بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqih
Zakat (15)
Segala puji bagi Allah Rabbul
'alamin, shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang
yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
lanjutan
pembahasan tentang fiqih zakat yang banyak merujuk
kepada kitab Fiqhussunnah karya Syaikh Sayyid Sabiq, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah
ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Membayarkan nilai sebagai ganti barang
Tidak boleh mengganti dengan nilai atau harga dalam zakat
sebagai ganti barang yang telah disebutkan nashnya kecuali jika tidak ada
barangnya dan tidak ada jenisnya. Hal itu, karena zakat adalah ibadah,
sedangkan ibadah tidak sah kecuali jika dilakukan sesuai cara yang
diperintahkan oleh syariat, di samping karena kaum fakir bersekutu dengan
orang-orang kaya dalam jenis atau macam harta.
Dalam hadits Mu’adz disebutkan, “Ambillah (zakat) biji
dari biji-bijian, kambing dari kawanan kambing, unta dari kawanan unta, dan sapi
dari kawanan sapi.” (Hr. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Hakim, namun dalam sanadnya
terputus, karena Atha tidak mendengar dari Mu’adz).
Imam Syaukani rahimahullah berkata, “Yang benar
adalah bahwa zakat wajib dari barang (yang telah disebutkan nashnya), dan tidak
berpindah darpadanya ke nilai (uang) kecuali ada uzur.”
Namun Imam Abu Hanifah membolehkan mengeluarkan nilainya,
baik ia mampu mengeluarkan barang maupun tidak, karena zakat adalah hak orang
fakir, dan tidak ada bedanya antara nilai dengan barang di sisi orang fakir.
Imam Bukhari meriwayatkan secara mu’allaq (tanpa sanad)
namun dengan shighat jazm (menunjukkan sahihnya), bahwa Mu’adz berkata kepada
penduduk Yaman, “Bawakanlah kepadaku yang berupa pakaian khamish (yang terbuat
dari sutera yang bergaris) atau pakaian lainnya pada zakat sebagai ganti dari
gandum sya’ir dan jagung. Itu lebih ringan bagi kalian dan lebih baik untuk
para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam di Madinah.”
Zakat pada harta yang berserikat (diseketui bersama)
Jika harta dimiliki bersama antara dua orang atau lebih,
maka tidak wajib zakat pada masing-masingnya sampai masing-masingnya memiliki
nishab secara sempurna. Demikian pendapat mayoritas Ahli Ilmu. Tentunya hal ini
bukan pada pencampuran hewan yang telah dibahas sebelumnya berikut khilafnya.
Lari dari zakat
Imam Malik, Ahmad, Al Auza’iy, Ishaq, dan Abu Ubaid
berpendapat, bahwa barang siapa yang memiliki nishab dengan berbagai bentuk
kepemilikan, lalu ia menjual sebelum tiba haul, atau menghibahkan (memberikan),
atau membinasakan sebagian daripadanya dengan maksud lari dari zakat, maka
zakat itu tidak gugur daripadanya, dan diambil zakat itu daripadanya di akhir
haul ketika tindakan tersebut dilakukan di dekat waktu wajib. Tetapi jika
dilakukan di awal haul, maka tidak wajib zakat, karena keadaan itu tidak dianggap
melarikan diri dari zakat.
Abu Hanifah dan Syafi’i berkata, “Gugur zakat
daripadanya, karena terjadi kekurangan sebelum sempurna haul, tetapi pelakunya
telah berbuat buruk dan bermaksiat kepada Allah karena berusaha melarikan diri
dari zakat.”
Pendapat sebelumnya didasari firman Allah Ta’ala,
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ
إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ (17) وَلَا يَسْتَثْنُونَ (18)
فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ (19) فَأَصْبَحَتْ
كَالصَّرِيمِ (20)
“Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (kaum
musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika
mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi
hari,--Dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin),--Lalu kebun itu
diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur,--Maka
jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita.”
(Qs. Al Qalam: 17-20)
Maksudnya, kebun itu terbakar dan tinggallah
arang-arangnya yang hitam seperti malam.
Allah menghukum mereka dengan hal tersebut karena mereka
melarikan diri dari zakat.
Di samping itu, orang-orang tersebut bermaksud
menggugurkan bagian orang yang telah ada sebab keberhakannya, sehingga
keadaannya seperti seorang yang mentalak wanita saat dirinya sakit yang membawa
kepada kematiannya, dan karena ia telah bermaksud buruk, maka hikmah
menghendaki untuk diberikan hukuman yang berbalik dari maksud dan keinginannya,
seperti orang yang membunuh orang yang akan mewariskan harta karena ingin
segera memperoleh hartanya, maka syara menghukuminya dengan tidak memperoleh
harta warisan.
Pihak-Pihak Yang Berhak Menerima Zakat
Pihak-pihak yang berhak menerima zakat ada delapan yang
Allah sebutkan dalam firman-Nya,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ
عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(Qs. At Taubah: 60)
Berikut rincian pihak-pihak yang berhak menerima zakat:
1, 2. Fakir dan
Miskin
Mereka adalah orang-orang yang membutuhkan; yang tidak
memperoleh sesuatu yang bisa mencukupkan mereka. Kebalikan dari mereka adalah
orang-orang kaya yang tercukupi kebutuhannya.
Ukuran yang menjadikan seseorang dianggap kaya adalah
memiliki nishab di luar kebutuhan pokoknya untuknya dan anak-anaknya berupa
makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, alat untuk bekerja, dan
sebagainya yang dibutuhkannya. Jika tidak memiliki seukuran ini, maka ia
tergolong fakir sehingga berhak menerima zakat.
Dalam hadits Mu’adz diterangkan, bahwa zakat itu diambil
dari orang yang kaya di antara mereka, lalu diberikan kepada orang fakirnya.
Orang yang diambil zakatnya adalah orang kaya yang memiliki
nishab, sedangkan orang yang diserahkan zakat kepadanya adalah orang miskin
yang tidak memiliki ukuran yang dimiliki orang kaya.
Tidak ada bedanya antara orang fakir dan orang miskin
dari sisi kebutuhan dan dari sisi keberhakan mereka terhadap zakat.
Ketika digandengkan antara fakir dengan miskin di ayat
tadi dengan adanya huruf ‘athaf (wau penghubung) yang menghendaki berbeda kedua
istilah ini (fakir dan miskin) tidaklah menafikan apa yang diterangkan di atas,
karena miskin termasuk golongan orang-orang fakir.
Bahkan ada hadits yang menunjukan bahwa orang miskin
adalah orang fakir yang menahan diri dari meminta-minta, namun tidak disadari
oleh orang lain keadaannya yang membutuhkan, maka ayat di atas mengingatkan hal
itu.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ الَّذِي تَرُدُّهُ التَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتاَنِ،
وَلاَ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، إِنَّمَا الْمِسْكِيْنُ الَّذِي يَتَعَفَّفُ وَاقْرَءُوا
إِنْ شِئْتُمْ» يَعْنِي قَوْلَهُ: {لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا} [البقرة:
273]
“Orang miskin itu bukanlah orang yang diberi satu atau
dua kurma, sesuap atau dua suap makanan. Tetapi orang miskin itu adalah orang
yang menjaga diri (dari meminta-minta).”
Bacalah kalau kalian mau firman Allah Ta’ala,
لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا
“Mereka tidak meminta kepada orang secara
mendesak.” (Qs. Al Baqarah: 273)
Dalam lafaz lain disebutkan,
«لَيْسَ
المِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ
وَاللُّقْمَتَانِ، وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ، وَلَكِنِ المِسْكِينُ الَّذِي
لاَ يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلاَ يُفْطَنُ بِهِ، فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلاَ
يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ»
“Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling ke
tengah-tengah manusia lalu diberi sesuap atau dua suap makanan, sebutir kurma
atau dua butir kurma. Akan tetapi orang miskin adalah orang yang tidak
mendapatkan kecukupan, namun tidak disadari keadaannya sehingga diberikan
sedekah kepadanya, ia juga tidak berdiri meminta-minta kepada manusia.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Ada pula yang mengatakan, bahwa orang
fakir adalah orang yang sangat sengsara
hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi kehidupannya, sedangkan orang
miskin adalah orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan
kekurangan.
Ukuran zakat yang diberikan kepada orang fakir
Di antara tujuan zakat adalah mencukupkan orang fakir dan
memenuhi kebutuhannya, sehingga diberi zakat seukuran yang dapat
mengeluarkannya dari kefakiran kepada kecukupan, dari keadaan yang membutuhkan
kepada keadaan yang mencukupkan secara berkelanjutan. Dan hal ini berbeda-beda
tergantung kondisi dan keadaan pribadinya.
Umar radhiyallahu anhu berkata, “Jika kalian memberi (dalam
zakat), maka cukupkanlah pemberiannya.”
Al Qadhi (Hakim) Abdul Wahhab berkata, “Tidak dibatasi
hartamu dalam hal itu, bahkan diberikan pula kepada orang yang memiliki tempat
tinggal, pembantu, dan kendaraan sesuatu yang memang dibutuhkannya.”
Disebutkan dalam hadits hal yang menunjukkan dibolehkan
meminta-minta bagi orang fakir sehingga ia mendapatkan sesuatu yang dapat
menopang kehidupannya dan mencukupinya selama hidupnya.
Dari Qabishah bin Mukhariq Al Hilaliy ia berkata, “Aku
menanggung suatu beban (karena hendak mendamaikan pertengkaran), maka aku
mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi
wa salam untuk bertanya tentangnya, maka Beliau bersabda, “Tetaplah di tempat
hingga datang kepada kita sedekah, sehingga aku akan memerintahkan untuk
memberikannya kepadamu.” Selanjutnya Beliau bersabda,
يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا
لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ، تَحَمَّلَ حَمَالَةً، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ
حَتَّى يُصِيبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ
مَالَهُ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ -
أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ - وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ
ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ،
فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ - أَوْ قَالَ
سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ - فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ
سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا
“Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal
kecuali bagi tiga orang; seorang yang menanggung beban, maka ia boleh meminta-minta
sampai ia memiliki penopang hidupnya lalu ia mesti bertahan (tidak minta-miinta
lagi), laku seorang
yang terkena musibah yang menghabiskan hartanya, maka ia boleh meminta-minta
sampai ia memiliki penopang hidupnya, dan seorang yang tertimpa kemiskinan,
sampai-sampai ada tiga orang yang berakal dari kalangan kaumnya berkata,
“Sesungguhnya si fulan sedang tertimpa kemiskinan,” maka ia boleh meminta-minta. Permintaan selain itu
wahai Qabishah adalah harta haram, yang dimakannya adalah haram.” (Hr. Ahmad,
Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i)
Apakah orang yang mampu berusaha atau bekerja boleh diberi
zakat?
Orang yang mampu berusaha dan bekerja tidak diberi zakat
seperti halnya orang yang kaya.
Dari Ubaidullah bin Addiy bin Al Khiyar ia berkata, “Ada
dua orang mengabarkan kepadaku, bahwa keduanya mendatangi Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam saat haji Wada ketika Beliau sedang membagi-bagikan zakat,
lalu keduanya memintanya kepada Beliau, maka Beliau menaik-turunkan pandanganya
kepada kami dan melihat kami sebagai orang yang kuat, Beliau pun bersabda,
«إِنَّ
شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا، وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ، وَلَا لِقَوِيٍّ
مُكْتَسِبٍ»
“Jika kalian berdua mau (kerendahan dan sesuatu
yang haram), maka aku akan berikan. Tetapi pada zakat tidak ada bagian untuk
orang kaya dan orang yang mampu bekerja (yang dapat mencukupi kebutuhannya).”
(Hr. Abu Dawud dan Nasa’i, dishahihkan oleh Al Albani)
Al Khaththabi berkata, “Hadits ini merupakan dasar, bahwa
orang yang tidak diketahui memiliki harta, maka keadaannya dibawa sebagai orang
yang tidak punya.”
Demikian pula di dalamnya terdapat dalil, bahwa tidak
dipandang dalam hal zakat orang yang zahirnya hanya kuat dan mampu tanpa digandengkan
‘mampu berusaha atau bekerja’, karena di antara manusia ada orang yang kuat
fisiknya, namun tangannya buntung sehingga tidak dapat bekerja. Jika demikian
keadaannya, maka tidak dicegah dari zakat berdasarkan kandungan hadits
tersebut.
Dari Raihan bin Yazid, dari Abdullah bin Amr, dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam Beliau bersabda,
لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ، وَلَا لِذِي مِرَّةٍ
سَوِيٍّ
“Zakat tidaklah halal bagi orang kaya dan orang memiliki fisik
yang sempurna.” (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, dan ia menshahihkannya)
Apa yang disebutkan di atas merupakan madzhab Syafi’i,
Ishaq, Abu Ubaid, dan Ahmad.
Ulama madzhab Hanafi berpendapat, bahwa boleh bagi orang
yang kuat mengambil zakat jika tidak memiliki 200 dirham atau lebih.”
Imam Nawawi pernah ditanya, “Al Gahazali pernah ditanya
tentang orang yang kuat yang tinggal di rumah namun tidak biasa bekerja dengan
tenaga, yakni bolehkah ia mengambil zakat dari bagian kaum fakir?” Ia menjawab,
“Ya.”
Pendapat ini benar karena melihat bahwa yang dijadikan
patokan adalah pekerjaannya layak atau tidak.
Orang yang memiliki harta namun tidak cukup
Orang yang memiliki nishab dari berbagai jenis harta,
namun tidak mencukup kebutuhannya karena banyak tanggungannya atau karena harga
barang mahal, maka ia diangap kaya dari sisi memiliki nishab sehingga wajib
zakat pada hartanya, namun ia fakir dari sisi ketidakcukupannya sehingga berhak
diberi zakat sebagaimana orang fakir.
Imam Nawawi berkata, “Barang siapa yang memiliki tanah, namun
pemasukannya masih kurang, yakni tidak mencukupinya, maka ia diangap fakir,
berhak diberi zakat untuk menutupinya, dan tidak dibebankan untuk menjual
tanahnya.”
Dalam Al Mughni disebutkan, “Al Maimun berkata, “Aku
berdiskusi dengan Abu Abdilah –Ahmad bin Hanbal- lalu aku berkata, “Terkadang
sesorang memiliki unta dan kambing yang sudah kena zakat, namun ia fakir. Ia memiliki
40 ekor kambing dan punya pekerjaan, namun tidak cukup. Apakah diberi zakat?”
Ia menjawab, “Ya. Hal itu, karena ia tidak memiliki sesuatu yang mencukupkannya
dan tidak mampu berusaha yang cukup baginya, maka ia boleh mengambil zakat
sebagaimana ketika ia memiliki harta yang belum kena zakat.”
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu
‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar