بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh
Wakalah (Perwakilan)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada
Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Termasuk
masalah yang dibahas dalam fiqh Islam adalah masalah wakalah, berikut ini
pembahasannya, semoga risalah ini Allah jadikan ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamiin.
A.
Ta’rif (pengertian) wakalah
Wakalah
artinya penyerahan seseorang kepada orang lain agar ia menggantikan posisinya
dalam hal-hal yang bisa diwakilkan.
B.
Hukum wakalah dan dalil pensyariatannya
Hukum
wakalah adalah masyru’ (disyariatkan). Dalam Al Qur’an disebutkan:
Maka suruhlah salah seorang di antara kamu
untuk pergi ke kota
dengan membawa uang perakmu ini, (Terj. Al Kahfi: 19)
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, (Terj. At
Taubah: 60)
Dalam kedua ayat di atas, Allah Subhaanahu
wa Ta'aala membolehkan mewakilkan untuk mengurus sesuatu.
Sedangkan dalam hadits, disebutkan dari
Urwah bin Ja’d ia berkata, “Ditawarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam barang-barang yang baru datang dari luar daerah, lalu Beliau memberiku
satu dinar dan bersabda, “Wahai Urwah, datangilah barang-barang itu dan belilah
seekor kambing untuk kita.” (HR. Bukhari)
Beliau juga pernah menjadikan
Abu Raafi’ wakil dalam pernikahan Beliau dengan Maimunah. Beliau shallallahu
'alaihi wa sallam juga mengirimkan para pemungut zakat, Beliau juga pernah mengangkat
wakil untuk membayarkan hutangnya, Beliau juga pernah mengangkat wakil untuk
menegakkan hudud, Beliau mengangkat wakil untuk menyembelih unta-untanya dan
agar dibagi-bagikan.
Kaum muslimin juga sepakat tentang
kebolehan wakalah secara garis besar, karena kebutuhan menghendaki hal itu.
Bahkan wakaalah dianjurkan,
karena termasuk ta'aawun 'alal birri wat taqwa (tolong-menolong di atas
kebaikan dan ketakwaan, lihat Al Maa'idah: 2). Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam juga bersabda:
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ
الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Allah
senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.”
(HR. Muslim)
C.
Apakah wakalah merupakan niyaabah (memposisikan diri)
atau walayah (memberikan kekuasaan)?
Dalam hal ini ada dua pendapat ulama; ada yang mengatakan bahwa
wakaalah adalah niyaabah karena haramnya menyelisihi orang yang mewakilkan, dan
ada juga yang berpendapat bahwa wakalah merupakan walaayah karena boleh
menyelisihi jika ke arah yang lebih baik seperti jual beli dengan dipercepat
dimana ia diperintahkan untuk melakukannya dengan ditunda.
D. Rukun wakalah
Wakalah merupakan salah satu akad
yang tidak sah kecuali jika terpenuhi rukunnya yaitu ijab dan qabul, namun
tidak disyaratkan untuk ijab dan qabul ini memakai lafaz tertentu. Bahkan
dianggap sah dengan semua yang
menunjukkan ijab dan qabul baik berupa ucapan maupun perbuatan.
E. Tanjiz dan Ta’liq
Akad wakalah dianggap sah baik
tanjiz (langsung) maupun ta'liq (dikaitkan dengan syarat) atau dihubungkan ke
masa yang akan datang sebagaimana sah juga dibuatkan jangka waktu atau dengan
melakukan perbuatan tertentu.
Contoh tanjiz adalah
mengatakan, “Saya serahkan kepadamu untuk membeli barang ini.”
Contoh ta'liq adalah
mengatakan, “Jika perkara ini sudah selesai, maka kamu menjadi wakilku.”
Contoh dihubungkan kepada masa
yang akan datang adalah mengatakan, “Jika tiba bulan Ramadhan, maka saya angkat
kamu menjadi wakilku.”
Contoh dengan jangka waktu
adalah mengatakan, “Saya angkat kamu sebagai wakil selama setahun atau untuk
melakukan perbuatan ini.”
Hal di atas merupakan madzhab
ulama Hanafi dan Hanbali. Adapun ulama madzhab Syafi'i, maka menurutnya tidak
boleh dikaitkan dengan syarat.
Wakaalah juga bisa sifatnya tabarru' (suka rela) dari wakil, dan
bisa juga dengan upah karena hal itu merupakan tindakan yang dilakukan untuk
orang lain yang tidak mesti dilakukannya. Oleh karena itu, diperbolehkan dengan
bayaran. Tentunya ketika seperti ini, si muwakkil (pengangkat wakil) boleh
mensyaratkan agar si wakil tidak keluar dari lingkaran pekerjaan itu kecuali
jika telah selesai waktu yang ditentukan, jika tidak demikian, maka ia harus
menanggung ganti[i].
Jika dalam 'akad disebutkan dengan upah untuk si wakil, maka si wakil dianggap
sebagai ajiir (orang yang diupah) dan berlaku baginya hukum-hukum tentang ajir.
F. Syarat dan hukum-hukum yang terkait
dengan wakalah
1.
Disyaratkan bagi masing-masing wakil
dan muwakkil (yang mengangkat wakil) harus orang yang ja’izut tasharruf (boleh
bertindak), baligh, berakal dan cerdas.
Tentang yang menjadi muwakkil adalah
anak-anak yang mumayyiz
Disebutkan dalam Fiqhus Sunnah
pada bagian wakalah, “Adapun jika anak kecil tersebut mumayyiz (bisa membedakan), maka
sah pengangkatan wakil yang dilakukannya dalam tindakan-tindakan yang
bermanfaat baginya seperti pengangkatan wakil untuk menerima hadiah, sedekah
dan wasiat. Namun, apabila tasharruf (tindakan) yang dilakukan merugikannya
seperti talak, hibah dan sedekah maka pengangkatan wakil yang dilakukannya
tidak sah.”
Tentang yang menjadi wakil adalah
anak-anak yang mumayyiz
Adapun anak kecil yang sudah mumayyiz (mampu membedakan),
maka sah diangkat sebagai wakil menurut ulama madzhab Hanafi, hal itu karena
anak kecil yang mumayyiz seperti anak yang sudah baligh yang sudah mengetahui
masalah keduniaan. Hal itu, karena Umar puteri Ummu Salamah pernah menikahkan
ibunya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal ia anak kecil
yang belum baligh sebelumnya.
2.
Disyaratkan untuk sesuatu yang diwakilkan
harus diketahui oleh wakil atau jika majhul (tidak diketahui), maka tidak
terlalu majhul sekali, kecuali jika muwakkil menyebutkan secara mutlak dengan
kata-kata “Belikanlah untukku apa saja yang kamu mau.”
3.
Wakalah dianggap sah dalam hal yang
bisa dilakukan wakalah, seperti jual beli dan seluruh akad serta semua pembatalan
seperti talak dan khulu’. Imam Bukhari
meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah punya hutang kepada seseorang berupa unta umur tertentu, orang itu pun
datang untuk menagihnya, maka Beliau bersabda, “Berikanlah kepadanya,” maka
para sahabat mencari unta usia tersebut namun tidak menemukan selain usia yang
di atasnya, maka Beliau bersabda, “Berikanlah kepadanya,” maka orang tersebut
berkata, “Engkau telah membayar hutangmu, semoga Allah membayarkan hutangmu,”
lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang terbaik
di antara kamu adalah orang yang terbaik dalam membayar hutangnya.”
Demikian pula wakalah sah dalam ibadah
yang boleh dilakukan di dalamnya wakalah, seperti mengeluarkan zakat, membayar
kaffarat, nadzr, haji, umrah dsb. karena adanya dalil tentang bolehnya hal itu.
4.
Tidak sah wakalah yang di sana tidak berlaku
wakalah dalam pemenuhan hak-hak Allah Ta’ala, seperti bersuci dan shalat.
5.
Wakil memiliki hak bertindak sesuai
yang diizinkan muwakkil (pengangkatnya) atau sesuai uruf yang berlaku di antara
manusia, dengan syarat perizinan tersebut tidak merugikan muwakkil.
6.
Tidak sah bagi wakil mengangkat
orang lain menjadi wakil menggantikan dirinya kecuali jika diizinkan oleh
muwakkilnya atau si wakil tidak mampu melakukannya atau tidak bagus dalam
melakukannya, sehingga ia angkat orang yang terpercaya sebagai wakil yang
menggantikan posisinya sebagai wakil dalam perkara yang diserahkan kepadanya.
7.
Wakil adalah orang yang diamanahi
dalam hal yang diwakilkan kepadanya, ia tidaklah menanggung kecuali jika ia
meremehkan atau melampaui batas. Dan ucapan wakil adalah diterima sebagaimana
ucapan orang-orang yang diamanahi lainnya dalam hal kerusakan.
Di antara contoh meremehkan adalah
seorang menjualkan suatu barang dagangan dan menyerahkan barang tersebut kepada
pembeli, tetapi ia belum menerima pembayarannya,
atau memakai barang untuk kepentingan pribadi atau menyimpannya di tempat yang
tidak terjaga.
8.
Wakalah merupakan akad yang ja’iz
(boleh), dimana bagi masing-masingnya (wakil dan muwakkil) berhak
membatalkannya.
9.
Barang siapa yang mewakilkan kepada orang
lain untuk menjualkan sesuatu, ia pun menyebutkan secara mutlak wakalah tanpa
menentukan harga tetentu, demikian juga tanpa menerangkan dijual dengan bayaran
segera atau ditunda, maka bagi wakil tidak boleh menjual kecuali dengan harga
mitsl (standar), ia juga tidak boleh menjualnya dengan bayaran ditunda. Makna
“secara mutlak” tidaklah berarti bahwa wakil boleh berbuat semaunya, bahkan
maksudnya adalah hendaknya ia menjual dengan penjualan yang biasa berlaku di
kalangan para pedagang dan lebih bermanfaat bagi muwakkil.
Abu Hanifah berkata, “Boleh menjualnya bagamana saja caranya
yang ia mau tunai atau memakai tempo,
(meskipun) tanpa harga mitsil (standar), dengan bayaran yang biasanya
orang-orang tidak merasa tertipu, dengan alat bayar yang biasa dipakai di
negeri itu atau selainnya, karena itulah arti “mutlak.” Dan terkadang orang
lain menginginkan agar sebagian miliknya ditiadakan walaupun ia rugi sekali.
Hal ini, tentunya jika wakalahnya mutlak. Namun jika tidak mutlak (muqayyad),
maka wajib bagi wakil membatasi diri sesuai batasan yang ditentukan muwakkil
dan tidak boleh menyelisihinya kecuali jika menyelisihi kepada yang lebih baik bagi
muwakkil.
Sebaliknya, jika menyelisihi muwakkil kepada yang kurang baik
bagi muwakkil, maka tindakan wakil tersebut batal menurut Imam Syafi'i,
sedangkan ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa tindakan tersebut tergantung
keridhaan muwakkil, jika dibolehkan olehnya maka sah, jika tidak maka tidak
sah..
10.
Wakil yang disuruh membelikan sesuatu jika
telah dibatasi dengan syarat-syarat yang ditetapkan muwakkil, maka wakil wajib
memperhatikannya syarat-syarat itu baik syarat-syarat itu berkaitan dengan
sesuatu yang dibeli atau berkaitan dengan harganya. Jika ternyata ia
menyelisihinya dengan membeli apa yang tidak diminta untuk dibeli atau membeli
dengan harga lebih dari yang ditentukan muwakkil, maka barang yang dibeli itu
untuk si wakil bukan muwakkil. Tetapi, jika menyelisihi kepada yang lebih baik,
maka boleh berdasarkan hadits Urwah Al Baariqi yang diminta membelikan satu
kambing dengan harga satu dinar, lalu ia membeli dua kambing seharga satu
dinar, kemudian kambing yang satu dijual, sehingga ia datang kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam membawa satu dinar dan seekor kambing. (HR.
Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi).
11. Wakalah
menjadi batal karena salah satu pihak (wakil atau muwakkil) meninggal, atau
gila, atau membatalkannya atau dipecat oleh muwakkil atau dihajr karena kurang
akalnya.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa
nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar (oleh
beberapa ulama), Al Malkhas Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan),
Fiqhus Sunnah, dll.
[i] Ulama madzhab
Hanbali berkata: Jika seorang berkata, “Juallah barang ini seharga sepuluh,
selebihnya maka untukmu,” maka sah jual beli itu dan tambahannya untuk si
wakil. Ini merupakan pendapat Ishaq dan lainnya. Bahkan Ibnu Abbas memandang hal
itu tidak masalah, karena seperti mudhaarabah.
0 komentar:
Posting Komentar