Khutbah Idul Fitri

بسم الله الرحمن الرحيم
Bagaimana Kita Berhari Raya?

Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!
Di pagi hari yang cerah ini, kita berkumpul bersama merasakan kegembiraan karena telah berhasil menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan dan dapat mengerjakan ibadah-ibadah lainnya, yang wajib maupun yang sunat. Kegembiraan seperti ini merupakan kegembiraan yang terpuji, yakni kegembiraan karena berhasil menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, bukan kegembiraan ketika seseorang berada di atas maksiat. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
Katakanlah, "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".(terj. Yunus: 58)
Semoga Allah menerima amal ibadah yang kita lakukan selama di bulan Ramadhan, Amin, Amin, Amin Yaa Rabbal ‘aalamiin.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!
Selama sebulan penuh Allah Subhaanahu wa Ta'aala membebani kita berpuasa agar kita menjadi insan yang bertakwa. Allah Subhaanahu wa Ta'aala memiliki hikmah yang dalam mengapa Dia memilih puasa sebagai sarana utama agar hamba-Nya dapat menjadi insan yang bertakwa. Yang demikian tidak lain, karena besarnya pengaruh puasa bagi seseorang dalam menjadikannya insan yang bertakwa.
Bukankah ketika berpuasa seseorang menahan diri dari hal-hal yang enak dan nikmat, seperti makan, minum, dan syahwatnya, maka diharapkan nantinya setelah selesai menjalankan ibadah puasa ketika ia dihadapkan perbuatan maksiat yang dijadikan terasa nikmat, ia pun mampu menahan dirinya? Karena perbuatan maksiat dijadikan terasa enak sebagai cobaan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَ حُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga dikelilingi oleh hal-hal yang tidak mengenakkan, dan neraka dikelilingi oleh syahwat.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi)
Bukankah ketika berpuasa seseorang merasakan penderitaan lapar dan haus, sehingga menjadikan dirinya merasakan beban yang dialami saudara-saudaranya yang fakir dan miskin, yang membuatnya ingin bersedekah dan membantu mereka?
Bukankah ketika berpuasa kita diuji oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala untuk menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dan hal-hal yang merusak pahalanya seperti berkata-kata kotor, mencaci-maki orang lain, berdusta dan perkataan maksiat lainnya, serta diuji untuk menahan diri dari tindakan-tindakan maksiat, seperti berkelahi, menzalimi orang lain, dsb.?
Dari sini, kita mengetahui, bahwa ujian yang diberikan oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak membuat seseorang binasa sebagaimana puasa tidak menjadikan seseorang mati. Akan tetapi, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menghendaki kebaikan bagi diri kita.
Oleh karena syari’at puasa memiliki pengaruh yang demikian besar dalam menjadikan manusia bertakwa, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala mewajibkannya kepada generasi terdahulu maupun kepada kita generasi yang datang  setelah mereka, dan tidak menghapus syari’at tersebut. Dia berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (terj. Al Baqarah: 183)
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!
Oleh karena yang diinginkan Allah dari hamba-hamba-Nya setelah menjalankan puasa adalah menjadi insan yang bertakwa, maka tidak selayaknya bagi kita setelah menjalankan ibadah puasa kembali kepada kebiasaan yang dahulu kita kerjakan, seperti meninggalkan shalat, durhaka kepada orang tua, memutuskan tali silaturrahim, bermusuhan, menyakiti tetangga, tidak menjaga lisannya dari dusta, ghibah (membicarakan orang lain), namimah (adu domba), melepas jilbab, dan melakukan maksiat lainnya, wal ‘iyadz billah.
Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!
Sesungguhnya tanda diterimanya ibadah dari seorang hamba adalah, hamba tersebut diberi taufik oleh Allah untuk mengerjakan ibadah-ibadah lainnya, mengerjakan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi maksiat.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!
Setelah kita menjalankan ibadah puasa di bulan Ramdhan, Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan kita mengagungkan-Nya, Dia berfirman:
 “Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (terj. Al Baqarah: 185)
Oleh karenanya di antara ulama ada yang berpendapat bahwa takbiran dimulai dari malam hari tanggal satu Syawwal hingga shalat Ied ditunaikan. Namun jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa takbir pada 'Idul Fitri dimulai dari keluarnya menuju tempat shalat hingga ditunaikan shalat 'Idul Fithri.
Ini untuk Idul Fitri, sedangkan untuk Idul Ah-ha takbiran dimulai dari Subuh hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) dan tetap terus bertakbir hingga Ashar akhir hari tasyriq.
Adapun bacaan takbirnya dalam hal ini ada keluasan, ia bisa membaca:
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ لَاِالهَ اِلَّا اللهُ اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ اْلحَمْدُ
Ini adalah takbir Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih, dan tidak mengapa ucapan takbirnya 3 kali.
Atau,
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ اْلحَمْدُ اَللهُ اَكْبَرُ وَاَجَلُّ اَللهُ اَكْبَرُ عَلىَ مَاهَدَانَا
Ini adalah takbir Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad shahih juga.
Atau,
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا
Ini adalah takbir dari Salman Al Khair yang diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih.
Dalam membaca takbir dianjurkan dikeraskan sebagai syi’ar Islam, namun tidak dengan alat musik. Imam Daruquthni meriwayatkan dengan sanad shahih bahwa Ibnu Umar berangkat pada hari Idul Fithri dan Idul Adh-ha dengan mengeraskan takbirnya, sampai tiba di lapangan, ia pun tetap terus bertakbir sampai imam datang. Adapun wanita cukup dengan mensirr(pelan)kan suaranya ketika bertakbir.
Demikian juga berangkat menuju lapangan shalat Ied dianjurkan menempuh jalan yang berbeda dengan pulangnya, dan dianjurkan dengan berjalan kaki. Ini semua merupakan syi’ar Islam.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!
Idul Fitri yang artinya hari raya berbuka puasa adalah hari raya umat Islam, di mana hanya ada tiga hari raya bagi umat Islam, yaitu Idul Fitri, Idul Adh-ha dan hari Jum’at. Adapun selain tiga hari ini, maka yang demikian bukanlah hari raya umat Islam.
Idul Fithri dan Idul Adh-ha adalah pengganti terhadap hari raya yang pernah dirayakan oleh masyarakat jahiliyyah dahulu, Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu pernah berkata, “Dahulu masyarakat jahiliyyah memiliki dua hari  dalam setiap tahunnya, di mana mereka bersuka-ria di hari itu, maka ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, Beliau bersabda:
كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى *
“Dahulu kamu memiliki dua hari untuk bersuka-ria, dan Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik darinya, yaitu Idul Fithri dan Idul Adh-ha.” (Shahih, diriwayatkan oleh Nasa’i)
Oleh karena keduanya pengganti hari raya yang biasa diperingati oleh masyarakat jahiliyyah dahulu, maka keduanya juga pengganti terhadap hari raya-hari raya dan hari besar yang diperingati sebagian kaum muslimin zaman sekarang, seperti hari raya maulid,  hari ibu, hari Valentin, hari Israa’-Mi’raaj, Tahun baru dsb.
Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!
Hadits yang disebutkan tadi menunjukkan bolehnya bagi kaum muslimin bersuka-ria, bersenang-senang dan melakukan permainan mubah di hari raya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari orang-orang Habasyah yang bermain tombak di masjid, dan tidak mengingkari gadis-gadis kecil bernyanyi di hari raya.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!
Di hari raya ini, para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan tahni’ah (selamat) kepada saudaranya. Ucapannya adalah:
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
 “Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kamu.” (Diriwayatkan oleh Al Muhaamiliy, Tamaamul Minnah hal. 355)
Adapun ucapan “Minal ‘aaidiin wal faa’izin” maka kami belum mendapatkan keterangannya baik dalam kitabullah maupun dalam sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!
Meskipun bulan Ramadhan telah berlalu, bulan di mana amal saleh dilipatgandakan pahalanya. Namun kesempatan meraih pahala yang banyak masih ada, di antaranya adalah dengan melanjutkan berpuasa selama enam hari di bulan Syawwal, di mana bagi mereka yang melakukannya akan dianggap seperti berpuasa setahun. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ, ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ اَلدَّهْرِ 
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa setahun.” (HR. Jama’ah ahli hadits selain Bukhari dan Nasa’i)
Dalam melakukannya lebih utama secara berturut-turut, namun boleh juga tidak berturut-turut.
Para ulama mengatakan, “Dianggap seperti berpuasa setahun adalah karena satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan, bulan Ramadhan dihitung sepuluh bulan, sedangkan enam hari di bulan Syawwal dihitung dua bulan.”
Sungguh sangat beruntung orang yang memanfaatkan kesempatan ini untuk berpuasa sebelum waktunya habis. Namun perlu diingat, hendaknya kita menjalankan puasa Syawwal setelah hutang puasa kita di bulan Ramadhan telah dibayar, demikian menurut ulama madzhab Maliki dan Syafi’i.
Di samping bulan Ramadhan, ada pula hari-hari yang utama, di mana beramal saleh pada hari-hari itu sangat dicintai Allah Subhaanahu wa Ta'aala, yaitu 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبُّ إِلىَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ - يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ - قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ ؟ قَالَ "وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
“Tidak ada hari di mana amal saleh pada hari itu lebih dicintai Allah ‘Azza wa Jalla daripada hari-hari ini –yakni sepuluh hari (pertama bulan Dzulhijjah)- para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidak juga jihad fii sabiilillah?” Beliau menjawab, “Tidak juga jihad fii sabiilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa-raga dan hartanya, kemudian tidak bersisa lagi.” (HR. Bukhari)
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Ied yang berbahagia!
Sebagai penutup, sesungguhnya Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah hamba-hamba-Nya oleh karena itu,
“Barang siapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya. (Fushshilat: 46)
Marwan bin Musa

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger