Berhari Raya Bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

بسم الله الرحمن الرحيم

Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Berhari Raya

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari raya, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Hari besar dalam Islam hanya tiga; Hari raya Idul Fithri, hari raya Idul Adh-ha dan hari Jumat. Tentang Idul Fithri dan Idul Adh-ha sebagai hari raya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَاَيَّامُ التَّشْرِيْقِ عِيْدُنَا اَهْلُ الْإِسْلاَمِ وَهِيَ اَيَّامُ اَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah), hari Nahar (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq adalah hari raya kita kaum muslimin, ia adalah hari-hari makan dan minum.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu berkata: “Aku melaksanakan shalat dua hari raya (Idul Fithri dan Adh-ha) bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hanya sekali atau dua kali, (Beliau) melaksanakannya tanpa azan dan iqamat.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Sedangkan tentang hari Jumat sebagai hari raya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ فَمَنْ شَاءَ اَجْزَأَهُ عَنِ الْجُمُعَةِ وَاِنَّا مُجَمِّعُوْنَ
“Sungguh, telah berkumpul bersama dua hari raya (hari ‘Ied dan hari Jumat) dalam satu harimu ini. Oleh karena itu, barang siapa yang ingin melaksanakan (shalat ‘Ied), maka ia tidak wajib melakukan shalat Jumat, namun kami melakukan shalat Jumat.” (HR. Ibnu Majah dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
Yakni bagi yang melaksanakan shalat ‘Ied, tidak wajib shalat Jumat, namun wajib menggantinya dengan shalat Zhuhur. Tetapi bagi imam lebih utama mengadakan shalat Jumat agar orang yang ingin shalat Jumat dapat melaksanakannya dan orang yang tidak sempat shalat ‘Ied bisa melaksanakan shalat Jumat.
Dengan demikian, hari besar yang dirayakan setiap tahun hanya ada dua; Idul Fithri dan Idul Adh-ha. Sehingga tidak ada lagi hari raya selainnya (seperti peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Isra’-Mi’raj, dsb).
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu pernah berkata, “Dahulu masyarakat jahiliyyah memiliki dua hari raya dalam setiap tahunnya, di mana mereka bersuka-ria di hari itu, maka ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, Beliau bersabda,
كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى *
“Dahulu kamu memiliki dua hari untuk bersuka-ria di sana, dan Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik darinya, yaitu Idul Fithri dan Idul Adh-ha.” (HR. Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Ibnul Anbaariy berkata, “Dinamakan “Ied” karena kembali lagi bergembira dan bersenang-senang.”
Hadits ini menunjukkan bolehnya bersuka-ria, bersenang-senang dan melakukan permainan mubah di hari raya.
Adab-adab di hari raya
Berikut ini di antara adab-adab di hari raya:
1. Bersih-bersih sebelum menghadiri shalat hari raya dan memakai pakaian yang bagus.
Imam Malik meriwayatkan dalam Al Muwaththa’ dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma mandi pada hari raya Idul Fithri sebelum berangkat ke lapangan.” (isnadnya shahih)
Ibnul Qayyim berkata, “Telah shahih dari Ibnu Umar –di mana beliau sangat tinggi sekali mengikuti Sunnah- bahwa dirinya mandi pada hari raya sebelum berangkat.”
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ibnu Abid Dunya dan Baihaqi meriwayatkan dengan isnad yang shahih yang sampai kepada Ibnu Umar, bahwa ia memakai pakaian yang sangat bagus di dua hari raya.” (Fat-hul Bari 2/51)
2. Untuk Idul Fithri disunahkan makan dahulu sebelum berangkat, sedangkan dalam Idul Adh-ha makannya ditunda nanti setelah shalat ‘Ied agar dapat menikmati daging hewan kurbannya[i].
Anas radhiyallahu 'anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari raya Idul Fithri sampai Beliau makan beberapa kurma.”
Anas juga berkata, “Beliau makan kurma dalam jumlah ganjil.” (HR. Bukhari)
3. Disunatkan bertakbir pada hari raya dan menjaharkannya –sedangkan bagi wanita cukup mensir(pelan)kan suaranya-, sejak berangkat dari rumahnya sampai tiba di lapangan.
Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَخْرُجُ فِي الْعِيْدَيْنِ .. رَافِعاً صَوْتَهُ بِالتَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ ..
“Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berangkat pada dua hari raya….sambil mengeraskan suaranya bertahlil dan bertakbir…” (Shahih dengan syawahidnya, lihat Al Irwaa’ 3/123)
Nafi’ meriwayatkan, bahwa Ibnu Umar apabila berangkat pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adh-ha menjaharkan takbirnya sampai tiba di lapangan, ia pun bertakbir sampai imam datang, lalu ia bertakbir dengan takbir imam. (Diriwayatkan oleh Daruquthni dengan sanad yang shahih)
Lafaz takbirnya dalam hal ini adalah  waasi' (bisa yang mana saja) di antaranya:
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ لَاِالهَ اِلَّا اللهُ اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ اْلحَمْدُ
Artinya, “Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, untuk-Nyalah segala puji.” (Ini adalah takbir Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih)
Tidak mengapa takbirnya tiga kali berdasarkan riwayat Baihaqi dari Yahya bin Sa'id dari Al Hakam yaitu Ibnu Farwah Abu Bakkaar dari 'Ikrimah dari Ibnu Abbas (lihat Al Irwaa’ karya Syaikh Al Albani).
        Atau,
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ اْلحَمْدُ اَللهُ اَكْبَرُ وَاَجَلُّ اَللهُ اَكْبَرُ عَلىَ مَاهَدَانَا
(ini adalah takbir Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih)
        Atau,
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا
(ini adalah takbir dari Salman Al Khair yang diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih pula)
Untuk Iedul Adh-ha takbirnya dimulai dari Subuh hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) dan tetap terus bertakbir hingga Ashar akhir hari tasyriq.
Catatan: Mengucapkan takbir tidak dilakukan secara berjama'ah dengan satu suara, yang benar adalah masing-masing bertakbir.
4. Disunatkan berangkat ke lapangan shalat ‘Ied sambil berjalan kaki.
Ali radhiyallahu 'anhu berkata, “Termasuk Sunnah seesorang berangkat (shalat) ‘Ied dengan berjalan kaki.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi, hadits ini hasan dengan syawahidnya)
5. Disunatkan berbeda jalan saat berangkat menuju lapangan dengan pulangnya.
Jabir radhiyallahu 'anhu berkata,
كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ .  
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila di hari raya, menempuh jalan yang berbeda (antara berangkat dan pulangnya).” (HR. Bukhari)
6. Dalam shalat ‘Iedain tidak ada azan dan iqamat, juga tidak ada ucapan “Ash Shalaatu Jaami’ah”. Jumlahnya 2 rak’at; pada rak’at pertama bertakbir sebanyak 7 kali sebelum membaca Al Fatihah, sedangkan pada rak’at kedua bertakbir sebanyak 5 kali di luar takbir intiqal (berpindah gerakan) dari sujud.
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada shalat ‘Iedul Fithri dan Adh-ha; rak’at pertama tujuh kali takbir dan rak’at kedua lima kali takbir. (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud).
Surat yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam baca setelah Al Fatihah adalah Al A’laa dan Al Ghaasyiyah (HR. Muslim), Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah membaca surat Qaaf dan Al Qamar setelah Al Fatihah (HR. Muslim).
Khutbah ‘Ied dilakukan setelah shalat, dan kaum wanita hendaknya keluar menghadirinya meskipun ia sedang haidh. Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu 'anha berkata, “Kami diperintahkan untuk berangkat dan menyuruh wanita haidh, wanita gadis, dan yang sedang dipingit untuk keluar agar mereka menyaksikan jama’ah kaum muslimin dan doa mereka, namun wanita (haidh) menjauhi tempat shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
7. Jika orang-orang tidak mengetahui tibanya hari ‘Ied kecuali setelah zawal (tiba waktu Zhuhur), maka mereka bisa mengerjakanya besok.
Abu Umair bin Anas rahimahullah meriwayatkan dari paman-pamannya yang termasuk sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai berikut:
أَنَّ رَكْباً جَاءُوْا إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَشْهَدُوْنَ أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ ، فَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ يُفْطِرُوْا ، وَإِذَا أَصْبَحُوْا يَغْدُوْا إِلىَ مُصَلاَّهُمْ
“Bahwa sebuah kafilah datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal kemarin, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka berbuka puasa dan pada pagi harinya mereka berangkat ke lapangan.” (Diriwayatkan oleh para pemilik kitab Sunan, dishahihkan oleh Baihaqi, Nawawi dan Ibnu Hajar Al ‘Asqalani)
8. Bermu’ayadah (mengucapan selamat), yakni dengan mengucapkan “Taqabbalallahu minnaa wa minkum” (artinya “Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kamu").
Ibnut Turkumaniy berkata: “Tentang masalah ini ada hadits yang jayyid, yaitu hadits Muhammad bin Ziyad, ia berkata:
كُنْتُ مَعَ أَبِي أُمَامَةَ اْلبَاهِلِيِّ وَغَيْرِهِ مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ، فَكَانُوْا إِذَا رَجَعُوْا يَقُوْلُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : ( تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ )
“Aku bersama Abu Umamah Al Bahiliy dan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain, mereka ketika pulang, satu sama lain mengucapkan “Taqabbalallahu minnaa wa minkum.”
Imam Ahmad berkata, “Isnadnya jayyid.”
(lihat Al Jauharun Naqiy 3/320)
Kekeliruan di hari raya
Ada beberapa kekeliruan yang sering terjadi di hari raya, berikut ini kekeliruan tersebut:
1.   Menganggap bahwa ‘Ied hanyalah sekedar adat kemasyarakatan biasa, bukan merupakan ibadah. Padahal ‘Ied memiliki sunnah-sunnah, syi’ar, dampak dan harapan.
2.   Melaksanakan shalat ‘Ied di masjid tanpa adanya ‘udzur. Karena pelaksanaan ‘Ied di masjid akan membatasi jumlah yang hadir serta menghalangi kemeriahan ‘Ied dan kebesaran kaum muslimin.
3.   Meremehkan shalat ‘Ied, sehingga sampai tidak melaksanakannya. Padahal di antara ulama ada yang berpendapat bahwa ‘Ied hukumnya wajib.
4.   Kurangnya perhatian kaum wanita untuk ikut serta keluar rumah memeriahkan ‘Ied.
Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum wanita keluar, baik yang gadis, yang dipingit maupun yang sedang haidh, bahkan wanita yang tidak memiliki jilbab disarankan agar dipinjamkan jilbab untuk keluar memeriahkan ‘Ied.
5.   Tidak mempraktekkan adab-adab di hari raya.
6.   Lebih menonjolkan penampilan daripada memperhatikan petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal yang dilihat Allah adalah hati dan amal kita (berdasarkan hadits riwayat Muslim).
Alangkah indahnya jika berkumpul dua keindahan; keindahan batin dan keindahan lahir. Keindahan lahir adalah dengan mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berhias dan berpakaian, misalnya dengan tidak mencukur janggut bagi laki-laki, tidak mengenakan celana atau sarung melewati mata kaki (isbal), tidak memakai cincin emas bagi laki-laki, tidak mencukur rambut dengan model qaza’ (dicukur sebagian rambut dan dibiarkan sebagian lagi) dsb.
Bagi wanita dengan tidak melepas jilbab, dan dengan memperhatikan syarat-syaratnya, juga tidak memakai pakaian yang tipis, ketat, membentuk lekuk tubuh dan tembus pandang serta tidak diberi wewangian.
7.   Bergadang di malam hari raya dengan asyik menonton sinetron atau melakukan permainan-permainan yang melalaikan seperti kartu remi, domino, catur, dsb.
8.   Memberikan uang kepada anak untuk membeli mercon (petasan), yang sama sekali tidak bermanfaat bahkan membahayakan dan mengganggu orang lain.
9.   Kembali lagi meremehkan ibadah, seperti meninggalkan shalat berjama’ah, membaca Al Qur’an, dsb. Padahal tanda diterimanya amal kebaikan adalah apabila orang tersebut dapat melakukan amal shalih selanjutnya.
10.Berjabat tangan antara pria dan wanita, berikhthilat (bercampur baur pria-wanita) dan berkhalwat (berdua-duaan dengan yang bukan mahramnya).
Wallahu a’lam.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Min Ahkaamil ‘Ied (Yusuf bin Abdullah Al Ahmad), Al Wajiz, Buletin An Nur (menyambut hari raya dengan benar) dll.


[i] Al Muwaffaq berkata, “Sunnahnya makan dalam Idul Fitri sebelum shalat, dan tidak makan dalam Idul Adh-ha sampai ia shalat (Ied).” Ini adalah pendapat mayoritas Ahli Ilmu seperti Ali, Ibnu Abbas, Malik, Syafi’i, dan lain-lain. Kami tidak mengetahui adanya khilaf dalam hal ini. Imam Ahmad berkata, “Untuk Idul Adh-ha, maka seseorang tidak makan sampai ia pulang jika ia mempunyai hewan kurban kurban. Jika tidak mempunyai, maka tidak mengapa makan (sebelum shalat).”
Dalam Ar Raudhul Murabba’ disebutkan, “Dianjurkan menunda makan bagi orang yang berkurban.”
Ad Dardir berkata, “Dianjurkan menunda makan pada hari nahar (Idul Adh-ha) meskipun ia tidak berkurban.”
Dalam Ad Durrul Mukhtar disebutkan, “Dianjurkan menunda makan meskipun ia tidak berkurban menurut pendapat yang lebih sahih.” (Lihat An Nuurus Saari min Faidh Shahihil Bukhari hal. 122)
Dari penjelasan di atas kita mengetahui bahwa tidak makan sebelum shalat Idul Adh-ha hukumnya sunnah; tidak wajib.
Sebagian ulama seperti Imam Ahmad berpendapat bahwa tidak makan dulu sebelum shalat tertuju bagi yang berkurban, jika tidak berkurban, maka tidak mengapa makan sebelum shalat. Hanya saja menurut ulama yang lain, bahwa bagi yang tidak berkurban tetap dianjurkan untuk tidak makan sebelum shalat Ied, wallahu a’lam. 

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger