Fiqh Shalat Istisqa' (2)


بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Shalat Istisqa' (Meminta Hujan kepada Allah) (bag. 2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan pembahasan tentang shalat istisqa' dan hal-hal yang berkaitan dengannya, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Shalat istisqa' tidak ada azan dan iqamat
Tidak disyari'atkan untuk shalat istisqa' ini azan, tidak pula iqamat. Dari Abu Ishaq, ia berkata: Abdullah bin Yazid pernah keluar (ke lapangan), demikian pula Al Barra' bin 'Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu 'anhum, lalu ia berdoa meminta hujan, ia berdiri atas kedua kakinya bersama mereka tanpa menggunakan mimbar, ia beristighfar lalu shalat dua rakaat dengan menjahar(keras)kan bacaan dan tanpa melakukan azan dan iqamat." Abu Ishaq juga berkata, "Abdullah bin Yazid Al Anshari telah melihat (praktek) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." (HR. Bukhari)
Hanyasannya  bagi imam atau wakilnya memberitahukan kapan waktu berkumpulnya untuk shalat istisqa'. Dalilnya adalah hadits 'Aisyah yang telah disebutkan sebelumnya.
Praktek shalat Istisqa'
Praktek shalat istisqa' seperti shalat Ied, dimana takbir pada rakaat pertama 7 kali, sedangkan takbir pada rakaat kedua sebanyak 5 kali sebelum membaca Al Fatihah[i]. Bacaannya dijaharkan (dikeraskan) seperti shalat Ied[ii]. Imam Bukhari meriwayatkan dari 'Abbad bin Tamim dari pamannya ia berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam keluar (ke tanah lapang) untuk melakukan istisqa, lalu Beliau menghadap ke kiblat berdoa, memindahkan selendangnya, kemudian Beliau shalat dua rakaat dengan menjaharkan bacaannya." (HR. Bukhari)
Shalat istisqa' ini dilakukan di tanah lapang. Ibnu Abbas berkata:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَبَذِّلًا مُتَوَاضِعًا، مُتَضَرِّعًا، حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى - زَادَ عُثْمَانُ، فَرَقَى عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ اتَّفَقَا، - وَلَمْ يَخْطُبْ خُطَبَكُمْ هَذِهِ، وَلَكِنْ لَمْ يَزَلْ فِي الدُّعَاءِ، وَالتَّضَرُّعِ، وَالتَّكْبِيرِ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، كَمَا يُصَلِّي فِي الْعِيدِ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar dengan memakai pakaian biasa dalam keadaan bertawadhu' dan memohon dengan berendah diri hingga tiba di lapangan –Utsman menambahkan, "Lalu Beliau naik ke mimbar-, dan Beliau tidak berkhutbah seperti khutbahmu ini, akan tetapi Beliau senantiasa berdoa, merendahkan diri dan bertakbir, kemudian Beliau melakukan shalat dua rakaat sebagaimana yang Beliau lakukan dalam shalat 'Ied." (HR. Lima orang Ahli Hadits, dishahihkan oleh Tirmidzi, Abu 'Awanah, dan Ibnu Hibban)
Akan tetapi bagi penduduk Makkah, maka shalatnya di Al Masjid Al Haram. Seperti inilah yang dilakukan kaum salaf. Imam Syafi'i berkata dalam Al Umm (1/234), "Kecuali penduduk Mekkah, sesungguhnya tidak sampai kepada kami keterangan bahwa salah seorang dari kaum salaf melakukan shalat 'Ied kecuali di masjid mereka…dst." Ia juga berkata, "Dan aku tidak mengetahui mereka melakukan shalat Ied dan istisqa' melainkan di sana (di masjid)."
Keluar menuju ke tanah lapang, berdoa dan berkhutbah[iii] sebelum shalat istisqaa'
Sunnahnya keluar menuju tanah lapang ini berpenampilan sederhana dan menampakkan rasa butuh kepada Allah (tabadzdzul), tawaadhu' (merendahkan diri) dan tadharru' (bersungguh-sungguh dalam meminta).
Catatan:
a.    Khutbah itu dimulai dengan hamdalah, dan tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa Beliau membuka khutbah tanpa tahmid (memuji Allah subhaanahu wa ta'aala).
b.    Di antara adab berdoa adalah memulai dengan memuji Allah terlebih dahulu, hadirnya hati ketika berdoa, bersungguh-sungguh dalam berdoa, khusyu', mengangkat kedua tangan[iv] (untuk shalat istisqa' disyari'atkan mengangkat lebih tinggi hingga setentang dengan mukanya dan tidak melebihi kepalanya), bertawassul (memakai sarana) dengan Asmaa'ul Husna (nama-nama Allah) dan Ash shifaatul 'Ulaa (sifat-sifat-Nya yang tinggi).
c.     Boleh bertawassul kepada orang shalih yang masih hidup. Di dalam hadits disebutkan, bahwa para sahabat mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam agar Beliau berdoa kepada Allah Ta'ala agar diturunkan hujan. Namun dengan syarat "masih hidup", jika sudah meninggal maka haram hukumnya. Oleh karena itu, para sahabat sepeninggal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bertawassul kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berdoa, tetapi kepada pamannya Abbas bin Abdul Muththalib, agar pamannya berdoa kepada Allah agar Allah menurunkan hujan. Anas berkata:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِالْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ
"Bahwa Umar bin Khaththab ketika mendapatkan kemarau panjang beristisqa melalui Abbas bin Abdul Muththalib, ia berkata, "Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu bertawassul kepada Nabi-Mu shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Engkau mencurahkan hujan kepada kami, dan sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan." Mereka pun mendapat siraman hujan." (HR. Bukhari)
d.    Bagi imam disyari'atkan membalikkan dan memindahkan selendangnya setelah menghadap ke kiblat (membelakangi orang-orang) ketika berdoa, namun tidak bagi makmum. Caranya adalah dengan memindahkan selendang yang berada di pundak sebelah kanan ke pundak sebelah kiri, dan bagian selendang yang berada di pundah sebelah kiri dipindahkan ke pundak yang kanan kemudian berdoa kepada Allah dengan sirr (tidak keras). Hukumnya sunnah. Hikmah dilakukannya hal ini adalah bertafaa'ul (optimis) agar berpindah (berubah) keadaan dari keadaan sebelumnya. Hal ini berdasarkan hadits-hadits berikut:
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ، عَنْ عَمِّهِ، «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، خَرَجَ بِالنَّاسِ لِيَسْتَسْقِيَ فَصَلَّى بِهِمْ رَكْعَتَيْنِ، جَهَرَ بِالْقِرَاءَةِ فِيهِمَا، وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ، فَدَعَا وَاسْتَسْقَى وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ» (أبو داود وصححه الألباني) وفي رواية لأبي داود وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ، فَجَعَلَ عِطَافَهُ الْأَيْمَنَ عَلَى عَاتِقِهِ الْأَيْسَرِ، وَجَعَلَ عِطَافَهُ الْأَيْسَرَ عَلَى عَاتِقِهِ الْأَيْمَنِ، ثُمَّ دَعَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ .
Dari Abbad bin Tamim dari pamannya, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar bersama orang-orang untuk meminta kepada Allah diturunkan hujan, maka Beliau shalat bersama mereka dua rakaat, menjahar(keras)kan bacaan pada kedua rakaat itu, memindahkan selendangnya, mengangkat kedua tangannya, berdoa, meminta hujan dan menghadap kiblat." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, dalam sebuah riwayat Abu Dawud disebutkan, "Beliau memindahkan selendang yang berada di pundak kanan dan meletakkan di pundak sebelah kiri, sedangkan selendang yang kiri Beliau letakkan di pundak sebelah kanan, kemudian Beliau berdoa kepada Allah 'Azza wa Jalla.").
e.    Dan apabila hujan belum turun juga, maka tidak mengapa ia mengulang istisqanya dua atau tiga kali. Karena Allah Subhaanahu wa Ta'ala suka kepada orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam meminta, dan hal itu lebih dekat untuk dikabulkan. Demikian juga karena Allah Ta'ala akan mengabulkan doa seseorang ketika berdoa selama ia tidak tergesa-gesa yakni dengan mengatakan "Aku sudah berdoa, namun belum juga dikabulkan," sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim.
Bersambung…
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Subulus Salam (Imam Ash Shan'ani), Nailul Awthar (Imam Syaukani), Shalatul Istisqa' (DR. Sa'id Al Qahthani), Bughyatul Mutathawwi' (DR. M. Bin Umar Bazmul), Al Fiqhul Muyassar dll.


[i] Inilah yang dipegang oleh jamaah para ulama, demikian pula Sa'id bin Al Musayyib dan Umar bin Abdul 'Aziz, dan yang dipegang Imam Syafi'i berdasarkan zhahir lafaz hadits Ibnu Abbas, "Maka Beliau shalat dua rakaat sebagaimana yang Beliau lakukan dalam shalat 'Ied." Tetapi yang lain berpendapat, bahwa maksud hadits tersebut adalah bahwa shalat istisqa' seperti shalat 'Ied baik jumlah rakaatnya, dijaharkan bacaannya dan dilakukan sebelum khutbah. Inilah yang dipegang oleh Jamaah Ahlulbait dan diriwayatkan dari Ali, dan dipegang pula oleh Imam Malik (Lihat Subulus Salam pada bab Shalatul istsiqa' dan Nailul Awthar pada bab Shifat shalatil Istisqa').
[ii] Menurut penyusun Fiqhus Sunnah, bacaan pada rakaat pertama setelah Al Fatihah adalah surat Al A’la, sedangkan pada rakaat surat yang dibaca adalah surat Al Ghasyiyah.
[iii] Berkhutbah boleh juga dilakukan setelah shalat, namun tidak dua kali, yakni sebelum shalat berkhutbah kemudian setelahnya berkhutbah lagi, tetapi jika khutbah dilakukan sebelum shalat maka setelahnya tidak ada khutbah lagi atau dilakukan setelah shalat maka sebelumnya tidak ada khutbah. Berkhutbah setelah shalat ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang menjelaskan bahwa shalat istisqaa' sama seperti shalat Ied.
[iv] Adapun penafian mengangkat tangan dalam berdoa selain istisqa' dalam hadits Anas berikut,
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ، فَإِنَّهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْه .
Dari Anas ia berkata: Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya pada doanya sedikit pun selain dalam doa istisqa', Beliau mengangkat kedua tangannya sampai terlihat putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka maksudnya adalah penafian mengangkat tangan tinggi-tinggi, bukan menafikan mengangkat tangan itu sendiri. (lihat Subulus Salaam Juz 2 hal 165 cet. Darul Fikr).

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger