
yang dimaksud setelah pemerintahan yang zalim dan kejam, lalu aku bawakan surat
itu kepada Umar bin Abdul Aziz, maka ia pun senang dan takjub terhadapnya.”
Dari jalur Ahmad Al Hafizh Al Iraqi meriwayatkan dalam ‘Mahajjatul
Qurbi Ilaa Mahabbatil Arab’ (2/17) ia berkata, “Hadits ini shahih. Ibrahim
bin Dawud Al Wasithi dinyatakan tsiqah oleh Abu Dawud Ath Thayalisi dan Ibnu
Hibban, sedangkan rawi-rawi yang lain dipakai hujjah dalam kitab Shahih.”
Ibnu Addiy berkata, “Tidak ada dalam matan-matan
haditsnya hadits yang munkar. Tetapi ia goncang dalam sanad-sanad yang
diriwayatkan darinya, hanyasaja Abu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban
mentsiqahkannya.”
Syaikh Al Albani juga berkata, “Dengan demikian,
haditsnya hasan menurut keadaan yang paling ringan insya Allah Ta’ala. Bahkan
Al Hafizh berkata tentangnya, “Tidak ada masalah.”
Hadits tersebut ada dalam Musnad Ath Thayalisi no. 438,
ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami Dawud Al Wasithi –ia adalah seorang
yang tsiqah-, ia berkata, “Aku mendengar Habib bin Salim membawakan hadits itu,
akan tetapi dalam matannya terjadi gugur, lalu disempurnakan dari Musnad
Ahmad.”
Al Haitsami berkata dalam Al Majma (5/189), “Diriwayatkan
oleh Ahmad dan Al Bazzar secara lengkap, Thabrani dalam Al Awsath sebagian
hadits itu, dan para perawinya adalah tsiqah.”
Al Albani juga berkata, “Termasuk aneh menurutku ketika
membawa hadits tersebut untuk Umar bin Abdul Aziz, karena kekahlifahan beliau
masih dekat dengan khulafa Rasyidin dan tidak terletak setelah dua kerajaan;
kerajaan yang zalim dan kejam, wallahu a’lam.” (Ash Shahihah 1/34 no. 5)
[iii] Usaha pertama menaklukan Konstantinopel telah dilakukan di zaman Mu’awiyah
bin Abi Sufyan antara tahun 49-52 H, namun ketika itu belum berhasil. Lalu
dilakukan lagi pada masa Sulaiman bin Abdul Malik dari Bani Umawiyyah, dimana
Konstantinopel dikepung berkal-kali namun belum berhasil juga sampai ia wafat.
Lalu Umar bin Abdul Aziz mencabutu pengepungan ini. Di masa Bani Abbasiyyah,
Khalifah Al Mahdi dan Harun Ar Rasyid juga berusaha merebutnya, namun tidak
juga berhasil, dan kemudian pada masa pemerintahan Muhamad Al Fatih ia berhasil
menaklukannya.
[iv] ‘Ienah adalah salah satu jual beli
riba. Ar Rafi’i menerangkan hakikat jual beli ‘ienah, yaitu seseorang menjual
sesuatu kepada orang lain dengan bayaran memakai tempo (dicicil) dan diserahkan
barang itu kepada pembeli, kemudian penjual membelinya lagi sebelum lunas
dengan bayaran yang lebih murah secara tunai (Aunul Ma’bud 9/241).
Singkatnya, ‘Ienah adalah menjual suatu barang kepada orang lain dengan bayaran
tertentu secara kredit, lalu penjual membelinya lagi dengan bayaran yang kurang
secara tunai. Contoh: seseorang menjual mobil kepada orang lain seharga 20.000
riyal dicicil selama setahun, lalu penjual membeli lagi darinya seharga 18.000
riyal secara tunai, sehingga penjual mendapatkan 20.000 riyal, sedangkan
pembeli mendapatkan 18.000 riyal.
[v] Yakni sibuk menggarap sawah ladang
pada waktu yang seharusnya dilakukan jihad untuk menegakkan Islam yang
dengannya kaum muslimin menjadi mulia, maka Allah berikan hukuman berupa
kehinaan dengan berjalan di belakang buntut sapi setelah sebelumnya mereka
menunggangi kuda yang merupakan keadaan yang terhormat, demkian yang diterangkan
dalam Nailul Awthar.
0 komentar:
Posting Komentar