بسم الله الرحمن الرحيم
Adab di Pasar dan Berjual-Beli
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada
Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang adab di pasar
dan berjual-beli,
semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu,
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«أَحَبُّ الْبِلَادِ إِلَى اللهِ مَسَاجِدُهَا،
وَأَبْغَضُ الْبِلَادِ إِلَى اللهِ أَسْوَاقُهَا»
“Area yang paling dicintai Allah adalah masjidnya, dan area yang
paling dibenci Allah adalah pasarnya.” (Hr. Muslim)
Pasar sebagai tempat yang paling dibenci
Allah karena sering terjadi pelanggaran di sana, seperti sumpah palsu, penipun,
pertengkaran, memakan harta orang lain secara batil, dsb. Maka agar tidak
terjadi banyak pelanggaran, perhatikanlah adab-adab berikut ini.
Adab
di Pasar
1.
Berdzikir kepada Allah ketika masuk ke pasar.
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
" مَنْ قَالَ
فِي السُّوقِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ
وَلَهُ الحَمْدُ، يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ، بِيَدِهِ الخَيْرُ وَهُوَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ، وَمَحَا
عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ، وَبَنَى لَهُ بَيْتًا فِي الجَنَّةِ "
“Barang siapa yang mengucapkan ketika berada di pasar, “Laailaahaillallahu
wahdahu laa syarika lah...dst.” (artinya: Tidak ada Tuhan yang berhak
disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan dan
milik-Nya pujian, Dia menghidupkan dan mematikan, Mahahidup dan tidak akan
mati. Di Tangan-Nya segala kebaikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu),
maka Allah akan catat untuknya satu juta kebaikan, menghapuskan satu juta
keburukan, dan akan membangunkan istana di surga untuknya.” (Hr. Ahmad dan
Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani)
2. Tidak mengeraskan suara ketika
berdebat dan melakuan penawaran
Telah disebutkan dalam hadits
tentang sifat Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa Beliau tidak kasar dan
keras, dan tidak bersuara keras di pasar, serta tidak membalas keburukan dengan
keburukan, akan tetapi Beliau memaafkan (sebagaimana disebutkan dalam Shahih
Bukhari).
3. Menjaga kebersihan dan ketertiban di pasar
Oleh
karena itu, hendaknya tidak mengotori pasar dengan membuang sampah dan kotoran
bukan pada tempatnya yang menimbulkan aroma yang tidak sedap, dan tidak
berdagang di tempat-tempat yang mengakibatkan kemacetan lalu lintas.
4. Memenuhi
janji dan konsekwensi yang diadakan antara kedua belah pihak (Penjual dan
Pembeli).
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
"Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu.” (Qs. Al Maidah: 1)
5. Dianjurkan menguatkan jual-beli
dengan adanya saksi atau tulisan (seperti nota).
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ
“Adakanlah saksi ketika kalian
berjual-beli.” (Qs. Al Baqarah: 282)
6. Mempermudah ketika berjual-beli.
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
«رَحِمَ اللَّهُ
رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ، وَإِذَا اشْتَرَى، وَإِذَا اقْتَضَى»
“Semoga Allah merahmati orang yang mempermudah dalam menjual,
membeli, dan ketika menagih utang.” (Hr. Bukhari dari Jabir bin Abdillah)
7. Jujur dan menerangkan apa adanya,
dan tidak menyembunyikan aib
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي
بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Jika keduanya (penjual dan pembeli) jujur dan menerangkan apa
adanya, maka akan diberkahi jual-belinya, dan jika keduanya menyembunyikan dan
berdusta, maka akan dicabut keberkahan jual-belinya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ
بَاعَ مِنْ أَخِيْهِ بَيْعًا فِيْهِ عَيْبٌ إِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ
“Seorang muslim saudara muslim lainnya, dan tidak halal bagi
seorang muslim menjual kepada saudaranya suatu barang yang terdapat aib
melainkan ia harus terangkan aib itu kepadanya.” (Hr. Ahmad, Ibnu Majah, dan
Hakim dari Uqbah bin Amir, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami
no. 6705)
8. Tidak sering bersumpah dalam
berjual-beli
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
«إِيَّاكُمْ وَكَثْرَةَ الْحَلِفِ فِي الْبَيْعِ،
فَإِنَّهُ يُنَفِّقُ، ثُمَّ يَمْحَقُ»
“Jauhilah oleh kalian banyak bersumpah dalam berjual-beli,
karena hal itu melariskan namun mencabut keberkahan.” (Hr. Muslim)
9. Menjauhi penipuan.
Suatu ketika Nabi shallallahu alaihi
wa sallam melewati tumpukan makanan, lalu Beliau memasukkan tangan ke dalamnya
dan dirasakan basah pada makanan itu, maka Beliau bersabda, “Ada apa dengan
makanan ini wahai pemilik makanan?” Orang itu mengatakan, “Terkena hujan wahai
Rasulullah?” Beliau bersabda,
«أَفَلَا جَعَلْتَهُ
فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ، مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي»
“Tidakkah engkau jadikan makanan ini
berada di atasnya agar manusia melihatnya. Orang yang menipu bukan termasuk
golonganku.” (Hr. Muslim)
10. Memperhatikan syarat jual beli,
yaitu: adanya keridhaan, tidak ada gharar, pelaku akad memiliki barang yang
dijual atau mendapatkan izin, tidak ada riba, dan bukan pada sesuatu yang
haram.
Tidak diperbolehkan jual beli gharar
(ketidakjelasan), karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli
gharar (sebagaimana dalam Shahih Muslim)
Termasuk gharar adalah menjual budak
yang lari dari tuannya, atau mengatakan ‘saya jual kepadamu salah satu di
antara dua barang’ atau ‘saya jual seukuran jauhnya lemparan kerikil ini’, atau
‘saya jual hewan yang masih di perut induknya’.
Gharar berlaku baik pada harga
maupun pada barangnya.
Demikian pula dilarang bermuamalah
yang mengandung riba.
Dari Jabir radhiyallahu anhu ia
berkata,
«لَعَنَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ،
وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ»
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat pemakan riba,
yang membantunya memakan riba, penulisnya, dan dua saksinya.” Beliau bersabda,
«هُمْ سَوَاءٌ»
“Mereka sama (dosanya).” (Hr. Muslim)
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam juga bersabda,
"اَلذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً
بِمِثْلِ سَوَاءً بِسَوَاءٍ، فَإِذَا اِخْتَلَفَتْ هَذِهِ اَلْأَصْنَافُ فَبِيعُوا
كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوْ اِسْتَزَادَ فَقَدْ
أَرْبَى
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma
dengan kurma, garam dengan garam harus sama. Jika berbeda macamnya, maka
juallah semau kalian apabila secara tunai. Barang siapa yang menambahkan atau
minta ditambah, maka ia telah
berbuat riba.” (Hr. Muslim)
Oleh karena itu, tidak boleh
jual-beli barang yang ditakar dengan barang sejenisnya yang ditakar juga
kecuali harus sama nilainya dan tunai. Demikian pula barang yang ditimbang jika
dijual dengan barang sejenisnya yang ditimbang, maka harus sama nilainya dan
langsung serah terima atau tunai di majlis.
Tetapi jika barang yang ditakar
dijual dengan barang yang ditakar namun berbeda jenis, atau barang yang
ditimbang dengan barang yang ditimbang namun tidak sejenis, maka boleh adanya
kelebihan pada salah satunya namun dengan syarat serah terima di majlis akad.
Misalnya menjual gandum ‘bur’
dengan gandum sya’ir, maka boleh adanya kelebihan, namun tidak boleh terjadi
penangguhan di salah satunya, atau jual beli emas dengan beberapa dirham, maka boleh adanya kelebihan, namun tidak boleh terjadi penangguhan di salah
satunya, Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ
اْلأَشْيَاءُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika barang-barang ini berbeda, maka
juallah semau kalian dengan syarat langsung serah terima.”
(HR. Muslim dan Abu Dawud)
Sehingga jika dijual barang yang
ditakar dengan yang ditimbang atau kebalikannya, maka boleh meskipun serah
terimanya tidak di majlis akad.
Dan perlu diketahui, bahwa tidak
tahu adanya kesamaan sama saja mengetahui adanya kelebihan, sebagaimana Nabi
shallallahu alaihi wa sallam melarang jual-beli Muzabanah, yakni jual beli
kurma dengan kurma yang masih berada di pohon, namun Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam memberikan keringanan pada jual beli Araya.
Araya
adalah menjual kurma basah yang ada di pohon dengan kurma kering yang ada di
tangan dengan takaran. Araya mirip dengan muzabanah, namun araya dihalalkan
sebagai rukhshah (keringanan) bagi manusia, namun dengan syarat: (a) pembeli
butuh kurma basah, (b) pembeli tidak memiliki uang tunai untuk membeli kurma,
namun yang ia punya kurma kering, (c) kurma yang ditransaksikan araya banyaknya 5 wasaq atau kurang (1
wasaq = 60 sha, 1 sha’ = 2,04 kg, 60 x 2,04 = 122,4 kg x 5 = 612 Kg)), (d) kurma basah yang masih ada di tangkai
ditaksir dengan banyaknya kurma kering yang telah ditakar (e) dilakukan
serah-terima di majlis akad.
Termasuk riba juga adalah jual beli
‘inah, misalnya menjual
barang dengan harga 10.000.000 dengan tempo dan dicicil, lalu penjual
membelinya lagi dari pembeli dengan harga kurang secara tunai.
Demikian
pula
termasuk riba memberikan pinjaman
dengan adanya bunga.
Termasuk pula memberikan pinjaman
dengan syarat boleh memanfaatkan sesuatu dari hartanya, karena setiap pinjaman
yang menarik manfaat adalah riba.
Termasuk syarat jual-beli juga
adalah tidak boleh akad pada sesuatu yang haram baik pada zatnya seperti khamr
(arak), bangkai, dan patung, maupun karena dapat mengakibatkan hubungannya
putus dengan seorang muslim seperti penjualan di atas penjualan saudaranya
(lebih dulu ditawarkan saudaranya), pembelian di atas pembelian saudaranya
(lebih dulu dibeli saudaranya), najsy (persekongkolan untuk melariskan barang
dagangan dengan membuat pembeli tergiur), memisahkan kerabat budak ketika
menjualnya (seperti memisahkan antara ibu dan anaknya), dsb.
Termasuk akad yang haram juga adalah
jual-beli yang diketahui akan dugunakan untuk maksiat, seperti membeli telur
untuk perjudian, membeli senjata di saat fitnah dan kepada para pembegal atau
perampok.
Dan dilarang pula talaqqil jalab,
yaitu mendatangi orang-orang yang membawa barang dagangan dari luar kota,
sedangkan mereka belum mengetahui harga pasar, dan bahwa penjualnya berhak
khiyar (meneruskan atau membatalkan jual beli).
11. Tidak melakukan kecurangan pada
takaran dan timbangan seperti menguranginya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (1) الَّذِينَ إِذَا
اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (2) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ
يُخْسِرُونَ (3)
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,--(yaitu)
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain minta dipenuhi,--Dan
apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (Qs. Al Muthaffifin:
1-3)
12. Tidak menimbun makanan saat
orang-orang membutuhkan.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«لَا يَحْتَكِرُ
إِلَّا خَاطِئٌ»
“Tidak ada yang menimbun selain orang yang berdosa.” (Hr.
Muslim)
Menimbun
artinya menyembunyikan makanan saat sedikit dan dibutuhkan agar dapat dijual dengan
harga tinggi. Para ulama sepakat secara
umum, bahwa menimbun tidak diperbolehkan ketika memadharatkan manusia. Adapun membeli
makanan atau lainnya saat orang-orang dalam kelapangan dan makanan itu banyak di
pasar serta tidak memadaharatkan (merugikan) seorang pun, lalu ia simpan dan
menjualnya ketika harga naik, maka tidak mengapa.
13. Wajib mengosongkan pasar dari barang-barang
yang diharamkan dijual-belikan.
14. Tidak menjual barang yang diketahui
hasil rampasan atau curian.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Qs. An Nisaa: 29)
15. Memberlakukan khiyar
(melanjutkan atau membatalkan jual beli) ketika ada sebabnya.
Setelah akad terjadi, maka jual-beli
dipandang lazim (mesti berlaku) kecuali ada sebab berikut:
a. Selama masih berada di majlis
akad (belum berpisah).
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعَ اَلرَّجُلَانِ فَكُلُّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ، مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“Apabila dua orang berjual-beli,
maka masing-masingnya berhak khiyar selama belum berpisah.” (Hr. Bukhari dan
Muslim)
b. Ketika ada syarat bagi keduanya (penjual atau
pembeli) atau salah satunya dalam waktu tertentu.
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
اَلْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ، إِلَّا
شَرْطًا أحلَّ حَرَامًا أَوْ حرَّم حَلَالاً
“Kaum muslimin mengikuti syarat
mereka kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal.” (Hr. Tirmidzi dan ia menshahihkannya, Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Dawud, dan
Hakim).
c. Apabila terjadi penipuan hingga
sangat dirugikan, seperti najsy (ada persekongkolan) atau talaqqil jalab (dihadang
untuk dibeli saat membawa barang dagangan), dsb.
d. Apabila terjadi tadlis (dihias
luarnya dengan sangat menarik oleh penjual ternyata dalamnya tidak sesuai)
seperti ditahannya puting hewan agar terlihat banyak susunya, maka jika si
pembeli jika telah memerah susunya, ia berhak meneruskan jual beli itu atau mengembalikan
hewan itu dengan menyerahkan satu sha’ makanan (pokok). Rasulullah shallalahu
alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَصُرُّوا اَلْإِبِلَ وَالْغَنَمَ, فَمَنِ
اِبْتَاعَهَا بَعْدُ فَإِنَّهُ بِخَيْرِ اَلنَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْلُبَهَا,
إِنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا, وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ
“Janganlah kalian
menahan susu unta dan kambing, barangsiapa yang membelinya maka dia boleh
memilih yang lebih baik dari dua hal setelah ia memeras susunya; yaitu jika ia
mau ia boleh mengambilnya dan jika ia mau boleh baginya mengembalikannya dengan
satu sha’ kurma.” (Hr. Bukhari dan Muslim sedangkan dalam riwayat Muslim
disebutkan, “Ia boleh memilih selama tiga hari.”)
e. Apabila ada aib. Si pembeli
berhak meneruskan jual beli dengan menuntut nilai kerugian kepada penjual atau
mengembalikannya.
Dan jika ada pembatalan dengan
keridhaan kedua belah pihak, maka boleh juga dibatalkan. Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا بَيْعَتِهِ أَقَالَهُ
اَللَّهُ عَثْرَتَهُ
“Barang siapa yang memaafkan jual-beli
seorang muslim, maka Allah akan memaafkan ketergelincirannya pada hari Kiamat.”
(Hr. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Hakim ia berkata, “Shahih
sesuai syarat Bukhari dan Muslim”, dan Baihaqi.)
16. Menundukkan pandangan dari kaum
wanita dan menjauhi ikhtilath (bercampur-baur pria-wanita)
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ
أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada orang laki-laki
yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat---Katakanlah kepada wanita yang
beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya.” (Qs. An Nuur: 30-31)
17. Menjaga syiar Islam, dan
jual-belinya tidak membuatnya lalai dari shalat dan Dzikrullah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا
بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ
يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak
(pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat serta
membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan
penglihatan menjadi goncang.” (Qs. An Nuur: 37)
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa
Nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar