بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh Shulh (Bag. 3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan
salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para
sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan pembahasan
seputar shulh, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamiin.
Hukum shulh 'an
inkar dan 'an sukut
Jumhur ulama
berpendapat bolehnya mengadakan shulh 'an inkar dan 'an sukut. Imam Syafi'i dan
Ibnu Hazm berkata, "Tidak boleh mengadakan shulh selain shulh 'an iqrar,"
karena shulh mendakwakan adanya hak yang tetap, dan hal itu tidak ada dalam
keadaan adanya pengingkaran atau diam. Adapun dalam keadaan adanya
pengingkaran, karena hak tidak mungkin tetap kecuali dengan adanya dakwaan dan
ia dipertentangkan dengan adanya inkar dan diamnya terdakwa. Ketika adanya
pertentangan, maka hak menjadi tidak tetap. Sedangkan dalam keadaan diam,
karena orang yang diam dianggap mengingkari hukumnya sampai terdengar bukti
kepadanya. Oleh karena itu adanya pengeluaran harta untuk melerai permusuhan
tidaklah sah. Karena pertentangan itu batal, sehingga harta yang dikeluarkan
sama saja risywah (sogok), dan hal itu tentu terlarang secara syar'i, karena
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, agar kamu dapat memakan sebagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui." (QS. Al Baqarah: 188)
Ada juga di
antara ulama yang bersikap tengah-tengah; mereka tidak melarangnya secara
mutlak dan tidak membolehkan secara mutlak. Mereka berkata, "Sepatutnya
dikatakan, Jika pendakwa mengetahui bahwa ia memiliki hak pada lawannya, maka
ia boleh mengambil sesuatu yang dishulhkan meskipun lawannya mengingkari. Namun
jika ia mendakwakan sesuatu yang batil, maka haram baginya berdakwa dan
mengambil sesuatu dari shulh. Sedangkan si terdakwa jika ia mengetahui ada hak
pada dirinya, ia mengingkari hanyalah karena tujuan tertentu, maka ia wajib
menyerahkan hasil shulh. Jika si terdakwa mengetahui bahwa dirinya tidak
memiliki hak, maka boleh memberikan sebagian hartanya untuk melerai
persengketaan dengan penagihnya dan agar tidak menyakitinya dan bagi pendakwa
haram mengambil hasil shulh. Dengan demikian bergabunglah semua dalil, sehingga
tidak dikatakan shulh 'an inkar tidak
sah, atau bahwa shulh 'an inkar sah secara mutlak, bahkan ada perincian di sana[i].
Orang yang
membolehkan shulh 'an inkar atau 'an sukut, berkata, "Sesungguhnya
hukumnya ada pada hak pendakwa sebagai ganti terhadap haknya, sedangkan pada
hak terdakwa sebagai penebus sumpahnya serta melerai permusuhan dari dirinya."
Akibat dari hal
tersebut adalah bahwa badal shulh jika berupa barang, maka masuk ke dalam
masalah jual beli sehingga berlaku hukum-hukumnya. Jika berupa manfaat, maka
dihukumi dengan hukum ijarah (Diambil dari Fiqhus Sunnah)..
Dengan demikian, shulh
‘an Inkar bagi pendakwa seperti hukum jual beli, karena ia yakin ganti terhadap
hartanya, maka diberlakukan keyakinan itu. Sedangkan si terdakwa seakan-akan membeli
barang darinya, sehingga masuk ke dalam hukum jual beli dari sisi ini. Misalnya
mengembalikan karena cacat dan mengambil syuf’ah jika berlaku syuf’ah.
Hukum
shulh ini bagi terdakwa adalah pembebasan dirinya dari dakwaan, karena ia telah
menyerahkan harta untuk menebus sumpahnya, menghilangkan madharratnya serta
memutuskan perselisihan untuk menjaga dirinya dari pengorbanan dan
pertentangan. Di samping, karena jiwa yang mulia enggan menyibukkan diri dengan
demikian, sehingga mereka pun menyerahkan harta untuk membebaskan dirinya dari
hal tersebut. Kalau pun ia menemukan cacat pada sesuatu yang dipakai shulh, ia
tidak mengembalikannya, juga tidak diambil karena syuf’ah, karena ia tidak
mengganggapnya sebagai ganti terhadap sesuatu.
Jika
salah seorang yang melakukan shulh berdusta dalam shulh ‘an Inkarnya,
misalnya pendakwa berdusta, ia mendakwaan sesuatu yang ia ketahui bahwa itu
bukan miliknya atau si pengingkar berdusta terhadap dakwaan yang ditujukan
kepadanya padahal ia tahu dirinya berdusta dalam mengingkari, maka shulhnya
batal, baik terjadi kedustaan itu dari si pendakwa maupun terdakwa, karena ia
mengetahui hak yang sebenarnya dan bisa memberikan hak itu. Sehingga barang
atau apa saja yang diambilnya karena alasan shulh, maka itu adalah barang
haram, karena ia mengambil secara zalim dan bukan sebagai ganti terhadap hak
yang diketahuinya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, "Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang batil.” (Terj. QS. Al Baqarah: 188)
Meskipun
secara zhahir di hadapan manusia shulh ini sah, karena mereka tidak mengetahui
hal yang tersembunyi, akan tetapi hal tersebut tidaklah merubah hakikatnya di
sisi Allah Tuhan yang mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi. Oleh
karena itu, seorang muslim harus berhati-hati terhadap tindakan buruk dan
pencarian celah yang batil ini.
Termasuk
masalah Shulh ‘an Inkar juga adalah jika
orang asing/ajnabiy melakukan shulh ‘an
inkar tanpa seizinnya, maka shulh itu sah. Karena ajnabiy ini tidak ada
maksudnya selain melepaskan si terdakwa
dan memutuskan pertengkaran.
Shulh
juga sah terhadap hak yang tidak diketahui, baik masing-masing punya hak
terhadap yang lain atau salah satunya. Jika hak yang tidak diketahui ini
sulit diketahui, misalnya perhitungan harinya sudah berlalu masa yang lama, dan
masing-masing tidak mengetahui barang yang ada di kawannya, sebagaimana
disebutkan dalam riwayat tentang dua orang yang bertengkar tentang harta
mawaris yang sudah hilang asal usulnya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda kepada keduanya,
اِسْتَهِمَا وَتَوَاخَيَا الْحَقَّ وَلْيُحَلِّلْ
أَحَدُكُمَا صَاحِبَهُ
“Bagilah oleh kalian berdua dan pilihlah yang hak, dan hendaknya
salah seorang di antara kamu menghalalkan saudaranya.” (HR. Abu Dawud dll.)
Di
samping karena hal itu adalah pengguguran hak, maka bisa sah dalam hak yang
majhul (tidak diketahui), juga agar tidak mengakibatkan sia-sia harta itu atau
masih adanya tanggungan yang membuatnya repot. Perintah Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam di hadits tersebut agar masing-masing menghalalkan adalah menunjukkan
agar kita bersikap hati-hati dan karena hak makhluk itu sangat besar.
Shulh
terhadap qishas juga sah dengan diat yang sudah ditentukan secara syara’ atau
kurang atau bahkan lebih. Karena harta bukan itu maksudnya, sehingga tidak
terjadi ‘iwadh (penggantian) dalam hal ini.
Tetapi shulh
tidak sah terhadap hudud, karena hudud itu disyariatkan untuk menjadikan
pelakunya jera, di samping hal itu adalah hak Allah dan hak masyarakat. Jika
diadakan shulh tentu akan membatalkan hak tersebut, masyarakat tidak
mendapatkan faedahnya serta memberikan ruang kenikmatan bagi pelaku kerusakan
(Diambil dari Al Mulakhkhash Al Fiqhi).
Adapun tentang
mushaalah 'anh (hak yang dipersengketakan),
maka ia dilakukan untuk melerai permusuhan dan bukan sebagai ganti terhadap
harta. Kapan saja seseorang sudah berhak mendapatkan badal shulh, maka si
pendakwa beralih membawa persengketaan kepada si terdakwa, karena ia tidaklah
meninggalkan dakwaan kecuali agar diserahkan kepadanya badalnya. Kapan saja ia
telah berhak menerima mushalah 'anh (hak yang dipersengketakan), maka si
terdakwa beralih kepada pendakwa, karena ia tidaklah menyerahkan badal shulh
kecuali agar pendakwa menerima. Jika telah berhak, namun belum sempurna
maksudnya, maka ia beralih kepada pendakwa. (Diambil dari
Fiqhus Sunnah).
Shulh terhadap
hutang yang diberi tempo yang sebagiannya diminta segera
Kalau seseorang
mengadakan shulh terhadap hutang yang diberi tempo, sedangkan sebagiannya
diminta segera, maka hal itu tidak sah menurut ulama madzhab Hanbali dan Ibnu
Hazm. Ibnu Hazm dalam Al Muhalla berkata, "Tidak boleh mengadakan shulh
dalam hal yang di sana terdapat pembebasan kepada sebagiannya padahal syarat asalnya
adalah diberi tempo, karena hal tersebut merupakan syarat yang tidak ada dalam
kitab Allah, sehingga menjadi batil. Akan tetapi, segera dalam tanggungan, di
mana ia menunggunya sesuai kehendaknya tanpa syarat, karena yang demikian
merupakan mengerjakan kebaikan."
Sedangkan Ibnul
Musayyib, Al Qaasim, Malik, Syaafi'i dan Abu Hanifah memakruhkan.
Namun ada riwayat
dari Ibnu Abbas, Ibnu Sirin dan An Nakha'iy bahwa yang demikian tidak mengapa.
Kesimpulan
Singkat
1.
shulh 'an
inkar atau 'an sukut adalah sah jika yang mengingkari meyakini
batilnya dakwaan itu, lalu ia menyerahkan harta untuk melerai pertengkaran dan
menebus sumpahnya, sedangkan pihak pendakwa meyakini benarnya dakwaannya, lalu
ia mengambil harta itu sebagai ganti dari hartanya yang memang tsabit (ada pada
saudaranya).
2.
Shulh
terhadap hak yang majhul (tidak diketahui) adalah sah, yakni yang tidak
diketahui akan adanya hutang atau barang. Misalnya antara dua orang terjadi
mu'amalah dan telah berlalu waktu yang panjang, dan salah seorang dari keduanya
tidak mengetahui adanya hak saudaranya pada dirinya.
3.
Shulh sah
untuk setiap yang bisa mengambil ganti terhadapnya, seperti shulh terhadap
qishas dengan diyat yang ditentukan secara syara', kurang dari itu atau lebih
dari itu.
4.
Shulh
tidak sah untuk setiap yang tidak bisa mengambil ganti terhadapnya, seperti
shulh terhadap had, karena ia disyariatkan untuk membuat jera.
Wallahu a’lam wa
shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqh Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa
ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhash Al Fiqhiy (Shalih
Al Fauzan), Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At Tirmidzi, Al
Maktabatusy Syamilah dll.
0 komentar:
Posting Komentar