بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh
Hajr (1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Sesungguhnya
Islam datang untuk menjaga harta dan hak-hak manusia. Oleh karena itulah
disyari’atkan melakukan penghajran (pencegahan tindakan) terhadap orang yang
berhak dihajr untuk menjaga harta orang lain dan hak-haknya.
B.
Ta’rif (definisi) hajr
Hajr
secara bahasa artinya mempersempit dan menghalangi. sebagaimana dalam sabda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang Arab badui yang berkata, "Ya
Allah sayangilah aku dan sayangilah Muhamad, dan jangan Engkau menyayangi
seorang pun bersama kami," maka Beliau bersabda:
لَقَدْ حَجََرْتَ وَاسِعًا
"Kamu telah cegah sesuatu yang luas,”
maksudnya rahmat Allah. (HR. Bukhari)
Sedangkan
secara syara’ hajr artinya mencegah seseorang melakukan tindakan dalam
hartanya.
C.
Dalil pensyariatan Hajr
Dalil
tentang hajr adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:
"Dan janganlah
kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka
yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada
mereka kata-kata yang baik. (An Nisaa’: 5)
Orang
yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum baligh atau orang
dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya, termasuk pula orang-orang yang
sama dengan mereka seperti orang gila dan anak kecil. Dilakukan pencegahan adalah
agar tidak merusak hartanya dan
menghilangkannya, dan tidak diserahkan hartanya kecuali setelah benar-benar
cerdas. Dan bagi wali berhak mengatur harta mereka jika maslahat menghendaki.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Dan ujilah anak yatim itu sampai
mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah
cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. “ (Terj. An Nisaa’: 6)
Menguji
di ayat ini adalah mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan,
usaha-usaha mereka, kelakuan mereka dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak
itu dapat dipercayai.
Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam juga melakukan penghajran terhadap sebagian sahabat agar ia membayar
hutang yang ditanggungnya.
D. Macam-macam hajr
Hajr terbagi dua:
1.
Penghajran terhadap seseorang karena maslahat orang
lain. Seperti penghajran terhadap orang yang bangkrut karena pada harta itu ada
hak ghurama’ (para pemberi pinjaman) di situ, atau misalnya penghajran terhadap
si sakit agar tidak berwasiat melebihi 1/3 dari hartanya karena ada bagian
untuk ahli waris.
Demikian pula budak dihajr karena hak
tuannya, sehingga tidak sah tindakannya tanpa izin tuannya.
2.
Penghajran terhadap seseorang karena adanya maslahat
untuknya. Misalnya hajr terhadap anak kecil, orang dungu dan orang gila. Dalilnya
adalah surat An
Nisaa’: 5.
Namun
yang pertama kita bahas adalah hajr terhadap muflis (orang yang bangkrut).
Muflis adalah orang yang menanggung hutang banyak dalam keadaan hartanya yang
ada tidak dapat melunasinya, lalu hakim menetapkan bangkrutnya. Ia pun dicegah
oleh hakim melakukan tindakan terhadap hartanya agar tidak memadharratkan para
penagihnya (ghurama)[i].
E.
Penundaan orang yang mampu membayar
Orang
yang tidak mampu membayar, maka wajib diberi tangguh sebagaimana firman Allah
Ta’ala di surat
Al Baqarah: 280. Adapun orang yang mampu membayar hutangnya, maka tidak dihajr
karena tidak perlu. Akan tetapi disuruh untuk membayar hutangnya ketika para pemberi
pinjaman menagih. Orang yang mampu membayar, jika ia menundanya dan tidak
melunasi hutangnya padahal telah tiba waktunya, maka ia dianggap sebagai orang
yang zhalim berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Mathlul
ghaniyyi zhulm.” (Penundaan dari orang yang kaya adalah kezhaliman) (HR.
Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan
hadits tersebut, jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang menunda pembayaran padahal
kaya merupakan dosa yang besar, hakim wajib menyuruhnya melunasi hutangnya.
Jika enggan, maka ditahan jika penagih meminta ditindak seperti itu,
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ
"Penundaan orang yang mampu menghalalkan kehormatan dan
penghukuman terhadapnya." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah dan
Hakim, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5487)
Menghalakan
kehormatan misalnya mengeluhkan hal itu kepadanya seperti mengatakan, “Engkau
telah menunda pembayaran,” sedangkan penghukuman terhadapnya adalah dengan
memenjarakan/menahannya.
Syaikh
Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah mengatakan, “Barang siapa yang mampu melunasi
hutangnya, namun enggan membayar, maka dipaksa melunasinya dengan dipukul serta
dipenjarakan, seperti yang ditegaskan oleh para imam dari kalangan
sahabat-sahabat Malik, Syafi’i, Ahmad dan lain-lain.” Ia melanjutkan, “Saya
tidak mengetahui adanya perselisihan dalm hal ini.”
Ibnul
Mundzir berkata, "Yang banyak kami hapal dari ulama berbagai kota dan para hakimnya
adalah memenjarakan dalam masalah hutang."
Namun
Umar bin Abdul 'Aziz membagikan hartanya di antara para penagih dan tidak
memenjarakannya, ini pula yang dipegang oleh Al Laits, yakni jika orang itu
tetap tidak mau membayar hutang dan tidak mau menjual hartanya, maka hakim
menjualkannya dan membayarkan kepada pemiliknya untuk menghindarkan madharrat
baginya.
Dan
hukuman penjara dan ta’zir ini diulang-ulang sampai ia mau membayar hutangnya.
Jika ternyata ia masih tetap enggan membayar, maka hakim berhak menjual harta
miliknya dan melunasi hutang-hutangnya untuk menghilangkan madharrat bagi kedua
belah pihak. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam “Laa
dharar wa laa dhiraar.” (tidak boleh membahayakan dan membalas bahaya) (HR.
Ahmad dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’
no. 7517).
F.
Hajr terhadap orang yang muflis dan menjual hartanya
Dasar menjual
harta orang yang berhutang adalah hadits yang diriwayatkan oleh Sa’id bin
Manshur, Abu Dawud dan Abdurrazzaq dari hadits Abdurrahman bin Ka’ab secara
mursal, ia berkata,
كَانَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ شَابًّا سَخِيًّا ، وَكَانَ لَا يُمْسِكُ شَيْئًا
، فَلَمْ يَزَلْ يُدَانُ حَتَّى أُغْرِقَ مَالُهُ كُلُّهُ فِي الدَّيْنِ ، فَأَتَى
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ لِيُكَلِّمَ غُرَمَاءَهُ
، فَلَوْ تَرَكُوا لِأَحَدٍ لَتَرَكُوا لِمُعَاذٍ لِأَجْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَاعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَهُمْ مَالَهُ حَتَّى قَامَ مُعَاذٌ بِغَيْرِ شَيْءٍ
”Mu'adz
bin Jabal adalah seorang pemuda dermawan, ia biasa tidak bisa menahan sesuatu,
ia selalu berhutang sampai hutang itu menghabiskan hartanya semua. Lalu ia
datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam agar Beliau mau berbicara
dengan para penagihnya. Sebenarnya kalau seandainya mereka mau tentu mereka
meninggalkan Mu'adz karena ada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (tetapi
karena hutangnya banyak), maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
menjualkan hartanya kepada mereka sehingga Mu'adz bangun tanpa sesuatu apa
pun."
Dalam
Nailul Awthar disebutkan, berdasarkan hajr terhadap Mu’adz, maka dibolehkan
menghajr setiap orang yang berhutang. Demikian pula dibolehkan bagi hakim
menjual harta orang yang berhutang untuk melunasi hutangnya tanpa dibedakan
antara orang yang hartanya habis oleh hutang dan yang hartanya tidak demikian.”
Ketika hajr telah
sempurna, maka tindakan orang tersebut tidak diberlakukan pada harta-hartanya
tertentu, karena memang itulah tujuan hajr. Inilah pendapat Imam Malik dan yang
lebih tampak dari dua pendapat Imam Syaafi'i. Lalu harta dibagikan sesuai
bagian para penagih yang hadir dan menuntut itu, yakni yang telah tiba waktu
penagihannya, tidak termasuk orang yang hadir namun tidak menuntut dan orang
yang ghaaib (tidak hadir) yang tidak mengangkat wakil, demikian juga tidak
untuk orang yang hadir atau ghaaib yang belum tiba temponya baik ia menuntut
atau pun tidak. Inilah pendapat Imam Ahmad dan yang paling shahih di antara dua
pendapat Imam Syaafi'i.
Adapun mayit yang muflis,
maka dibayarkan baik kepada yang hadir maupun yang ghaib (tidak hadir),
menuntut atau tidak dan bagi semua yang memiliki hak hutang baik hutangnya
dibayar segera maupun diberi tempo. Tetapi hak Allah seperti zakat, kaffarat
didahulukan daripada hak hamba berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam,
فَإِنَّ دَيْنَ اللهِ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ
"Hutang Allah lebih berhak dibayar."
Namun Abu Hanifah
berpendapat bahwa tidak boleh menghajr orang yang berhutang dan tidak boleh
menjual hartanya, bahkan hakim memenjarakan saja sampai ia mau membayar. Namun
pendapat ini lemah, dan pendapat di atas lebih kuat karena sesuai dengan
hadits-hadits.
G. Seorang yang
menemukan hartanya ada pada si muflis
Seorang
yang menemukan hartanya ada pada si muflis, maka dibolehkan mengambilnya dengan
syarat:
1.
Si muflis masih hidup sampai diambil hartanya,
berdasarkan hadits:
فَإِنْ مَاتَ ; فَصَاحِبُ
الْمَتَاعِ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ
“Jika ia
meninggal, maka pemilik barang sama dengan para penagih yang lain.” (HR. Abu
Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih Ibnu
Majah (2359))
2.
Masih ada harga/pembayaran secara sempurna pada si
muflis. Jika pemilik barang telah menerima sebagian harganya, maka ia tidak
berhak menarik. Oleh karena itu, jika telah dijual barangnya dan telah diterima
sebagian hartanya, maka barang itu menjadi milik bersama para penagih. Ia tidak
berhak menariknya menurut jumhur.
3.
Masih ada barang itu secara sempurna pada milik si
muflis, jika didapatkan hanya sebagiannya saja, maka ia tidak bisa menariknya,
karena sama saja ia tidak mendapatkan barang asalnya, namun hanya mendapatkan sebagiannya.
4.
Barang tersebut sifatnya belum berubah. Jika ia
menemukan hartanya seperti sedia kala (tidak berubah dengan bertambah atau
berkurang), maka ia lebih berhak daripada penagih yang lain. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam,
مَنْ أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ
أَوْ إِنْسَانٍ قَدْ أَفْلَسَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ
“Barang siapa
yang menemukan hartanya seperti sedia kala pada seseorang yang telah bangkrut,
maka ia lebih berhak daripada yang lainnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
5.
Barang tersebut belum terkait dengan hak orang lain,
misalnya si muflis telah menggadaikannya, dsb.
6.
Barang tersebut tidak bertambah dengan tambahan yang
menempel seperti makin gemuk (jika berupa hewan). Oleh karena itu, jika
barangnya berubah menjadi bertambah atau berkurang, maka pemiliknya tidaklah
lebih berhak terhadapnya, bahkan barang itu menjadi milik bersama dengan para
penagih.
Jika
syarat-syarat ini terpenuhi maka pemilik barang berhak menariknya apabila telah
jelas orang itu muflis (bangkrut).
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad
wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan
bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar (oleh
beberapa ulama), Al Malkhas Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Fiqhus Sunnah
(Syaikh Saabiq), Nailul Awthaar (M. bin Ali Asy Syaukani), dll.
[i] Ada yang mengatakan bahwa muflis
artinya orang yang tidak memiliki harta dan tidak memiliki sesuatu yang dapat
memenuhi kebutuhannya, dan fakirnya telah mencapai keadaan yang membuatnya
tidak ada fulus (uang) sama sekali. Dinamakan muflis meskipun ia memiliki
harta, karena hartanya itu milik ghurama (para penagih), sehingga seakan-akan
ia tidak memiliki harta.
0 komentar:
Posting Komentar