بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Shalat Jumat (6)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada
Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan lanjutan tentang fiqih shalat
Jumat, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjadikan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Disyariatkan berdiri dalam dua khutbah
dan disela-selahi duduk ringan di antara keduanya
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma ia
berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Jumat dengan
berdiri, lalu duduk, kemudian berdiri lagi sebagaimana yang mereka lakukan
sekarang.” (Hr. Jamaah)
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu
anhu ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah sambil berdiri,
lalu duduk, kemudian berdiri lagi sambil berkhutbah. Barang siapa yang
menyatakan bahwa Beliau berkhutbah sambil duduk, maka ia telah berdusta. Demi
Allah, aku shalat (lima waktu) bersama Beliau lebih dari 2.000 kali.” (Hr.
Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari
Thawus, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah sambil
berdiri, demikian pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman, dan orang yang pertama kali
duduk di mimbar (saat khutbah) adalah
Mu’awiyah.”
Sebagian ulama berpendapat wajibnya
berdiri ketika khutbah dan wajibnya disela-selahi duduk di antara kedua khutbah
karena melihat praktek Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Akan tetapi sekedar praktek tidak menunjukkan wajibnya.
Anjuran mengeraskan suara saat khutbah,
memendekkannya, dan menumpahkan perhatian padanya
Dari Ammar bin Yasir radhiyallahu
anhuma ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alahi wa sallam
bersabda,
إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ، وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ،
مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ، فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ، وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ
“Sesungguhnya lamanya shalat seseorang
dan pendek khutbahnya merupakan tanda pemahamannya, maka perpanjanglah shalat
dan pendekkanlah khutbah.” (Hr. Ahmad dan Muslim)
Lama shalat dan singkatnya khutbah
sebagai “tanda pemahamannya” adalah karena orang yang pandai agama (faqih)
menggunakan kalimat yang singkat namun padat; sehingga ia cukup dengannya.
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu
anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasanya memanjangkan
shalat dan memendekkan khutbah.” (Hr. Nasa’i dengan isnad yang shahih)
Dari Jabir radhiyallahu anhu ia
berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ، وَعَلَا صَوْتُهُ، وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى
كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ: «صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ» وَيَقُولُ: «بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ»
، وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ، وَالْوُسْطَى، وَيَقُولُ: «أَمَّا
بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ،
وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
ketika khutbah merah kedua matanya, tinggi suaranya, dan tampak kemarahannya
sehingga seakan-akan Beliau memperingatkan suatu pasukan dengan berkata, “Musuh
akan menyerangmu di pagi dan sore hari.” Beliau bersabda, “Aku diutus menjelang
Kiamat seperti dua jari ini,” Beliau merapatkan jari telunjuk dan jari
tengahnya dan bersabda, “Amma ba’du: sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah
kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad, sejelek-jelek
urusan adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Hr. Muslim
dan Ibnu Majah)
Imam Nawawi rahimahullah
berkata, “Dianjurkan khutbah itu fasih, menyentuh, tertib, jelas, tanpa
bertele-tele dan kepanjangan, atau melantur tidak karuan, karena hal itu tidak
menyentuh secara sempurna di hati, juga jangan sampai keras sehingga tidak
tercapai maksudnya, bahkan hendaknya ia memilih kata-kata yang fasih (jelas)
dan difahami.”
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata,
“Demikian pula khutbah Beliau adalah
menguatkan dasar-dasar keimanan kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para
rasul, hari berjumpa dengan-Nya, dan menyebutkan surga, neraka, serta
kenikmatan yang Allah persiapkan untuk para wali dan mereka yang menaati-Nya,
dan menyebutkan azab yang Allah siapkan untuk musuh-musuh-Nya dan para para
pelaku maksiat, sehingga dari khutbah itu hati pun dipenuhi keimanan, tauhid,
dan mengenal Allah serta peristiwa-peristiwa dahsyat yang Allah tunjukkan,
tidak seperti khutbah yang hanya membahas tentang hubungan antara makhluk
belaka, yang hanya tangisan terhadap kehidupan dunia dan menakut-nakuti akan
kematian. Cara seperti ini tidak menghasilkan keimanan kepada Allah di hati
serta tidak mewujudkan tauhid dan pengenalan secara lebih khusus kepada-Nya,
serta tidak mengingatkannya terhadap peristiwa-peristiwa dahsyat yang
ditunjukkan-Nya, di samping tidak membangkitkan jiwa untuk mencintai-Nya dan
rindu berjumpa dengan-Nya, dimana akibatnya para pendengar keluar (dari masjid)
tanpa memperoleh faedah selain perasaan bahwa mereka akan mati, harta mereka
akan dibagi, dan jasad mereka akan luluh ditelan tanah. Keimanan, tauhid, dan
ilmu yang bermanfaat apa yang dihasilkan daripadanya?
Barang siapa yang memperhatikan
khutbah Nabi shallallahu alaihi wa
sallam dan khutbah para sahabatnya, maka ia akan mendapatkan khutbah itu cukup
dalam menerangkan petunjuk, tauhid, menyebutkan sifat-sifat Allah Azza wa
Jalla, menerangkan pokok-pokok keimanan secara umum, mengajak kepada Allah,
menyebutkan nikmat-nikmat-Nya yang membuat manusia cinta kepada-Nya, serta menyebutkan
peristiwa dahsyat yang membuat mereka takut terhadap siksa-Nya, serta memuat
ajakan untuk mengingat-Nya dan mensyukuri nikmat-Nya yang membangkitkan rasa
cinta kepada-Nya, sehingga manusia pun menjadi ingat akan keagungan Allah,
sifat-Nya, nama-Nya sehingga mereka memperoleh kecintaan-Nya. Demikian juga
dalam khutbah itu mengajak untuk menaati-Nya, mensyukuri-Nya, dan mengingat-Nya
sehingga mereka pulang dalam keadaan mencintai-Nya dan Dia pun cinta kepada
mereka.
Namun seiring berjalannya waktu, cahaya
kenabian pun samar, sehingga syariat dan perintah menjadi tulisan dan kerangka
belaka; tanpa diperhatikan lagi hakikat dan tujuannya. Kemudian diberi
embel-embel dan hiasan, namun embel-embel itu yang malah dijadikan aturan yang
tidak boleh diabaikan dan tujuan malah diabaikan, mereka tambahkan khutbah
dengan syair, sajak, hasil sastra, sehingga khutbah itu menjadi cacat, bahkan
hati tidak memperoleh bagian daripadanya dan maksud juga tidak tercapai.”
Imam memutuskan khutbah karena suatu
hal
Dari Abu Buraidah radhiyallahu anhu ia
berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah berkhutbah kepada
kami, lalu datang Al Hasan dan Al Husain dengan memakai gamis merah sambil
berjalan tertatih-tatih, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam turun dari
mimbar dan menggendong keduanya dan menaruh di hadapannya, lalu Beliau
bersabda,
صَدَقَ اللَّهُ {إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ
فِتْنَةٌ} [التغابن: 15] نَظَرْتُ إِلَى هَذَيْنِ الصَّبِيَّيْنِ يَمْشِيَانِ وَيَعْثُرَانِ
فَلَمْ أَصْبِرْ حَتَّى قَطَعْتُ حَدِيثِي وَرَفَعْتُهُمَا
“Mahabenar Allah. Sesungguhnya harta
dan anakmu adalah ujian. Aku melihat dua anak ini berjalan tertatih-tatih,
sehingga aku tidak sabar dan membuatku memutuskan khutbahku, dan aku angkat
keduanya (ke sini).” (Hr. Lima Imam Ahli Hadits, dan dishahihkan oleh Al
Albani)
Dari Abu Rifa’ah Al Adawi radhiyallahu
anhu ia berkata, “Aku tiba di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
saat Beliau berkhutbah, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, saya orang asing
yang hendak bertanya tentang agama; saya tidak tahu tentang agamaku?” Maka
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendatangiku dan meninggalkan
khutbahnya hingga berada di hadapanku, lalu disiapkan kursi dari kayu yang
kaki-kakinya dari besi, kemudian Beliau duduk di atasnya dan menagajariku ilmu
yang Allah Ta’ala ajarkan kepada Beliau. Setelah itu, Beliau mendatangi
khutbahnya dan menyelesaikannya.” (Hr. Muslim dan Nasa’i)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Rasulullah shallallahu pernah memutuskan khutbahnya karena ada keperluan yang
muncul, atau karena ada pertanyaan dari salah seorang sahabatnya, lalu Beliau
menjawabnya. Terkadang Beliau turun dari mimbar karena ada kebutuhan, lalu
kembali menyempurnakan khutbahnya sebagaimana Beliau pernah turun dari mimbar
untuk mengangkat Al Hasan dan Al Husain dan meletakkan di hadapannya, lalu
melanjutkan khutbahnya. Terkadang Beliau memanggil seseorang dalam khutbahnya
dengan berkata, “Kemarilah! Duduklah wahai fulan!” atau bersabda, “Shalatlah
wahai fulan!” Beliau memerintahkan mereka dengan keadaan yang sesuai kondisi
saat khutbah.
Haramnya berbicara pada saat khutbah
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat
wajibnya diam dan haramnya berbicara ketika khutbah berlangsung meskipun
sekedar amar ma’ruf dan nahi munkar, baik ia mendengar khutbah atau tidak.
Dari Abdullah bin Amr, dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam Beliau bersabda,
يَحْضُرُ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ، رَجُلٌ
حَضَرَهَا يَلْغُو وَهُوَ حَظُّهُ مِنْهَا، وَرَجُلٌ حَضَرَهَا يَدْعُو، فَهُوَ رَجُلٌ
دَعَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِنْ شَاءَ أَعْطَاهُ، وَإِنْ شَاءَ مَنَعَهُ، وَرَجُلٌ
حَضَرَهَا بِإِنْصَاتٍ وَسُكُوتٍ، وَلَمْ يَتَخَطَّ رَقَبَةَ مُسْلِمٍ، وَلَمْ يُؤْذِ
أَحَدًا فَهِيَ كَفَّارَةٌ إِلَى الْجُمُعَةِ الَّتِي تَلِيهَا، وَزِيَادَةِ ثَلَاثَةِ
أَيَّامٍ، وَذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ: {مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ
فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا} [الأنعام: 160]
“Ada tiga golongan yang menghadiri
shalat Jumat; seorang yang hadir sambil berbuat sia-sia (seperti berbicara),
sehingga itulah bagian yang diperolehnya. Ada pula seorang yang hadir yang
selalu memanjatkan doa, dimana dirinya senantiasa berdoa kepada Allah Azza wa
Jalla; jika Allah menghendaki Dia kabulkan, dan jika Dia menghendaki, maka Dia
tolak, dan ada pula yang hadir dengan tenang dan diam, tidak melangkahi pundak
orang lain dan tidak menyakiti orang lain, maka shalat Jumat itu akan menjadi
penebus dosanya sampai ke Jumat berikutnya ditambah tiga hari, karena Allah
Azza wa Jalla berfirman, “Barang siapa yang melakukan kebaikan, maka baginya
sepuluh kali lipat.” (Qs. Al An’aam: 160) (Hr. Ahmad dan Abu Dawud dengan
isnad jayyid)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu,
bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الجُمُعَةِ: أَنْصِتْ،
وَالإِمَامُ يَخْطُبُ، فَقَدْ لَغَوْتَ
“Apabila engkau berkata kepada
saudaramu pada hari Jumat, “Diamlah!” sedangkan imam berkhutbah, maka engkau
telah sia-sia (tidak mendapatkan pahala shalat Jumat).” (Hr. Jamaah Ahli Hadits
selain Ibnu Majah)
Dari Ubay bin Ka’ab bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam membacakan surat Al Bara’ah (At Taubah) pada hari
Jumat, Beliau berdiri mengingatkan peristiwa-peristiwa besar yang Allah
perlihatkan. Ketika itu Ubay bin Ka’ab, Abu Darda, dan Abu Dzar menghadap
kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu salah seorang di antara keduanya
berisyarat kepada Ubay bin Ka’ab dan berkata, “Kapankah surat ini turun wahai
Ubay? Karena aku baru kali ini mendengarnya.” Lalu Ubay berisyarat kepadanya
untuk diam. Setelah mereka selesai shalat, di antara dua sahabat tadi berkata
kepada Ubay, “Aku bertanya kepadamu kapan surat ini turun, namun engkau tidak
mau menjawabnya?” Ubay berkata, “Hari ini engkau tidak memperoleh dari shalatmu
selain perkara sia-sia tadi.” Lalu sahabat ini pergi mendatangi Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dan menyampaikan pernyataan Ubay kepada Beliau,
maka Beliau bersabda, “Ubay benar.” (Hr. Ahmad dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh
Al Albani)
Ada riwayat dari Imam Syafi’i dan
Ahmad, bahwa keduanya membedakan antara orang yang bisa mendengarkan khutbah
dengan orang yang tidak bisa mendengarnya. Keduanya memandang, bahwa haramnya
bicara adalah bagi yang pertama (yang bisa mendengarkan khutbah) tidak bagi
yang kedua, meskipun baginya lebih baik diam.
Imam Tirmidzi meriwayatkan pendapat
Imam Ahmad dan Ishaq tentang bolehnya menjawab salam dan mendoakan orang yang
bersin ketika imam berkhutbah.
Imam Syafi’i berkata, “Kalau seseorang
bersin pada hari Jumat (saat khutbah Jumat), lalu ada orang yang mendoakannya,
aku harap tidak mengapa, karena mendoakannya adalah sunah, dan kalau ada
seorang yang mengucapkan salam kepada orang lain, maka aku memakruhkan hal itu,
dan menurutku perlu dijawab, karena salam sunah dan menjawabnya wajib. Adapun
berbicara pada saat tidak khutbah, maka boleh.”
Dari Tsa’labah bin Abi Malik ia
berkata, “Dahulu mereka masih melakukan obrolan pada hari Jumat saat Umar masih
duduk di atas mimbar. Ketika muazin selesai mengumandangkan azan dan Umar
berdiri, maka tidak ada seorang pun yang berbicara hingga kedua khutbah itu
diselesaikan. Saat iqamat dikumandangkan dan Umar turun dari mimbar, maka
mereka berbicara kembali.” (Diriwayatkan oleh Syafi’i dalam Musnadnya)
Imam Ahmad meriwayatkan dengan isnad
yang shahih, bahwa Utsman bin Affan saat masih di atas mimbar sedangkan muazin
telah melakukan iqamat, ia bertanya kepada sebagian manusia tentang keadaan
mereka dan harga pasar.
Bersambung…
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa
shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid
Sabiq), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Subulus
Salam (Imam Ash Shan'ani), dll.
0 komentar:
Posting Komentar