Tanya-Jawab Masalah Agama (2)

 بسم الله الرحمن الرحيم

Amazon.com: سؤال و جواب: Appstore for Android

Tanya-Jawab Masalah Agama (2)

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:

Berikut lanjutan tanya jawab berbagai masalah aktual, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

6. Pertanyaan: Bismillah, afwan mau bertanya apa hukumnya khutbah dua kali pada saat hari raya yang pertama di mimbar dengan menggunakan speaker sound dan yang kedua khatib mendatangi jamaah wanita tanpa tabir?

Jawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Jika maksud ‘dua kali khutbah pada saat hari raya’ dengan disela-selahi duduk antara dua khutbah seperti halnya pada khutbah Jum’at, maka hal ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan imam madzhab yang empat dan lainnya.

Dalam Al Mudawwanah (1/231) disebutkan, “Imam Malik berkata, “Semua khutbah, baik khutbah imam pada shalat istisqa (shalat meminta diturunkan hujan), dua hari raya, hari Arafah, dan hari Jum’at, hendaknya imam duduk untuk memisahkan di antara dua khutbah.”

Imam Syafi’i rahimahullah dalam Al Umm (1/272) berkata, “Dari Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah, ia berkata, “Sunnahnya seorang imam berkhutbah dalam dua hari raya dengan dua kali khutbah yang ia pisah dengan duduk.” Ia juga berkata, “Termasuk pula khutbah istisqa, khutbah kusuf (shalat gerhana), khutbah haji, dan semua khutbah yang mengumpulkan banyak orang.”

Bisa dilihat juga kitab Bada’iush Shana’i (1/276) dan Al Mughni (2/121).

Namun Imam Syaukani mengomentari atsar di atas dengan berkata, “Hadits kedua diperkuat oleh qiyas dengan khutbah Jum’at, sedangkan Ubaidullah bin Abdulah adalah seorang tabiin sebagaimana yang engkau ketahui, sehingga pernyataanya ‘sunnahnya’ bukan merupakan dalil bahwa itu sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu Ushul. Memang ada riwayat terkait duduk antara dua khutbah ied hadits yang marfu (sampai kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam) yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, tetapi dalam isnadnya terdapat  Ismail bin Muslim seorang yang dhaif.” (Nailul Awthar 3/323)

Hadits Ibnu Majah no. 1289 dari Jabir radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasululah shallallahu alaihi wa sallam keluar pada saat Idul Fitri atau Idul Adh-ha, lalu berkhutbah sambil berdiri, kemudian duduk, lalu berdiri lagi.” Hadits ini dinyatakan munkar oleh Syaikh Al Albani.

Dalam ‘Aunul Ma’bud (4/4) disebutkan, “Imam Nawawi dalam Al Khulashah berkata, “Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ia berkata, “Sunnahnya seseorang berkhutbah dalam hari raya dua kali yang ia pisah dengan duduk” adalah dhaif, tidak bersambung, dan tidak ada satu pun riwayat yang sahih terkait pengulangan khutbah, yang dijadikan patokan dalam hal ini adalah mengqiyaskan dengan khutbah Jum’at.”

Dengan demikian sandaran dua kali khutbah ini adalah:

Pertama, hadits Ibnu Majah dan atsar Ibnu Mas’ud, keduanya dhaif.

Kedua, atsar Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah, ia adalah seorang tabiin.

Ketiga, mengqiyaskan dengan khutbah Jum’at.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Dua kali khutbah (dalam shalat Ied) diberlakukan para ahli fiqih rahimahumullah, karena ada hadits Ibnu Majah dengan isnad yang perlu ditinjau lagi yang zhahirnya bahwa khutbah ied itu dua kali. Tetapi siapa saja yang memperhatikan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang disepakati dalam Shahih Bukhari dan Muslim serta lainnya, maka akan tampak jelas baginya bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak berkhutbah kecuali sekali saja. Akan tetapi setelah Beliau mengakhiri khutbah pertama, maka Beliau mendatangi kaum wanita dan memberikan nasihat kepada mereka (berkhutbah). Jika hal ini kita jadikan alasan, maka masih mengandung kemungkinan meskipun sebenarnya masih jauh, karena Beliau menuju kaum wanita dan berkhutbah kepada mereka karena tidak sampainya suara khutbah kepada mereka. Inilah kemungkinan lainnya. Atau bisa juga suara khutbah Beliau memang terdengar oleh mereka, namun Beliau ingin menasihati mereka dengan secara khusus. Oleh katena itu, Beliau mengingatkan dan menasihati mereka dengan hal-hal khusus berkenaan dengan mereka.” (Asy Syarhul Mumti 5/191)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanya, “Apakah imam berkhutbah dalam shalat Ied sekali atau dua kali?”

Ia menjawab, “Yang masyhur di kalangan Ahli Fiqih adalah bahwa khutbah Ied itu dua kali berdasarkan hadits dhaif terkait hal ini. Akan tetapi dalam hadits yang disepakati kesahihannya, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam  tidak berkhutbah selain sekali saja, dan saya berharap masalah ini ada kelonggaran.” (Majmu Fatawa Asy Syaikh Ibni Utsaimin 16/246)

Intinya, bahwa seorang imam boleh melakukan khutbah pada shalat Ied sekali saja atau dua kali.

Sekarang kita kembali kepada pertanyaan di atas bahwa maksud dua kali khutbah menurut penanya adalah yang pertama di mimbar dengan menggunakan speaker sound dan yang kedua khatib mendatangi jamaah wanita tanpa tabir?

Jika kita melihat penjelasan di atas, sebenarnya sudah terjawab. Akan tetapi untuk lebih jelasnya adalah bahwa diperbolehkan dua kali khutbah dalam hari raya terutama jika suara khatib tidak terdengar oleh kaum wanita, lalu ia berkhutbah lagi untuk mereka sebagaimana praktek Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau jika memang sudah terdengar, maka tidak mengapa khatib mendatangi kaum wanita untuk memberikan nasihat khusus untuk mereka jika memang dirinya merasa aman dari fitnah ketika mendatangi mereka.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

7. Pertanyaan: Assalamualaikum ustadz. Alhamdulillah saya sudah daftar haji di kemenag. Sambil menunggu keberangkatan saya menabung di tabungan haji bank mandiri syariah untuk biaya pelunasannya nanti. Dimana tabungan tersebut tidak ada atmnya dan tertulis di buku bahwa penarikan hanya dapat dilakukan dalam "kondisi darurat". Yang saya tanyakan apakah ketika saya mau menghitung kewajiban zakat mal, saldo di tabungan haji tersebut ikut ditambahkan dengan tabungan saya yang lain sehingga juga ikut dizakati?

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Tabungan haji yang ada di Bank Syariah seperti piutang. Jika mudah diambil kapan saja, maka digabungkan dengan tabungan yang lain, jika telah mencapai nishab, maka dikeluarkan zakatnya setelah berlalu haul (setahun hijriah).

Namun jika keadaannya sulit diambil kecuali dalam kondisi darurat, maka keadaannya seperti piutang pada orang yang sulit ditagih, sehingga tidak digabungkan. Oleh karena itu, jika tabungannya yang lain telah mencapai nishab, maka dikeluarkan zakatnya secara terpisah, sedangkan tabungan haji yang ada di bank Syariah ketika telah mencapai nishab, maka dikeluarkan sekali saja setelah dapat mengambilnya, wallahu a’lam. 

Sebagai tambahan, bahwa Syaikh Shalih Al Fauzan pernah ditanya, “Apakah tabungan haji di salah satu Bank Syariah terkena zakat atau tidak?”

Ia menjawab, “Harta apabila telah mencapai nishab baik secara sepisah atau digabungkan dan berlalu haul padanya, maka wajib dizakati meskipun disimpan untuk haji, nafkah, atau lainnya, karena harta ketika telah berlalu haul dan berada dalam kepemilikannya baik berupa uang, barang perdagangan, atau hewan ternak, maka wajib dizakati ketika telah tiba haul.” (Lihat: https://ar.islamway.net/fatwa/7142/%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%A7%D9%84-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%AF%D8%AE%D8%B1-%D9%84%D9%84%D8%AD%D8%AC-%D9%87%D9%84-%D8%AA%D8%AC%D8%A8-%D9%81%D9%8A%D9%87-%D8%A7%D9%84%D8%B2%D9%83%D8%A7%D8%A9-%D8%A3%D9%88-%D9%84%D8%A7) 

8. Pertanyaan: Bismillah, assalamu ’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh. Ustadz ana mau bertanya, ibu ana bekerja di bank, sebentar lagi beliau pensiun. Alhamdulillah sudah mengenal riba haram tetapi karena terhitung tinggal beberapa bulan masa kerja, pihak kantor bilang untuk diselesaikan dulu sampai pensiun. Yang pertama ana mau tanya bagaimana dengan gaji yang didapat setelah mengetahui keharaman riba tetapi tidak bisa resign? Dan juga nanti saat pensiun akan ada uang pensiun, beliau bilang akan memberikannya ke kami anak-anaknya, bagaimana status uangnya halalkah? Jazakumullahu khairan ustadz atas jawabannya, baarakallahu fiik.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh, wa fikum barakallah.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Bank yang bermuamalah secara riba hukumnya haram, dan sesorang tidak boleh bekerja di dalamnya baik sebagai sekretaris, admin, dsb. karena sama saja tolong-menolong dalam perbuatan dosa karena Allah Ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Tolong-menolonglah di atas kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong di atas dosa dan pelanggaran.” (Qs. Al Maidah: 2)

Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir radhiyallahu anhu ia berkata,

«لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ» ، وَقَالَ: «هُمْ سَوَاءٌ»

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, yang memberikan riba (peminjamnya), pencatatnya dan dua saksinya.” Beliau bersabda, “Mereka sama dosanya.” (HRr. Muslim)

Jika sebelumnya tidak tahu, maka yang dimiliki sebelum itu menjadi miliknya (tidak perlu dikembalikan), namun setelah tahu keharamannya, maka ia harus meninggalkan pekerjaan tersebut dan beristighfar serta bertobat kepada Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman,

فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu, dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al Baqaragh: 275)

Kemudian apa saja yang diperoleh setelahnya dari jalan riba bisa dialihkan untuk maslahat umum atau untuk kaum fakir miskin namun bukan sebagai sedekah tetapi pembersihan harta dari riba.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Sebagian ulama berkata, “Yang haram untuk diperolehnya, maka hanya berlaku untuk yang bekerja untuk memperolehnya, tidak bagi yang menerimanya dengan jalur mubah dari orang yang bekerja untuk memperolehnya, berbeda jika haram dzatnya seperti arak, harta rampasan, dan sebagainya. Pendapat ini lebih terarah dan kuat berdasarkan dalil bahwa Rasulullah shallallahu alaih wa sallam pernah membeli makanan untuk keluarganya dari orang Yahudi, Beliau juga pernah makan daging kambing hadiah wanita Yahudi di Khaibar, juga memenuhi undangan orang Yahudi, dan sudah kita ketahui, bahwa orang-orang Yahudi rata-rata mengambil riba dan memakan hasil dari yang haram. Pendapat ini juga diperkuat oleh sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam terhadap daging yang disedekahkan kepada Barirah, “Untuknya sebagai sedekah, dan darinya untuk kami sebagai hadiah.”

Imam Nawawi dalam Al Majmu berkata, “Tidak boleh membinasakan harta ini dan membuangnya ke laut, sehingga tidak tersisa lagi selain menyalurkannya untuk maslahat kaum muslimin.”

Dalam Al Majmu (9/351) juga dari Imam Al Ghazali, bahwa apabila harta yang haram diserahkan kepada orang fakir, maka tidak menjadi haram, bahkan menjadi halal dan baik. Imam Nawawi menerangkan, bahwa pendapat Al Ghazali ini disebutkan pula oleh yang lainnya dari kalangan ulama yang semadzhab, dan demikianlah keadaannya. Imam Al Ghazali juga menukil hal ini dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan lainnya dari kalangan generasi salaf, serta dari Imam Ahmad bin Hanbal, Al Harits Al Muhasibi, dan ulama lainnya yang wara.

Dengan demikian, tidak mengapa disalurkan juga harta hasil riba kepada fakir miskin, dan tidak mengapa bagi orang miskin untuk mengundang orang lain makan, memberinya hadiah, atau bermuamalah dengannya, karena menjadi harta yang halal setelah ada di tangan orang fakir (Lihat pula: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/157595/).  

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I


0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger