Menjaga Lisan

Senin, 31 Agustus 2015

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫حفظ اللسان‬‎
Menjaga Lisan
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang menjaga lisan. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba ada seseorang yang datang mencela Abu Bakar, namun Abu Bakar diam; tidak membalasnya. Lalu orang itu mencela lagi kedua kalinya, namun Abu Bakar tetap diam. Ketika orang itu mencela lagi ketiga kalinya, Abu Bakar membalasnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri (meninggalkan majlis itu), lalu Abu Bakar bertanya, “Apakah engkau marah kepadaku wahai Rasulullah sehingga engkau berdiri?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Seorang malaikat dari langit turun mendustakaan pernyatannya terhadap dirimu, tetapi ketika engkau membalasnya, maka setan hadir, dan aku tidak akan duduk ketika setan hadir.” (HR. Abu Dawud, dan dinyatakan hasan lighairih oleh Al Albani, lihat Silsilah Ash Shahihah no. 2376).
Aisyah radhiyallahu 'anha pernah duduk bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Ummul Mukminin Shafiyyah binti Huyay radhiyallahu 'anha datang, maka Aisyah berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Cukuplah bagimu Shafiyyah ini begini dan begitu.” Maksudnya dirinya yang pendek.
Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Sungguh, engkau telah mengucapkan kata-kata yang seandainya dicampur dengan air laut, tentu akan membuatnya keruh.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi (2/306), Al Misykaat (4853-4857) dan Ghayatul Maram (427)).
Apa itu menjaga lisan?
Yang dimaksud menjaga lisan adalah seseorang tidak berbicara kecuali yang baik dan menjauhi ucapan yang buruk, serta menjauhi ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), berkata kotor dan sebagainya.
Seseorang akan ditanya terhadap semua ucapan yang keluar dari mulutnya, karena Allah mencatatnya dan akan menghisabnya. Allah Ta’ala berfirman,
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf: 18)
Ibnu Mas’ud berkata, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada sesuatu pun yang berada di atas muka bumi yang lebih butuh dipenjara lama daripada lisan.”
Batasan-Batasan dalam berbicara
Barang siapa yang ingin selamat dari keburukan lisan, maka ia harus memperhatikan perkara berikut:
1.     Tidak berbicara kecuali yang memberikan manfaat baik bagi dirinya maupun orang lain, atau untuk menghindarkan bahaya darinya, atau dari orang lain.
2.     Hendaknya ia memilih waktu yang tepat untuk berbicara. Ada yang mengatakan, bahwa pada masing-masing kondisi ada waktu tepat berbicara. Barang siapa yang berbicara di saat yang tidak tepat untuk membicarakannya, maka berarti siap keliru dan tergelincir. Dan barang siapa yang diam pada saat dibutuhkan pendapatnya, maka manusia merasa berat duduk bersamanya.
3.     Hendaknya ia membatasi dalam bicara dengan menyebutkan yang dapat mewujudkan tujuan atau maksud, dan yang sesuai dengan kondisi. Barang siapa yang tidak membatasi ucapannya sesuai keperluan, maka pembicaraan akan panjang dan dapat membosankan. Ucapan yang baik adalah pertengahan antara sedikit yang sangat kurang dan panjang namun membosankan.
4.     Memilih lafaz yang hendak ia sampaikan. Penyair berkata,
زِنِ الْكَـلاَمَ إِذَا نَطَقْــتَ، فَــإِنَّمَا
يُبْدِيْ عُيُوْبَ ذَوِي الْعُيُوْبِ الْمَنْطِـقُ
Timbanglah ucapan jika engkau hendak ucapkan,
karena yang membuka aib orang yang cacat adalah ucapan.
5.     Tidak berlebihan dalam memuji, dan tidak berlebihan dalam mencela. Yang demikian adalah karena berlebihan dalam memuji salah satu bentuk cari muka, sedangkan berlebihan dalam mencela menunjukkan balas dendam dan melampiaskan emosi.
6.     Tidak membuat manusia senang dengan menggunakan ucapan yang dapat menimbulkan kemurkaan Allah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرْضَى النَّاسَ بِسَخَطِ اللهِ وَكَّلَهُ اللهُ إِلَى النَّاسِ، وَمَنْ أَسْخَطَ النَّاسَ بِرِضَا اللهِ كَفَاهُ اللهُ مَؤُوْنَةَ النَّاسِ
“Barang siapa yang membuat manusia ridha dengan kemurkaan Allah, maka Allah akan menyerahkannya kepada manusia, dan barang siapa yang membuat murka manusia dengan keridhaan Allah, maka Allah mencukupkannya dari butuh kepada manusia.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6010)
7.     Tidak terus menerus mengumbar janji yang tidak sanggup ia penuhi atau memberikan ancaman yang tidak sanggup ia wujudkan. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?--Sangat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Terj. QS. Ash Shaff: 2-3)
8.     Menggunakan lafaz yang mudah yang memberikan makna yang jelas. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat majlisnya denganku pada hari Kiamat adalah orang yang paling baik akhlak di antara kalian, dan orang yang paling aku benci dan paling jauh majlisnya denganku pada hari Kiamat adalah orang yang banyak bicara, orang yang bermulut besar, dan mutafaihiqun?” para sahabat beratnya, “Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui orang yang banyak bicara dan bermulut besar (sombong dalam bicara), lalu apakah mutafaihiqun?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang sombong.” (HR. Tirmidzi, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2201)
9.     Tidak berbicara kotor, keji, atau buruk. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِطَعَّانٍ وَلَا بِلَعَّانٍ وَلَا الْفَاحِشِ الْبَذِيءِ
“Orang mukmin bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, berkata kotor, dan keji.” (HR. Ahmad, Bukhari dalam Al Adab, Ibnu Hibban dan Hakim, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5381)
10.  Menyibukkan lisannya dengan selalu dzikrullah  dan tidak mengeluarkan ucapannya kecuali yang baik.
Dari Abdullah bin Busr radhiyallahu 'anhu, bahwa ada seorang laki-laki yang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam begitu banyak bagiku, maka beritahukanlah aku sesuatu yang dapat aku pegang.” Beliau bersabda,
لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ
Yaitu lisanmu senantiasa basah karena dzikrullah.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, lihat Shahih At Tirmidzi 3/139 dan Shahih Ibnu Majah 2/317)
Keutamaan menjaga lisan
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya, “Muslim mana yang paling utama?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Yaitu orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Uqbah bin ‘Amir berkata, “Wahai Rasulullah, di manakah keselamatan?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ.
“Tahanlah lisanmu, sempatkanlah berdiam di rumahmu dan tangisilah dosamu.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1392)
Ghibah (Menggunjing)
Ghibah adalah penyakit lisan yang paling berbahaya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala melarang kita dari ghibah dan menyerupakan orang yang menghibahi saudaranya dan menyebutkan sesuatu yang tidak ia sukai dan membicarakan aib-aibnya ketika ia tidak ada  seperti orang yang memakan daging saudaranya yang telah mati. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Al Hujurat: 12)
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga memperingatkan para sahabatnya dari ghibah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kamu apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
“Yaitu kamu menyebutkan tentang saudaramu apa yang tidak ia suka.”
Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana menurut engkau jika yang aku ucapkan memang ada pada saudaraku?”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Jika ternyata yang engkau ucapkan ada pada saudaramu, maka berarti engkau telah menghibahnya, dan jika tidak ada, maka berarti engkau telah berdusta terhadapnya.” (HR. Muslim)
Azab terhadap ghibah sangat keras dan hukumannya sangat pedih pada hari Kiamat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ketika aku dimi’rajkan, maka aku melewati sebuah kaum yang memiliki kuku dari tembaga, ia cakar muka dan dadanya dengannya.” Aku pun bertanya, “Siapakah mereka ini wahai Jibril?” Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia dan mencela kehormatan mereka.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahiihah no. 533)
Namun ada beberapa perkara yang dibolehkan oleh Islam untuk menyebutkan aib orang lain, dan hal ini tidak termasuk ghibah yang seseorang akan dihukum karenanya. Beberapa perkara itu adalah:
1.     Mengadukan kezaliman kepada qadhi atau hakim.
2.     Merubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada jalan yang benar.
3.     Memperingatkan kaum muslmin dari keburukan dan menasihati mereka.
4.     Terang-terangan melakukan kefasikan dan kebid’ahan. Jika di antara manusia ada yang melakukan dosa secara terang-terangan, seperti meminum khamr atau menzalimi manusia, maka boleh disebutkan aiab-aibnya, sehingga ia berhenti dan kembali kepada Allah.
5.     Meminta fatwa.
6.     Mengenalkan. Jika sebagian orang tidak mengenal kecuali dengan gelar yang biasa dikenal di kalangan manusia, seperti kita katakan, “Si fulan yang matanya kabur,” atau “Yang matanya juling.” Maka hal ini boleh jika maksudnya adalah mengenali manusia, dan tidak boleh jika maksudnya memaki dan mencacatkannya.
Ibnu Abi Syarif mengumpulkan beberapa perkara itu dalam ucapannya:
الذَّمُّ لَيْسَ بِغِيبَةٍ فِي سِتَّةٍ  مُتَظَلَّمٍ ومُعَرِّفٍ ومُحَذِّرٍ
ولِمُظْهِرٍ فِسْقًا ومُسْتَفْتٍ ومَنْ طَلَبَ الاَعَإِنَّةَ فِي إزَالَةِ مُنْكَرٍ
Mencela bukanlah ghibah pada enam perkara; orang yang mengadu kezaliman, orang yang mengenalkan, orang yang memberi peringatan, orang yang menampakkan kefasikan, orang yang bertanya, dan orang yang meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': http://islam.aljayyash.net/, Maktabah Syamilah versi 3.45, Modul Akhlak kelas 8 (Penulis), dll.

Sunah-Sunah Shalat (6)

Minggu, 30 Agustus 2015

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫سنن الصلاة‬‎
Sunah-Sunah Shalat (6)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang sunah-sunah shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Membaca Al Qur’an di belakang Imam
Hukum asalnya, shalat itu tidak sah tanpa membaca surat Al Fatihah pada setiap rakaat, baik shalat fardhu maupun shalat sunah sebagaimana telah diterangkan pada pembahasan fardhu-fardhu shalat. Hanyasaja –menurut sebagian ulama- kewajiban membaca surat Al Fatihah gugur bagi makmum, dan ia harus menyimak dan mendengarkan bacaan imam dalam shalat yang dijaharkan (dikeraskan). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapatkan rahmat.” (QS. Al A’raaf: 204)
Dan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا كَبَّرَ الْإِمَامُ فَكَبِّرُوْا وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا
“Apabila imam bertakbir, maka hendaknya kalian bertakbir, dan apabila ia membaca (Al Qur’an), maka simaklah.” (Hadits ini dishahihkan oleh Muslim)
«مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ، فَقِرَاءَةُ الْإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ»
“Barang siapa yang telah bermakmum, maka bacaan imam adalah bacaan baginya juga.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6487)
Maksudnya, bacaan imam dalam shalat yang dijaharkan juga menjadi bacaan bagi makmum. Adapun dalam shalat yang disirrkan (dipelankan), maka makmum wajib membacanya, demikian pula makmum wajib membaca dalam shalat yang dijaharkan jika ia tidak bisa mendengar bacaan imam.
Abu Bakr Ibnul Arabi berkata, “Pendapat yang kami kuatkan adalah wajibnya membaca Al Fatihah dalam shalat yang disirkan karena keumuman hadits-haditsnya. Adapun ketika dijaharkan, maka tidak ada jalan untuk membaca Al Qur’an di sana karena tiga alasan, yaitu: (1) bahwa yang demikian merupakan praktek penduduk Madinah, (2) yang demikian merupakan hukum Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman, “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang.” (QS. Al A’raaf: 204) pendapat ini juga dikuatkan oleh As Sunnah berdasarkan dua hadits; yang pertama hadits Imran bin Hushain –dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur seseorang yang membaca surat Al A’la di belakang Beliau dalam shalat yang dijaharkan-, Beliau bersabda, “Aku tahu, bahwa sebagian di antara kalian ada yang menyelisihiku.” Yang kedua adalah hadits, “Dan apabila ia (makmum) membaca (Al Qur’an), maka simaklah.”(3) berdasarkan tarjih, membaca bersamaan dengan imam tidak ada jalannya, kapan ia membacanya? Jika ada yang mengatakan, bahwa makmum membaca ketika diamnya imam (saktah), maka kita katakan, “Diam tidak wajib bagi imam, maka bagaimana yang fardhu disatukan dengan yang bukan fardhu? Apalagi kita telah menemukan jalan untuk membaca saat jahar, yaitu membaca dalam hati dengan cara mentadabburi dan memikirkan. Sikap ini sejalan dengan tatanan Al Qur’an, hadits, menjaga ibadah itu sendiri, memperhatikan sunnah, dan mengamalkan tarjih (yang lebih kuat). Ini juga merupakan pendapat pilihan Az Zuhriy dan Ibnul Mubarak, demikian pula menjadi pendapat Imam Ahmad dan Ishaq, ia membelanya, dan dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah.
7. Melakukan takbir intiqal (takbir ketika berpindah gerakan)
Termasuk sunah-sunah shalat adalah melakukan takbir intiqal, yakni bertakbir (mengucapkan ‘Allahu akbar’) pada setiap bangun, turun, berdiri, dan duduk selain bangun dari ruku, maka ucapannya “Sami’allahu liman hamidah.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada setiap turun dan bangun, dan pada setiap berdiri dan duduk.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Tirmidzi, dan ia menshahihkannya).
Tirmidzi berkata, “Demikianlah yang diamalkan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan lainnya. Demikian pula setelah mereka dari kalangan tabi’in. Hal itu juga dipegang oleh mayoritas para fuqaha dan ulama.”
Dari Abu Bakr bin Abdurrahman bin Harits, bahwa ia mendengar Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak shalat bertakbir saat berdiri, lalu bertakbir ketika ruku, kemudian mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah” (artinya: Allah mendengar semua orang yang memuji-Nya) saat mengangkat punggungnya dari ruku, lalu Beliau mengucapkan “Rabbanaa walakal hamd” (artinya: Wahai Rabb kami, untuk-Mu segala puji) pada saat Beliau berdiri sebelum Beliau bersujud. Selanjutnya Beliau mengucapkan Allahu Akbar pada saat hendak sujud, lalu bertakbir lagi ketika mengangkat kepalanya (dari sujud), kemudian bertakbir saat bangun dari duduk pada rakaat kedua. Beliau melakukan semua itu pada setiap rakaat sehingga selesai shalat.” Abu Hurairah juga berkata, “Demikianlah shalat Beliau sampai meninggal dunia.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud).
Dari Ikrimah, ia berkata, “Aku pernah berkata kepada Ibnu Abbas, “Aku pernah shalat di belakang orang tua yang dungu, ia bertakbir sampai 22 kali; ia bertakbir ketika sujud dan ketika mengangkat kepalanya.” Ibnu Abbas berkata, “Demikianlah shalat Abul Qasim (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
Dianjurkan memulai takbir ketika mulai berpindah gerakan. Dan makmum mengucapkan takbir setelah imam selesai bertakbir, wallahu a’lam.
8. Tatacara ruku
Yang wajib dalam ruku adalah membungkukkan punggung (menunduk), yakni dalam keadaan kedua tangan menyentuh kedua lutut. Akan tetapi, sunnahnya kepala dengan bagian belakang (pinggul) lurus sejajar, bersandar dengan kedua lutut dalam keadaan dijauhkan kedua tangan itu dari kedua rusuk, membuka jari-jari di atas lutut dan betis, dan punggungnya terhampar lurus. 
Dari Uqbah bin Amir, bahwa ia ketika ruku, menjauhkan kedua tangannya, meletakkan telapak tangannya di lutut, membuka jari-jarinya sampai ke belakang lututnya. Uqbah berkata, “Seperti inilah kulihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i. Hadits ini dinyatakan hasan isnadnya oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
Dari Abu Humaid, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ruku keadaannya lurus; tidak menundukkan kepalanya dan tidak mendongakkannya, dan Beliau meletakkan kedua (telapak) tangannya di atas lututnya, seakan-akan Beliau menggenggamnya.
Dalam riwayat Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ruku tidak mendongkakkan kepalanya dan tidak menundukkannya; tetapi pertengahan antara itu.
Dari Mush’ab bin Sa’ad, ia berkata, “Aku shalat di samping ayahku, lalu aku mentathbiq (merapatkan kedua telapak tangan) dan meletakkannya di antara kedua pahaku, lalu ia melarangku dan berkata, “Kami pernah melakukan hal itu, kemudian kami diperintahkan meletakkan tangan di atas lutut.” (HR. Jamaah)
9. Bacaan ketika ruku
Dianjurkan ketika ruku mengucapkan “Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim” (artinya: Mahasuci Rabbku yang Maha Agung).
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu Beliau mengucapkan, “Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim.” (HR. Muslim dan para pemilik kitab Sunan).
Adapun ucapan ‘Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim bihamdih,’ maka telah diriwayatkan dari beberapa jalan yang semuanya dhaif. Imam Syaukani berkata, “Akan tetapi jalan-jalan itu saling menguatkan.”
Dan dianggap sah jika seorang yang shalat membatasi dengan ucapan tasbih, atau ia menambahkan dengan salah satu dzikr berikut,
1. Dari Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ruku mengucapkan,   
اللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، وَأَنْتَ رَبِّيْ خَشَعَ سَمْعِي، وَبَصَرِي، وَمُخِّي، وَعَظْمِي، وَعَصَبِي وَمَا اسْتَقَلَّتْ بِهِ قَدَمَيَّ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Ya Allah, kepada-Mu aku ruku, kepada-Mu aku beriman, dan kepada-Mu aku berserah diri. Engkaulah Rabbku. Pendengaranku, peglihatanku, otakku, tulangku, urat syarafku, dan arah kakiku tunduk kepada Allah Rabbul ‘alamin.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan lain-lain).
2. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ruku dan sujudnya mengucapkan,
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ
“Mahasuci Allah dan Mahabersih Dia (dari segala sekutu, kekurangan, dan segala sifat yang tidak layak bagi-Nya). Dia Rabb malaikat dan ruh (Jibril).” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah).
3. Dari Auf bin Malik Al Asyja’iy ia berkata, “Suatu malam, aku pernah berdiri (shalat) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau membaca surat Al Baqarah...dst. Auf berkata, “Dalam rukunya, Beliau membaca,
سُبْحَانَ ذِي الْجَبَرُوتِ وَالْمَلَكُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
“Mahasuci Allah pemilik keperkasaan, kekuasaan, kebesaran, dan keagungan.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i, dishahihkan oleh Al Albani).
4. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ruku dan sujudnya sering membaca,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
“Mahasuci Engkau ya Allah wahai Rabb kami, sambil memuji-Mu. Ya Allah ampunilah aku.”
Beliau menta’wil (mengamalkan perintah) Al Qur’an. “ (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, dan lain-lain).
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh S. Sabiq), Zaadul Ma’aad (Ibnul Qayyim), Maktabah Syamilah versi 345, dll.

Syarah Kitab Tauhid (4)

Rabu, 26 Agustus 2015

بسم الله الرحمن الرحيم

Hasil gambar untuk ‫التوحيد حق الله على العبيد‬‎

Syarah Kitab Tauhid (4)

(Keutamaan Tauhid)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini lanjutan syarah ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, yang kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari hadits Itban disebutkan,
فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laailaahaillallah dengan mengharap wajah Allah.”
**********
Penjelasan:
Itban bin Malik bin ‘Amr bin ‘Ijlan Al Anshariy dari Bani Salim bin Auf. Ia adalah seorang sahabat masyhur yang wafat pada masa pemerintahan Mu’awiyah. Menurut jumhur, ia termasuk sahabat yang hadir dalam perang Badar. Ibnu Sa’ad menyebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Itban dengan Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Maksud, “Allah mengharamkan neraka” adalah mencegah neraka dari membakar dirinya.
Maksud, “mengharap wajah Allah,” adalah ikhlas dari hatinya dan wafat di atas itu. Ia tidak mengucapkannya karena nifak.
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa barang siapa yang mengucapkan Laailaahaillallah; mengakui dan menerima kandungannya dengan ikhlas baik secara lahir maupun batin, dan ia wafat di atasnya, maka pada hari Kiamat dirinya tidak disentuh api neraka.
Kesimpulan:
1.     Keutamaan tauhid, bahwa ia dapat menyelamatkan diri dari neraka dan dapat menghapuskan dosa-dosa.
2.     Tidak cukup dalam beriman hanya mengucapkan di lisan tanpa ada keyakinan di hati, seperti halnya kaum munafik.
3.     Tidak cukup dalam beriman hanya meyakini di hati tanpa diucapkan di lisan, seperti halnya kaum yang ingkar.
4.     Diharamkan bagi neraka menyentuh orang yang tauhidnya sempurna.
5.     Amal tidaklah bermanfaat sampai dilakukan ikhlas karena Allah dan mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
6.     Orang yang mengucapkan Laailaahaillallah namun ia masih berdoa kepada selain Allah, maka ucapannya itu tidak bermanfaat baginya sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Quburiyyun yang mengucapkan Laailaahaillallah, namun masih berdoa kepada orang-orang mati dan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada mereka.
7.     Menetapkan wajah bagi Allah Azza wa Jalla sesuai yang layak dengan keagungan dan kebesaran-Nya.
**********
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «قَالَ مُوسَى: يَا رَبِّ عَلِّمْنِي شَيْئًا أَذْكُرُكَ بِهِ، وَأَدْعُوكَ بِهِ، قَالَ: قُلْ يَا مُوسَى: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، قَالَ: يَا رَبِّ كُلُّ عِبَادِكَ يَقُولُ هَذَا، قَالَ: قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، قَالَ: إِنَّمَا أُرِيدُ شَيْئًا تَخُصُّنِي بِهِ، قَالَ: يَا مُوسَى لَوْ أَنَّ أَهْلَ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَالْأَرَضِينَ السَّبْعِ فِي كِفَّةٍ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فِي كِفَّةٍ، مَالَتْ بِهِنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ»
Dari Abu Sa’id Al Khudriy, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nabi Musa ‘alaihis salam pernah berkata, “Ya Rabbi, ajarkanlah aku kalimat yang kugunakan untuk memuji-Mu dan berdoa kepada-Mu,” Allah berfirman, “Ucapkanlah Laailaahaillallah wahai Musa!” Musa berkata, “Yaa Rabbi, semua hamba-Mu mengucapkannya.” Allah berfirman, ““Ucapkanlah Laailaahaillallah!” Musa berkata, “Yang aku inginkan adalah kalimat khusus yang Engkau ajarkan kepadaku.” Allah berfirman, “Wahai Musa! Kalau sekiranya penghuni langit yang tujuh dan bumi yang tujuh berada di satu daun timbangan, dan ucapan Laailaahaillallah di daun timbangan yang lain, maka Laailaahaillallah lebih berat dari semua itu.” (HR. Ibnu Hibban dan Hakim, ia menshahihkannya).
**********
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan oleh Ibnu Hibban no. 2324, Hakim dalam Al Mustadrak (1/528), Nasa’i dalam Amalul Yaumi wal Lailah no. 834 dan 1141, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim, serta disepakati oleh Adz Dzahabiy. Haitsamiy dalam Majma’uz Zawaid (10/82) berkata, “Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, para perawinya ditsiqahkan, namun pada mereka ada kelemahan.” Syaikh Syu’ib Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Shahih Ibnu Hibban (14/102) menyatakan bahwa isnad hadits tersebut dha’if, kaena Darraj Abus Samh dalam riwayatnya dari Abul Haitsam ada kelemahan. Syaikh Al Albani juga menyatakan bahwa hadits tersebut dhaif dalam At Ta’liqur Raghib (2/238-239).
**********
Dalam riwayat Tirmidzi, dan ia menghasankannya, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Sesungguhnya jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau datang kepada-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu, maka Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sepenuh itu pula.”
**********
Penjelasan:
Anas bin Malik bin Nadhr Al Anshariy Al Khazrajiy adalah pelayan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Ia melayani Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam selama sepuluh tahun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendoakannya, “Ya Allah, perbanyaklah hartanya, anaknya, dan berkahilah pemberian-Mu kepadanya.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani). Ia wafat pada tahun 92 atau 93 H, dan usianya lebih dari 100 tahun.
Maksud kalimat, “Kemudian engkau datang kepada-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu,” adalah meninggal dunia dalam keadaan tidak berbuat syirk.
Maksud kata, “ampunan” adalah dimaafkan dosa-dosa dan kesalahannya.
Dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan firman Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, dimana Dia menerangkan kepada mereka luasnya karunia dan rahmat-Nya, dan bahwa Dia mengampuni semua dosa betapa pun banyak dosa itu selama bukan syirk. Hadits ini sama seperti firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’: 48)
Kesimpulan:
1.     Keutamaan Tauhid dan banyaknya pahala yang dihasilkan darinya.
2.     Luasnya karunia Allah, kemurahan-Nya, rahmat-Nya, dan ampunan-Nya.
3.     Bantahan terhadap kaum Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar yang bukan syirk.
4.     Menetapkan sifat “kalam” (berbicara) bagi Allah Azza wa Jalla yang sesuai dengan keagungan-Nya.
5.     Penjelasan terhadap makna Laailaahaillallah, dan bahwa kandungannya menghendaki untuk meninggalkan syirk baik yang kecil maupun yang besar, dan bahwa kalimat itu tidak cukup diucapkan di lisan, tetapi wajib diamalkan kandungannya.
6.     Menetapkan adanya kebangkitan, hisab, dan pembalasan.
**********
BAB BARANG SIAPA YANG MEMURNIKAN TAUHID DENGAN SEMURNI-MURNINYA, MAKA DIA AKAN MASUK KE DALAM SURGA TANPA HISAB
Firman Allah Ta’ala,
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Sekali-kali dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS. An Nahl: 120)
وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ
“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Tuhan mereka (dengan sesuatu apa pun),” (QS. Al Mu’minun: 59)
**********
Maksud kata “hanif” adalah menghadap hanya kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya.
Maksud “Dia (Ibrahim) bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan),” yakni ia telah berpisah dengan orang-orang musyrik baik dengan hati, lisan, maupun badan, serta mengingkari kemusyrikan mereka.
Pada ayat yang pertama, Allah Subhaanahu wa Ta’ala menyifati kekasih-Nya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan empat sifat, yaitu: (a) teladan dalam kebaikan, karena sempurnanya kesabaran dan keyakinannya sehingga ia menjadi imam dalam agama, (b) khusyu, taat, tunduk, dan senantiasa beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, (c) berpaling dari syirk dan menghadap Allah Azza wa Jalla dengan bertauhid, (d) jauh dari syirk dan para pelakunya.
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah contoh orang yang memurnikan tauhid dengan semurni-murninya.
Pada ayat yang kedua, Allah Subhaanahu wa Ta’ala menyifati kaum mukmin yang segera masuk surga, yaitu bahwa mereka tidak menyekutukan Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan sesuatu apa pun juga. Orang yang demikian, berarti telah memurnikan tauhid dengan semurni-murninya.
Kesimpulan:
1.     Keutamaan orang tua kita, yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
2.     Perintah menjadikannya teladan karena sifat-sifatnya yang mulia.
3.     Penjelasan tentang memurnikan tauhid dengan semurni-murninya.
4.     Wajibnya menjauhi syirk dan para pelakunya.
5.     Sifat orang-orang mukmin, bahwa mereka memurnikan tauhid dengan semurni-murninya.
Bersambung...
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al fauzan), Al Ishabah fii Tamyizish Shahabah (Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqaani), Shahih Ibnu Hibban (tahqiq Syu’aib Al Arnauth), Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger