Terjemah Umdatul Ahkam (14)

Minggu, 30 April 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صلاة الخوف‬‎
Terjemah Umdatul Ahkam (14)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan terjemah Umdatul Ahkam karya Imam Abdul Ghani Al Maqdisi (541 H – 600 H) rahimahullah. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan kitab ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Bab Shalat Kusuf
156 - عَنْ أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ - رضي الله عنه - قَالَ: ((خَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -. فَقَامَ فَزِعاً , وَيَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ , حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ. فَقَامَ , فَصَلَّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَسُجُودٍ , مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِي صَلاتِهِ قَطُّ , ثُمَّ قَالَ: إنَّ هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِي يُرْسِلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: لا تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلا لِحَيَاتِهِ. وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ , فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئاً فَافْزَعُوا إلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ)) .
156. Dari Abu Musa Al Asy’ariy radhiyallahu anhu ia berkata, “Pernah terjadi gerhana matahari di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau segera bangkit karena khawatir jika itu adalah hari Kiamat hingga Beliau tiba di masjid, lalu Beliau berdiri dan shalat dengan berdiri dan sujud yang paling lama yang belum pernah aku lihat praktek itu sebelumnya. Selanjutnya Beliau bersabda, “Sesungguhnya tanda-tanda yang Allah Azza wa Jalla datangkan ini bukanlah terjadi karena kematian seseorang atau hidupnya seseorang, akan tetapi Allah mendatangkan tanda-tanda itu untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat hal itu, maka segeralah berdzikir kepada Allah, berdoa kepada-Nya, dan meminta ampunan-Nya.”
Bab Shalat Istisqa (meminta kepada Allah agar diturunkan hujan)
157 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَاصِمٍ الْمَازِنِيِّ - رضي الله عنه - قَالَ: ((خَرَجَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - يَسْتَسْقِي , فَتَوَجَّهَ إلَى الْقِبْلَةِ يَدْعُو , وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ , ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ , جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ)) . وَفِي لَفْظٍ «إلَى الْمُصَلَّى» .
157. Dari Abdullah bin Zaid bin Ashim Al Mazini radhiyallahu anhu ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah keluar melakukan istisqa, lalu Beliau menghadap kiblat, berdoa, memindahkan selendangnya, kemudian shalat dua rakaat, dan menjaharkan bacaan pada shalat tersebut.” Dalam sebuah lafaz disebutkan, “(Keluar) ke tempat shalat (tanah lapang).”
158 - عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - ((أَنَّ رَجُلاً دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مِنْ بَابٍ كَانَ نَحْوَ دَارِ الْقَضَاءِ , وَرَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَائِمٌ يَخْطُبُ , فَاسْتَقْبَلَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَائِمًا , ثُمَّ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , هَلَكَتْ الأَمْوَالُ , وَانْقَطَعَتْ السُّبُلُ فَادْعُ اللَّهَ تَعَالَى يُغِيثُنَا , قَالَ: فَرَفَعَ  رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ أَغِثْنَا , اللَّهُمَّ أَغِثْنَا , اللَّهُمَّ أَغِثْنَا. قَالَ أَنَسٌ: فَلا وَاَللَّهِ مَا نَرَى فِي السَّمَاءِ مِنْ سَحَابٍ وَلا قَزَعَةٍ , وَمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ سَلْعٍ مِنْ بَيْتٍ وَلا دَارٍ قَالَ: فَطَلَعَتْ مِنْ وَرَائِهِ سَحَابَةٌ مِثْلُ التُّرْسِ. فَلَمَّا تَوَسَّطَتْ السَّمَاءَ انْتَشَرَتْ ثُمَّ أَمْطَرَتْ , قَالَ: فَلا وَاَللَّهِ مَا رَأَيْنَا الشَّمْسَ سَبْتاً , قَالَ: ثُمَّ دَخَلَ رَجُلٌ مِنْ ذَلِكَ الْبَابِ فِي الْجُمُعَةِ الْمُقْبِلَةِ , وَرَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَائِمٌ يَخْطُبُ النَّاسَ , فَاسْتَقْبَلَهُ قَائِماً , فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , هَلَكَتْ الأَمْوَالُ , وَانْقَطَعَتْ السُّبُلُ , فَادْعُ اللَّهَ أَنْ يُمْسِكَهَا عَنَّا , قَالَ: فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلا عَلَيْنَا , اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ , قَالَ: فَأَقْلَعَتْ , وَخَرَجْنَا نَمْشِي فِي الشَّمْسِ. قَالَ شَرِيكٌ: فَسَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ: أَهُوَ الرَّجُلُ الأَوَّلُ قَالَ: لا أَدْرِي)) .
158. Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwa ada seorang yang masuk masjid pada hari Jum’at dari pintu yang mengarah kepada Darul Qadha, sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdiri khutbah, lalu ia menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan berdiri kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, harta habis dan semua jalan terputus, maka berdoalah kepada Allah agar Dia menurunkan hujan kepada kami.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya dan berdoa, “Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami.” Anas berkata, “Demi Allah, sebelumnya kami tidak melihat di langit sebuah awan mendung maupun gumpalannya, dan antara kami dengan gunung Sala’ tidak dihalangi rumah dan tempat tinggal, tiba-tiba awan mendung uncul dari balik gunung seperti perisai. Saat awan itu berada di tengah langit, maka awan pun menyebar lalu mencurahkan hujan. Demi Allah, kami tidak melihat matahari selama sepekan.” Kemudian ada seorang yang masuk dari pintu yang sama pada hari Jum’at berikutnya, sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdiri khutbah, lalu ia menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan berdiri kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, harta habis dan semua jalan terputus, maka berdoalah kepada Allah agar Dia menahan hujan terhadap kami.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya sambil berkata, “Ya Allah, hujanilah di sekitar kami, bukan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan ke daratan tinggi, anak bukit, perut-perut lembah, dan tempat tumbuhnya pepohonan.” Maka hujan pun berhenti, lalu kami keluar di bawah terik matahari.” Syarik berkata, “Aku pun bertanya kepada Anas bin Malik, “Apakah orang kedua itu adalah orang yang pertama bertanya tadi?” Ia menjawab, “Aku tidak tahu.”
Bab Shalat Khauf
159 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنهما قَالَ: ((صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - صَلاةَ الْخَوْفِ فِي بَعْضِ أَيَّامِهِ , فَقَامَتْ طَائِفَةٌ مَعَهُ , وَطَائِفَةٌ بِإِزَاءِ الْعَدُوِّ , فَصَلَّى بِاَلَّذِينَ مَعَهُ رَكْعَةً , ثُمَّ ذَهَبُوا , وَجَاءَ الآخَرُونَ , فَصَلَّى بِهِمْ رَكْعَةً , وَقَضَتِ الطَّائِفَتَانِ رَكْعَةً , رَكْعَةً)) .
159. Dari Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat khauf mengimami kami semasa hidup Beliau, lalu sekelompok orang shalat bersama Beliau, sedangkan kelompok lain menghadap musuh, selanjutnya orang-orang yang bersama Beliau shalat satu rakaat, kemudian mereka pergi, kemudian kelompok yang lain datang dan shalat bersama Beliau satu rakaat, kemudian masing-masing kelompok melanjutkan satu rakaat yang kurang.”
160 - عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ عَنْ صَالِحِ بْنِ خَوَّاتِ بْنِ جُبَيْرٍ عَمَّنْ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - صَلاةَ ذَاتِ الرِّقَاعِ , صَلاةَ الْخَوْفِ: أَنَّ طَائِفَةً صُفَّتْ مَعَهُ , وَطَائِفَةً وِجَاهَ الْعَدُوِّ , فَصَلَّى بِاَلَّذِينَ مَعَهُ رَكْعَةً , ثُمَّ ثَبَتَ قَائِماً , وَأَتَمُّوا لأَنْفُسِهِمْ , ثُمَّ انْصَرَفُوا , فَصُفُّوا وِجَاهَ الْعَدُوِّ , وَجَاءَتْ الطَّائِفَةُ الأُخْرَى , فَصَلَّى بِهِمْ الرَّكْعَةَ الَّتِي بَقِيَتْ , ثُمَّ ثَبَتَ جَالِساً , وَأَتَمُّوا لأَنْفُسِهِمْ , ثُمَّ سَلَّمَ بِهِمْ)) .
160. Dari Yazid bin Ruman, dari Shalih bin Khawwat bin Jubair, dari beberapa orang sahabat yang pernah shalat khauf bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam perang Dzaturriqa’, bahwa ketika itu satu kelompok bershaf bersama Beliau, sedangkan kelompok yang lain menghadap musuh, lalu Beliau shalat bersama sekelompok pertama satu rakaat, kemudian tetap berdiri, dan masing-masing mereka (dari kelompok pertama) menyempurnakan shalat mereka, lalu mereka pergi menghadap musuh, kemudian kelompok kedua datang, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat bersama mereka satu rakaat sisanya, dan tetap dalam keadaan duduk, lalu kelompok kedua itu menyempurnakan shalat mereka, kemudian Beliau mengucapkan salam bersama mereka.”
161 - عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الأَنْصَارِيِّ رضي الله عنهما قَالَ: ((شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - صَلاةَ الْخَوْفِ فَصَفَفْنَا صَفَّيْنِ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَالْعَدُوُّ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ , وَكَبَّرَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - وَكَبَّرْنَا جَمِيعاً , ثُمَّ رَكَعَ وَرَكَعْنَا جَمِيعاً , ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ وَرَفَعْنَا جَمِيعاً , ثُمَّ انْحَدَرَ بِالسُّجُودِ وَالصَّفُّ الَّذِي يَلِيهِ , وَقَامَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ فِي نَحْرِ الْعَدُوِّ , فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - السُّجُودَ , وَقَامَ الصَّفُّ الَّذِي يَلِيهِ: انْحَدَرَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ بِالسُّجُودِ , وَقَامُوا , ثُمَّ تَقَدَّمَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ , وَتَأَخَّرَ الصَّفُّ الْمُقَدَّمُ , ثُمَّ رَكَعَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - وَرَكَعْنَا جَمِيعاً , ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ وَرَفَعْنَا جَمِيعاً , ثُمَّ انْحَدَرَ بِالسُّجُودِ , وَالصَّفُّ الَّذِي يَلِيهِ - الَّذِي كَانَ مُؤَخَّرًا فِي الرَّكْعَةِ الأُولَى - فَقَامَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ فِي نَحْرِ الْعَدُوِّ , فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - السُّجُودَ وَالصَّفُّ الَّذِي يَلِيهِ: انْحَدَرَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ بِالسُّجُودِ , فَسَجَدُوا ثُمَّ سَلَّمَ - صلى الله عليه وسلم - وَسَلَّمْنَا جَمِيعاً , قَالَ جَابِرٌ: كَمَا يَصْنَعُ حَرَسُكُمْ هَؤُلاءِ بِأُمَرَائِهِمْ))
وَذَكَرَهُ مُسْلِمٌ بِتَمَامِهِ. وَذَكَرَ الْبُخَارِيُّ طَرَفاً مِنْهُ: ((وَأَنَّهُ صَلَّى صَلاةَ الْخَوْفِ مَعَ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - فِي الْغَزْوَةِ السَّابِعَةِ , غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ)) .
 161. Dari Jabir bin Abdullah Al Anshari radhiyallahu anhuma ia berkata, “Aku hadir dalam shalat khauf bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kami membagi dua shaf di belakang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ketika itu musuh berada di antara kami dan kiblat, lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertakbir, maka kami pun ikut bertakbir, kemudian Beliau ruku, kami pun ikut ruku, lalu Beliau bangkit dari ruku, maka kami pun ikut bangkit dari ruku, kemudian Beliau turun sujud demikian pula ikut turun sujud shaf yang dekat dengan Beliau, sedangkan shaf belakang tetap berdiri menghadap musuh, lalu shaf yang berada di belakang maju, dan shaf yang berada di depan mundur, kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam ruku, kami pun ikut ruku, lalu Beliau bangkit dari ruku, kami pun ikut bangkit dari ruku, kemudian Beliau turun sujud demikian pula ikut turun sujud shaf yang dekat dengan Beliau yang sebelumnya berada di belakang pada saat rakaat pertama, sedangkan shaf yang berada di belakang tetap berdiri menghadap musuh. Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam selesai sujud, demikian pula shaf yang berada di dekatnya, maka shaf yang berada di belakang turun sujud, kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan salam dan kami semua mengucapkan salam.” Jabir melanjutkan kata-katanya, “Sama seperti yang dilakukan para penjagamu ini terhadap para pemimpin mereka.”
(Imam Muslim menyebutkan secara lengkap, sedangkan Imam Bukhari menyebutkan sebagian daripadanya, yaitu bahwa ia ikut shalat khauf bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada perang ketujuh, yaitu perang Dzaturriqa’.).
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Penerjemah:
Marwan bin Musa

Syarah Kalimat Azan

Selasa, 25 April 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫كلمات الأذان‬‎
Syarah Kalimat Azan
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang syarah kalimat azan, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (definisi) Azan dan Keutamaannya
Azan secara bahasa artinya pemberitahuan. Sedangkan secara syara’, azan adalah pemberitahuan tibanya waktu shalat dengan kalimat khusus.
Azan memiliki banyak keutamaan, di antaranya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits di bawah ini:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ، ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي التَّهْجِيرِ لاَسْتَبَقُوا إِلَيْهِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي العَتَمَةِ وَالصُّبْحِ، لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا»
“Kalau sekiranya manusia mengetahui keutamaan azan dan shaf pertama, kemudian untuk memperolehnya mereka harus melakukan undian, tentu mereka akan melakukannya. Kalau sekiranya mereka tahu keutamaan datang lebih awal (untuk shalat lima waktu), tentu mereka akan berlomba-lomba kepadanya. Dan kalau sekiranya mereka mengetahui keutamaan shalat Isya dan Subuh, tentu mereka akan menghadirinya meskipun harus merangkak.” (HR. Bukhari dan lainnya)
«إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ، وَالْمُؤَذِّنُ يُغْفَرُ لَهُ بِمَدِّ صَوْتِهِ وَيُصَدِّقُهُ مَنْ سَمِعَهُ مِنْ رَطْبٍ وَيَابِسٍ، وَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ صَلَّى مَعَهُ»
 “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada shaf terdepan. Sedangkan muazin, dimintakan ampunan untuknya sejauh terdengar suaranya, dan akan dibenarkan oleh sesuatu yang mendengarnya baik sesuatu yang basah maupun sesuatu yang kering. Muazin juga memperoleh pahala orang yang shalat bersamanya.” (Al Mundziriy berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa’i dengan isnad yang jayyid.”)
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ لَا يُؤَذَّنُ وَلَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إِلَّا اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ، فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ، فَإِنَّ الذِّئْبَ يَأْكُلُ الْقَاصِيَةَ
“Tidak ada tiga orang dalam sebuah kampung, lalu tidak dikumandangkan azan serta tidak ditegakkan shalat (berjamaah) melainkan setan akan menguasai mereka. Oleh karena itu, tetaplah berjamaah, karena srigala hanya memakan kambing yang menjauh (menyendiri).” (HR. Ahmad, dan dinyatakan isnadnya hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)
Hadits ini menunjukkan, bahwa jika di suatu kampung tidak terdengar suara azan berkumandang dan tidak ditegakkan shalat berjamaah, maka setan akan menguasai kampung tersebut, sehingga kampung tersebut menjadi kampung yang rusak, dimana kemaksiatan merajalela di sana.
Beliau juga bersabda,
اَلْإِمَامُ ضَامِنٌ وَالْمُؤَذِّنُ مَؤْتَمَنٌ، الَلَّهُمَّ أَرْشِدِ الْأَئِمَّةَ وَاغْفِرْ لِلْمُؤَذِّنِيْنَ
"Imam adalah penjamin. Muazin adalah seorang yang diamanahi. Ya Allah, tunjukilah para imam dan ampunilah para muazin." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Khuzaimah, Shahihut Targhib 1/100)
يَعْجَبُ رَبُّكُمْ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِي رَأْسِ شَظِيَّةٍ بِجَبَلٍ، يُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ، وَيُصَلِّي، فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا إِلَى عَبْدِي هَذَا يُؤَذِّنُ، وَيُقِيمُ الصَّلَاةَ، يَخَافُ مِنِّي، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ "
“Rabbmu kagum dengan seorang penggembala kambing yang berada di atas perbukitan, ia mengumandangkan azan untuk shalat, lalu melakukannya. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Lihatlah hamba-Ku ini! Ia melakukan azan, mendirikan shalat, dan takut kepada-Ku. Aku ampuni hamba-Ku, dan Aku akan masukkan dia ke surga.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i, dishahihkan oleh Al Albani)
«الْمُؤَذِّنُونَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
“Para muazin adalah orang yang paling panjang lehernya pada hari Kiamat.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah)
Tentang maksud "paling panjang lehernya" ada beberapa tafsiran, di antaranya: (1) lehernya paling panjang di antara manusia yang lain (secara hakiki) namun bukan sebagai cacat, (2) sebagai orang yang paling rindu mengharap rahmat Allah, (3) sebagai orang yang mendapat banyak pahala, (4) Ketika manusia dibanjiri oleh keringat mereka sampai ada yang tenggelam oleh keringatnya, maka para muazin dipanjangkan lehernya sehingga tidak tenggelam, wallahu a'lam. (Lihat pula Syarah Shahih Muslim).
Termasuk keutamaannya juga adalah dapat mengusir setan, sebagai syiar Islam yang agung –oleh karena itu harus dijaharkan-, bagian dari dakwah, termasuk orang yang paling baik ucapannya, dll.
Syarah Kalimat Azan
Lafaz azan diawali dengan takbir “Allahu akbar” artinya Allah Mahabesar; agar Dia saja yang kita agungkan dan kita besarkan. Dia Maha Besar dan memiliki kedudukan tinggi, semua kebesaran tidak ada artinya apa-apa di hadapan kebesaran dan keagungan-Nya. Kita mengagungkan-Nya pula dengan mentauhidkan-Nya, dan bahwa Dia saja yang berhak kita sembah dan kita agungkan. Selain-Nya tidak berhak kita sembah dan kita agungkan. Di antara pesan lainnya yang dapat kita ambil dari kalimat Allahu akbar adalah hendaknya seseorang memenuhi hatinya dengan merasakan keagungan dan kebesaran Allah Subhaanahu wa Ta'aala, sehingga dengan begitu ia tidak berani berbuat maksiat atau mendurhakai-Nya.
Kalimat “Asyhadu allaailaahaillallah” artinya aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Maksud aku bersaksi adalah aku menyatakan dengan lisanku sambil meyakini dengan hatiku serta siap tunduk dengan konsekwensinya dengan anggota badanku, yaitu tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah saja. Aku tiadakan sesembahan selain Allah apa pun bentuknya dan siapa pun orangnya, dan aku tetapkan bahwa yang berhak disembah dan ditujukan berbagai macam ibadah hanyalah Allah Azza wa Jalla.
Kalimat “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah,” artinya aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Maksud kalimat ini adalah pernyataan kita, bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah benar-benar utusan Allah dan sebagai hamba-Nya. Pada pernyataan sebagai “utusan Allah” terdapat larangan bagi kita bersikap tafrith (meremehkan Beliau) sebagaimana orang-orang Yahudi yang meremehkan Nabi mereka sampai menyakitinya (lihat Qs. Ash Shaff: 5). Oleh karena itu, sikap kita terhadap Beliau adalah menaati perintahnya, menjauhi larangannya, membenarkan semua sabdanya, beribadah kepada Allah sesuai contohnya, mengedepankan sabda Beliau di atas semua perkataan manusia, dan mencintai Beliau melebihi cinta kita kepada manusia yang lain.
Sedangkan pada pernyataan, bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebagai hamba Allah terdapat larangan bagi kita bersikap ifrath (melampui batas dan berlebihan terhadap Beliau). Oleh karena itu, kita tidak menyikapi Beliau sebagaimana sikap orang-orang Nasrani kepada Nabi mereka sampai menuhankannya. Beliau adalah hamba Allah dan utusan-Nya bukan tuhan.
Disebutkan syahadat Muhammad Rasulullah setelah syahadat Laailahaillallah menunjukkan mulia dan tingginya nama dan kedudukan Beliau di sisi Allah Azza wa Jalla. Demikian pula di dalamnya terdapat mengesakan Allah dalam beribadah kepada-Nya, dan menjadikan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam satu-satunya yang diikuti dalam beribadah kepada-Nya.
Kalimat “Hayya ‘alash shalah” artinya marilah kita shalat. Di dalamnya terdapat dakwah dan ajakan kepada manusia untuk melakukan amalan yang paling dicintai Allah, yaitu shalat yang merupakan tiang agama dan bentuk perwujudan dari beribadah dan mengabdi kepada Allah, dimana untuk tujuan itulah manusia diciptakan. Di dalam shalat terdapat ibadah hati seperti khusyu’ dan menghayati bacaan, ibadah lisan seperti dzikr dan membaca Al Qur’an, dan ibadah anggota badan seperti berdiri, ruku, I’tidal, sujud, dst. Dengan shalat, hubungan seseorang kepada Allah Ta’ala Penciptanya menjadi baik, sebagaimana dengan zakat hubungannya dengan orang lain menjadi baik.
Kalimat “Hayya ‘alal Falah” artinya marilah kita menuju kebahagiaan. Disebutkan kalimat ini setelah kalimat “Hayya ‘alash Shalah” untuk menjelaskan, bahwa jika kalian betul-betul menginginkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, maka datangilah shalat.
Kemudian kalimat azan diakhiri dengan mengagungkan Allah dengan ucapan “Allahu akbar” serta menyebutkan kalimatul ikhlas “Laailaahaillallah” yang merupakan kunci surga dan dzikr yang paling utama; yang jika sekiranya langit dan bumi beserta penghuninya ditimbang dengan kalimat itu, tentu kalimat itu lebih berat timbangannya karena keagungan dan keutamaannya.
Sungguh agung dan mulia kalimat azan! Sehingga Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman tentangnya,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri?" (Terj. Qs. Fushshilat: 33)
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata ketika menafsirkan ayat tersebut, “Dia  adalah muazin. Ketika ia mengucapkan, "Hayya 'alash shalaah" maka ia sedang menyeru kepada Allah." Ibnu Umar dan Ikrimah juga menafsirkan ayat tersebut dengan muazin.
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sampai bersabda, “Kalau sekiranya manusia mengetahui keutamaan azan dan shaf pertama, kemudian untuk memperolehnya mereka harus melakukan undian, tentu mereka akan melakukannya.” (Hr. Bukhari dan lain-lain)
Hikmah dikumandangkan azan di setiap shalat lima waktu
Di antara hikmah dikumandangkan kalimat azan di setiap shalat lima waktu dengan suara keras adalah agar hanya Allah yang diagungkan dan dibesarkan oleh manusia, dan agar mereka menyembah Allah saja dan mengikuti Rasul-Nya, serta mengisi hidup mereka dengan beribadah sehingga mereka memperoleh kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

Adab Terhadap Para Ulama

Senin, 24 April 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫فقه الإختلاف في الإسلام‬‎
Adab Terhadap Para Ulama
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang adab terhadap para ulama, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Para ulama dan para mujahid memiliki jasa yang besar terhadap agama ini. Para ulama menjaga agama ini dengan ilmu; belajar dan mengajarkannya sebagaimana para mujahid menjaga agama ini dengan jihad mereka agar dakwah tidak dihalangi dan tidak ada seorang pun yang dizalimi dalam menjalankan agama ini.
Para ulama itu terdiri dari para qari (penghapal Al Qur’an), para fuqaha (Ahli Fiqih), para muhaddits (Ahli Hadits), dan para mufassir (Ahli Tafsir) baik dari kalangan tabi’in maupun generasi setelah mereka yang mengikutinya dengan baik semoga Allah merahmati mereka semua. Oleh karena jasa mereka dalam menegakkan agama ini, maka sudah sepatutnya kita memuliakan mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَ يَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua, menyayangi yang muda, dan tidak mengetahui hak orang berilmu di antara kami.” (Hr. Ahmad dan Hakim, dinyatakan hasan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 5443)
Adab terhadap para ulama
Berikut adab yang perlu kita lakukan terhadap mereka:
1. Mencintai mereka, memintakan ampunan dan rahmat untuk mereka, dan mengetahui keutamaan mereka, karena mereka termasuk orang-orang yang disebutkan dalam Al Qur’an,
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
“Dan orang-orang yang mengikuti mereka (kaum Muhajirin dan Anshar) dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.” (Qs. At Taubah: 100)
Dan termasuk dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian setelah mereka, dan setelah mereka.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Para qari, para muhaddits, para fuqaha, dan para mufassir termasuk ke dalam tiga generasi utama yang dinyatakan memiliki kebaikan dan keutamaan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memuji mereka yang memohonkan ampunan kepada orang-orang terdahulu yang lebih dulu beriman sebagaimana firman-Nya,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang setelah mereka (kaum Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (Qs. Al Hasyr: 10)
2. Tidak menyebut mereka kecuali yang baik, tidak mencela pernyataan dan pendapat mereka, dan mengetahui bahwa mereka adalah mujtahid yang ikhlas, sehingga ia memiliki adab terhadap mereka. Ia juga mengutamakan pendapat mereka di atas pendapat yang datang setelah mereka, dan ia tidak meninggalkan pendapat mereka kecuali karena ada firman Allah Ta’ala, sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, atau perkataan sahabat radhiyallahu anhum. Ia juga mengetahui bahwa Al Ijtihad laa yunqadhu bil ijtihad (artinya: ijtihad (pendapat) tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad), bahkan hanya dibatalkan oleh dalil dari Al Qur’an maupun As Sunnah.
3. Menganggap bahwa kitab-kitab fiqih seperti yang disusun oleh imam madzhab yang empat; yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Abu Hanifah serta pandangan mereka dalam masalah agama, fiqih, dan syariat merupakan hasil pemahaman mereka terhadap kitabullah (Al Qur’an) dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, atau hasil istinbath (penggalian hukum) dari keduanya, atau merupakan qiyas dengan keduanya ketika mereka tidak menemukan nashnya, atau merupakan isyarat dari keduanya.
4. Menganggap bahwa berpegang dengan salah satu kitab fiqih yang mereka susun tentang masalah fiqih dan agama adalah boleh, dan bahwa mengamalkannya merupakan bentuk pengamalan terhadap syariat Allah Azza wa Jalla selama tidak bertentang dengan nash yang tegas dalam Al Qur’an maupun As Sunnah. Oleh karena itu, ia tidak meninggalkan firman Allah atau sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam karena pendapat seseorang; siapa pun dia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya.” (Qs. Al Hujurat: 1)
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. “ (Qs. Al Hasyr: 7)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengerjakan amalan yang tidak didasari perintah kami, maka amalan itu tertolak.” (Hr. Muslim)
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata,
يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ. أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ
"Hampir saja hujan batu dari langit menimpa kalian. Aku mengatakan, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda," tetapi kalian mengatakan, "Abu Bakar dan Umar berkata."
5. Menganggap bahwa mereka (para ulama) adalah manusia yang bisa benar dan bisa salah. Mungkin dalam suatu masalah di antara mereka ada yang keliru, namun tanpa kesengajaan, akan tetapi karena kelalaian atau lupa, atau karena pengetahuannya yang terbatas. Oleh karena itu, seorang muslim tidak ta’ashshub (fanatik) kepada pendapat salah seorang di antara mereka dan meninggalkan pendapat yang lain, bahkan ia mengambil pendapat siapa saja di antara mereka –apalagi yang lebih kuat alasannya-. Ia juga tidak menolak pendapat mereka kecuali karena ada dalil dari Al Qur’an maupun As Sunnah.
Imam Abu Hanifah rahimahullah pernah berkata,
إِذَا قُلْتُ قَوْلاً يُخَالِفُ كِتَابَ اللهِ تَعَالَى وَخَبَرَ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاتْرُكُوْا قَوْلِيْ
"Jika aku mengatakan sebuah perkataan yang menyelisihi kitab Allah Ta'ala dan berita dari Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku."
Imam malik rahimahullah pernah berkata,
لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إِلاَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Tidak ada seorang pun setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melainkan pendapatnya boleh diambil dan ditinggalkan selain Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam."
Imam Syafi'i rahimahullah pernah berkata,
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
"Kaum muslim sepakat, bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya karena pendapat seseorang."
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
مَنْ رَدَّ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ
"Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia berada di tepi jurang kebinasaan."
6. Memaafkan mereka dalam hal yang mereka perselisihkan dalam masalah furu’ (karena dalam masalah akidah, mereka sama), dan memandang bahwa perbedaan di antara mereka bukanlah karena kejahilan mereka dan bukan pula karena sikap ta’ashshub dengan pendapat mereka, bahkan perbedaan itu bisa disebabkan karena belum sampai hadits kepadanya, memandang bahwa hadits tersebut telah dimansukh, atau karena ada hadits lain yang sampai kepadanya yang ia rajihkan, atau ia memahami berbeda dengan yang dipahami ulama lain, karena termasuk hal yang bisa diterima adalah terjadinya perbedaan dalam memahami kandungan lafaz.
Contoh dalam hal ini adalah apa yang dipahami Imam Syafi’i tentang batalnya wudhu karena menyentuh wanita secara mutlak, ia memahami demikian dari firman Allah Ta’ala,
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“Atau kalian menyentuh wanita.” (Qs. An Nisaa’: 43)
Beliau memahami kata menyentuh pada ayat tersebut adalah betul-betul menyentuh, sedangkan yang lain tidak berpandangan demikian, sehingga ia berpendapat wajibnya berwudhu karena menyentuh wanita, sedangkan ulama yang lain berpendapat, bahwa maksud mulamasah dalam ayat tersebut adalah jima, sehingga mereka tidak mewajibkan wudhu jika sekedar menyentuh, bahkan ada hal lain yang terjadi yaitu kesengajaan dan merasakan kenikmatan.
Mungkin seorang bertanya, "Mengapa Imam Syafi'i tidak menarik pemahaman itu dan mengikuti ulama yang lain, dengan begitu tidak terjadi ikhtilaf (perbedaan)?" Jawab, "Sesungguhnya tidak boleh selamanya bagi seseorang ketika telah memahami sesuatu yang berasal dari Rabbnya tanpa diselingi rasa ragu, kemudian ditinggalkannya hanya karena mengikuti sebuah pendapat atau pemahaman ulama yang lain, sehingga ia menjadi seorang yang (lebih) mengikuti ucapan manusia; meninggalkan firman Alllah, padahal yang demikian termasuk dosa besar di sisi Allah Azza wa Jalla. Ya, kalau seandainya pemahamannya bertentangan dengan nash yang sharih (tegas) dari Al Qur'an atau Sunnah, ia wajib berpegang dengan dilalah (kandungan) yang tampak jelas dari dalil itu dan wajib meninggalkan pendapatnya terhadap lafaz yang memang bukan merupakan nash yang sharih (tegas) maupun zhahir (jelas). Karena kalau seandainya dilalahnya qath'i (jelas dan tidak mengandung kemungkinan lain), niscaya tidak ada dua orang pun dari umat ini yang berselisih, terlebih di kalangan para ulama." (Minhajul Muslim, hal. 57).
Tingkatan manusia
Tidak semua orang mampu menggali hukum sehingga berijtihad sendiri, karena yang demikian dapat membuat rusaknya syari'at dan rusaknya masyarakat. Bahkan untuk ijtihad dibutuhkan ilmu, dan dalam hal ini yang memilikinya adalah ulama. Dengan demikian ada tiga keadaan manusia dalam masalah ini, yaitu:
1. Ulama sebagai orang yang diberi ilmu dan pemahaman oleh Allah Ta'ala.
2. Penuntut ilmu, di mana ia memiliki ilmu namun belum begitu dalam sebagaimana ulama.
3. Orang awam.
Ulama berhak ijtihad, ia berhak menggali hukum dari dalil itu meskipun hasil istinbatnya menyelisihi yang lain. Jika ijtihadnya betul, maka ia akan memperoleh dua pahala dan jika salah maka ia memperoleh satu pahala karena niatnya mencari yang hak setelah melalui jalur-jalurnya (seperti melalui Ushul Fiqh yang dimiliknya, pengetahuannya yang luas terhadap dalil, Qawaa'idul fiqhiyyah, dsb). Mereka tidak bisa disalahkan jika ijtihadnya keliru, karena "Maa 'alal muhsiniin min sabiil", yakni orang yang telah bersusah payah dengan niat yang baik untuk memperoleh yang hak tidaklah bisa disalahkan.
Penuntut ilmu, ia hendaknya ittiba' (tidak asal mengikuti tanpa mengetahui dalilnya), ia bisa berpegang dengan keumuman dalil dan kemutlakannya serta berdasarkan dalil yang sampai, akan tetapi ia tetap harus berhati-hati, jangan lupa bertanya kepada orang yang lebih alim agar tidak tergelincir. Dan jika dihadapkan perbedaan para ulama, hendaknya dipilih pendapat yang yang lebih rajih atau lebih dekat kepada kebenaran. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya…dst.” (Terj. Qs. Az Zumar: 18)
Orang awam, kewajibannya adalah bertanya kepada ulama yang dipandangnya berilmu, itulah tugasnya, Allah Ta'ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Terj. Qs. An Nahl: 43)
Pembagian ikhtilaf
Ikhtilaf terbagi dua:
Pertama, Ikhltilaf Tanawwu’, yaitu ketika prakteknya berbeda-beda tetapi ada sumbernya dari syariat, seperti perbedaan dalam qiraat, lafaz azan, doa istiftah, maka dalam hal ini masing-masingnya adalah benar.
Kedua, Ikhtilaf Tadhaad, yaitu perbedaan yang saling menafikan (meniadakan) pendapat yang lain, maka dalam hal ini yang benar hanya satu saja. Oleh karena itu, dicari pendapat yang lebih kuat, namun dengan tetap menghormati pendapat yang lain.
Perbedaan jangan membuat berpecah belah
Perbedaan dalam masalah furu’ jangan sampai membuat kita berpecah belah, karena kaum salaf terdahulu pun berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak membuat mereka berpecah belah.
Contohnya adalah ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab dan menaruh perlengkapan perang, Jibril datang dan memberitahukan untuk tidak menaruh perlengkapan perang, bahkan tetap dibawa untuk mendatangi Bani Quraizhah yang berkhianat. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk pergi ke Bani Quraizhah, Beliau bersabda,
«لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ»
"Jangan ada salah seorang di antara kamu yang shalat 'Ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah."
Dalam memahami sabda Beliau tersebut, para sahabat berbeda pendapat. Sebagian sahabat berpendapat bahwa maksud Beliau adalah agar mereka segera menuju Bani Quraizhah, sehingga shalat 'Asharnya di Bani Quraizhah, sedangkan sahabat yang lain berpendapat bahwa mereka tidak boleh shalat 'Ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraizhah. Akhirnya sahabat yang berpegang dengan pendapat pertama melakukan shalat 'Ashar pada waktunya, sedangkan sahabat yang berpegang dengan pendapat kedua, melakukannya setelah tiba di Bani Quraizhah padahal ketika itu waktu 'Ashar sudah lewat. Ketika itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari salah seorang pun di antara mereka.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Al Khilaf bainal Ulama (Muhammad bin Shalih Al Utsaimin), dll.

Fiqih Shalat Berjamaah (4)

Sabtu, 22 April 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صلاة الجماعة‬‎
Fiqih Shalat Berjamaah (4)
[Hukum-Hukum Seputar Shalat Berjamaah]
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang shalat berjamaah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Yang Berhak Menjadi Imam Dalam Shalat Berjamaah
Urutan yang lebih berhak menjadi imam adalah yang paling banyak hapalan Al Qur’annya. Jika sama hapalannya, maka yang lebih mengetahui sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Jika sama pengetahuannya terhadap sunnah, maka yang lebih dulu hijrahnya, dan jika sama hijrahnya, maka yang lebih tua usianya.
Dari Abu Said Al Khudri radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا كَانُوا ثَلَاثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ، وَأَحَقُّهُمْ بِالْإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ»
“Jika mereka terdiri dari tiga orang, maka hendaknya salah seorang di antara mereka menjadi imam, dan yang lebih berhak menjadi imam adalah yang paling banyak hapalan Al Qur’annya.” (Hr. Ahmad, Muslim, dan Nasa’i)
Maksud “Aqra” dalam hadits di atas adalah paling banyak hapalan Al Qur’annya. Hal ini berdasarkan hadits Amr bin Salamah yang di sana disebutkan,
فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ، وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا
“Apabila tiba waktu shalat, maka hendaknya salah seorang di antara kamu mengumandangkan azan, dan hendaknya orang yang paling banyak hapalan Al Qur’annya mengimami kalian.” (Hr. Bukhari)
Dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ، فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً، فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ، وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ»
“Hendaknya mengimami suatu kaum orang yang paling banyak hapalannya terhadap Kitabullah. Jika mereka sama hapalannya, maka yang lebih mengetahui Sunnah (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Jika mereka sama dalam mengetahui sunnah, maka yang lebih dulu hijrahnya. Jika mereka sama hijrahnya, maka yang lebih dulu masuk Islamnya. Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasaannya, dan jangan duduk di tempat istimewa di rumahnya kecuali dengan izinnya.” (Al Asyaj, perawi hadits ini dalam salah satu riwayatnya menyebutkan “Lebih tua usianya,” sebagai ganti lebih dulu masuk Islamnya).
Dalam sebuah lafaz disebutkan,
وَلَا يُؤَمَّنَّ الرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ وَلَا فِي سُلْطَانِهِ
“Janganlah seseorang mengimami orang lain yang berada di tengah keluarganya dan di wilayah kekuasaannya.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, akan tetapi lafaznya,
وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ ، وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Dan jangan sekali-kali seseorang mengimami yang lain dalam wilayah kekuasaannya kecuali dengan izinnya, dan janganlah ia duduk di tempat istimewanya kecuali dengan izinnya.”
Maksud hadits ini adalah bahwa penguasa, pemilik rumah, pemilik dan pemimpin majlis lebih berhak menjadi imam daripada yang lain, selama salah seorang di antara mereka belum mengizinkan kepada yang lain. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَلَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَؤُمَّ قَوْمًا إِلَّا بِإِذْنِهِمْ
“Dan tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir mengimami suatu kaum kecuali dengan izin mereka.” (Hr. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Mereka yang sah menjadi imam
Anak kecil yang sudah tamyiz (mampu membedakan) sah menjadi imam, demikian pula orang yang buta sah menjadi imam, orang yang berdiri mengimami orang yang duduk, orang yang duduk mengimami orang yang berdiri, orang yang shalat fardhu mengimami orang yang shalat sunah, orang yang shalat sunah mengimami orang yang shalat fardhu, orang yang berwudhu mengimami orang yang bertayammum, orang yang bertayammum mengimami orang yang berwudhu, musafir mengimami orang yang mukim, orang yang mukim mengimami orang yang musafir, orang yang kurang utama mengimami orang yang lebih utama. Mereka semua sah menjadi imam.
Dalil terhadap semua itu adalah sebagaimana dalam keterangan berikut:
Amr bin Salamah pernah shalat mengimami kaumnya ketika itu usianya enam atau tujuh tahun.
Rasululullah shallallahu alaihi wa sallam juga pernah mengangkat Abdullah bin Ummi Maktum sebagai pengganti Beliau di Madinah sebanyak dua kali, dimana ia mengimami masyarakat Madinah sedangkan dia buta matanya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat sambil duduk di belakang Abu Bakar di saat sakit menjelang wafatnya.
Beliau juga pernah shalat di rumahnya dalam keadaan duduk saat sakit, sedangkan para makmum shalat dalam keadaan berdiri, lalu Beliau berisyarat kepada mereka agar duduk. Selesai shalat, Beliau bersabda,
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤتَمَّ بِهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا
“Imam itu dijadikan untuk diikuti. Jika ia ruku, maka rukulah. Jika ia bangun dari ruku, maka bangunlah, dan jika ia shalat dalam keadaan duduk, maka shalatlah kalian semua dalam keadaan duduk[i].” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Mu’adz pernah shalat Isya bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu ia pulang menemui kaumnya dan melakukan shalat lagi mengimami mereka, ketika itu shalat yang ia lakukan adalah sunah, sedangkan shalat yang dilakukan kaumnya di belakangnya adalah shalat fardhu.
Mihjan bin Al Arda’ berkata, “Aku pernah datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat Beliau berada di masjid, kemudian shalat ditegakkan, lalu Beliau shalat namun aku tidak ikut shalat. Seusai shalat Beliau bertanya, “Mengapa engkau tidak shalat?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, aku telah shalat di rumah, setelah itu aku datang menemuimu.” Beliau pun bersabda, “Jika engkau datang (ke masjid), maka shalat bersama mereka, dan jadikan shalat tersebut sunah.” (Hr. Ahmad, dinyatakan hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallam juga pernah melihat seseorang shalat sendiri, lalu Beliau bersabda, “Adakah orang lain yang mau bersedekah kepada orang ini, yaitu dengan melakukan shalat bersamanya?”
Amr bin Ash juga pernah shalat sebagai imam sedangkan ia bersuci dengan bertayammum, kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membenarkannya.
Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu saat tiba di Mekkah melakukan shalat dua rakaat (mengqashar), selesai salam ia berkata, “Wahai penduduk Mekkah! Sesungguhnya kami sedang safar, maka sempurnakanlah shalat kalian.”
Dan jika musafir shalat di belakang imam yang mukim, maka ia mengikuti shalat bersamanya dengan sempurna (empat rakaat) meskipun mendapatkan kurang dari satu rakaat bersamanya. Ibnu Abbas pernah ditanya, “Mengapa seorang musafir shalat dua rakaat ketika sendiri dan empat rakaat ketika bermakmum kepada yang mukim?” Ibnu Abbas menjawab, “Itu adalah Sunnah (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam).” Dalam sebuah lafaz disebutkan, bahwa Musa bin Salamah pernah berkata kepada Ibnu Abbas, “Kami ketika bersama kalian melakukan shalat berjumlah empat rakaat, dan ketika pulang, maka kami shalat dengan jumlah dua rakaat?” Ia menjawab, “Itu adalah sunnah Abul Qasim (Rasulullah) shallallahu alaihi wa salllam.” (Hr. Ahmad, dan dinyatakan hasan isnadnya oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
Mereka yang tidak sah menjadi imam
Tidak sah orang yang berudzur[ii] mengimami orang yang sehat, demikian pula mengimami orang yang berudzur yang mendapat udzur berbeda dengan udzur yang menimpanya[iii] menurut jumhur (mayoritas) para ulama. Adapun ulama madzhab Maliki berpendapat, tetap sah orang yang berudzur menjadi imam bagi orang yang sehat namun makruh.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.


[i] Ishaq, Al Auza’i, Ibnul Mundzir, dan ulama madzhab Zhahiri berpendapat, bahwa tidak boleh orang yang mampu berdiri bermakmum mengikuti orang yang duduk karena suatu uzur, bahkan ia seharusnya duduk juga mengikutinya berdasarkan hadits ini. Ada pula yang berpendapat, bahwa itu mansukh.
[ii] Misalnya orang yang tertimpa mencret, beser, atau mudah buang anging.
[iii] Misalnya orang yang beser bermakmum kepada orang yang mudah buang anging.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger