Aqidah Islam (25)

بسم الله الرحمن الرحيم

Aqidah Islam (25)
Tentang Jamaah dan Imamah
70- الصلاة والحج والجهاد واجبة مع أئمة المسلمين وإن جاروا .
71- يحرم القتال بين المسلمين على الدنيا، أو الحمية الجاهلية، وهو من أكبر الكبائر وإنما يجوز قتال أهل البدعة والبغي، واشباههم، إذا لم يمكن دفعهم بأقل من ذلك، وقد يجب بحسب المصلحة والحال .
72- الصحابة الكرام كلهم عدول، وهم أفضل هذه الأمة، والشهادة لهم بالإيمان والفضل أصل قطعي، معلوم من الدين بالضرورة، ومحبتهم دين وإيمان، وبغضهم كفر ونفاق، مع الكف عما شجر بينهم، وترك الخوض فيه بما يقدح في قدرهم . وأفضلهم أبو بكرن ثم عمر، ثم عثمان، ثم علي، وهم الخلفاء الراشدون، وتثبت خلافة كل منهم حسب ترتيبهم .
73- ومن الدين محبة آل رسول الله صلى الله عليه وسلم وأهل بيته وتوليهم، وتعظيم قدر أزواجه أمهات المؤمنين، ومعرفة فضلهن ومحبة أئمة السلف، وعلماء السنة والتابعين لهم بإحسان، ومجانبة أهل البدع والأهواء .
74- الجهاد في سبيل الله ذروة سنام الإسلام، وهو ماض إلى قيام الساعة .
75- الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر على ما توجبه الشريعة من أعظم شعائر الإسلام، وأسباب حفظ جماعته، وهما يجبان بحسب الطاعة والمصلحة معتبرة في ذلك.
70. Shalat, haji dan jihad wajib dilaksanakan bersama imam kaum muslimin meskipun dia orang zalim.
71. Tidak boleh berperang dengan sesama muslim karena suatu kepentingan duniawi atau fanatisme jahiliyah (adat kebiasaan atau pandangan yang bertentangan dengan Islam). Ini adalah dosa yang sangat besar. Tetapi, kaum muslimin dibolehkan memerangin ahli bid'ah, para pemberontak dan sejenisnya jika mereka tidak dapat dicegah dengan cara lain yang lebih kecil resikonya. Bahkan terkadang hukumanya wajib sesuai dengan maslahat dan situasinya.
72. Para shahabat yang mulia seluruhnya adalah adil dan terpercaya. Mereka adalah generasi terbaik dari umat ini. Mempersaksikan keimanan dan keutamaan mereka adalah prinsip asasi yang tidak dapat ditawar lagi dalam agama. Mencintai mereka adalah agama dan keimanan, sedangkan membenci mereka adalah kekafiran dan kemunafikan. Hendaklah kita menahan diri dari membicarakan pertentangan yang terjadi di antara mereka. Jangan memperdebatkannya sehingga mengurangi dan menjelek-jelekkan kehormatan mereka. Yang paling mulia di antara mereka adalah Abu Bakar, kemudian Umar, Utsman dan Ali. Mereka adalah Al khulafa'ur Rasyidin (para pemimpin yang berjalan di atas kebenaran). Khilafah (kepemimpinan) mereka terjadi berdasarkan urutan mereka.
73. Termasuk agama, mencintai dan membela ahlul bait Rasulullah, serta menghargai kehormatan istri-istri Beliau yang merupakan ibu kaum mukminin. Juga termasuk agama mengetahui keutamaan mereka, begitu pula dengan mencintai para imam salaf, ulama sunnah dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik serta menjauhi ahli bid'ah dan orang-orang yang menuruti hawa nafsu.
74. Jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah) adalah puncak kejayaan Islam, dan ini tetap berlaku sampai hari kiamat.
75. Amar ma'ruf dan nahi munkar (menyeru pada kebaikan dan melarang kemungkaran) termasuk syi'ar Islam yang sangat penting dan merupakan faktor pemelihara keutuhan Islam. Kedua perkara ini wajib dilaksanakan menurut kemampuan, dan dalam hal ini memperhatikan maslahat menjadi bahan pertimbangan. (Lihat Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jamaah fil ‘Aqidah oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql).
Syarh/Keterangan:
No. 70: Inilah madzhab Ahlussunnah wal jamaah, berbeda dengan kaum khawarij dan Mu’tazilah. Ahlussunnah melakukan shalat Jum’at dan jamaah serta berjihad fii sabilillah di belakang imam kaum muslimin baik yang adil maupun yang zalim. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka shalat untukmu. Jika mereka benar, maka itu untukmu, dan jika salah, maka kamu mendapatkan (pahala) dan (dosanya) atas mereka.” (HR. Bukhari, Ahmad dan Abu Ya’la)
Abdul Karim Al Bakka’ berkata, “Aku mendapatkan sepuluh orang sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, semuanya shalat di bekalang para pemimpin yang zalim.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Tarikhnya)
Al Hasan Al Bashri pernah ditanya tentang shalat di belakang Ahli Bid’ah, ia berkata, “Shalatlah di belakangnya dan untuknya bid’ahnya.”
Demikian pula Ahlussunnah berhaji bersama imam kaum muslimin atau wakilnya, karena yang menyelenggarakan haji adalah imam, dialah yang mengarahkan jamaah haji, memberitahukan hari ‘Arafah, berdiri bersama mereka di padang Arafah, yang memimpin mereka dan mereka mengikutinya, dan lagi agar urusan tidak kacau.
Demikian pula dalam berjihad, yakni dalam memerangi orang-orang kafir dan para pemberontak, kita berperang bersama imam kaum muslimin.
Berjihad dilakukan dengan tujuan menyebarkan tauhid dan menghancurkan syirk. Berjihad melawan orang-orang kafir terbagi dua:
Pertama, jihad difa’ (membela diri), yaitu ketika kaum muslimin dalam keadaan lemah, maka ketika musuh menyerang negeri mereka, mereka wajib memerangi musuh. Semua yang membawa senjata wajib memerangi mereka untuk mengeluarkan musuh dari negeri mereka. Jika mereka tidak sanggup melawan musuh, maka tetangganya yang berada di area perbatasan membantu mereka.
Kedua, jihad thalab atau fat-h (penaklukkan), yaitu ketika kaum muslimin dalam keadaan kuat, maka mereka memerangi musuh di negeri mereka setelah sebelumnya mengajak mereka kepada Allah. Jika mereka menolak ajakan itu dan tidak mau membayar jizyah (pajak), maka mereka diperangi agar kalimat Allah menjadi tinggi. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
öNèdqè=ÏG»s%ur 4Ó®Lym Ÿw šcqä3s? ×puZ÷GÏù tbqà6tƒur ß`ƒÏe$!$# ¼ã&#à2 ¬! 4
“Dan perangilah mereka agar tidak ada fitnah dan agar agama itu semata-mata untuk Allah.” (Al Anfaal: 39)
Untuk jihad thalab ini disyaratkan harus ada imam, Negara dan bendera.
Untuk berjihad dibutuhkan dua persiapan; persiapan mental dan persiapan materi. Persiapan mental, maksudnya pasukan kaum muslimin di atas ibadah kepada Allah dan telah dibina jiwa mereka dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan persiapan materi adalah cukupnya jumlah personil dan perlengkapan untuk memerangi musuh-musuh Allah. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedangkan Allah mengetahuinya…dst.” (Terj. Al Anfaal: 60)
Siapakah yang menyusun pasukan dan memimpinnya? Tentu imam, maka kita mengikuti imam. Jika ia memerintahkan kita berperang, maka kita berperang dan kita tidak berperang tanpa seizin imam, karena hal itu termasuk kelayakan bagi imam. Dan tidak disyaratkan imam itu harus bersih dari kesalahan, karena bisa saja ia mengerjakan sebagian kesalahan atau maksiat, tetapi selama ia masih muslim, maka wajib berjihad dan berhaji bersamanya.
No. 72: Sahabat adalah orang yang bertemu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beriman kepadanya dan meninggal di atasnya. Para sahabat semuanya adil dengan kesepakatan Ahlussunnah. Dalil yang menunjukkan keadilan mereka disebutkan dalam Al Qur'an dan As Sunnah. Dalam Al Qur'an, misalnya di surat At Taubah: 100 dan Al Fath: 29. Sedangkan dalam As Sunnah adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
خَيْرُكُمْ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baik kalian adalah generasi yang hidup pada zamanku, kemudian setelahnya, dan setelahnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“Janganlah kamu mencaci-maki para sahabatku. Sekiranya salah seorang di antara kamu menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka satu mud atau setengahnya pun infak mereka tidak dapat dikalahkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma berkata, “Kami mengatakan (tentang orang yang utama) ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, yaitu Abu Bakar, lalu Umar, lalu Utsman, lalu Ali, kemudian perkataan itu sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Beliau tidak mengingkarinya.”
Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sebaik-baik umat ini setelah nabinya adalah Abu Bakar, lalu Umar. Jika aku mau, tentu aku sebut yang ketiga, yakni Utsman.”
Setelah para khalifah yang empat itu, yang terbaiknya pula adalah sepuluh orang yang dijamin masuk surga, para sahabat yang ikut perang Badar, para sahabat yang ikut perang Uhud, para sahabat yang ikut dalam bai'aturridhwan pada hari Hudaibiyah, selanjutnya mereka yang memiliki kelebihan dari kalangan As Saabiquunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menerangkan hukum mencaci-maki para sahabat dalam kitabnya Ta’liq Mukhtashar ‘Alaa kitab Lum’atil I’tiqad yang kesimpulannya sbb.:
Pertama, jika mencaci-maki dengan mengkafirkan sebagian besar mereka atau menganggap fasik mereka, maka hal ini adalah kekufuran, karena hal itu merupakan pendustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya yang memuji dan meridhai mereka.
Kedua, mencaci-maki mereka dengan melaknat atau menjelekkan mereka, tentang kufurnya sikap ini ada dua pendapat di kalangan Ahli Ilmu. Menurut pendapat yang tidak mengkafirkan adalah bahwa orang itu wajib didera dan dipenjarakan sampai mati atau menarik kembali perkataannya.
Ketiga, Mencaci-maki mereka dengan sesuatu yang tidak menodai agama mereka, seperti menyebut mereka penakut, bakhil, dsb. maka orang yang menyebut demikian tidak dikafirkan, tetapi diberi hukuman ta’zir yang membuatnya jera.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tidak boleh bagi seseorang menyebut sedikit pun keburukan mereka, mencacatkan mereka dengan cacat atau kekurangan. Barang siapa yang melakukannya, maka diberi pelajaran. Jika tidak mau bertobat, maka didera dalam penjara sampai mati atau ia rujuk.” (lihat kitab Ta’liq Mukhtashar ‘Alaa kitab Lum’atil I’tiqad hal. 79 cet. Darul Wathan)
Imam Abu Zur’ah –guru Imam Muslim- berkata, “Jika engkau melihat ada seorang yang mencacatkan salah seorang sahabat, maka ketahuilah, bahwa ia zindik. Hal itu, karena Al Qur’an adalah hak (benar), Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hak, apa yang Beliau bawa juga hak, dan tidak ada yang menyampaikan kepada kita semua itu selain para sahabat.”
Demikian juga kita diperintahkan untuk menahan diri dari membicarakan keburukan mereka jika memang terjadi, karena keburukan tersebut dibandingkan dengan kebaikan dan keutamaan mereka yang banyak tidak ada artinya apa-apa,  Bukankah mereka telah membela Allah dan Rasul-Nya, berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya, menjaga agama Allah dengan menjaga kitab-Nya dan menjaga sunnah Rasul-Nya serta menyampaikannya kepada umat. Dan lagi terkadang perkara buruk itu timbul dari ijtihad mereka yang memang dimaafkan dan diberi uzur.
No. 73: Dalil no. 73 adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي
“Aku ingatkan kamu (agar berbuat baik) dengan Ahli Baitku.” Beliau mengucapkan kata-kata itu tiga kali (HR. Muslim)
Demikian pula kita mencintai para imam salaf dan ulama sunnah dari kalangan tabi’in dan setelahnya, karena mereka tergolong ke dalam orang-orang yang mengikuti mereka (para sahabat) dengan baik, dan karena mereka termasuk generasi terbaik. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُم
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya dan setelahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para qari’, para muhaddits (ahli hadits), para fuqaha dan para mufassir tergolong tiga generasi terbaik ini, demikian pula yang mengikuti mereka. Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga memuji orang-orang yang datang setelah mereka yang mendoakan kebaikan untuk generasi sebelum mereka yang mendahului mereka dalam keimanan, firman-Nya:
“Dan orang-orang yang datang setelah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa, "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (Al Hasyr: 10)
Dengan demikian, kita menyebut mereka (para imam atau ulama kaum muslimin) kecuali yang baik, tidak mencacatkan pendapat mereka dan mengetahui bahwa mereka adalah para mujtahid yang ikhlas. Ia juga mendahulukan pendapat mereka di atas pendapat setelah mereka, dan pendapat mereka tidaklah ditinggalkan kecuali karena firman Allah, sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan perkataan sahabat.
No. 75: Dalil no. 75 adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barang siapa yang melihat kemungkaran di antara kamu, maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan Ahmad)
Dalam melakukan nahi munkar, biasanya ada 4 kemungkinan yang akan terjadi:
1.  Yang munkar menjadi hilang dan digantikan dengan yang ma’ruf.
2.  Yang munkar berkurang atau menjadi lebih kecil, namun tidak hilang secara keseluruhan.
3.  Yang munkar menjadi hilang, namun digantikan dengan kemunkaran yang sama besarnya.
4.  Yang munkar itu hilang, namun digantikan dengan kemunkaran yang lebih besar.
Maka dalam menghadapi dua kemungkinan pertama (no. 1 & 2), nahi mungkar disyari’atkan. Pada no. 3 merupakan tempat berijtihad dan pada no. 4 kita jangan melakukan nahy munkar.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ’alaa Muhammad wa ’alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Mujmal Ushul Ahlissunnah (Dr. Nashir Al ’Aql), Syarah ’Aqidah Wasithiyyah (Syaikh Shalih Al Fauzan), Ta’liqat Mukhtasharah ‘alaa Matnil ‘Aqidah Ath Thahawiyyah (Syaikh Shalih Al Fauzan), Syarh Aqidah Thahawiyyah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Kitab Tauhid (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab), Mujmal Masaa’ilil Iman Al ’Ilmiyyah Fii Ushulil ’Aqiidah As Salafiyyah (Ditulis oleh lima orang murid Syaikh Al Albani), Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jazaa’iriy), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger