بسم الله الرحمن الرحيم
Para Ulama dalam Beramr Ma'ruf dan Bernahi Munkar
Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman:
"Orang-orang
yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka
tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah
sebagai Pembuat perhitungan." (Terj. QS. Al Ahzaab: 39)
'Ubadah radhiyallahu 'anhu pernah
berkata:
بَايَعْنَا رَسُولَ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى الْعُسْرِ
وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَعَلَى أَنْ
لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ أَيْنَمَا
كُنَّا لاَ نَخَافُ فِى اللَّهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ .
"Kami membai'at Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
untuk siap mendengar dan taat, baik dalam keadaan susah maupun mudah, semangat
maupun tidak serta mendahulukannya di atas kepentingan kami dan agar kami tidak
mengambil alih posisi orang lain serta agar kami mengatakan yang hak di mana
saja kami berada di jalan Allah; tanpa takut celaan orang." (HR. Muslim)
Kisah
Imam Ahmad dengan Khalifah Al Ma'mun
Di
antara kisah yang sudah masyhur adalah kisah Imam Ahmad menghadapi Khalifah Al
Ma'mun dan orang-orang yang berada di belakangnya yang terdiri dari ahli filsafat
yang mengatakan Al Qur'an adalah makhluk.
Beliau
dibawa ke hadapan Al Ma'mun dalam keadaan terbelenggu dan sebelum sampai di hadapannya,
ia sudah diancam dengan ancaman berat, sampai-sampai seorang pelayan berkata
kepada Imam Ahmad:
"Saya
merasa berat hati wahai Abu 'Abdillah (yakni Imam Ahmad), ketika Al Ma'mun
telah menghunus pedangnya yang sebelumnya tidak dihunusnya, bahkan dia
bersumpah dengan kerabatnya yang dekat dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, bahwa jika kamu tidak mau mengatakan Al Qur'an adalah makhluk, dia akan
membunuhmu dengan pedang itu." (Al Bidayah 1/332)
Abu
Ja'far Al Anbariy berkata, "Ketika Ahmad dibawa ke hadapan Al Ma'mun, aku mendapatkan
berita itu, maka aku pun melintasi sungai Furat. Saya mendapati Beliau dalam
keadaan duduk di sebuah khan (tempat persinggahan musafir). Saya memberi salam
kepadanya, lalu ia berkata: "Wahai Abu Ja'far, kamu nampak lelah!"
Aku pun berkata, "Wahai saudara, engkau saat ini adalah seorang imam, orang-orang
banyak yang mengikutimu. Demi Allah, jika kamu mau mengatakan Al Qur'an adalah
makhluk tentu akan banyak orang yang mengikutimu. Jika kamu tidak
mengatakannya, orang-orang juga akan diam. Selain itu, kalau pun orang itu
tidak membunuhmu, engkau juga akan mati dan pasti mati, maka bertakwalah kepada
Allah dan jangan mengatakan hal itu." Maka Imam Ahmad menangis dan
berkata, "Maasyaa Allah", lalu Imam Ahmad berkata: "Wahai Abu
Ja'far, ulangi lagi kata-kata itu", maka aku pun mengulangi dan ia
berkata "Maasyaa Allah…dst." (As Siyar 11/238)
Atas
nasehat beberapa orang shalih, akhirnya Imam Ahmad tetap teguh di atas
pendiriannya bahwa Al Qur'an adalah kalaamullah (firman Allah), bukan makhluk, sehingga
Beliau dipenjarakan sampai beberapa tahun dan disiksa. Beliau rela disiksa
daripada mengatakan Al Qur'an adalah makhluk, sampai-sampai Beliau melakukan
shalat dalam keadaan terbelenggu, melakukan shalat dengan darah menetes di
pakaiannya akibat pukulan, bahkan Beliau kesulitan shalat sambil berdiri dan
mengerjakannya sambil duduk.
Namun
demikian, Imam Ahmad rahimahullah tidak pernah memfatwakan untuk memberontak
kepada penguasa. Saat para ahli fiqh bagdad berkumpul di hadapan beliau di masa
khilafah Al Watsiq dan mengusulkan untuk melakukan pemberontakan, Beliau
melarangnya dan berkata, "Kalian wajib mengingkari semua itu dengan hati
kalian, janganlah keluar dari ketaatan dan jangan memecahkan kesatuan kaum
muslimin. Janganlah menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin.
Perhatikanlah akibat urusan itu dan bersabarlah hingga daratan tenang atau
ditenangkan dari pelaku maksiat." (Lihat Al Adab Asy Syar'iyyah,
pasal al ingkar 'alas sulthaan)
Kisah
Sultanul 'ulama Al 'Izz bin Abdis Salam
Beliau
dijuluki sulthaanul 'ulama karena keberaniannya dalam mengatakan yang hak dan
tidak takut celaan orang yang mencela.
Pada
hari raya, Syaikh Al 'Izz datang menghadap sultan ke benteng pertahanannya.
Dilihatnya para pasukan berbaris di hadapan sultan, mereka bergegas untuk
menempati posisi di hadapan sultan, maka bangkitlah Al 'Izz dan dengan tegas
berkata, "Wahai sultan, bagaimana anda memberikan kebebasan terhadap
jual beli khamr di berbagai daerah?!" ia pun menyebutkan beberapa
kemungkaran lainnya yang terjadi, padahal sultan tersebut dikenal kejam, tetapi
kemungkaran itu diucapkannya dengan tegas sehingga orang-orang heran melihat
keberaniannya dan berkata: "Ia pasti akan terkena hukuman". Tetapi
apa jawaban sultan, "Wahai tuanku, inilah saya, saya tidak
melakukannya, bahkan hal itu merupakan perbuatan yang dilakukan bapakku
sebelumku." Maka Al 'Iz bin Abdis Salam berkata: "Engkau termasuk
orang yang dikatakan Allah:
"Sesungguhnya Kami mendapati
bapak- bapak Kami menganut suatu agama dan Sesungguhnya Kami adalah pengikut
jejak-jejak mereka". (terj. Az Zukhruf: 23)
Maka Sultan pun bangkit dan mengeluarkan keputusan
untuk menghilangkan kemungkaran-kemungkaran yang disebutkan oleh Al 'Iz bin
Abdis Salam, diperintahnya kedai khamr ditutup, diperintahnya orang-orang agar
tidak menunduk di hadapannya dan diperintahnya untuk menghilangkan kemungkaran
yang ada.
Al Baajiy berkata, "Saya pun bertanya kepada
syaikh setelah ia datang dari sisi sultan, sedangkan berita itu sudah tersebar,
"Wahai tuanku, apa yang terjadi?" Ia menjawab: "Wahai
anakku, aku melihat sultan dalam kebesaran, maka saya ingin menguranginya agar
dia tidak bersikap sombong sehingga dapat membahayakan dirinya."
Pernah suatu ketika terjadi permusuhan antara raja
Syam Shalih Isma'il dengan saudaranya raja Mesir Shalih Najmuddin Ayyub, maka
raja Syam meminta bantuan kepada orang-orang Nasrani untuk menghadapi
saudaranya sendiri, diizinkannya mereka memasuki Syam dan membeli senjata. Namun
ternyata, sudah berdiri di hadapan mereka Al 'Iz bin Abdis Salam, dia pun
berkhutbah dan memfatwakan haramnya menjual senjata kepada orang-orang Nasrani,
sehingga beliau dicegah berkhutbah dan diasingkan, namun akhirnya sultan mengirim
utusan dan mengatakan kepada Al 'Iz, "Kami akan mengembalikanmu kepada kedudukanmu
dengan syarat kamu mau memaafkan sikap sultan" sebagian penuntut ilmu
yang termasuk pembantu sultan juga datang kepadanya dan berkata: "Sesungguhnya
sultan bersiap-siap untuk mengembalikanmu kepada kedudukanmu semula, ia ingin
kamu mau memaafkan dan menyalami tangannya; tidak lebih" namun ia
menjawab, "Demi Allah, wahai si miskin, saya tidak ridha ia menyalami
tanganku apalagi sampai aku menyalami tangannya". Sultan kemudian
menahannya di sebuah kemah di dekatnya. Beberapa hari kemudian, sultan
didatangi orang-orang Nasrani, lalu sultan berkata kepada mereka ketika
terdengar suaranya, "Tahukah kalian siapa orang ini?" mereka
menjawab: "Tidak" Sultan menjawab, "Ini adalah Al 'Iz bin Abdis Salam, ia
bangkit dan memfatwakan tidak boleh menjual senjata kepada kalian dan mengajak
orang-orang untuk tidak menjualnya kepada kalian, maka saya menahannya karena
kalian."
Lalu orang-orang Nasrani itu berkata: "Kalau sekiranya
ia seorang uskup, tentu kami akan basuh kedua kakinya lalu kami minum
airnya", mendengar kata-kata itu sultan akhirnya melepaskan Al 'Iz bin
Abdis Salam rahimahullah.
Kisah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dengan Qaazan Raja Tartar
Pada akhir tahun 698 H pasukan Tartar di bawah
pimpinan Qazan berangkat dari Iran
menuju Halb dan bertemu dengan pasukan An Naashir bin Qalawun. Kemudian terjadilah
peperangan yang dahsyat dan kemenangan diraih oleh tentara Tartar. An Naashir
beserta sebagian pasukannya pergi melarikan diri ke Mesir, sehingga Damaskus
kosong dari pemimpin. Akan tetapi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bersama beberapa
orang pergi menuju Damaskus dan berkumpul dengan para tokohnya sambil
bermusyawarah untuk mengatur negeri Syam. Kemudian Syaikhul Islam pergi sebagai
utusan dari Syam untuk menghadap Qaazan. Sesampainya di hadapan Qaazaan,
Syaikhul Islam berkata, "Anda mengaku sebagai muslim, di negerimu ada
hakim, imam, syaikh dan muazin seperti yang kami dengar, tetapi mengapa anda
memerangi negeri kami?!" Ibnu Taimiyah juga berkata: "Bapak
dan nenek moyang kamu adalah orang-orang kafir, namun mereka tidak memerangi
negeri kaum muslimin."
Lalu Qaazan berkata, "Sesungguhnya nenek
moyangmu telah melakukan perjanjian dan mereka memenuhinya. Adapun kamu, kamu
melakukan perjanjian, namun tidak memenuhi, kamu berkata tetapi tidak menjalani."
Terjadilah dialog antara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dengan Qaazan membahas banyak masalah, namun semua dijawab dengan benar oleh
Ibnu Taimiyah dan tanpa takut. Setelah selesai diolog antara keduanya, Qaazan
bangkit dan menghidangkan makananan kepada Syaikhul Islam sambil berkata, "Silahkan",
namun Syaikhul Islam berkata, "Saya tidak akan memakan makananmu, kenapa?
Karena ia diambil dari tawanan kaum muslimin, kalian memasaknya dengan
kayu-kayu yang diambil dari negeri kaum muslimin."
Syaikhul Islam menolak tawaran makan dari Qaazaan, ia
pun memulai pembicaraan lagi dengan tegas, sampai-sampai orang-orang yang hadir
bersama Syaikhul Islam takut, sebagian muridnya yang hadir sampai berkata: "Demi
Allah, kami telah mengangkat baju kami karena khawatir terkena darah Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah (karena ia sepertinya akan dibunuh)." Lantas apa
yang terjadi?
Qaazan pun membiarkannya, memberikan keamanan
kepadanya serta menyerahkan kepadanya keamanan untuk negeri Damaskus dan
berkata kepada Ibnu Taimiyah, "Pergilah dengan berkah dari Allah, dan
jangan lupa do'amu yang baik untuk kami."
Setelah itu, Syaikhul Islam kembali ke Damaskus.
Sebelum sampai ke Damaskus, utusan Qaazaan menyusul dengan membawa banyak
hadiah agar Beliau membagi-bagikannya kepada kaum muslimin di sana.
Kisah Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab
Beliau
adalah seorang mujaddid (pembaharu), yang memperbaharui dan mengembalikan
kehidupan beragama ummat Islam kepada ajaran Islam yang murni, yaitu Al Qur'an
dan As Sunnah dengan pemahaman As Salafush Shalih (generasi pertama Islam).
Sebelumnya
negeri Nejd telah tersebar berbagai kesyirkkan.
Di antara penduduknya ada yang menyembah kubah, pohon, batu dan menyembah wali,
berdoa dan meminta kepada mereka. Bahkan sihir dan perdukunan laris di sana, namun sedikit
sekali orang yang bangkit beramr-ma'ruf dan bernahi munkar. Ketika Syaikh
melihat keadaan tersebut, maka ia bangkit berdakwah, beramr ma'ruf dan bernahi
munkar. Dalam dakwahnya, syaikh dibantu oleh amir (pemerintah) setempat bernama
Utsman bin Muhammad. Ketika Beliau datang ke 'Uyaynah, Amir Utsman menyambutnya
dan berkata, "Silahkan anda berdakwah ilallah, kami akan bersama anda
dan membela anda". Mulailah Beliau berdakwah di sana, beramr ma'ruf dan bernahi munkar. Suatu
ketika, Beliau berkata kepada Amir Utsman, "Biarkanlah kami merobohkan
kubah Zaid bin Al Khaththab, karena ia dibangun tidak di atas hidayah. Allah
Azza wa Jalla tidak ridha dengan perbuatan ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam sendiri melarang membuat bangunan di atas kubur serta membuat masjid
di atasnya."
Kubah
tersebut telah membuat manusia terfitnah dan merusak 'akidah mereka, bahkan
menimbulkan kemusyrikan. Maka Amir Utsman mempersilahkannya. Lalu beliau
berkata: "Saya khawatir penduduk Jabilah akan mengadakan perlawanan",
maka Amir Utsman mengirimkan 600 orang personil menemani Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab. Ketika penduduk Jabiilah melihat tentara tersebut, akhirnya
mereka tidak berani mengadakan perlawanan. Lalu dihancurkanlah kubah yang
menjadi sumber syirk tersebut oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Kubah-kubah lainnya yang dibangun di atas kubur juga dihancurkan, seperti kubah
Dhirar bin Al Awzar dan kubah-kubah lainnya. Bahkan ada sebuah gua dan pohon
yang dianggap keramat oleh orang-orang, diminta dan dijadikan tempat berdoa,
dihancurkan pula. Hingga akhirnya Amir Utsman diancam oleh amir daerah Ahsa'
karena dukungannya terhadap Syaikh. Oleh karena ancaman tersebut, akhirnya Amir
Utsman terpaksa meminta Syaikh untuk tidak tinggal di negerinya, maka
berangkatlah Syaikh berjalan kaki menuju daerah Dir'iyyah. Di Dir'iyyah, Beliau
dibantu oleh amir (pemerintah) setempat, yaitu Muhammad bin Sa'ud, ia siap
membantu Beliau menegakkan agama Allah. Ia pun berdakwah terus dan berjihad
dengan dibantu oleh keluarga Sa'ud, dakwah berlanjut terus sejak tahun 1158
sampai wafatnya Syaikh tahun 1206 H sehingga dakwahnya terdengar di mana-mana,
di antara mereka ada yang menerima dakwah Beliau dan ada pula yang menolaknya
bahkan menggelarinya dengan gelar-gelar yang buruk. Melalui dakwahnya banyak orang-orang
yang kembali mentauhidkan Allah, mengamalkan syari'at dan menghilangkan
adat-istiadat yang menyimpang.
Kisah Imam Bonjol dengan kaum
adat
Di antara ulama Indonesia yang mengikuti jejak Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah Imam Bonjol, nama aslinya Peto Syarif, dikenal
pula dengan nama Muhammad Shahab. Ia bersama beberapa orang yang sepaham mengajak
masyarakat agar melaksanakan ajaran Islam, diajaknya masyarakat untuk mengikuti
ajaran Al Qur'an dan As Sunnah serta meninggalkan kebiasaan dan adat yang buruk
seperti menyabung ayam, berjudi, meminum minuman keras dan lain-lain. Hingga
akhirnya muncul dua golongan, golongan yang mendukung Beliau, yaitu kaum Paderi
dan golongan yang menentang Beliau, yaitu kaum adat. Kaum Paderi menentang
berbagai adat kebiasaan yang dilakukan kaum adat. Namun kaum adat tidak
menerima terhadap penentangan kaum Paderi tersebut. Akibatnya, timbullah ketegangan
yang menjurus pada bentrokan senjata di antara pengikut kedua golongan tesebut.
Dalam pertempuran tersebut kaum adat terdesak, hingga akhirnya kaum adat
meminta bantuan kepada Belanda, sehingga mereka dapat menduduki beberapa daerah
di Sumatera Barat. Kedatangan Belanda tidak diterima oleh kaum Paderi.
Akhirnya, meletuslah perang antara kaum Paderi dengan Belanda. Perang tersebut
disebut Perang Paderi dan berlangsung tahun 1821 – 1827. namun pada akhirnya,
kaum adat menyadari bahwa mereka diadu domba oleh Belanda, dan akhirnya kaum adat
bersatu dengan kaum Paderi, hingga akhirnya pasukan Belanda dapat dipukul
mundur. Pada tahun 1837, pasukan Belanda menyerang daerah Bonjol besar-besaran
hingga akhirnya benteng Bonjol jatuh ke tangan Belanda. Pada tanggal 25 Oktober
1837, Imam Bonjol ditangkap dan ditahan. Ia diasingkan ke Cianjur, kemudian ke Ambon dan kemudian ke Manado. Pada tanggal 6 November 1864, Imam Bonjol wafat dan
jasadnya dimakamkan di desa Pineleng, Manado.
Marwan bin Musa
Maraaji': Namaadzij minal amri bil ma'ruf (Syaikh Nashir bin
Sulaiman Al 'Umar), Imam Muhammad bin Abdul Wahhab da'watuhu wa siiratuh
(Syaikh Ibnu Baz), Wasaa'iluts tsabat (Syaikh M. Bin Shalih Al Munajjid), Al
Adab Asy Syar'iyyah (Ibnu Muflih), buku-buku IPS sejarah SD dll.
0 komentar:
Posting Komentar