بسم
الله الرحمن الرحيم
Adab Terhadap Tetangga
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan
tentang adab terhadap tetangga, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Seorang muslim mengakui
bahwa tetangga memiliki hak yang patut dipenuhinya, dan bahwa memenuhinya
merupakan ibadah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkannya, Dia
berfirman,
وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ
الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu. Berbuat baiklah kepada dua
orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat, tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil (musafir yang
kehabisan bekal), dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (Qs. An Nisaa: 36)
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
«مَا زَالَ جِبْرِيلُ
يُوصِينِي بِالْجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ»
“Jibril senantiasa
berpesan kepadaku (untuk berbuat baik) terhadap tetangga, sehingga aku mengira
bahwa ia akan mendapatkan warisan.” (Hr. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar)
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia muliakan tetangganya.”
(Hr. Bukhari dan Muslim)
Adab Terhadap Tetangga
Berikut adab-adab
terhadap tetangga:
1. Tidak menyakitinya
baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ
“Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah ia sakiti tetangganya.”
(Hr. Bukhari dan Abu Dawud)
«لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ
مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ»
“Tidak masuk surga
seorang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (Hr. Muslim)
Beliau juga pernah
bersabda, “Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah,
tidak beriman.” Lalu ada yang bertanya, “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab,
«الَّذِي لاَ يَأْمَنُ
جَارُهُ بَوَايِقَهُ»
“Yaitu orang yang
tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (Hr. Bukhari)
Imam Ahmad meriwayatkan
dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata,
“Ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, ada seorang fulanah disebut
namanya karena banyak shalatnya, puasanya, dan sedekahnya, namun ia menyakiti
tetangganya dengan lisannya?” Beliau bersabda, “Dia di neraka.” Ada pula yang
bertanya, “Wahai Rasulullah, si fulanah disebut namanya karena sedikit
puasanya, sedekahnya, dan shalatnya, serta mengeluarkan sedekah dari sepotong
aqith (susu beku), dan lisannya tidak menyakiti tetangga?” Beliau bersabda,
“Dia di surga.” (Dinyatakan isnadnya hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad
cet. Ar Risalah).
Catatan:
Terkadang tanpa kita
sadari kita mengganggu tetangga kita, seperti menghidupkan radio atau tipe dengan suara keras, karena boleh jadi
tetangga kita merasa terganggu dengannya meskipun kita senang mendengarnya,
karena kita tidak tahu apa sebenarnya yang disenangi tetangga kita sebagaimana
kita tidak mengetahui apa yang mereka benci. Boleh jadi di antara tetangga kita
ada yang sedang tidur, ada yang punya anak kecil, ada yang sedang sakit, ada yang
butuh ketenangan, ada yang sedang beribadah yang butuh kekhusyuan, dsb. Oleh
karena itu, cukuplah terdengar oleh kita saja.
Penulis terkadang temukan di beberapa
daerah, di dalam rumahnya terdapat speaker aktif yang cukup besar dengan maksud
memperdengarkan suara musik yang dinyalakan ke tetangga sekitar. Menurut
penulis, tindakan ini merupakan contoh mengganggu tetangga dengan lisan dan
suara kita yang mendapatkan ancaman seperti yang disebutkan dalam hadits di
atas.
Jika seorang berkata,
“Lalu mengapa masjid-masjid di zaman sekarang di Indonesia sering terdengar
suara darinya begitu keras?”
Menurut penulis -dan Allah
lebih mengetahui-, bahwa yang dikeraskan ke tengah-tengah manusia hanyalah
suara azan sebagai pemberitahuan tibanya waktu shalat dan sebagai syiar Islam.
Adapun suara dzikr, maka sunnahnya dipelankan (dibaca namun tidak perlu
menggunakan pengeras suara) sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَاذْكُرْ
رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ
بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
“Dan sebutlah (nama)
Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan
tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu
termasuk orang-orang yang lalai.” (Qs. Al A’raaf: 205)
Adapun dalam shalat,
dalam bacaan yang dijaharkan/dikeraskan (Subuh, Maghrib, dan Isya), maka sebaiknya
suaranya pertengahan (tidak terlalu keras dan tidak terlalu pelan). Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَا
تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya. Carilah
jalan tengah di antara kedua itu.” (Qs. Al Isra’: 110)
Petunjuk dan arahan yang
bijak sebenarnya sudah diterangkan dalam Al Qur’an, hanyasaja kita tidak mau
mempelajarinya.
Abu Qatadah radhiyallahu anhu menerangkan, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu malam pernah melewati Abu Bakr yang sedang
shalat malam dengan merendahkan suaranya, dan pada saat yang bersamaan Beliau
melewati Umar yang sedang shalat malam dengan mengeraskan suaranya. Ketika
keduanya berkumpul di hadapan Beliau, maka Beliau bersabda, “Wahai Abu Bakr,
aku melewati (rumah)mu sedangkan engkau dalam keadaan shalat dengan merendahkan
suaramu.” Abu Bakr berkata, “Wahai Rasulullah, aku memperdengarkan kepada
Tuhan yang kepada-Nya aku bermunajat.” Beliau kemudian bersabda kepada Umar, “Wahai
Umar, aku melewati (rumah)mu sedangkan engkau dalam keadaan shalat dengan
mengeraskan suaramu.” Umar berkata, “Wahai Rasulullah, aku membangunkan
orang-orang yang tidur dan mengusir setan.” Maka Beliau bersabda kepada Abu Bakr, “Wahai
Abu Bakar, naikkanlah suaramu sedikit.” Dan bersabda kepada Umar, “Rendahkanlah
suaramu sedikit.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani).
2. Berbuat
baik kepada tetangga.
Contohnya adalah
membantunya jika memerlukan bantuan, menjenguknya ketika sakit, mengiringi
jenazahnya ketika meninggal dunia, menyambutnya ketika bergembira, menghiburnya
ketika mendapatkan musibah, bertutur kata yang lembut kepadanya, demikian pula
ketika berbicara dengan anaknya, mengarahkannya dengan lembut kepada kebaikan baik
dalam urusan agama dan dunianya, menjaga areanya yang terpelihara, memaafkan
ketegelinciranya, tidak mencari-cari kesalahannya, tidak membuatnya kesempitan
baik dalam bangungan yang dibangunnya maupun pada jalannya, tidak menggangunya
dengan pancoran yang menimpa kepadanya, tidak membuang kotoran di depan rumahnya,
dsb. Ini semua merupakan bentuk sikap berbuat baik kepadanya.
3. Memberikan sesuatu
yang bermanfaat kepadanya.
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
«يَا نِسَاءَ
المُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا، وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ»
“Wahai kaum wanita
muslimah! Janganlah sekali-kali seorang tetangga meremekan (pemberian kepada)
tetangganya meskipun hanya memberikan kaki kambing kepadanya.” (Hr. Bukhari dan
Muslim)
Beliau juga pernah
bersabda kepada Abu Dzar radhiyallahu anhu,
«يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا
طَبَخْتَ مَرَقَةً، فَأَكْثِرْ مَاءَهَا، وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ»
“Wahai Abu Dzar, jika
engkau masak sayur, maka perbanyaklah airnya dan berikanlah kepada tetanggamu.”
(Hr. Muslim)
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam pernah ditanya oleh Aisyah radhiyallahu anha, “Aku punya dua
tetangga, maka ke siapakah aku memberikan hadiah?” Beliau menjawab, “Kepada
yang lebih dekat pintunya denganmu.” (Hr. Ahmad, Bukhari, dan Hakim)
4. Menghormati dan
memuliakan tetangga
Oleh karena itu,
hendaknya ia tidak menghalangi tetangganya meletakkan kayu pada dindingnya,
tidak menjual dan tidak menyewakan bagian yang menempel dengan rumah tetangga
atau dekat dengannya sampai menawarkan lebih dulu kepadanya serta bermusyawarah
dengannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
«لاَ يَمْنَعْ جَارٌ
جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَهُ فِي جِدَارِهِ»
“Janganlah seorang
tetangga menghalangi tetangganya menancapkan kayuke dindingnya.” (Hr. Bukhari
dan Muslim)
مَنْ
كَانَ لَهُ شَرِيكٌ فِي حَائِطٍ، فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَعْرِضَهُ عَلَيْهِ
“Barang siapa memiliki
sekutu dalam sebuah kebun, maka janganlah ia menjualnya sampai menawarkan
kepada sekutunya.” (Hr. Ahmad. Al Kharaithi menambahkan kata “jaar”
yakni bagi yang memiliki tetangga, ia juga tawarkan dulu kepadanya. Hakim juga
meriwayatkan hadits ini dan ia menshahihkannya).
Catatan:
a. Seorang muslim dapat mengetahui keadaan dirinya apakah ia telah
berbuat baik kepada tetangganya atau malah telah berbuat buruk kepada
tetangganya berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
orang yang bertanya tentang hal itu, maka Beliau menjawab, “Apabila kamu
mendengar tetanggamu berkata, “Engkau telah berbuat baik.” Maka berarti engkau
telah berbuat baik, tetapi apabila engkau mendengar mereka berkata, “Engkau
telah berbuat buruk,” maka berarti engkau telah berbuat buruk.” (HR. Ahmad
dengan sanad yang jayyid)
b. Apabila seorang muslim diuji dengan tetangga
yang buruk, maka hendaklah ia bersabar, karena sabarnya itu akan menjadi
penyebab lepasnya ia dari hal tersebut. Pernah datang seorang laki-laki kepada
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengeluhkan tentang tetangganya, maka Beliau
bersabda, “Pergilah dan bersabarlah.” Lalu orang itu datang lagi untuk yang
kedua kali atau ketiga kalinya, maka Beliau bersabda, “Taruhlah barangmu di
jalan.” Lalu ia menaruhnya, kemudian orang-orang melewatinya dan berkata, “Ada apa dengamu?” Ia
menjawab, “Tetanggaku telah menyakitiku, lalu mereka melaknat tetangganya
sampai tetangganya datang dan berkata, “Kembalikanlah barangmu ke rumah. Demi
Alah, aku tidak akan mengulanginya lagi.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan hasan
shahih oleh Al Albani).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Minhajul Muslim
(Abu Bakar Al Jazairiy), Maktabah Syamilah versi 3.45, http://islam.aljayyash.net
, Modul Akhlak SMP kelas 8 (Penulis), www.alukah.net,
dll.
0 komentar:
Posting Komentar