بسم الله الرحمن الرحيم
Cadar, Jenggot, dan Celana Cingkrang
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
kiamat, amma ba'du:
Di zaman
sekarang banyak yang mempermasalahkan cadar bagi wanita, jenggot dan celana
cingkrang bagi laki-laki, namun mereka yang mempermasalah itu anehnya tidak
mempermasalah wanita-wanita yang memamerkan aurat dan orang-orang yang
melakukan berbagai kemaksiatan terang-terangan, fa innaa lillahi wa innaa
ilaihi rajiun. Maka di sini kami coba membahas masalah ini dengan merujuk
kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam serta
penjelasan para ulama, wabillahit taufiq.
Hukum
Cadar
Para
ulama berbeda pendapat terkait wajibnya menutup wajah dan kedua tangan bagi
wanita di hadapan laki-laki asing (yang bukan mahram). Menurut madzhab Imam
Ahmad dan pendapat yang shahih dari madzhab Syafi’i adalah bahwa wajib bagi
wanita menutup wajahnya dan kedua telapak tangannya di hadapan laki-laki asing,
karena wajah dan kedua telapak tangan merupakan aurat dari sisi nazhar
(dilihat), sedangkan madzhab Abu Hanifah dan Malik adalah bahwa menutup
keduanya tidaklah wajib, tetapi sunah. Akan tetapi para ulama madzhab Hanafi
dan Maliki telah lama berfatwa wajibnya bagi wanita menutup muka dan tangan
ketika dikhawatirkan laki-laki terfitnah olehnya atau ia tertimpa fitnah.
Terfitnah olehnya maksudnya karena wanita ini sangat cantik, sehingga kaum
laki-laki terfitnah olehnya, sedangkan wanita ini tertimpa fitnah maksudnya
karena zaman sudah rusak, banyaknya kemaksiatan dan orang-orang fasik, maka
agar wanita ini tidak tertimpa fitnah hendaknya ia menutup muka dan tangannya.
Oleh
karena itu, fatwa yang dipandang sekarang dalam madzhab yang empat adalah
wajibnya menutup muka dan tangan sebagaimana akan disebutkan nanti pendapat
para ulama dari berbagai madzhab insya Allah.
Adapun
dalil wajibnya menutup muka dan kedua
telapak tangan, maka ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah, di antaranya:
1.
Firman Allah Ta’ala,
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا
يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Wahai
Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri
orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Ahzaab: 59)
Banyak
para mufassir yang menafsirkan ayat tersebut dengan perintah menutup wajah,
karena jilbab adalah baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka
dan dada atau yang menutupi seluruh badan.
Adapun
firman Allah Ta’ala,
وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang
(biasa) tampak dari padanya.” (Qs. An Nuur: 31)
Maka
menurut pendapat yang paling tampak adalah pakaian luar sebagaimana yang
dikatakan Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, atau yang tampak daripadanya tanpa
disengaja seperti tersingkap sedikit jasadnya karena angin dan semisalnya.
Sedangkan perhiasan dalam bahasa Arab adalah sesuatu yang dipakai berhias oleh
wanita yang berada di luar fisiknya seperti barang hiasan dan pakaian, sehingga
jika ‘perhiasan’ ditafsirkan dengan sebagian kecil badan wanita seperti wajah
dan kedua telapak tangan adalah menyelisihi yang zahir (tampak).
2.
Firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا
سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ
أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-
istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu
lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Qs. Al Ahzaab: 53)
Kesucian
ini bukan hanya untuk Ummahatul mukmin radhiyallahu anhunna (para istri Nabi shallallahu alaihi wa
sallam) tetapi dibutuhkan pula oleh wanita-wanita beriman.
3.
Firman Allah Ta’ala,
وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (Qs. An Nuur: 31)
Imam
Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata, “Ketika turun
ayat ini, maka mereka mengambil kainnya lalu merobeknya dari pinggir kemudian
berkerudung dengannya.” Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Berkerudung yakni
menutupi wajahnya.”
4.
Firman Allah Ta’ala,
وَالْقَوَاعِدُ
مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ
أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ
يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tidak ingin kawin (lagi), tidak ada atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan
berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha
Bijaksana.”
(Qs. An Nuur: 60)
Maksudnya adalah pakaian luar yang kalau dibuka tidak menampakkan
aurat mereka, seperti baju kurung (gamis), demikian pula cadarnya. Al Qadhiy
Abu Ya’la berkata, “Dalam ayat ini terdapat dalil bolehnya wanita tua membuka
wajah dan kedua tangannya di hadapan laki-laki. Adapun rambutnya, maka tetap
haram dilihat sebagaimana rambut wanita muda.”
Namun
bagi wanita-wanita muda tetap diperintahkan berhijab dan menutup wajah.
5.
Imam Tirmidzi dan lainnya meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu
anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«المَرْأَةُ عَوْرَةٌ،
فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ»
“Wanita itu aurat. Jika keluar, maka setan menghiasnya.”
(Dishahihkan oleh Al Albani)
Hadits
ini menunjukkan, bahwa seluruh badan wanita adalah aurat dari sisi aurat nazhar
(dilihat).
6.
Saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kaum wanita keluar menuju
lapangan shalat Ied, maka kaum wanita berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang
di antara kami tidak memiliki jilbab.” Maka Beliau bersabda, “Hendaknya
saudarinya memakaikan jilbab kepadanya.” (Hr. Bukhari dan Muslim dari Ummu
Athiyyah)
Hadits
ini menunjukkan, bahwa biasanya wanita para sahabat tidak keluar rumah kecuali
dengan jilbab, dan ketika tidak ada jilbab, maka tidak boleh keluar. Jilbab adalah baju kurung yang lapang yang
dapat menutup kepala, muka, dan dada atau yang menutupi seluruh badan.
7. Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
«الْمُحْرِمَةُ لَا
تَنْتَقِبُ وَلَا تَلْبَسُ الْقُفَّازَيْنِ»
“Wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai cadar dan tidak
pula memakai sarung tangan.” (Hr. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
Abu
Bakar Ibnul Arabiy berkata, “Hal itu, karena menutup wajahnya dengan cadar
adalah wajib kecuali dalam ibadah haji, maka ia ulurkan sedikit kudungnya pada
wajahnya dengan tidak menempel dengannya, dan ia berpaling dari laki-laki
sebagaimana laki-laki juga berpaling dari mereka.”
Ummul
Mukminin Aisyah radhiyallahu anha berkata, “Kami ketika dilewati oleh rombongan
–saat haji-, maka salah seorang di antara kami mengulurkan jilbab ke wajahnya,
dan ketika mereka telah melewati kami, maka kami singkap lagi.”
(Lihat
dalil-dalilnya secara lengkap dalam kitab Audatul Hijab karya Dr.
Muhamad Ahmad Ismail)
Fatwa
Ulama dari Madzhab Yang Empat Terkait Wajibnya Cadar
Ulama Madzhab Hanafi
Al
Allamah Ibnu Nujaim berkata, “Dalam Fatawa Qadhikhan disebutkan, “Masalah
tersebut menunjukkan, bahwa wanita tidak menyingkap wajahnya kepada laki-laki
asing kecuali karena darurat.”
Pernyataan
ini menunjukkan, bahwa memakai cadar saat mampu dan ada laki-laki asing adalah
wajib bagi wanita. (Al Bahrur Ra’iq Syarh Kanz Ad Daqa’iq, dari kitab
Audatul Hijab hal. 421)
Dalam
Al Muntaqa disebutkan, “Dilarang wanita muda membuka wajahnya agar tidak
menimbulkan fitnah.”
Dalam
Al Hadiyyah Al ‘Ala’iyyah disebutkan, “Wanita ajnabi (asing) meskipun
kafir bisa dilihat wajah dan kedua telapak karena darurat, dan dilarang bagi
wanita muda membuka wajah dan kedua telapak tangannya karena dikhawatirkan
fitnah.” (Al Lubab fi Fardhiyyatn Niqab hal. 139)
Demikian
pendapat sebagian ulama madzhab Hanafi meskipun ada yang membolehkan membuka
wajah dan kedua telapak tangan, namun yang dijadikan patokan adalah pendapat
yang sesuai Al Qur’an, As Sunnah, dan pendapat para sahabat.
Madzhab Maliki
Dalam
Hijabul Mar’ah karya Ibnu Taimiyah hal. 6 disebutkan, “Zhahir (yang
tampak) pada Madzhab Imam Ahmad adalah bahwa semua bagian wanita adalah aurat
termasuk kukunya. Ini merupakan pendapat Imam Malik.”
Imam
Syaukni dalam Nailul Awthar menukil dari Ibnu Ruslan, bahwa kaum
muslimin sepakat dilarangnya wanita keluar dalam keadaan terbuka muka, apalagi
ketika banyak orang-orang yang fasik.
Al
Qadhi Ibnul Arabi dalam Ahkamul Qur’an berkata, “Wanita seluruhnya
adalah aurat baik fisik maupun suaranya, sehingga tidak boleh ditampakkan
kecuali karena darurat.” (Al Lubab fi Fardhiyyatn Niqab hal. 139)
Namun
pendapat yang sahih, bahwa suara wanita bukan aurat dengan syarat tidak
dilembutkan.
Madzhab Syafi’i
Al
Baidhawi rahimahullah berkata, “Semua fisik wanita merdeka adalah aurat,
tidak halal bagi selain suami dan mahram melihat sesuatu pun daripadanya
kecuali karena darurat.”
Imam
Nawawi dalam Al Minhaj menyebutkan haramnya membuka wajah bagi wanita
dan telapak tangannya meskipun aman dari fitnah dan aman dari syahwat. Ini
adalah pendapat Al Ishthakhiri, Thabari, dan yang ditetapkan oleh Abu Ishaq Asy
Syirazi, Ar Ruyani, dan lain-lain.
Imam
As Suyuthi rahimahullah berkata, “Ini adalah ayat hijab yang berlaku untuk
semua wanita muslimah. Di dalamnya terdapat kewajiban menutup kepala dan
wajahnya.”
Madzhab Hanbali
Telah
disebutkan pernyataan Ibnu Taimiyah dalam Hijabul Mar’ah, bahwa zhahir
(yang tampak) pada Madzhab Imam Ahmad adalah bahwa semua bagian wanita adalah
aurat termasuk kukunya.
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Wanita merdeka diperbolehkan shalat dalam
keadaan terbuka wajah dan kedua telapak tangan, namun ia tidak boleh keluar ke
pasar dan perkumpulan manusia dalam keadaan seperti itu (terbuka wajah dan
kedua telapak tangan), wallahu a’lam.” (Audatul Hijab hal. 193)
Dalam
Al Iqna’ disebutkan, “Wanita merdeka yang baligh semuanya adalah aurat
dalam shalat termasuk kuku dan rambutnya selain mukanya.” Banyak ulama berkata,
“Termasuk kedua telapak tangannya,” Namun keduanya menjadi aurat di luar shalat dari sisi nazhar
(dilihat) seperti badannya yang lain.”
Sifat
Hijab Yang Syar’i
Syaikh
Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Hijab yang syar’i adalah seorang wanita
menutup semua badannya dari laki-laki, baik kepala, wajah, dada, kaki, dan
tangan, karena semuanya adalah aurat terhadap laki-laki yang bukan mahram,
berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا
سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ
أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-
istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu
lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Qs. Al Ahzaab: 53)
Firman-Nya,
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka,” maksudnya
adalah istri-istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan kaum wanita mukminah
juga masuk dalam hukum tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menerangkan
bahwa berhijab lebih menyucikan hati laki-laki dan wanita, dan lebih jauh dari
fitnah.
Allah
Subahnahu wa Ta’ala juga berfirman,
وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali suami
mereka, ayah mereka...dst.” (Qs. An Nuur: 31)
Wajah
merupakan perhiasan besar, demikian pula rambut dan tangan. Dan wanita bisa
menutup mukanya dengan niqab yang hanya menampilkan kedua matanya atau salah
satunya, sehingga wajahnya adalam keadaan tertutup, karena wanita perlu
menampakkan matanya agar dapat melihat jalan, dan bisa juga berhijab dengan
selain niqab seperti cadar yang tidak menghalanginya dari melihat jalan, akan
tetapi ia tetap menutup perhiasannya, kepala, dan seluruh tubuhnya.
Wanita
juga harus menjauhi mengenakan wewangian saat keluar ke pasar, masjid, atau
tempat ia bekerja jika sebagai pegawai, karena hal itu termasuk sebab fitnah.”
(Majmu Fatawa wa Maqalat Syaikh Ibni Baz 6/24)
Sebagian
ulama menyebutkan sifat hijab syar’i, yaitu: menutupi seluruh tubuhnya,
hijabnya bukan sebagai perhiasan, tebal dan tidak tipis, longgar dan tidak
ketat, tidak diberi wewangian, tidak menyerupai pakaian wanita kafir, tidak
menyerupai pakaian laki-laki, dan tidak berupa pakaian ketenaran.
Hukum
Mencukur Jenggot atau Janggut
Mencukur
jenggot hukumnya haram. Ini merupakan pendapat mayoritas Ahli Ilmu, bahkan
sebagian ulama ada yang memasukkan ke dalam ijma. Dalilnya adalah hadits
berikut:
Dari
Ibnu Umar radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«خَالِفُوا
الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى»
“Selisihilah orang-orang musyrik, potong kumis (yang melewati
bibir) dan biarkanlah janggut.” (Hr. Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i)
Membiarkan
janggut maksudnya membiarkannya tanpa mencukur habis atau tanpa memendekkannya.
Ibnu
Hazm menukil ijma, bahwa memotong kumis dan membiarkan janggut adalah fardhu
(wajib), ia berdalil dengan sejumlah hadits, di antaranya hadits di atas dan
hadits Zaid bin Arqam, bahwa Nabi shallalahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ
شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنَّا»
“Barang siapa yang tidak memotong kumisnya, maka ia bukan
termasuk golongan kami.” (Hr. Tirmidzi, dan ia menshahihkannya)
Dalam
Al Furu disebutkan, “Shighat (bentuk kalimat) ini menurut kawan-kawan
kami –yakni dari kalangan madzhab Hanbali- menunjukkan haram (mencukur
janggut).”
Abul
Hasan Ibnul Qaththan Al
Maliki berkata, “Mereka (para ulama) sepakat bahwa mencukur janggut adalah
pencacatan yang tidak diperbolehkan.”
(Al
Iqna’ fi Masa’ilil Ijma)
Imam
Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid berkata, “Haram mencukur janggut.”
Syaikh
Ali Mahfuzh salah seorang ulama Al Azhar berkata, “Madzhab yang empat sepakat
wajibnya melebatkan jangut dan haram mencukur habis.” (Al Ibda’ fi
Madhaarril Ibtida’)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam syarah Al Umdah berkata, “Adapun mencukur
janggut, maka sama seperti wanita mencukur rambutnya, bahkan lebih keras lagi,
karena ia termasuk pencacatan yang dilarang, dan hal itu haram.”
Ia
juga berkata dalam Al Fatawa Al Kubra, “Diharamkan mencukur janggut dan
wajib berkhitan.”
Al
Haththab Al Maliki dalam syarah Khalil berkata, “Mencukur habis janggut
tidak diperbolehkan. Demikian pula kumis. Ia merupakan pencacatan, bid’ah, dan
orang yang mencukur habis janggut atau kumis diberi pelajaran, kecuali jika ia
hendak ihram haji dan khawatir kumisnya panjang.”
Ibnu
Abidin Al Hanafi berkata dalam Raddul Mukhtar, “Maksud membiarkan
janggut adalah membiarkannya dengan tidak memotong sebagian besarnya atau
semuanya sebagaimana yang dilakukan orang-orang Majusi dari kalangan ajam (non
Arab) yang menghabiskan janggutnya.
Makna
ini juga diperkuat oleh riwayat Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«جُزُّوا الشَّوَارِبَ،
وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ»
“Ratakanlah kumus dan biarkanlah janggut. Selisihilah
orang-orang Majusi.”
Kalimat
ini menempati posisi menerangkan sebab, sedangkan memotong yang merupakan di
bawah itu, maka tidak ada seorang pun yang membolehkannya.”
Imam
Ibnu Abdil Bar berkata, “Diharamkan mencukur janggut, dan tidak ada yang
melakukannya selain laki-laki yang banci.”
Dalam
Shahih Muslim dari Jabir disebutkan, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam
lebat janggutnya.
Kesimpulan
Mencukur
janggut hukumnya haram menurut ulama madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan salah
satu dari pendapat ulama madzhab Syafi’i. Ini pula yang dipegang oleh Al Qaffal
Asy Syasyi, Al Hulaimi, dan dibenarkan oleh Al Adzra’i. Adapun menurut salah
satu madzhab Syafi’i yang terpandang adalah makruh. Inilah yang dinyatakan oleh
dua Syaikh, yaitu Ar Rafi’i dan Nawawi.
Ibnu
Hajar Al Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj berkata, “Dua syaikh tersebut
berkata, “Makruh mencukur janggut,” akan tetapi Ibnur Rif’ah menolaknya dalam Hasyiyah
Al Kafiyah, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah dalam Al Umm
menyatakan haram. Az Zarkasyi berkata, “Demikian pula menurut Al Hulaimi dalam Syu’abul
Iman dan menurut gurunya yaitu Al Qaffal dalam Mahasinusy Syariah.”
Al Adzra’i berkata, “Yang benar haramnya mencukur habis secara garis besar.”
Adapun
memotong janggut melebihi segenggam, maka mayoritas Ahli Fiqih membolehkannya dan tidak
menganggap makruh. Bahkan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushannaf,
bahwa memotong janggut melebihi segenggam diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib,
Abu Hurairah, Abdulah bin Umar bin Khaththab, Thawus, dan Al Qasim bin Muhammad
bin Abu Bakar.”
Atha
bin Abi Rabah berkata, “Mereka (kaum salaf) suka membiarkan janggut kecuali
dalam haji dan umrah.”
Al Hasan
berkata, “Mereka memberikan keringanan memotong janggut melebihi segenggam.”
Ibnu
Muflih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah berkata, “Dan disunnahkan membiarkan
janggutnya. Ada yang mengatakan, “Seukuran genggaman boleh dipotong.”
Membiarkannya ada dalil. Ada pula
yang
mengatakan, bahwa membiarkanya lebih utama.”
Hukum
Celana Cingkrang (Tidak Isbal)
Isbal
(melabuhkan kain) melewati mata kaki karena sombong hukumnya haram bahkan
termasuk dosa besar sebagaimana disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam Al Kabair,
dan Al Haitami dalam Az Zawajir. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ
خُيَلاَءَ، لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ القِيَامَةِ»
“Barang siapa yang melabuhkan kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan memperhatikannya pada hari
Kiamat.” (Hr. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar)
Tetapi
jika isbal dilakukan bukan karena sombong, maka terdapat khilaf di kalangan
ulama. Di antara mereka ada yang mengatakan haram, dan ada pula yang mengatakan
makruh dan tidak makruh. Meskipun yang selamat dari perselisihan adalah dengan
tidak melakukan isbal.
Ibnu Qudamah berkata, “Dan dimakruhkan isbal
pada gamis, kain, dan celana, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyuruh
menaikkan kain. Tetapi jika dilakukan karena sombong, maka hukumnya haram.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«مَا أَسْفَلَ مِنَ
الكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النَّارِ»
“Kain yang melewati kedua mata kaki di
neraka.” (Hr. Bukhari dari Abu Hurairah)
«إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ
إِلَى نِصْفِ السَّاقِ، وَلَا حَرَجَ - أَوْ لَا جُنَاحَ - فِيمَا بَيْنَهُ
وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ، مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي
النَّارِ، مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ»
“Kain orang
muslim sampai setengah betis, dan tidak mengapa atau tidak ada dosa antara batas itu dengan kedua mata kaki. Yang melewati mata kaki itu
di neraka, dan barang yang siapa yang melabuhkan kainnya karena sombong, maka
Allah tidak akan memperhatikannya.” (Hr. Abu
Dawud dari Abu Sa’id Al Khudri, dishahihkan oleh Al Albani)
Hadits di atas menunjukkan haramnya isbal
meskipun tidak karena sombong, sedangkan jika ditambah sombong maka lebih dosa
lagi.
Dalam hadits Abu Juray Jabir bin Sulaim
secara marfu disebutkan,
وَارْفَعْ
إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ،
وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ، فَإِنَّهَا مِنَ المَخِيلَةِ، وَإِنَّ اللَّهَ
لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ
“Naikkanlah
kainmu hingga pertengahan betis. Jika engkau
tidak mau, maka sampai kedua mata kaki. Jauhilah olehmu melabuhkan kain, karena
hal itu termasuk kesombingan, dan sesungguhnya Allah tidak menyukai
kesombongan.” (Hr. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al Albani)
Ulama terdahulu yang mengharamkan isbal
secara mutlak (baik karena sombong maupun tidak) di antaranya adalah Ibnul
Arabi, Adz Dzahabiy, dan Ibnu Hajar Al Asqalani.
Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadits-hadits ini
menunjukkan bahwa melabuhkan kain karena sombong termasuk dosa besar, adapun
jika tidak karena sombong, maka zhahir hadits-hadits yang ada menunjukkan haram
juga.”
Mereka yang mengatakan bahwa haramnya karena
sombong karena membawa kemutlakan hadits larangan isbal dengan sombong di
hadits yang lain. Demikian pula berdalil dengan hadits Ibnu Umar, bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang melabuhkan kainnya
karena sombong, maka Allah tidak akan memperhatikannya pada hari Kiamat.” Lalu
Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya salah satu bagian kainku menjulur ke bawah
kecuali jika aku terus perhatikan.” Maka Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkat
tidak termasuk orang yang melakukannya karena sombong.”
Ibnu Abdil Bar berkata, “Mafhum hadits ini adalah bahwa orang yang
melabuhkan kainnya bukan karena sombong, maka tidak terkena ancaman itu, namun
tercela.”
Imam Nawawi berkata, “Hal ini hukumnya makruh, dan inilah
pernyataan Imam Syafi’i.”
Namun pendapat tersebut dikritik oleh Imam Ibnul Arabi rahimahullah
berikut, ia berkata,
“Tidak boleh bagi seorang melabuhkan kainnya sampai melewati mata kaki,
dan ia tidak berhak berkata, ‘Saya melakukannya bukan karena sombong’ karena
larangan ini terkena kepadanya secara lafaz, dan tidak boleh bagi orang yang
terkena lafaz hadits itu menyelisihinya. Bahkan memanjangkan kainnya
menunjukkan kesombongannya. Intinya, bahwa isbal menghendaki melabuhkan kain,
sedangkan melabuhkan kain menghendaki sikap sombong meskipun pelakunya tidak
bermaksud demikian. Kalau seseorang melabuhkan kainnya dan berkata, “Saya tidak
melakukannya karena sombong,” sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar bukan karena
sombong, maka pernyataan ini butuh tazkiyah (rekomendasi) dari seseorang
sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam mentazkiyah Abu Bakar. Yang
menunjukkan tidak dibatasi ‘karena sombong’ adalah hadits yang diriwayatkan oleh
para pemilik kitab sunan yang empat selain Ibnu Majah dari Jabir bin Sulaim
yang di sana disebutkan,
وَارْفَعْ
إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ،
وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ، فَإِنَّهَا مِنَ المَخِيلَةِ، وَإِنَّ اللَّهَ
لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ
“Naikkanlah kainmu hingga pertengahan betis. Jika engkau tidak mau, maka
sampai kedua mata kaki. Jauhilah olehmu melabuhkan kain, karena hal itu termasuk
kesombongan, dan sesungguhnya Allah tidak menyukai
kesombongan.”
Di samping itu, Abu Bakar tidak bermaksud
isbal dan telah berusaha mengangkatnya, namun tiba-tiba turun kainnya, mungkin
karena rampingnya fisik Beliau, wallahu a’lam.
Pendapat yang mengatakan bahwa larangan
isbal adalah jika dilakukan karena sombong juga dikritik oleh Syaikh Ibnu Utsaimin ia berkata,
"Menjulurkan kain bagi
laki-laki adalah haram baik karena sombong maupun tidak. Akan tetapi, jika
karena sombong hukumannya lebih keras dan lebih besar berdasarkan hadits Abu
Dzar yang tercantum dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,
«ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ»
"Tiga orang yang
tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak diperhatikan, tidak
disucikan dan bagi mereka azab yang pedih."
Abu Dzar berkata,
"Siapa mereka wahai Rasulullah, mereka celaka dan rugi?" Beliau
menjawab,
« الْمُسْبِلُ
وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ » .
“Orang yang menjulurkan kain (melewati mata kaki), orang yang
menyebut-nyebut pemberian dan orang yang melariskan barang dagangannya dengan
sumpah palsu."
Hadits ini adalah mutlak, akan
tetapi ditaqyid (dibatasi) dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma dari
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda,
« مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ
خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Barangsiapa yang
menjulurkan kainnya dengan sombong, maka Allah tidak akan memperhatikannya
pada hari Kiamat."
Sehingga kemutlakan yang ada di
hadits Abu Dzar ditaqyid dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, yakni
apabila dilakukan karena sombong, maka Allah tidak akan memperhatikannya,
menyucikannya dan baginya azab yang pedih. Hukuman ini lebih besar
daripada hukuman yang menerangkan tentang orang yang menjulurkan kainnya
melewati mata kaki bukan karena sombong.
Terhadap hal ini, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
«مَا أَسْفَلَ مِنَ الكَعْبَيْنِ مِنَ
الإِزَارِ فَفِي النَّارِ»
"Kain apa saja yang
melewati mata kaki tempatnya di neraka."
Dikarenakan hukuman keduanya
berbeda, maka untuk yang ini tidak berlaku hamlul mutlak 'alal muqayyad
(yang mutlak dibawa kepada yang muqayyad), karena kaidah
hamlul mutlak alal muqayyad di antara
syaratnya adalah bersamaan nashnya dalam hal hukum (masalah). Adapun jika
ternyata berbeda hukumnya, maka tidak bisa yang satu ditaqyid oleh yang lain.
Oleh karena itu, kita tidak mentaqyid ayat tayammum, dimana Allah Ta'ala
berfirman,
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
"Maka sapulah
mukamu dan tanganmu dengan (debu) itu."
(Qs. Al Maa'idah: 6)
Kita tidak mentaqyidnya dengan
ayat wudhu', dimana Allah Ta'ala berfirman,
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
"Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai siku." (Qs. Al
Maa'idah: 6)
Sehingga tayammum itu
mengusapnya tidak sampai siku (karena berbeda hukum/masalah). Dalil yang
menunjukkan demikian adalah hadits yang diriwayatkan oleh Malik dan lainnya
dari hadits Abu Sa'id Al Khudri bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, "Sarung seorang mukmin
sampai pertengahan betisnya, dan apa saja yang melewati mata kaki, maka
tempatnya di neraka. Serta siapa saja yang menjulurkan kainnya karena sombong,
maka Allah tidak akan melihat kepadanya."
Dalam satu hadits, Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam membuatkan dua permisalan dan menerangkan
perbedaan hukumnya karena perbedaan ancaman, keduanya berbeda dalam fi'il
(praktek) dan berbeda dalam hukum dan ancamannya. Dengan demikian, keliru orang
yang mentaqyid sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, "Kain apa
saja yang melewati mata kaki tempatnya di neraka." Dengan sabda
Beliau, "Barangsiapa yang menjulurkan kainnya dengan sombong, maka
Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat."
Selain itu, terkadang sebagian
orang ketika diingkari karena melakukan isbal, ia berkata: "Saya
melakukannya bukan karena sombong." Maka kami katakan kepadanya:
"Isbal itu ada dua macam; ada yang diberi hukuman sebatas pelanggaran yang
dilakukannya saja, yaitu dengan diancam neraka sebagai balasan karena
melanggar, yaitu seorang yang menjulurkan kain melewati mata kaki (dengan tidak
sombong), pelakunya tidak diancam dengan ancaman Allah tidak memperhatikannya
pada hari kiamat, tidak menyucikannya dan baginya
azab yang pedih. Bahkan hal ini hanya bagi orang yang menjulurkan kainnya
karena sombong. Demikianlah jawaban kami kepadanya.”
Wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa
Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar