بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Mandi (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul ‘aalamin, shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kepada keluarganya,
sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba’du:
Setelah dibahas hal yang mengharuskan mandi, rukunnya, dan
sifat atau cara yang dianjurkan, maka pada kesempatan kali ini akan dibahas
larangan bagi yang junub, mandi yang sunat dan beberapa masalah yang
terkait dengan mandi. Semoga Allah menjadikan risalah ini bermanfaat, Allahumma
aamiin.
I.
Larangan
bagi yang junub
Bagi yang junub dilarang melakukan
hal-hal berikut:
a. Shalat (lihat surah An Nisaa’: 43).
b. Thawaf di Baitullah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam:
اَلطَّوَافُ بِالْبَيْتِ
صَلاَة.ٌ.
“Thawaf di Baitullah adalah
shalat…dst.”
(HR. Nasa’i, Tirmidzi dan Ibnu
Khuzaimah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Nasa’i 2/614, Shahih
At Tirmidzi 1/283 dan Irwaa’ul Ghalil 1/154).
c. Menyentuh Mushaf. Hal ini berdasarkan hadits ‘Amr bin Hazm,
Hakim bin Hizam dan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhum:
لاَ يَمُسُّ الْقُرْآنَ
إِلاَّ طَاهِرٌ
“Tidak ada yang menyentuh Al Qur’an kecuali yang suci.” (HR. Malik dalam Al Muwaththa’ 1/199,
Daruquthni 1/122 dan Hakim 1/397, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani karena
syawahidnya dari hadits Hakim dan Ibnu Umar, lihat Irwaa’ul Ghalil 1/158, At
Talkhishul Habiir oleh Ibnu Hajar 1/131 dan Asy Syarhul Mumti’ 1/261)
d. Membaca Al Qur’an. Hal ini berdasarkan hadits Ali radhiyallahu
'anhu ia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan Al
Qur’an kepada kami dalam setiap keadaan selama tidak dalam keadaan junub.” (HR.
Tirmidzi dan ia berkata, “Hasan shahih.”, Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa’i, Ahmad
dan lainnya. Al Haafizh dalam At Talkhishul Habir 1/139 berkata, “Dishahihkan
oleh Ibnus Sakan, Abdul Haq, dan Al Baghawiy.” Syaikh Ibnu Baz dalam syarahnya
terhadap Bulughul Maram pada hadits no. 124 berkata, “Hadits hasan, dan ia
memiliki beberapa syahid.” Namun Syaikh Al Albani mendhaifkannya dalam Dha’if
As Sunan, lihat Al Irwaa' ( 485), wallahu a’lam).
e. Berdiam di masjid, (lihat surah An Nisaa’: 43)[i].
II. Mandi yang sunat
1. Mandi ihram. Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu
'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melepaskan pakaiannya untuk
ihlalnya dan melakukan mandi.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan ia
menshahihkannya serta disepakati oleh Adz Dzahabi, dan dishahihkan oleh Syaikh
Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi 1/250).
2. Mandi hari Jum’at. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
غُسْلُ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
“Mandi hari Jum’at itu wajib bagi
setiap yang baligh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
عَنْ سَمُرَةَ t قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ r مَنْ
تَوَضَّأَ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ, وَمَنْ اِغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ
أَفْضَلُ (رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيّ)
Dari Samurah radhiyallahu ‘anhu ia
berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
berwudhu’ pada hari Jum’at maka ia telah kerjakan yang wajibnya dan hal itu
baik, dan barangsiapa yang mandi maka mandi itu lebih utama.” (Diriwayatkan
oleh lima orang,
dihasankan oleh Tirmidzi, dan dihasankan pula oleh Syaikh Al Albani dalam
Shahih Abi Dawud 1/72).
3. Mandi ketika masuk ke Mekah. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu
Umar radhiyallahu 'anhu, bahwa ia tidak tiba di Mekah, kecuali bermalam di Dzi
Thuwa sampai pagi hari, lalu mandi, dan ia menyebutkan bahwa hal itu berasal
dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (HR. Bukhari dan Muslim).
4. Mandi untuk setiap kali jima’. Hal ini berdasarkan hadits
Abu Raafi’, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam suatu hari pernah
mengelilingi istri-istrinya, dimana Beliau mandi di istri yang ini dan yang
itu. Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa engkau tidak jadikan sekali
mandi?” Beliau menjawab, “Ini lebih suci dan lebih baik.” (HR. Abu Dawud,
Nasa’i, Thabrani, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud
1/43).
5. Mandi sehabis memandikan mayit. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ
“Barang siapa yang memandikan mayit,
maka hendaknya ia mandi.” (HR. Ibnu Majah, Shahih Ibnu Majah 1195).
6. Mandi karena menguburkan orang musyrik. Hal ini berdasarkan
hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, bahwa ketika Abu Thalib
meninggal, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyruh Ali
menguburkannya. Setelah ia menguburkannya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam memerintahkan kepadanya untuk mandi.” (Shahih isnadnya, HR. Nasa’i
dan Abu Dawud, lihat Ahkaamul Janaa’iz 134)
7. Mandi untuk wanita yang istihadhah untuk setiap kali shalat.
Hal ini berdasarkan hadits Ummu Habibah. Atau ketika menggabung antara dua
shalat dengan jama’ shuriy (dengan menta’khirkan shalat yang satu dan
mengedapankan shalat berikutnya). Hal ini berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Aku pernah terkena darah istihadhah yang
banyak sekali, lalu aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta
penjelasannya, maka Beliau menjawab, “Itu tidak lain gangguan dari setan, maka
cukup kamu merasakan haid selama 6 hari atau 7 hari, lalu mandilah, apabila
telah bersih shalatlah selama 24 atau 23 hari, puasalah dan shalatlah karena
hal itu cukup buatmu. Juga lakukanlah (perkirakan masa) haidmu seperti haidnya
wanita yang lain, apabila kamu sanggup menta’khirkan shalat Zhuhur dan
mengedepankan shalat ‘Ashar lalu mandi ketika bersih kemudian kamu shalat
Zhuhur dan ‘Ashar dengan dijama’ (maka lakukanlah), juga kamu sanggup
menta’khirkan shalat Maghrib dan mengedepankan shalat Isya lalu mandi dan
menggabungkan kedua shalat itu maka lakukanlah. Dan ketika Subuh kamu mandi
lalu shalat,” Beliau melanjutkan sabdanya, “Itulah hal yang paling aku sukai di
antara dua cara.” (Diriwayatkan oleh lima
orang selain Nasa’i, dan dishahihkan oleh Tirmidzi serta dihasankan oleh
Bukhari).
Catatan:
Yang wajib bagi wanita yang istihadhah setelah selesai dari kebiasaan haidhnya
adalah mandi, selanjutnya mandi menjadi sunat, yang wajib adalah berwudhu’.
8. Mandi setelah pingsan. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah
radhiyallahu 'anha yang menjelaskan bahwa ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam sakit dan para sahabat menunggu Beliau untuk mengimami, maka Beliau
meminta disiapkan air untuk mandi,
setelah mandi Beliau pingsan, ketika sadar, Beliau mandi lagi, dst. (Lihat di
Bukhari dalam Al Fat-h no. 687 dan Muslim no. 418)
9. Mandi pada hari raya. Baihaqi meriwayatkan dari jalan
Syafi’i dari Zaadzaan ia berkata: Ada
seorang yang bertanya kepada Ali tentang mandi?” Ia menjawab, “Mandilah setiap
hari jika kamu mau.” Ia berkata lagi, “Bukan itu, maksudnya adalah mandi (yang
sesungguhnya)?” Ia menjawab, “Hari Jum’at, hari ‘Arafah, hari Nahar dan hari
Fitri.” (Syaikh Al Albani berkata dalam Irwa’ul Ghalil, “Dan sanadnya shahih,”
yakni mauquf sampai kepada Ali radhiyallahu 'anhu) Sa’id bin Musayyib berkata,
“Sunnah Idul Fithri ada tiga; berjalan ke tanah lapang, makan sebelum keluar
dan mandi.” (Al Irwaa’ 3/104).
10. Mandi pada hari Arafah, yakni bagi jamaah haji.
III. Beberapa masalah yang terkait dengan mandi (lihat Fiqhus
sunnah hal. 52-53)
1. Cukup satu kali mandi untuk haidh dan janabat, atau untuk
shalat ‘Ied dan shalat Jum’at, atau untuk janabat dan Jum’at, dan ketika ia
meniatkan semuanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, “Wa innamaa likullim rim maa nawaa.” (artinya: seorang hanya
mendapatkan apa yang ia niatkan).
2. Apabila telah mandi janabat dan belum berwudhu’, maka mandi
dapat menduduki posisi wudhu’, karena Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berwudhu’ setelah mandi (HR. Tirmidzi
dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih keduanya).
Bahkan ketika ada seorang yang datang kepada Ibnu Umar mengatakan, bahwa
dirinya berwudhu’ setelah mandi, maka Ibnu Umar berkata kepadanya, “Engkau
telah berlebihan.”
3. Boleh bagi orang yang junub dan haidh untuk memotong rambut,
menggunting kukunya, keluar ke pasar, dsb. ‘Athaa’ berkata, “Orang junub
(boleh) berbekam, menggunting kukunya dan mencukur rambutnya meskipun belum
berwudhu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
4. Boleh bagi seorang laki-laki mandi bekas air yang dipakai
istrinya. Demikian pula sebaliknya. Ibnu Abbas berkata: Sebagian istri-istri
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mandi dalam sebuah wadah besar, lalu Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam datang untuk berwudhu’ atau mandi darinya, maka istrinya
berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku junub.” Beliau bersabda,
“Sesungguhnya air itu tidak junub.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Tormidzi dan
ia berkata, “Hasan shahih.”)
5. Tidak boleh mandi telanjang di tengah-tengah manusia, karena
membuka aurat hukumnya haram, kecuali jika jauh dari manusia, maka tidak
mengapa. Demikian pula diperbolehkan mandi meskipun di tengah-tengah manusia
jika ia menutup dirinya dengan kain atau semisalnya. Hal ini sebagaimana Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mandi, sedangkan Fathimah menutupi Beliau
dengan kain.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa
nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man waalaah.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Wajiiz fii Fiqhis
sunnati wal kitaabil ‘Aziz (Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi), Fiqhus Sunnah
(Syaikh Sayyid Sabiq), Risalah fil wudhu’ wal ghusli wash shalaah (Syaikh Ibnu
‘Utsaimin), Thahurul Muslim (Syaikh Sa’id Al Qahthaniy) dll.
[i] Namun jika
seseorang berwudhu sebelumnya, maka boleh baginya berdiam di masjid. Hal ini
berdasarkan praktek para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atha’ berkata, “Aku melihat beberapa
orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk (di masjid)
sedangkan mereka junub, yaitu ketika mereka telah berwudhu seperti wudhu untuk
shalat.”
Di samping itu, wudhu juga dapat meringankan
hadats.
0 komentar:
Posting Komentar