Keutamaan bulan Muharram
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Imam Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
« أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ
شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ
اللَّيْلِ ». وَفِي رِوَايَةٍ: (
اَلصَّلاَةُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ )
"Puasa
yang paling utama setelah Ramadhan adalah bulan Allah Muharram, dan shalat yang
paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam." Dalam sebuah
riwayat disebutkan, "Yaitu shalat di tengah malam." (HR. Muslim)
Hadits di atas menunjukkan keutamaan puasa Muharram, dan
keutamaannya menduduki posisi kedua setelah puasa Ramadhan. Demikian juga
menunjukkan keutamaan bulan Muharram karena disebut sebagai bulan Allah.
Bulan Muharram disebut sebagai bulan Allah sebagai bentuk
penghormatan terhadap bulan ini, karena Allah tidaklah menyandarkan sesuatu
kepada-Nya kecuali karena keistimewaannya, seperti Baitullah (rumah Allah),
rasulullah (utusan Allah) dsb.
Telah terjadi kesepakatan di zaman khalifah Umar bin Khathtab
bahwa bulan Muharram sebagai bulan pertama tahun hijriah.
Bulan Muharram adalah salah satu di antara empat bulan haram (yang
dihormati). Empat bulan haram tersebut adalah Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram
dan Rajab. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
"Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah adalah dua belas
bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus maka
janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu…" (terj. At
Taubah : 36)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ
شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ
وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
." رواه البخاري
"Setahun
ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram; tiga berurutan yaitu
Dzulqa'dah, Dzulhijjah dan Muharram, sedangkan Rajab Mudhar antara Jumada
(Tsaniyah) dan Sya'ban." (HR. Bukhari)
Bulan ini dinamakan "Muharram" yang artinya
"diharamkan" untuk memperkuat keharamannya melakukan dosa di bulan
tersebut.
Ibnu Abbas mengatakan dalam menafsirkan ayat "maka
janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan-bulan) itu" :
"(Yakni) di seluruh bulan itu, kemudian Allah mengkhususkan
di antara bulan-bulan itu yaitu empat bulan, dijadikan-Nya bulan yang empat itu
haram serta dimuliakan-Nya kehormatan bulan-bulan itu. Dia pun menjadikan dosa
di bulan haram itu lebih besar dosanya (dibanding bulan lainnya), dan beramal
saleh di bulan-bulan itu lebih besar pahalanya."
Bulan Hijriah bagi umat Islam
Allah Ta'ala menjadikan bulan sebagai tanda-tanda waktu bagi
manusia, firman-Nya:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah,
"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah)
haji." (Terj. Al Baqarah: 189)
Tanda awal dan akhir bulan-bulan tersebut dapat diketahui dengan
mudah oleh manusia. Namun sayang, kebanyakan kaum muslimin meninggalkan
kalender Hijriah ini dan menggunakan kalender Masehi. Hal ini merupakan tanda
kelemahan, kemunduran dan mengekornya kepada non muslim, akibatnya kaum
muslimin menjadi jauh dari kalender mereka yang dapat mengingatkan mereka
dengan syi'ar agama dan ibadah mereka. Oleh karena itu, hendaknya seorang
muslim ketika memilih kalender, tetap mencari kalender yang di
Cara pelaksanaan puasa Muharram
Para ulama menjelaskan bahwa hadits yang disebutkan di atas
merupakan dorongan untuk memperbanyak puasa di bulan Muharram, namun tidak
secara penuh setiap harinya. Hal ini berdasarkan perkataan Aisyah radhiyallahu
'anha: "Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan dan aku tidak pernah
melihat puasa yang paling banyak dilakukan Beliau selain di bulan
Sya'ban." (HR. Muslim)
Puasa 'Asyura (10 Muharram) dalam sejarah
Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa kaum Quraisy
berpuasa pada hari 'Asyura di masa jahiliyyah. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam juga memerintahkannya sampai puasa Ramadhan diwajibkan. Setelah itu,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
« مَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْهُ ، وَمَنْ شَاءَ
أَفْطَرَ » .
"Barangsiapa
yang hendak berpuasa (Asyura), maka silahkan berpuasa dan barangsiapa yang
hendak berbuka, maka silahkan berbuka."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits ini, hari 'Asyura adalah hari yang sudah
masyhur di zaman jahiliyyah, mereka biasa berpuasa di hari itu dan menjadikannya
hari untuk menutup Ka'bah sebagaimana dikatakan Aisyah radhiyallahu 'anha dalam
riwayat Bukhari. Al Qurthubiy berkata, "Mungkin yang mereka
jadikan sandaran melakukan puasa di hari itu adalah syari'at Ibrahim dan
Isma'il, mereka biasa menyandarkan sesuatu kepada keduanya sebagaimana mereka
menyandarkan masalah hajji dan lainnya kepada keduanya…" (Al Mufhim:
3/190)
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan sbb.:
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى
اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى ، قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ
بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ . "
"Ketika
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, Beliau melihat orang-orang
Yahudi berpuasa pada hari 'Asyura, maka Beliau bertanya, "
Puasa hari 'Asyura ini berdasarkan hadits-hadits yang lain awalnya
adalah wajib, namun setelah difardhukan puasa Ramadhan maka hukum puasa 'Asyura
menjadi sunat.
Keutamaan Puasa 'Asyura
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa
'Asyura, Beliau menjawab,
يُكَفِّرُ السَّنَةَ اْلمَاِضَيةِ
"Menghapuskan
dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah
berkata, "Puasa hari 'Arafah akan menghapus dosa dua tahun, hari 'Asyura
satu tahun dan amin seseorang (dalam shalatnya) bertepatan dengan amin malaikat
akan menghapuskan dosa-dosanya yang telah lalu…ini semua menghapuskan dosa,
yakni jika ada dosa kecil akan dihapusnya, namun jika tidak ada dosa yang kecil
maupun yang besar, maka akan dicatat beberapa kebaikan dan ditinggikan
derajatnya,…tetapi jika ada satu dosa besar atau lebih dan tidak berhadapan
dengan dosa kecil, kita berharap amalan tersebut bisa meringankan dosa-dosa
besar." (Al Majmu' Juz 6, shaumu yaumi 'Arafah)
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ رَجُلًا
يَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ؟ قَالَ: "ذَاكَ صَوْمُ سَنَةٍ" قَالَ: أَرَأَيْتَ
رَجُلًا يَصُومُ يَوْمَ عَرَفَةَ قال: "يُكَفِّرُ السَّنَةَ وَمَا قَبْلَهَا
Dari Abu Qatadah, bahwa ada
seorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan berkata, “Wahai
Rasulullah, bagaimana menurutmu tentang seorang yang berpuasa pada hari Asyura?”
Beliau menjawab, “Itu adalah puasa yang setara dengan puasa setahun.” Dia
bertanya lagi, “Bagaimana menurutmu tentang orang yang berpuasa pada hari Arafah?”
Beliau menjawab, “Dapat menghapus dosa setahun dan tahun sebelumnya.” (Hr. Ibnu
Hibban, dishahihkan oleh Al Albani, lihat pula Shahih Abu Dawud no. 2096)
Asy Syarbini berkata, “Hikmah
puasa Arafah menghapuskan dosa dua tahun, sedangkan Asyura setahun adalah
karena hari Arafah adalah hari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam,
sedangkan hari Asyura adalah hari Nabi Musa alaihis salam, sedangkan Nabi kita Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam adalah Nabi yang paling utama, sehingga untuk hari
Beliau dihapuskan dosa dua tahun.” (Mughnil Muhtaj)
Disyari'atkan pula puasa Tasu'a (9 Muharram)
Untuk menyelisihi orang-orang Yahudi yang berpuasa pada tanggal 10
Muharram saja, kita disyari’atkan untuk berpuasa pada tanggal sembilan
Muharram. Ibnu Abbas berkata, “Ketika
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada tanggal sepuluh dan
menyuruh para sahabatnya berpuasa. Para sahabat berkata, “Sesungguhnya hari ini
adalah hari yang dimuliakan oleh orang-orang Yahudi”, maka Beliau bersabda:
فَــإِذَا كـَـانَ اْلعَامُ
اْلمُقْبِلُ ـ إِنْ شَاءَ اللهُ ـ صُمْنَا الْـيَـوْمَ الـتَّـاسِــعَ
"Kalau
begitu, jika tiba tahun depan –Insya Allah- kita akan berpuasa pada tanggal
sembilannya (yakni dengan tanggal sepuluhnya)." (HR. Muslim).
Namun belum tiba tahun berikutnya, Beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam sudah wafat.
Jika tidak sempat tanggal sembilannya, maka bisa
tanggal sepuluh dengan sebelasnya untuk menyelisihi orang-orang Yahudi.
Faedah:
“Bagaimanakah jika hari 'Asyura (10 Muharram) bertepatan dengan
hari Jum'at atau hari Sabtu ?"
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ketika menjelaskan tentang
larangan puasa pada hari sabtu berkata,
“Perlu diketahui bahwa puasa pada hari sabtu memiliki beberapa
keadaan:
Keadaan pertama, bertepatan dengan
kewajibannya seperti puasa Ramadhan, qadha’nya atau puasa kaffarat, puasa
pengganti hadyu pada hajji tamattu’ dsb., maka hal ini tidak mengapa selama
tidak mengkhusukan puasa sabtu dengan anggapan bahwa hari sabtu memiliki
keistimewaan.
Keadaan kedua, jika ia melakukan puasa
sebelumnya yaitu pada hari Jum’at, maka hal ini tidak mengapa; karena Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada salah seorang Ummul
mukminin yang ketika itu berpuasa pada hari Jum’at, “Apakah kemarin kamu
berpuasa?” ia menjawab, “Tidak”, lalu Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu
besok berpuasa?” ia menjawab, “Tidak” maka Beliau bersabda, “Kalau begitu,
berbukalah.” Kata-kata “Apakah kamu besok berpuasa?” menunjukkan bolehnya
berpuasa (pada hari Sabtu) jika bersama dengan hari Jum’at.
Keadaan ketiga, (hari sabtu) bertepatan
dengan hari-hari yang disyari’atkan puasa seperti ayyamul biidh (13, 14 dan 15
Dzulhijjah), hari ‘Arafah, hari ‘Asyura, enam hari di bulan Syawwal bagi yang
puasa Ramadhan dan sembilan Dzulhijjah maka tidak mengapa (puasa pada hari
sabtu), karena ia lakukan puasa bukan karena hari Sabtunya tetapi karena
bertepatan dengan hari-hari yang disyari’atkan puasa.
Keadaan keempat, bertepatan dengan kebiasaannya, seperti ia biasa sehari puasa dan
sehari berbuka, lalu ternyata hari puasanya bertepatan pada hari sabtu maka hal
ini pun tidak mengapa sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
tentang puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan yang dilarang Beliau
kecuali bagi orang yang memiliki kebiasaan puasa maka tidak dilarang, ini pun
sama.
Keadaan kelima, mengkhususkan hari sabtu untuk berpuasa, sehingga ia puasa hanya
hari itu, maka inilah letak terlarangnya jika hadits tentang larangannya
shahih.”
Faedah:
Imam Tirmidzi setelah membawakan hadits larangan puasa pada hari
Sabtu berkata, “Makna dimakruhkannya dalam (hadits) ini adalah jika seorang
mengkhususkan puasa hari Sabtu, karena orang-orang Yahudi memuliakan hari
Sabtu.”
Tingkatan puasa Muharram
Ahli ilmu menyebutkan bahwa urutan puasa Muharram yang paling
utama adalah sbb:
1.Tanggal 9, 10 dan 11 Muharram.
2.Tanggal 9 dan 10 Muharram.
3.10 dan 11 Muharram.
4.Hanya tanggal 10 saja. Di antara ulama ada yang
memakruhkannya. Namun yang lain mengatakan tidak makruh. Namun yang tampak
adalah bahwa berpuasa hanya tanggal sepuluh saja hukumnya makruh bagi mereka
yang masih sanggup menggabung dengan hari lainnya (tanggal 9 atau 11-nya).
Tetapi yang demikian tidaklah menghilangkan pahala bagi yang melakukannya,
bahkan ia tetap memperoleh pahala insya Allah.
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid berkata, "Oleh karena itu,
puasa 'Asyura ada beberapa tingkatan, paling rendahnya adalah hanya tanggal
sepuluh saja dan yang paling atasnya adalah berpuasa tanggal sembilan dan
sepuluh, namun semakin banyak puasa di bulan Muharram tentu lebih utama dan
lebih baik."
Bid'ah-bid'ah di bulan Muharram
Dalam menyambut hari 'Asyura ada dua golongan yang menyimpang
seperti di bawah ini:
1. Golongan yang menyerupai orang yahudi, dimana
mereka menjadikan hari 'Asyura sebagai hari raya, ditampakkan pada hari itu
syi'ar-syi'ar kemeriahan seperti memakai celak, membagi nafkah kepada keluarga
dan kerabat, memasak makanan di luar kebiasaannya dsb.
2. Golongan yang menjadikan hari 'Asyura sebagai
hari kesedihan dan hari meratap karena terbunuhnya Husain bin 'Ali radhiyallahu
'anhuma, dimana pada hari itu ditampakkan syi'ar-syi'ar jahiliyyah seperti
menampar pipi, merobek baju, memukul dada, menyakiti diri dan melantunkan
nyanyian-nyanyian kesedihan dsb.
Kedua golongan di atas menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam; menyelisihi ajaran Islam. Beruntunglah Ahlussunnah, di mana
mereka mengerjakan perintah Nabi mereka shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
tidak menyerupai orang-orang Yahudi dan menjauhi perkara bid'ah yang diserukan
oleh setan. Falillahil hamdu wal minnah.
0 komentar:
Posting Komentar