Shalat Gerhana

بسم الله الرحمن الرحيم

Shalat Gerhana


Beberapa kali terjadi gerhana –meskipun jarang-jarang-, namun sangat disayangkan banyak kaum muslimin yang meremehkan sunnah yang mulia ini. Oleh karena itu, pada risalah ini akan dijelaskan betapa pentingnya shalat gerhana sekaligus praktek shalat gerhana.

Ta'rif Kusuf dan Khusuf

Gerhana matahari dalam bahasa Arab disebut Kusuf, sedangkan gerhana bulan disebut khusuf. Hal ini, jika kusuf dan khusuf disebutkan secara bersamaan, namun jika kusuf atau khusuf disebutkan secara terpisah, maka kusuf bisa digunakan untuk gerhana matahari maupun gerhana bulan, demikian juga kata "khusuf".

Gerhana matahari dan bulan merupakan tanda kekuasaan Allah

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
« إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَصَلُّوا » . 
"Sesungguhnya matahari dan bulan tidaklah terjadi gerhana karena kematian seseorang dan bukan pula karena lahirnya seseorang. Akan tetapi, keduanya merupakan dua tanda di antara tanda-tanda (kekuasaan) Allah. Apabila kalian melihatnya, maka laksanakanlah shalat." (HR. Bukhari)

Al Haafizh menjelaskan tentang maksud "tanda" di hadits tersebut, yaitu sebagai tanda keesaan Allah, tanda kekuasaan Allah sekaligus untuk menakuti hamba-hamba-Nya terhadap siksaan Allah dan azab-Nya. Ia pun menguatkan hal tersebut dengan ayat:
"Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti." (Terj. Al Israa': 59)
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa gerhana merupakan tanda kekuasaan Allah untuk menakuti hamba-hamba-Nya. sebagaimana pada bencana alam lainnya seperti gempa bumi, dsb. agar manusia kembali kepada Allah, mau menaati-Nya dan tidak lagi berbuat maksiat. Oleh karena itu, saat terjadi gerhana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang ketika itu untuk melaksanakan shalat, berdoa, berdzikr, beristighfar (meminta ampunan), bersedekah dan melakukan amal saleh lainnya seperti memerdekakan budak dengan harapan semoga mereka tidak ditimpa sesuatu yang mengkhawatirkan. Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari di mana angin bertiup kencang dan cuaca mendung, nampak raut muka (gelisah) di wajahnya, Beliau bolak-balik berjalan. Namun ketika hujan turun, Beliau senang dan hilang sikap seperti itu. Aku pun bertanya kepada Beliau (tentang sikapnya), maka Beliau menjawab, "Saya khawatir hal itu merupakan azab yang ditimpakan kepada ummatku", sedangkan ketika melihat hujan, Beliau bersabda, "(Ini adalah) rahmat." (HR. Muslim)

Di hadits sebelumnya, Beliau menjelaskan bahwa gerhana terjadi bukanlah karena ada seorang tokoh yang meninggal atau karena lahirnya seorang tokoh. Maksud Beliau berkata begitu adalah untuk menghilangkan anggapan yang menyebar di saat itu, di mana ketika itu Ibrahim putera Beliau wafat, lalu mereka pun mengaitkan terjadi gerhana karena wafatnya putera Beliau, maka Beliau menghilangkan anggapan tersebut. Oleh karena itu, hendaknya setelah shalat gerhana, imam mengingatkan demikian serta menghilangkan keyakinan-keyakinan tidak benar yang ada di masyarakat ketika terjadi gerhana.

Faedah kusuf dan hikmahnya

Kusuf memiliki hikmah yang banyak, di antaranya adalah:
1.   Terdapat bukti bahwa matahari, bulan dan alam semesta ini diatur oleh Allah Ta'ala.
2.   Menunjukkan tidak pantasnya matahari dan bulan disembah.
3.   Menyadarkan hati yang sebelumnya lalai.
4.   Sebagai contoh terhadap hal yang akan terjadi pada hari kiamat, dan bahwa hal itu mudah bagi Allah.
5.   Peringatan bahwa musibah bisa saja menimpa kepada orang yang tidak berdosa sebagai peringatan bagi orang yang berdosa.
6.   Mengingatkan manusia yang sebelumnya menjalankan ibadah tanpa disertai rasa khauf (takut), maka dengan adanya gerhana diharapkan mereka menjalankannya dengan rasa takut dan harap.

Hukum shalat kusuf

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat kusuf. Ada yang berpendapat bahwa hukumnya sunnah mu'akkadah (sangat ditekankan). Ada yang berpendapat bahwa hukumnya sunah. Sedangkan yang lain berpendapat wajib. Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah mu'akkadah.
Sungguh sangat disayangkan, amalan yang begitu penting ini ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin. Kita dapat saksikan untuk acara yang tidak ada contohnya, seperti Nisfu Sya'ban mereka beramai-ramai menghadirinya, sedangkan Sunnah yang dasarnya shahih ini mereka tinggalkan.

Adab ketika terjadi gerhana

Ada beberapa sikap yang selayaknya dilakukan saat terjadi gerhana, di antaranya adalah:
1.   Memiliki rasa takut kepada Allah Ta'ala
2.   Memikirkan siksaan Allah kepada orang-orang yang berbuat maksiat.
Dalam hadits Aisyah radhiyallahu 'anha disebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam khutbahnya seusai shalat kusuf bersabda:
« مَا مِنْ شَىْءٍ كُنْتُ لَمْ أَرَهُ إِلاَّ قَدْ رَأَيْتُهُ فِى مَقَامِى هَذَا حَتَّى الْجَنَّةَ وَالنَّارَ ، وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَىَّ أَنَّكُمْ تُفْتَنُونَ فِى الْقُبُورِ ...."
"Tidak ada satu pun yang aku belum pernah melihatnya kecuali sekarang aku melihatnya di tempatku ini sampai surga dan neraka. Telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan diuji ketika di kubur…dst." (HR. Bukhari)

Pada saat itu diperlihatkan kepada Beliau surga dan neraka. Beliau juga diperlihatkan siksaan yang menimpa penghuni neraka, dilihatnya seorang wanita yang disiksa karena mengurung seekor kucing tanpa memberinya makan dan minum, dilihatnya 'Amr bin Malik bin Luhay menarik ususnya di neraka, di mana dia adalah orang pertama yang merubah agama Nabi Ibrahim 'alaihis salam, dia membawa berhala kepada orang-orang Arab sehingga mereka menyembahnya. Dilihatnya penghuni neraka yang terbanyak, yaitu kaum wanita karena sikap kufur mereka kepada suami; mereka tidak berterima kasih terhadap kebaikan suami. Dilihat oleh Beliau siksaan orang yang mencuri barang bawaan jama'ah hajji dan diberitakan kepada Beliau fitnah kubur. Beliau memerintahkan kaum muslimin ketika itu untuk berlindung dari azab kubur. Beliau juga bersabda:
وَاللهِ لَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً، وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا
"Demi Allah, kalau sekiranya kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis." [lihat dalil-dalilnya di kitab Shalaatul Kusuf oleh Dr. Sa'id Al Qahthaaniy]

3.   Hendaknya ada yang menyerukan "Ash Shalaatu Jaami'ah" (mari shalat berjama'ah) agar orang-orang yang masih di rumah keluar berkumpul untuk shalat gerhana.
Demikianlah yang dilakukan di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Lafaz tersebut tidaklah diucapkan pada setiap kali shalat lima waktu berjama'ah, bahkan untuk shalat kusuf. Sedangkan untuk shalat lima waktu berjama'ah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan agar meluruskan dan merapatkan barisan.
4.   Ketika shalat kusuf tidak ada azan dan iqamat.
5.   Dalam shalat Kusuf, bacaan dijaharkan.
6.   Shalat Kusuf dilakukan di masjid.
Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan bahwa sunnahnya shalat kusuf itu dilakukan berjama'ah di masjid, dan dibolehkan melaksanakannya masing-masing. Namun melakukannya secara berjama'ah lebih utama, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakannya berjama'ah dan sunnahnya orang-orang shalat di masjid (Lih. Al Mughni 3/322)
7.   Dalam shalat kusuf, kaum wanita juga boleh ikut bersama kaum laki-laki di belakang mereka.
8.   Shalat kusuf ini berlaku juga bagi musafir, berdasarkan keumuman perintah Beliau untuk melaksanakan shalat kusuf ketika melihat gerhana.
9.   Diadakan khutbah setelah shalat kusuf.
Berdasarkan hadits-hadits yang shahih bahwa khutbah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam shalat kusuf dilakukan setelah salam, lalu Beliau duduk di atas mumbar (di mana mimbar Beliau terdiri dari tiga tangga), Beliau berkhutbah, memuji Allah dan menyanjung-Nya, lalu menjelaskan bahwa matahari dan bulan terjadi gerhana bukanlah karena kematian seseorang dan karena lahirnya seseorang, Beliau juga menyuruh sedekah, beristighfar dan berdoa. Beliau juga menjelaskan tentang siksa kubur dan siksaan di neraka.

10.            Bersegera untuk berdzikr, berdoa, beristighfar, bertakbir, memerdekakan budak, bersedekah, shalat dan berlindung dari azab kubur dan azab neraka.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ، فَاذْكُرُوا اللهَ، وَكَبِّرُوْا، وَصَلُّوْا، وَتَصَدَّقُوْا
"Apabila kalian melihatnya, maka segeralah dzikrullah, bertakbir, shalat dan bersedekah." (HR. Malik, Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa'i)

Waktu pelaksanaan shalat kusuf

Waktu shalat kusuf dimulai ketika pertama kali gerhana hingga selesai, dalilnya adalah hadits Abu Bakrah berikut:
كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَانْكَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَقَامَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يَجُرُّ رِدَاءَهُ حَتَّى دَخَلَ الْمَسْجِدَ ، فَدَخَلْنَا فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ ، حَتَّى انْجَلَتِ الشَّمْسُ
"Kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu terjadilah gerhana, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit sambil menarik selendangnya hingga masuk ke masjid. Kami pun ikut masuk ke masjid, lalu Beliau shalat bersama kami dua rak'at sampai hilang gerhana matahari." (HR. Bukhari)

Cara Pelaksanaan shalat gerhana

Tatacara pelaksanaan shalat gerhana adalah sbb:
1.  Dilakukan dua rak’at. Masing-masing rak’at dua kali ruku’ dan dua kali berdiri (pada setiap berdiri membaca Al Fatihah dan surat).
Sebelum membaca surat Al Fatihah, seperti biasa membaca doa istiftah.
2.  Disyari'atkan agar lama ketika berdiri, ruku’ dan sujud dalam shalat gerhana.

Lebih jelasnya, mari kita simak penjelasan Aisyah radhiyallahu ‘anha yang kesimpulannya sebagai berikut,
“Telah terjadi gerhana di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau keluar ke masjid dan orang-orang pun membuat barisan di belakangnya, Beliau bertakbir dan membaca surat yang panjang, lalu bertakbir untuk ruku’, Beliau melakukan ruku’ yang lama, lalu bangkit sambil mengucapkan “Sami'allahu liman hamidah”, Beliau pun berdiri dan tidak langsung sujud bahkan membaca surat yang panjang, namun tidak sepanjang seperti yang pertama. Beliau pun bertakbir lalu ruku’ dan melakukan ruku’ yang lama, namun tidak lama seperti ruku’ yang pertama, kemudian bangkit sambil mengucap “Sami’allahu liman hamidah” “Rabbanaa walakal hamd”. Lalu Beliau sujud, Beliau melakukan rak’at kedua sama seperti itu, sehingga ruku’ Beliau bejumlah empat kali dengan empat kali sujud (yakni sujudnya seperti biasa)…dst.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa'i)

Shalat lil Aayaat (karena ada peristiwa mengkhawatirkan)

Peristiwa yang mengkhawatirkan itu misalnya gempa bumi, angin kencang, terangnya suasana di malam hari, gelapnya suasana di siang hari, halilintar yang keras, hujan tidak kunjung henti dan peristiwa lainnya yang mengkhawatirkan.
Dalam keadaan seperti ini ada beberapa pendapat ulama sbb:
-   Tidak ada shalat lil aayaat selain gempa bumi.
-   Tidak ada shalat lil aayaat selain kusuf (karena gerhana).
-   Setiap ada peristiwa yang mengkhawatirkan ada shalat (caranya seperti shalat kusuf).
Pendapat ketiga beralasan dengan peristiwa kusuf (gerhana), di mana Allah menjadikannya untuk menakuti hamba-hamba-Nya sehingga disyari'atkan shalat, demikian juga pada peristiwa yang mengkhawatirkan lainnya. Di samping itu, Ibnu Abbas pernah melakukan shalat karena gempa bumi yang terjadi di Basrah. Pendapat ketiga merupakan pendapat Abu Hanifah, Ibnu Hazm, salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata: "Hal ini seperti yang anda saksikan memiliki (alasan) yang sangat kuat."

Fawaa'id (beberapa catatan penting)

1.   Seseorang dianggap mendapatkan satu rak'at pertama ketika mendapatkan ruku' pertama dari rak'at pertama. Oleh karena itu, barang siapa yang mendapatkan ruku' kedua dari rak'at pertama, maka ia dianggap belum mendapatkan rak'at pertama, sehingga ia harus menambahkan satu rak'at lagi dengan dua kali ruku'. Inilah pendapat yang rajih di antara pendapat-pendapat yang ada di kalangan ahli ilmu.
2.   Apabila gerhana telah selesai, maka tidak dilakukan shalat. Demikian juga jika seseorang tidak sempat shalat kusiuf, maka tidak disyari'atkan baginya mengqadha'.
3.   Apabila para ahli falak berkata bahwa akan terjadi gerhana, maka kita tidak melakukan shalat gerhana sampai kita menyaksikan gerhana. Hal ini, berdasarkan sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam "Fa idzaa ra'aytum dzaalik" (Apabila kalian melihatnya…dst). Oleh karena itu, Syaikh Ibnu 'Utsaimin berpendapat bahwa jika terjadi gerhana namun tidak dapat dilihat kecuali dengan alat tertentu, seperti teropong, maka kita tidak melakukan shalat gerhana (Lih. Asy Syarhul Mumti' 5/236-237).
4.   Menurut pendapat yang shahih, bahwa shalat kusuf boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang karena keumuman perintah Beliau untuk segera melaksanakan shalat.

Demikian mungkin hal yang dapat kami kumpulkan seputar shalat gerhana semoga bermanfaat, wal hamdulillahi rabbil 'aalamin.

Marwan bin Musa

Maraaji': Shalatul Kusuf (Dr. Sa'id Al Qahthaaniy), Al Wajiiz (Abdul 'Azhiim bin Badawi), Al Kusuuf (Syaikh Ali bin Hasan Al Halabiy) dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger