Tanya-Jawab Masalah Agama (7)

Sabtu, 12 Desember 2020

 بسم الله الرحمن الرحيم



Tanya-Jawab Masalah Agama (7)

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:

Berikut tanya jawab berbagai masalah aktual, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

25. Pertanyaan: Assalamu'alaikum, saya pernah memakai celana dalam di pagi hari yang sudah dicuci akan tetapi ada bekas madzi yang sudah kering dan saya baru tahu ketika malam hari, bagaimana dengan shalat saya yang dikerjakan sebelumnya ustadz yang tanpa mengetahui dengan kondisi memakai celana yang ana bekas madzinya?

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Madzi termasuk najis. Ali radhiyallahu anhu berkata,

كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ « يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ » . 

"Aku adalah seorang laki-laki yang banyak keluar madzy, aku malu bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena puterinya, maka aku menyuruh Miqdad bin Aswad untuk bertanya kepada Beliau, sabdanya, "Hendaknya ia cuci kemaluannya dan berwudhu'." (Muttafaq 'alaih, lafaz ini adalah lafaz Muslim)

Jika madzi mengenai badan, maka wajib dicuci dan jika mengenai pakaian maka cukup dengan dipercikkan (rasysy) dengan air. Dalil cukupnya memercikkan pakaian yang terkena madzy adalah hadits Sahl bin Hunaif, ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika madzi mengenai kainku?” Beliau menjawab, “Cukup bagimu dengan mengambil segenggam air, lalu kamu percikkan ke kainmu sampai kamu melihat air tersebut telah mengenainya.” (Hasan, HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Jika celana dalam seseorang sudah dicuci berarti sudah bersih. Dan jika seseorang shalat dengannya dan setelah shalat ternyata dilihatnya masih ada bekas madzi, maka shalatnya sah tanpa perlu diulangi. wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

Referensi: https://binbaz.org.sa/fatwas/8286/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D9%85%D9%86-%D8%A7%D9%83%D8%AA%D8%B4%D9%81-%D8%A8%D8%B9%D8%AF-%D8%A7%D9%84%D8%B5%D9%84%D8%A7%D8%A9-%D8%A7%D9%86-%D9%81%D9%8A-%D8%AB%D9%8A%D8%A7%D8%A8%D9%87-%D9%86%D8%AC%D8%A7%D8%B3%D8%A9

26. Pertanyaan: Assalamu'alaykum. Afwan Ustad,  ana mau bertanya, bolehkah kita bermudah-mudah dalam melaknat seseorang yang berbuat dosa? Karena banyak hadits yang juga dibolehkan melaknat. Padahal di satu kisah ibunda Aisyah ketika membalas yahudi yang mendoakan keburukan kepada Rasulullah, Rasulullah sendiri menegur ibunda Aisyah. Jazaakumullah khairan atas jawabannya.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya sebagai berikut:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ، أَنَّ رَجُلًا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اسْمُهُ عَبْدَ اللَّهِ، وَكَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا، وَكَانَ يُضْحِكُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَلَدَهُ فِي الشَّرَابِ، فَأُتِيَ بِهِ يَوْمًا فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ القَوْمِ: اللَّهُمَّ العَنْهُ، مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ»

Dari Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu, bahwa ada seorang di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang bernama Abdullah, namun digelari dengan ‘himar’ (keledai). Ia sering membuat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tertawa. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menderanya karena meminum arak. Suatu ketika ia ditangkap (karena mengkonsumsi arak), maka Beliau memerintahkan untuk didera, lalu ada seorang yang hadir berkata, “Ya Allah, laknatlah dia. Sering sekali ia ditangkap.” Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kamu melaknatnya. Demi Allah, setahuku, dia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Jumhur (mayoritas) ulama berdalih dengan hadits ini tentang haramnya melaknat pelaku maksiat secara khusus meskipun ia melakukan dosa besar seperti mengkonsumsi minuman keras dan sebagainya.

Imam Ahmad menyatakan makruh hal tersebut sebagaimana disebutkan Ibnu Taimiyah dalam Minhajus Sunnah, namun Ibnul Jauzi berpendapat boleh. Demikian pula Imam Al Balqini dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Mereka berdalih dengan laknat para malaikat terhadap wanita yang menolak ajakan suami ke ranjangnya.

Dalam kitab Nihayatul Muhtaj karya Ar Ramli disebutkan bolehnya melaknat jika tertuju kepada orang kafir dan fasik. Orang fasik di sini adalah pelaku dosa besar dan orang yang terus menerus melakukan dosa kecil, namun menurut jumhur sebaiknya meninggalkan hal itu.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah melaknat orang-orang kafir dengan menyebutkan nama-nama mereka dalam doa qunut, lalu Allah melarangnya dan memerintahkan untuk bersabar dan mendoakan kebaikan.

Intinya, kita tidak boleh bermudah-mudahan dalam melaknat, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ

“Orang mukmin  bukanlah orang yang suka mencela, melaknat, berkata keji, dan berkata kotor.” (HR. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad dan dishahihkan oleh Al Albani)

مَنْ لَعَنَ مُؤْمِنًا فَهُوَ كَقَتْلِهِ

“Barang siapa yang melaknat orang mukmin, maka dia seperti membunuhnya.” (Hr. Bukhari)

Melaknat secara khusus (menyebut orangnya) hendaknya tidak dilakukan, dan tidak mengapa melaknat secara umum terhadap pelaku dosa besar karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan kebalikannya, melaknat pemakan riba dan yang memberi riba serta pencatat dan saksinya, melaknat wanita pentato dan pencabut bulu alis, dsb. Wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

Referensi: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/108345/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D9%84%D8%B9%D9%86-%D8%A7%D9%84%D8%B9%D8%A7%D8%B5%D9%8A

27. Pertanyaan: Assalamualaikum ustad. Saya mau bertanya apakah hukumnya onani sambil membayangkan istri sendiri? Dengan kondisi suami jauh dari istri karena pekerjaan. Sedangkan suami punya kebutuhan syahwat dikhawatirkan takut terjadi perzinahan. Terimakasih ustad.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Onani atau istimna termasuk perbuatan yang bertentangan dengan adab dan akhlak yang mulia. Para fuqaha (Ahli Fiqih) berbeda pendapat tentang hukumnya:

Di antara mereka ada yang berpendapat haram dalam sebagian keadaan; dan tidak dalam keadaan tertentu. Ada pula yang berpendapat hanya sebagai makruh.

Adapun ulama yang berpendapat haram adalah ulama madzhab Maliki dan Syafi’i. Alasannya karena Allah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam semua keadaan kecuali kepada istri atau budak yang dimiliki. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,--Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak terceIa.—Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. Al Mu’minun: 5-7)

Adapun ulama yang berpendapat haram pada sebagian keadaan dan boleh dalam keadaan tertentu, maka ini merupakan pendapat ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka, tidak mengapa melakukan onani jika khawatir jatuh ke dalam zina jika ia tidak melakukan demikian karena mengikuti kaidah ‘Irtikab Akhaffid Dharurain’ (mendatangi yang lebih ringan bahayanya).

Mereka (ulama madzhab Hanafi) juga mengatakan, bahwa onani haram jika untuk membangkitkan syahwat, dan tidak mengapa jika syahwat bergejolak, sedangkan di dekatnya tidak ada istri atau budak, lalu ia melakukan onani dengan maksud meredam syahwatnya.

Sedangkan ulama madzhab Hanbali berpendapat, bahwa hukumnya haram, kecuali jika ia khawatir jatuh ke dalam zina, atau khawatir terhadap kesehatannya, dan ia tidak memiliki istri atau budak, dan tidak mampu menikah.

Adapun Ibnu Hazm, maka ia berpendapat, bahwa onani hukumnya makruh; tidak berdosa, karena menyentuh dzakar dengan tangan kirinya adalah mubah. Di samping itu, perkara yang haram telah Allah jelaskan, dan hal ini tidak termasuk yang dijelaskan keharamannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (Qs. Al An’aam: 119)

Ada riwayat dari generasi terdahulu, bahwa orang-orang membicarakan tentang onani, maka sebagian orang memakruhkannya, sedangkan sebagian lagi menganggap mubah. Di antara yang menganggap makruh adalah Ibnu Umar dan Atha, sedangkan yang menganggap mubah adalah Ibnu Abbas, Al Hasan, dan sebagian tabiin besar.

Al Hasan berkata, “Dahulu mereka melakukannya ketika dalam peperangan.”

(Fiqhusunnah 2/435)

Intinya, sebaiknya yang bersangkutan tidak melakukan onani dan berusaha untuk meredam syahwatnya dengan berpuasa, karena inilah yang ditunjuki oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Barang siapa yang belum sanggup menikah, maka hendaknya ia berpuasa, karena hal itu sebagai pengebirinya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Di sini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyuruh berpuasa; tidak menyuruh selain itu. Hal ini menunjukkan sebaiknya ia berpuasa untuk meredam syahwatnya, wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

28. Pertanyaan: Bagaimana hukumnya jika seorang anak menyarankan orangtuanya untuk bercerai? Sebab melihat dari keseharian kedua orang tua, sang anak berpikir bahwa lebih baik keduanya berpisah. Selain permasalahan nafkah juga salah satu dari orang tuanya semakin jauh dari ajaran Islam. Berharap team Bimbingan Islam dapat memberikan jawaban atau referensi seputar pertanyaan tersebut. Mudah-mudahan team Bimbingan Islam selalu dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aamiin ya Allah. Jazaakumullah khaira, barakallahu fiikum.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Anak yang saleh berusaha untuk meredam pertengkaran yang terjadi pada kedua orang tuanya, bukan malah mendorong atau memanas-manasi. Memang talak hukumnya mubah, namun sebagai perkara yang dibenci. Apalagi setelah ada anak yang akibatnya anak akan terlantar, kesulitan mengunjungi orang tua, kurang mendapatkan kasih sayang, dan madharat-madharat lainnya yang muncul. Oleh karenanya, Iblis senang sekali jika terjadi perceraian antara suami dan istri bahkan memuji setan yang berhasil membuat suami-istri bercerai, karena tahu anaknya nanti mudah diperdayakan.

Oleh karena itu, cobalah seorang anak berusaha membantu meredam pertengkaran yang terjadi pada orang tuanya, baik dengan kata-kata yang halus dan sopan, maupun dengan perbuatan seperti meringankan beban keluarga. Demikian juga jika keadaannya semakin jauh dari agama, maka coba dekatkan dengan mengajak mengaji, atau menyiapkan berbagai sarana dan media untuk menyimak pengajian, dsb. wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

Tanya-Jawab Masalah Agama (6)

Senin, 23 November 2020

 بسم الله الرحمن الرحيم



Tanya-Jawab Masalah Agama (6)

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:

Berikut tanya jawab berbagai masalah aktual, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

22. Pertanyaan: Bismillah. Afwan izin bertanya lagi admin, saya sedang punya kpr riba rumah dengan bank syariah. Dulu saya tidak mengerti terkait riba. Terus sekarang saya ingin menjual rumah tersebut dan saya inginnya menjual rumah tersebut dengan cara cash. Tetapi sampai saat ini masih belum ada yang minat. Kemudian sekarang ada yang minat tapi dengan cara over kredit. Saya sudah menjelaskan kepada pembeli kalau niat saya menjual rumah agar terbebas dari dosa riba. Yang saya ingin tanyakan, apakah saya ikut berdosa karena pembeli membeli rumah saya dengan cara over kredit. Mohon jawabannya admin, barakallahu fiik jazakallah khair.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Membeli rumah dengan cara KPR kepada bank ribawi sudah sama-sama kita ketahui keharamannya, karena adanya riba dan denda di dalamnya. Kemudian jika seseorang telah membeli rumah dengan cara KPR ke bank ribawi karena sebelumnya tidak tahu, maka setelah tahu hukumnya ia bisa melunasinya langsung jika memiliki uang agar lepas dari riba, atau ada orang lain yang siap meminjamkan uang kepadanya tanpa adanya riba untuk melunasi cicilan itu, atau dengan menjual rumah itu kemudian hasil penjualan ia bayarkan utang kepada bank dan sisanya ia bisa belikan rumah yang harganya terjangkau.

Jika ternyata yang mau membeli rumah kita hanya siap over kredit, maka  hal ini disebut sebagai hiwalah, dan hukum asalnya adalah boleh sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

«مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ»

“Penundaan orang yang mampu membayar terhadap utangnya adalah zalim. Jika salah seorang di antara kamu dialihkan pembayaran utangnya kepada orang mampu, maka terimalah.” (Hr. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Hanyasaja karena akad awalnya sudah mengandung riba, dan jika kita alihkan kepada orang muslim sama saja menyeretnya ke riba, maka jika ada non muslim yang mau membeli kita perselilahkan agar tidak menjerumuskan seorang muslim kepada riba, wallahu a’lam. 

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

23. Pertanyaan: mohon pencerahannya ustadz. Apa yang harus saya lakukan ketika harta haram dan juga barang-barang yang saya punya selama ini tidak saya ketahui mana yang berasal dari harta haram? (Saya pernah bekerja di perusahaan musik dan sering diminta berbohong oleh atasan dan MLM).

Dan 2 tahun saya hijrah ke manhaj salaf memang lambat laun harta saya cepat habis, sekarang hanya tersisa seadanya saja di tabungan. Saya sisakan karena 3 tahun belakangan ini saya belum mendapatkan pekerjaan yang halal dan yang jauh dari kemungkaran.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Intinya, siapa saja yang hartanya bercampur dengan yang haram, lalu ia bertobat darinya, maka jika ada hak orang lain di dalam hartanya, maka ia harus kembalikan. Jika ia tidak tahu keberadaan orang yang diambil haknya, maka ia memperkirakan harta haram itu dan menyalurkannya ke tempat-tempat sosial termasuk kepada orang-orang yang fakir dan miskin hanya untuk membersihkan, bukan sebagai sedekah, karena Allah baik dan hanya menerima yang baik-baik.

Dengan demikian, di samping ia berhenti dari pekerjaan yang haram, ia juga hendaknya memperbanyak infak, wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

Referensi: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/311092/%D8%A7%D9%84%D8%AA%D8%AE%D9%84%D8%B5-%D9%85%D9%86-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%A7%D9%84-%D8%A7%D9%84%D8%AD%D8%B1%D8%A7%D9%85-%D9%88%D8%AD%D9%83%D9%85-%D9%86%D9%8A%D8%A9-%D8%A3%D9%86-%D9%85%D8%A7-%D8%B2%D8%A7%D8%AF-%D8%B9%D9%86-%D9%82%D8%AF%D8%B1-%D8%A7%D9%84%D8%AD%D8%B1%D8%A7%D9%85-%D9%81%D9%87%D9%88-%D8%B5%D8%AF%D9%82%D8%A9

24. Pertanyaan: Assalamualaikum ustadz, bagaimana hukumnya jika saya sebagai ibu rumah tangga yang memiliki dua bayi dan saya sangat kesulitan untuk sholat, selalu shalat hampir di akhir waktu dikarenakan bayi saya menangis sampai menjerit ketika ditinggal sebentar saja. Apakah saya sangat berdosa ustadz? Suami saya bekerja dan saya tidak ada yang membantu dalam mengurus anak anak.

Dan bagaimana hukumnya jika saya ingin bekerja sementara anak anak saya masih bayi dibawah 1 tahun, akan saya titipkan ke pengasuh? Terima kasih ustadz.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Jika seseorang merasakan kesulitan shalat di awal waktu, seperti karena mengurus dua bayi, maka tidak mengapa melakukan shalat dengan menjamaknya. Akan tetapi hendaknya tidak sering-sering, bahkan berusaha untuk shalat pada waktunya masing-masing, kecuali karena kebutuhan untuk menjamak.

Ulama madzhab Hanbali membolehkan jamak baik taqdim maupun ta’khir bagi orang yang beruzur dan bagi orang yang sakit. Mereka juga membolehkan wanita yang menyusui yang kesulitan mencuci pakaian di setiap waktu shalat dan wanita yang terkena darah istihadhah (darah penyakit), orang yang beser, dan orang yang tidak kesulitan bersuci, serta orang yang mengkhawatirkan bahaya terhadap diri, harta, atau kehormatannya.

Dengan demikian, ia boleh menjamak shalat ketika ini, akan tetapi praktek yang lebih utama adalah dengan jamak shuri, yaitu dengan mengakhirkan shalat yang pertama dan memajukan shalat yang kedua, seperti menunda shalat Zhuhur dan memajukan shalat Ashar sebagaimana wanita yang terkena darah istihadhah, agar ia tetap shalat pada waktunya masing-masing. Ketika uzur ini hilang, maka hendaknya ia berusaha segera shalat dan tidak menundanya, wallahu a’lam.

Adapun terkait wanita bekerja, maka hal ini menyelishi perintah Allah Ta’ala yang menyuruhnya berdiam di rumah, Dia berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Qs. Al Ahzaab: 33)

Di samping itu, keluarnya dari rumah menimbulkan fitnah, apalagi sampai menyerahkan anaknya untuk diasuh kepada orang lain yang kasih sayangnya tidak seperti orang tuanya sendiri, dimana anak kita bisa diajarkan contoh yang tidak baik.

Tetapi jika ia membantu suaminya ketika bekerja seperti di tokonya atau di rumahnya, maka tidak mengapa. Hal itu karena memang yang bertanggung jawab mencari nafkah dan memberi nafkah adalah suami; bukan istri.

wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

Referensi: https://binbaz.org.sa/fatwas/891/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%B9%D9%85%D9%84-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B1%D8%A7%D8%A9

Tanya-Jawab Masalah Agama (5)

Selasa, 10 November 2020

بسم الله الرحمن الرحيم



Tanya-Jawab Masalah Agama (5)

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:

Berikut tanya jawab berbagai masalah aktual, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

16. Pertanyaan: Assalamualaikum, saya mau tanya apa pandangan islam tentang orang-orang yang bekerja di perusahaan restaurant-restauran dan usaha lainnya, yang ternyata modalnya dari pinjaman bank (riba)? Otomatis pekerja tersebut di gaji dari hasil riba pula.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Bekerja di perusahaan restaurant atau perusahaan lainnya selama makanannya mubah atau produksinya mubah, maka tidak haram meskipun perusahaan itu bermuamalah dengan bank ribawi, karena keuntungan harta yang diperoleh bukan dari jalan riba. Di samping itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bermuamalah dengan orang-orang Yahudi yang kita kenal suka memakan riba, tetapi Beliau bermuamalah dengan mereka. Dosa riba ditanggung oleh orang-orang Yahudi dan pihak yang meminjam ke Bank Ribawi. Meskipun begitu jika seseorang memilih bekerja di tempat lain yang jauh dari riba, maka silahkan.

Walahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

Referensi: https://binbaz.org.sa/fatwas/5400/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%A7%D9%84%D8%B9%D9%85%D9%84-%D9%81%D9%8A-%D8%B4%D8%B1%D9%83%D8%A9-%D8%AA%D8%AA%D8%B9%D8%A7%D9%85%D9%84-%D9%85%D8%B9-%D8%A7%D9%84%D8%A8%D9%86%D9%88%D9%83-%D8%A7%D9%84%D8%B1%D8%A8%D9%88%D9%8A%D8%A9

17. Pertanyaan: Bismillah, assalamu 'alaikum ustadz, saya ingin bertanya: Bagaimana hukumnya seorang istri yang mengurus surat kematian dan administrasi-administrasi lainnya serta pergi bekerja saat masih masa 'iddah karena ditinggal mati oleh suaminya?

Jawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Pada dasarnya wanita yang menjalani masa iddah karena ditinggal wafat suami tetap berada di rumah suaminya dan tidak keluar tanpa ada keperluan hingga selesai masa iddahnya yaitu 4 bulan sepuluh hari. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.” (Qs. Al Baqarah: 234)

Demikian pula tidak boleh mengenakan pakaian yang indah (bahkan ia mengenakan pakaian biasa dan menutup auratnya), tidak berhias, tidak mengenakan wewangian, tidak memakai perhiasan emas atau perak, tidak memakai inai, dan tidak bercelak.

Akan tetapi jika ada kebutuhan, karena tidak ada yang mengurus atau membantunya, seperti mengurus surat kematian dan administrasi lainnya, atau ia keluar bekerja untuk mencukupi kebutuhannya, atau berjual-beli di pasar, maka tidak mengapa, namun setelah selesai urusannya, ia segera kembali ke rumahnya. Walahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

Referensi: https://binbaz.org.sa/fatwas/16120/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%AE%D8%B1%D9%88%D8%AC-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B9%D8%AA%D8%AF%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D9%89-%D8%A7%D9%84%D8%B9%D9%85%D9%84

https://www.islamweb.net/ar/fatwa/262162/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%AE%D8%B1%D9%88%D8%AC-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B9%D8%AA%D8%AF%D8%A9-%D9%84%D9%84%D9%81%D8%B3%D8%AD%D8%A9-%D9%88%D8%A7%D9%84%D9%86%D8%B2%D9%87%D8%A9

18. Pertanyaan: Assalamualaikum. Afwan ana izin bertanya ustadz; apakah pada saat shalat dagu harus tertutup ustadz? (Bagi wanita) Jazakumullaahu khairan katsiiran.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Perlu diketahui, bahwa aurat wanita dalam shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya.” (QS. An Nuur: 31)

Yakni janganlah menampakkan bagian-bagian perhiasan kecuali muka dan kedua telapak tangan sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Aisyah radhiyallahu anhum.

Sedangkan wajah atau muka adalah bagian yang dipakai untuk berhadapan.

Menurut Asy Syirazi, panjang wajah adalah dari tempat tumbuhnya rambut di kepala sampai ke dagu dan ujung kedua tulang rahangnya, sedangkan lebarnya dari telinga yang satu ke telinga yang lain.  

Adapun bagian bawah dagu karena bukan termasuk wajah, maka harus ditutup; tidak boleh ditampakkan.

Apabila ada wanita yang shalat dengan menampakkan bagian bawah dagunya, maka harus diingatkan dan dinasihati, dan shalat yang telah dilakukan sebelum-sebelumnya tidak wajib diulangi karena ia tidak mengetahui hukum syar’i terkait masalah tersebut.

Wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

Referensi: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/121534/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%B5%D9%84%D8%A7%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B1%D8%A3%D8%A9-%D8%A5%D8%B0%D8%A7-%D9%83%D8%A7%D9%86-%D9%85%D8%A7-%D8%AA%D8%AD%D8%AA-%D8%B0%D9%82%D9%86%D9%87%D8%A7-%D9%85%D9%83%D8%B4%D9%88%D9%81%D8%A7

19. Pertanyaan:  Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh. 'Afwan ustadz ana izin bertanya, “Bagaimana hukum mengikuti perlombaan memanah yang mana kita harus membayar uang pendaftaran lalu hadiah yang diberikan nantinya dari keseluruhan uang peserta beserta becampur dengan uang dari sponsor yang diadakan oleh panitia. Mohon jawabannya ustadz.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Perlombaan memanah termasuk perlombaan yang disyariatkan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ»

“Tidak boleh perlombaan (dengan hadiah) kecuali dalam pacuan unta, kuda, dan dalam memanah.” (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)

Perlombaan di atas diperbolehkan karena membantu jihad. Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata, “Tidak ada khilaf terkait bolehnya perlombaan pacuan kuda dan hewan-hewan lainnya yang bisa dipacu, demikian pula memanah dan menggunakan senjata, karena hal itu melatih berperang.”

Termasuk lomba yang membantu jihad adalah lomba memanah, menembak, bela diri, balap kuda, balap unta, balap lari, renang, dsb. Demikian pula lomba imu-ilmu syar’i seperti hafalan Al Qur’an, hafalan hadits, baca kitab, dsb.

Adapun perlombaan selain di atas, seperti perlombaan burung, maka karena tidak membantu jihad, maka tidak diperbolehkan, apalagi ada taruhan sehingga sebagai judi.

Para ulama juga sepakat bolehnya lomba tanpa ada hadiah, tetapi Imam Malik dan Syafi’i membatasi hanya pada perlombaan kuda, unta, dan memanah. Sedangkan Atha membolehkan dalam segala hal (tanpa hadiah).

Para ulama juga sepakat bolehnya dengan hadiah dengan syarat hadiah itu bukan dari para peserta lomba, seperti dari imam... dst. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi 5/287)

Dengan demikian hadiahnya tidak boleh dari kumpulan uang peserta lomba, kemudian diberikan kepada pemenang di antara mereka. Karena jika demikian sama saja taruhan yang merupakan perjudian.

Yang diperbolehkan adalah jika hadiahnya dari imam (pemimpin), sponsor, atau dari suatu perusahaan, atau hadiah untuk pemenang di luar peserta yang mengeluarkan harta (ada peserta yang tidak perlu mengeluarkan uang, dimana jika peserta ini kalah, maka dia tidak membayarkan uang, disebut juga ‘muhallal’), dan semisalnya. Inilah madzhab Jumhur ulama.

Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata, “Berlomba dengan taruhan diperbolehkan dalam gambaran berikut:

1. Diperbolehkan menerima hadiah dalam perlombaan jika hadiah itu dari pemimpin atau lainnya. Misalnya ia berkata kepada para peserta lomba, “Siapa saja yang menang, maka ia akan memperoleh sekian harta.”

2. Salah satu peserta lomba menyiapkan harta dan berkata kepada peserta lomba yang lain, “Jika engkau menang, maka harta ini untukmu, tetapi jika aku menang, maka aku tidak memberikan harta itu kepadamu dan kamu tidak dibebankan memberikan harta kepadaku.”

3. Jika harta dari dua peserta lomba atau lebih, namun di tengah-tengah mereka ada ‘muhallal’ yang berhak menerima harta itu jika menang, dan tidak dituntut membayar jika kalah. (Fiqhus Sunnah 3/506)

Intinya, jika hadiah dari peserta lomba hendaknya tidak mengikuti perlombaan itu. Wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

Referensi: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/3381/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%AC%D9%88%D8%A7%D8%A6%D8%B2-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B3%D8%A7%D8%A8%D9%82%D8%A7%D8%AA    

20. Pertanyaan:  Assalamualaikum. Izin bertanya, Saya ingin memulai usaha jual obat. Jikalau mau beli stok obatnya di pasar pramuka apakah halal? Mengingat status pasar pramuka adalah pasar ilegal karena tidak diizinkan pemerintah. Tapi untuk status barangnya insya Allah bagus dan bukan curian. Mohon pencerahannya. Mohon dibalas. Saya butuh sekali nasehatnya. Jazakumullah khaira.

Pasar pramuka : Pasar yang menjual obat-obatan. Di pasar tersebut berkumpul toko-toko obat. Besar tempatnya ustad. Disebut ilegal karena izin toko obatnya sudah dicabut oleh pemerintah.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Pada dasarnya hukum muamalat termasuk jual beli adalah halal, tentunya apabila barang yang diperjual-belikan adalah halal apalagi bermanfaat seperti obat-obatan yang memang sudah mendapatkan izin dari pihak pengawas obat-obatan seperti BPOM.

Hendaknya kita perhatikan juga terkait tempat penjualan obat-obatan tersebut; apa sebab dicabut izinnya oleh pemerintah. Jika sebabnya benar karena menjual obat-obatan secara bebas tanpa ada pengawasan dari pihak terpercaya yang ditunjuk pemerintah, maka sebaiknya kita tidak membeli di sana agar kita tidak sembarangan menjual obat-obatan, maka dari itu coba dikaji sebab dicabutnya izin toko-toko tersebut, Wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

21. Pertanyaan: Bissmillah. Assalamualaikum ustad, semoga Allah selalu menjaga kesehatan dan perlindungan dari segala macam kejahatan kepada ustad. Afwan ijin bertanya ustadz, keluarga ana mau mendaftar haji ustad, tetapi syaratnya harus membuka rekening dan menabung di Bank untuk mendapatkan 1 porsi/bangku haji bagaimana hukumnya ustadz? Syuron barokallohu fiikum ustadz.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Semoga Allah mempermudah maksud keluarganya untuk naik haji. Memang di saat ini untuk naik haji dituntut memiliki rekening di bank agar uangnya terjaga dan dapat dipergunakan untuk berangkat haji nanti. Selama bank yang kita mengajukan haji adalah bank syariah, dimana tabungan haji kita dijaga baik-baik oleh bank sesuai syariat, maka tidak mengapa, wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger