بسم
الله الرحمن الرحيم
Membenahi
Lingkungan Keluarga dan Masyarakat Agar Sesuai Syariat
(bag.
1)
Segala puji bagi
Allah, shalawat
dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para
sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Kita diperintahkan menjalankan syariat Islam secara
kaffah, termasuk ketika di rumah dan di masyarakat. Berikut ini merupakan
risalah tentang pembenahan rumah dan masyarakat agar berada di atas cahaya syariat,
semoga risalah ini Allah jadikan ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
amin.
A. Bahaya masuknya kerabat suami yang bukan
mahram ke dalam rumah istri yang suaminya sedang tidak ada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ
مِنْ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ
الْمَوْتُ
“Hindarilah
olehmu masuk menemui wanita!” Lalu salah seorang dari kaum Anshar berkata,
“Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu dengan ipar?” Beliau menjawab, “Ipar
adalah maut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ
بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang
wanita, kecuali yang ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Hakim
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2546)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Maksud (hamwu/ipar)
dalam hadits tersebut adalah kerabat suami selain bapak dan anak-anaknya,
karena mereka adalah mahram bagi istri sehingga boleh bagi mereka berkhalwat
dengan istrinya dan mereka tidaklah disifati dengan maut.” Ia juga berkata,
“Yang dimaksud (dalam hadits tersebut) adalah saudara, putera saudara, paman,
anak paman, putera saudari dan lainnya yang halal dinikahi jika ia belum
menikah, dan biasanya hal ini diremehkan, sehingga seorang saudara ada yang
berduaan dengan istri saudaranya, maka Beliau memiripkannya dengan maut, hal
ini tentu lebih dilarang daripada ajnabi (yang bukan kerabat). (Fathul Bari 9/331)
Adapun kalimat “Ipar adalah maut” ada beberapa maksud,
di antaranya:
Pertama, bahwa berkhalwat (berduaan) dengan
ipar dapat membinasakan agama jika sampai terjadi maksiat.
Kedua, bisa membawa kepada kematian jika
sampai terjadi perbuatan keji (zina) dan wajib dirajam.
Ketiga, bisa membawa kebinasaan bagi si
istri karena suaminya akan berpisah dengannya apabila rasa cemburu membuatnya
menceraikannya.
Keempat, bisa maksudnya, “Jauhilah
berkhalwat kepada ajnabiyyah (wanita yang bukan mahram) sebagaimana kamu
berhati-hati kepada kematian.
Kelima, bahwa berkhalwat dengan wanita yang
bukan mahramnya itu dibenci sebagaimana kematian juga dibenci.
B. Hindari ikhtilath (bercampur baur antara
lawan jenis)
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
Apabila kamu
meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah
dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati
mereka. “ (Terj. QS: Al Ahzab: 53)
عَنْ أَبِي أُسَيْدٍ اْلأَنْصَارِيِّ
أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُوْلُ وَهُوَ خَارِجٌ
مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِي الطَّرِيْقِ فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - لِنِسَاءٍ: اِسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّ لَيْسَ
لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيْقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيْقِ
فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا
لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوْقِهَا بِهِ
Dari Abu Usaid Al Anshariy bahwa ia
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika Beliau di
luar masjid, di mana ketika itu kaum lelaki dan wanita bercampur baur di jalan,
"Hendaklah kalian (wanita) memperlambat dalam berjalan, karena kalian
tidak berhak melewati jalan tengah, halian harus melewati pinggir jalan."
ketika itu kaum wanita ke dinding sehingga kainnya menggantung di dinding
karena menempel." (HR. Abu Dawud, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash
Shahiihah (856) dan Al Misykaat (4727)).
Ayat dan hadits di atas adalah salah
satu di antara sekian dalil yang melarang ikhtilah dan memerintahkan agar menempuh
jalan yang dapat menjauhkan dari terjadinya fitnah. Di antara dalil lainnya,
adalah bahwa di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika melaksanakan
shalat di masjid, maka kaum wanita ditempatkan oleh Beliau di belakang,
sedangkan kaum lelaki di depan, Beliau juga menjelaskan bahwa sebaik-baik shaf
bagi wanita adalah yang belakang, sedangkan shaf yang paling buruk adalah yang
depan (yang lebih dekat dengan lelaki) (HR. Muslim). Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam juga ketika selesai salam, maka Beliau diam sejenak agar kaum
wanita berkesempatan keluar lebih dahulu dan tidak bersamaan dengan kaum lelaki
(HR. Bukhari).
Ini semua merupakan dalil yang
melarang ikhthilat (campur baur dan tidak dipisah) antara laki-laki dan wanita. Oleh karena itu, hendaknya tempat-tempat
berkumpul seperti sekolah-sekolah, tempat walimah dan lainnya, memisahkan
antara laki-laki dengan perempuan.
C. Hati-hati
berduaan dengan pembantu yang bukan mahram
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ قَالَاكُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلَّا قَضَيْتَ
بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ فَقَامَ خَصْمُهُ وَكَانَ أَفْقَهَ مِنْهُ فَقَالَ
اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَأْذَنْ لِي قَالَ قُلْ قَالَ إِنَّ ابْنِي
كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ
شَاةٍ وَخَادِمٍ ثُمَّ سَأَلْتُ رِجَالًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي
أَنَّ عَلَى ابْنِي جَلْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ وَعَلَى امْرَأَتِهِ
الرَّجْمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ
الْمِائَةُ شَاةٍ وَالْخَادِمُ رَدٌّ عَلَيْكَ وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ
وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ
فَارْجُمْهَا فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا
Dari
Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid ia berkata, “Kami berada di sisi Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba seorang laki-laki berdiri dan berkata, “Saya
bersumpah atas nama Allah kepadamu, putuskanlah perkara di antara kami dengan
kitabullah.” Lantas berdirilah lawan sengketanya yang lebih faqih dari dia dan
berkata, “Putuskanlah di antara kami dengan kitabullah, dan izinkanlah aku
untuk bicara." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Bicaralah.”
Lanjutnya, “Anakku menjadi pekerja laki-laki ini, kemudian anakku berzina
dengan istrinya, maka aku menebusnya dengan seratus ekor kambing dan satu
pembantu, kemudian aku bertanya kepada beberapa ahli ilmu, mereka mengabarkanku
bahwa anakku harus didera seratus kali dan diasingkan selama setahun, sedang
istrinya harus dirajam.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, aku akan memutuskan di antara
kalian dengan kitab Allah yang agung sebutan-Nya. Seratus ekor unta dan
pembantu dikembalikan kepadamu, anakmu dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan
selama setahun, dan pergilah Unais ke istri orang ini, jikau dia mengakuinya,
maka rajamilah dia." Unais akhirnya pergi menemui istri orang tersebut,
dan dia mengakuinya, maka ia merajamnya.” (HR. Bukhari)
Kalau
memang kita butuh sekali kepada pembantu, maka sebaiknya kita hadirkan sesuai
kebutuhan, setelah selesai ia kembali dan tidak memberikan kesempatan kepadanya
untuk berkhalwat dengan istri kita.
D. Hindari
berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ
أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ
تَحِلُّ لَهُ
“Sungguh, ditusuknya kepala salah
seorang di antara kamu dengan jarum besi itu lebih baik baginya daripada ia
menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dari Ma’qil bin
Yasar, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5045)
Syaikh Ibnu Baz berkata, “Tidak
boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram secara mutlak, baik
wanita itu masih muda atau sudah tua, dan sama saja baik yang menjabat tangan
itu pemuda atau orang tua, karena di dalamnya terdapat bahaya fitnah bagi
masing-masingnya. Telah sahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
bahwa Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum
wanita.” Aisyah juga berkata, ”Tangan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan seorang
wanita pun. Beliau tidaklah membai’at mereka kecuali dengan ucapan.” Dan
tidak ada bedanya, baik berjabat tangannya pakai penghalang maupun tidak karena
keumuman dalil dan untuk menjaga jalan yang mengarah kepada fitnah, wallahu
waliyyut taufiq.” (Fatawa An Nazhar wal Khalwah walIkhthilat hal.
81-82)
E. Perintah
mengeluarkan orang yang banci dari rumah
Banci atau dalam bahasa Arab disebut
mukhannits artinya orang yang menyerupai wanita baik dalam tingkah lakunya,
geraknya, gaya
bicara, dsb. Jika tabiat asalnya seperti itu, maka ia tidak dicela tetapi ia
wajib berusaha semampunya merubah sifat tersebut. Tetapi jika ia sengaja meniru
wanita, maka ia telah berdosa besar karena akan mendapat laknat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ
النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلَانًا
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, “Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang bertingkah laku seperti
perempuan dan wanita yang bertingkah laku seperti laki-laki. Beliau bersabda,
“Keluarkanlah mereka dari rumahmu.” Ibnu Abbas berkata, “Maka Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam mengeluarkan si fulan, dan Umar juga mengeluarkan si fulan.”
(HR. Bukhari)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَفِي الْبَيْتِ
مُخَنَّثٌ فَقَالَ الْمُخَنَّثُ لِأَخِي أُمِّ سَلَمَةَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي
أُمَيَّةَ إِنْ فَتَحَ اللَّهُ لَكُمْ الطَّائِفَ غَدًا أَدُلُّكَ عَلَى بِنْتِ
غَيْلَانَ فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلَنَّ هَذَا عَلَيْكُنَّ
Dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berada di dekatnya, ketika itu di rumah
ada orang banci. Banci itu berkata kepada saudara Ummu Salamah, yaitu Abdullah
bin Abi Umayyah, “Jika besok Allah memberikan kemenangan kepadamu terhadap Thaif, maukah kamu aku tunjukkan
puteri Ghailan, karena ia nenghadap dengan
empat anggota badannya dan membelakangi dengan delapan anggota
badannya.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
sekali-kali orang ini masuk ke rumah kamu.” (HR. Bukhari)
Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
mengetahui bahwa ternyata banci membawa mafsadat, yaitu bisa menyifati fisik
wanita dan hal ini dapat membuat fitnah lelaki, maka mulai saat itu Beliau
tidak mengizinkan banci masuk rumah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِمُخَنَّثٍ قَدْ خَضَّبَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ
بِالْحِنَّاءِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَالُ
هَذَا فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَتَشَبَّهُ بِالنِّسَاءِ فَأَمَرَ بِهِ
فَنُفِيَ إِلَى النَّقِيعِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَقْتُلُهُ
فَقَالَ إِنِّي نُهِيتُ عَنْ قَتْلِ الْمُصَلِّينَ
Dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang banci yang
dihadapkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana ia telah mewarnai
(kuku) kedua tangan dan kakinya dengan inai. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Ada apa dengan
orang ini?” Maka dikatakan, “Wahai
Rasulullah, ia
menyerupai wanita.” Maka Beliau memerintahkan agar orang tersebut dibawa dan
diasingkan ke Naqi’ (pinggiran Madinah). Para
sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita membunuhnya saja?” Beliau
bersabda, “Sesungguhnya aku dilarang membunuh orang-orang yang shalat.” (HR.
Abu Dawud dan lainnya, lihat shahihul Jami’ no. 2502)
Bersambung…
Marwan
bin Musa
Maraji’: Akhthar tuhaddidul buyut (Syaikh M. bin Shalih
Al Munajjid), Fatawa an Nazhar wal Khalwat wal Ikhthilat (Lajnah
Da’imah, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu ’Utsamin, Syaikh Ibnu Jibrin), Al
Mausu’ah Al Haditsiyyah Al Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Liabhaatsil
Qur’ani was Sunnah), Al Maktabatusy Syamilah dll.
0 komentar:
Posting Komentar