Menyikapi Perselisihan Ulama

بسم الله الرحمن الرحيم

Menyikapi Perselisihan

Para Ulama

Perlu diketahui bahwa khilaf (perbedaan pendapat) para ulama bukanlah dalam masalah ushul (dasar-dasar agama), tetapi dalam masalah furu' (cabang-cabang agama), wal hamdulillah.
Kita juga yakin bahwa para ulama yang memang dipercaya ilmu, amanah dan agamanya tidaklah menyelisihi kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam secara sengaja, karena orang yang memiliki ilmu dan mengamalkan agamanya tidak ada maksud dan tujuan yang mereka inginkan selain mencari yang hak dan mengamalkannya. Namun demikian, para ulama bisa saja keliru dalam menggali hukum-hukum Allah Ta'ala, yakni dalam masalah furu'. Hal itu disebabkan keadaan manusia yang lemah, Allah Ta'ala berfirman:
"Dan manusia dijadikan bersifat lemah." (Terj. An Nisaa': 28)
Keadaan manusia yang lemah dan pengetahuannya yang terbatas memungkinkan dirinya terjatuh dalam kekeliruan dan kesalahan.
Beberapa sebab timbulnya perbedaan ulama
Sebagaimana telah diterangkan bahwa para ulama tidaklah menyelisihi nash (dalil) dengan sengaja, berikut ini di antara sebab yang menjadikan pendapat mereka menyelisihi nash, yaitu:
1. Belum sampainya hadits tersebut kepadanya, sehingga ia berijtihad, dan ternyata ijtihadnya keliru.
Contohnya adalah ketika Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu hendak bersafar ke Syam, saat di tengah perjalanan, ia diberitahukan bahwa di sana sedang tersebar penyakit tha'un. Ia pun berhenti dan bermusyawarah dengan para sahabat yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, mereka semua berbeda pendapat sehingga timbul dua pendapat; pendapat yang menyarankan untuk melanjutkan perjalanan dan pendapat yang menyarankan untuk pulang. Di tengah perbedaan pendapat tersebut, Abdurrahman bin 'Auf datang dan berkata: "Sesungguhnya saya memiliki ilmu tentang masalah itu, saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
« إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَاراً مِنْهُ » .
"Apabila kalian mendengar wabah tersebut ada di suatu negeri, maka janganlah mendatanginya. Tetapi, jika wabah itu berada di negeri di mana kalian berada, maka janganlah kalian keluar melarikan diri darinya."
Akhirnya Umar pulang dan tidak melanjutkan perjalanan ke Syam (sebagaimana dalam Shahih Bukhari).
2. Hadits tersebut sudah sampai, akan tetapi ia belum yakin betul dengan periwayatnya.
Contoh dalam masalah ini adalah hadits Fathimah binti Qais, ia pernah ditalaq oleh suaminya tiga kali talaq, lalu suaminya mengutus seseorang untuk mengirimkan kepadanya gandum buat nafkah selama masa 'iddah, namun Fathimah menolak untuk menerimanya, akhirnya keduanya mengadu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa "Ia (Fathimah binti Qais) tidak berhak lagi nafkah dan tempat tinggal" yakni karena telah ditalaq tiga (talaq ba'in), di mana wanita yang ditalaq tiga tidak berhak nafkah dan tempat tinggal dari suaminya kecuali jika ia hamil (Lih. Ath Thalaq: 7).
Namun hukum ini tidak diketahui oleh Umar bin Khaththab, menurutnya bahwa wanita yang ditalaq tiga tetap mendapatkan nafkah dan tempat tinggal, ia tidak berpegang dengan hadits Fathimah karena menurutnya Fathimah mungkin lupa, sampai-sampai Umar berkata, "Apakah kita akan meninggalkan firman Rabb kita hanya karena perkataan seorang wanita yang tidak kita ketahui apakah ia masih ingat atau sudah lupa!?".
Oleh karena itu, kita menyaksikan sebagian ulama tidak berpegang dengan suatu hadits karena ia masih ragu tentang  keshahihannya.
3. Hadits tersebut telah sampai kepadanya, namun ia lupa.
Contohnya kisah Umar bin Khaththab dengan Ammar bin Yasir radhiyallahu 'anhuma saat keduanya diutus Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk suatu keperluan, lalu ternyata keduanya junub. Ketika itu, 'Ammar berijtihad, menurutnya tanah dapat mensucikan seperti halnya air, ia pun berguling di tanah agar badannya terlumuri tanah, sedangkan Umar tidak segera shalat. Keduanya pun datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan pengarahan dan bersabda kepada 'Ammar: "Sesungguhnya cukup bagimu melakukan dengan kedua tanganmu begini…dst." Yakni Beliau mengajarkan tayammum kepada 'Ammar. Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan saat Umar menjabat sebagai khalifah, 'Ammar menyampaikan lagi hadits tentang tayammum itu kepada Umar, namun Umar malah mengatakan, "Hadits apa yang kamu kamu sampaikan tadi?" maka 'Ammar mengingatkan kembali kisah mereka berdua ketika diutus Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, namun Umar tetap tidak ingat hadits itu. Ia pun bertanya kepada Ibnu Mas'ud dan Abu Musa. Ketika itu, Umar juga menyampaikan hadits 'Ammar kepada Abu Musa, lantas Ibnu Mas'ud berkata (kepada Abu Musa): "Tidakkah kamu lihat, sepertinya Umar belum puas dengan perkataan 'Ammar."
4. Hadits tersebut telah sampai kepadanya, tetapi memahaminya berbeda.
Contohnya adalah ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab dan menaruh perlengkapan perang, Jibril datang dan memberitahukan untuk tidak menaruh perlengkapan perang, bahkan tetap dibawa untuk mendatangi Bani Quraizhah yang berkhianat. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk pergi ke Bani Quraizhah, Beliau bersabda:
"Jangan ada salah seorang di antara kamu yang shalat 'Ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah."
Dalam memahami sabda Beliau tersebut, para sahabat berbeda pendapat. Sebagian sahabat berpendapat bahwa maksud Beliau adalah agar mereka segera menuju Bani Quraizhah, sehingga shalat 'Asharnya di Bani Quraizhah, sedangkan sahabat yang lain berpendapat bahwa mereka tidak boleh shalat 'Ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraizhah. Akhirnya sahabat yang berpegang dengan pendapat pertama melakukan shalat 'Ashar pada waktunya, sedangkan sahabat yang berpegang dengan pendapat kedua, melakukannya setelah tiba di Bani Quraizhah padahal ketika itu waktu 'Ashar sudah lewat. Ketika itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari salah seorang pun di antara mereka.
Namun hal ini tidaklah menunjukkan bahwa semuanya benar, karena kebenaran hanya satu.
Contoh lainnya adalah dalam memahami firman Allah Ta'ala:
"Atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)" (Terj. Al Maa'idah: 6)
Imam Syafi'i berpendapat bahwa menyentuh wanita dapat membatalkan wudhu', yang lain berpendapat jika menyentuhnya disertai syahwat, sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa maksud "menyentuh" di sini adalah jima'. Di antara pendapat tersebut, yang rajih adalah pendapat Ibnu Abbas (Lihat alasannya dalam buku Al Khilaf bainal 'ulama oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin).
Syaikh Abu Bakr Al Jazaa'iriy berkata:
"Mungkin seorang bertanya: "Mengapa Imam Syafi'i tidak menarik pemahaman itu dan mengikuti ulama yang lain, dengan begitu tidak ada khilaf?" Jawab: "Sesungguhnya tidak boleh selamanya bagi seseorang ketika telah memahami sesuatu yang berasal dari Tuhannya tanpa diselingi rasa ragu, kemudian ditinggalkannya hanya karena mengikuti sebuah pendapat atau pemahaman ulama yang lain, sehingga ia menjadi seorang yang (lebih) mengikuti ucapan manusia; meninggalkan firman Alllah, padahal yang demikian termasuk dosa yang besar di sisi Allah Azza wa Jalla.
Ya, kalau seandainya pemahamannya bertentangan dengan nash yang sharih (tegas) dari Al Qur'an atau Sunnah, ia wajib berpegang dengan dilalah (kandungan) yang nampak jelas dari dalil itu dan wajib meninggalkan pendapatnya yang memang bukan merupakan nash yang sharih maupun zhahir (jelas). Karena kalau seandainya dilalahnya qath'i (jelas dan tidak mengandung kemungkinan lain), niscaya tidak ada dua orang pun dari umat ini yang berselisih, terlebih di kalangan ulama." (Minhajul Muslim hal. 63).
5. Sampai kepadanya hadits tersebut, namun ia tidak mengetahui bahwa hadits tersebut sudah mansukh (dihapus hukumnya)
Contohnya adalah pendapat Ibnu Mas'ud, yaitu bahwa ketika ruku' menurutnya disyari'atkan tathbiq (yakni meletakkan kedua telapak tangan dalam keadaan dihimpitkan jari-jarinya di antara kedua paha atau lutut). Memang di awal-awal Islam cara ruku' seperti itu, kemudian dimansukh. Oleh karena itu, Sa'ad ketika mendengarnya berkata: "Kami dahulu memang melakukan seperti itu, namun sekarang Beliau memerintahkan kami seperti ini." Yakni menaruh di atas lutut dengan menggenggamnya.
6. Hadits tersebut telah sampai kepadanya, namun menurutnya hadits itu kalah kuat dengan hadits yang telah sampai kepadanya sebelum itu.
Contohnya adalah pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang riba fadhl (adanya kelebihan dalam penukaran uang atau makanan yang sejenis), menurutnya tidak ada riba fadhl sehingga jika dilakukan tukar menukar pada barang-barang ribawi seperti kurma satu sha' (satu gantang) dengan kurma dua sha' secara langsung, maka tidak mengapa. Ia berdalih dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Laa ribaa illaa fin nasii'ah" (artinya "Tidak ada riba selain pada nasii'ah/hutang"). Namun para ulama setelah Ibnu Abbas berpandangan bahwa riba ada dua; riba nasii'ah dan riba fadhl berdasarkan hadits-hadits yang lain. Hadits yang disampaikan Ibnu Abbas dengan hadits-hadits lain yang melarang riba fadhl tidaklah bertentangan, karena sangat mungkin sekali dijama' (dipadukan), hadits yang membatasi hanya pada nasii'ah (kelebihan dalam pembayaran hutang) maksudnya adalah bahwa tidak ada riba yang besar selain dalam riba nasii'ah, sedangkan riba fadhl adalah riba yang ringan, meskipun kedua-duanya haram. Riba yang pertama adalah riba yang sesungguhnya, sedangkan riba fadhl merupakan wasilah (sarana) yang mengarah kepada riba nasii'ah.
Tetapi akhirnya Ibnu Abbas rujuk dari pendapatnya itu dan beristighfar setelah berdialog dengan Abu Sa'id (sebagaimana dalam riwayat Hakim).
7. Berpegangnya seorang ulama dengan hadits dha'if yang dinilainya shahih.
Contoh dalam hal ini adalah tentang shalat Tasbih. Sebagian ulama ada yang menganjurkannya karena menilai bahwa haditsnya hasan lighairih. Sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa shalat tasbih adalah bid'ah, karena memandang hadits tentang shalat tasbih adalah dha'if (seperti yang diterangkan Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah).
Bagaimana cara menyikapi perselisihan ulama?
Sikap yang wajib bagi seorang yang mengetahui dalil adalah mengikuti dalil itu meskipun menyelisihi sebagian imam, selama tidak menyelisihi ijma', karena setiap orang boleh diambil dan ditinggalkan pendapatnya selain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. (lihat buku Al Khilaf bainal ‘ulama oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)
Siapakah yang berhak ijtihad?

Namun demikian, tidak semua orang mampu menggali hukum sehingga berijtihad sendiri, karena yang demikian dapat membuat rusaknya syari'at dan rusaknya masyarakat. Bahkan untuk ijtihad dibutuhkan ilmu, dan dalam hal ini yang memilikinya adalah ulama. Dengan demikian ada tiga keadaan manusia dalam masalah ini, yaitu:
1.  Ulama sebagai orang yang diberi ilmu dan pemahaman oleh Allah Ta'ala.
2.  Penuntut ilmu, di mana ia memiliki ilmu namun belum begitu dalam sebagaimana ulama.
3.  Orang awam.
Ulama berhak ijtihad, ia berhak menggalli hukum dari dalil itu meskipun hasil istinbatnya menyelisihi yang lain. Jika ijtihadnya betul, maka ia akan memperoleh dua pahala dan jika salah maka ia memperoleh satu pahala karena niatnya mencari yang hak setelah melalui jalur-jalurnya (seperti melalui Ushul Fiqh yang dimiliknya, pengetahuannya yang luas terhadap dalil, Qawaa'idul fiqhiyyah dsb). Mereka tidak bisa disalahkan jika ijtihadnya keliru, karena "Maa 'alal muhsiniin min sabiil", yakni orang yang telah bersusah payah dengan niat yang baik untuk memperoleh yang hak tidaklah bisa disalahkan.
Penuntut ilmu, ia hendaknya ittiba' (tidak asal mengikuti tanpa mengetahui dalilnya), ia bisa berpegang dengan keumuman dalil dan kemutlakannya serta berdasarkan dalil yang sampai, akan tetapi ia tetap harus berhati-hati, jangan lupa bertanya kepada orang yang lebih alim agar tidak tergelincir. Dan jika dihadapkan perbedaan para ulama, hendaknya dipilih pendapat yang yang lebih rajih atau lebih dekat kepada kebenaran. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya…dst.” (terj. Az Zumar: 18)
Orang awam, kewajibannya adalah bertanya kepada ulama yang dipandangnya berilmu, itulah tugasnya, Allah Ta'ala berfirman:
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (Terj. An Nahl: 43)
Haruskah memegang madzhab tertentu?
Pernah ada seorang yang bertanya kepada redaksi majalah As Sunnah (edisi 08/tahun XI/1428 H): “Bolehkah kita menggabung pemahaman (ijtihad) mengenai tata cara shalat dari ulama yang berbeda? Contohnya dengan mengambil pendapat Syaikh Al Albani dan Syaikh bin Baz?”
Majalah As Sunnah menjawab:
“Shalat merupakan rukun Islam yang agung. Tata caranya telah dicontohkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan kita diperintahkan untuk melakukannya sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mencontohkannya. Ini disampaikan dalam sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian telah melihat aku shalat.” Bagi kita yang tidak hidup pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak melihat langsung shalat Beliau, namun melihatnya melalui riwayat para sahabat yang melihat Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam shalat, kemudian yang telah ditulis oleh para ulama dalam kitab-kitab hadits dan fiqih. Memang, terkadang muncul ijtihad para ulama dalam memahami satu riwayat tertentu, sehingga terkesan tata caranya berbeda antara yang satu dengan lainnya. Maka dalam hal ini kita harus mengambil pendapat yang rajih dari ijtihad-ijtihad tersebut. Sehingga dalam keadaan tertentu, mungkin yang dirajihkan pendapat Syaikh bin Baz. Misalnya, dalam hal sedekap ketika I’tidal itu yang rajih, sehingga diambil. Pada keadaan lainnya, seperti ketika turun sujud mendahulukan tangan  daripada lutut. Yang dirajihkan syaikh Al Albani itulah yang rajih, sehingga diambil.
Dari gambaran di atas, jika seseorang mengambil dan menggabung ijtihad-ijtihad tersebut dengan dasar tarjih, maka insya Allah boleh, karena menjadikan ijtihad ulama sebagai sarana memahami tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan lagi tidak ada kewajiban mengikuti seorang pun dalam urusan agama ini, kecuali Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, yang kita ambil ialah yang paling dekat kepada ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kemampuan kita dalam mentarjihnya.”
Wallahu a'lam.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Khilaf bainal 'Ulama (Syaikh Ibnu 'Utsaimin), Fat-hul Bari (Al Hafizh Ibnu Hajar Al 'Asqalaaniy), Ta'liq Mukhtashar 'alaa Lum'atil I'tiqaad (Syaikh Ibnu 'Utsaimin), Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakr Al Jazaa'iriy) , Majalah As Sunnah dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger