Kaedah Penting Asma'ul Husna (9)

بسم الله الرحمن الرحيم
Kaedah Penting Asma'ul Husna
 (bag. 9)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang kaedah penting Asma'ul Husna, namun mengenai beberapa syubhat sekaligus bantahannya, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
**********
Beberapa syubhat dan jawabannya
Sebagian Ahli ta'wil membawakan beberapa syubhat kepada Ahlus sunnah tentang nash-nash shifat, mereka menyatakan bahwa Ahlus sunnah juga melakukan ta'wil nash dari zhahirnya. Mereka berkata, "Bagaimana kalian mengingkari ta'wil yang kami lakukan, padahal kalian sendiri juga melakukan ta'wil!?"
Kita  jawab sangkaan itu dengan dua jawaban –sambil memohon pertolongan kepada Allah Ta'ala- dengan jawaban yang mujmal (garis besar) dan jawaban yang mufashshal (rinci).
Jawaban yang mujmal adalah sbb.:
1.     Kita tidak menerima pernyataan bahwa kaum salaf memalingkan juga dari zhahirnya, karena zhahir dari kalimat ada yang maknanya langsung dipahami, dan maknanya berbeda-beda tergantung susunannya dan kalimat yang dihubungkan kepadanya. Hal itu, karena kata itu maknanya dapat berbeda-beda tergantung penyusunannya, sedangkan kalimat tersusun dari beberapa kata, di mana maknanya akan jelas dan dapat ditentukan setelah digabungkan antara kata yang satu dengan kata yang lainnya.
2.     Kalau pun di antara mereka ada yang memalingkan dari zhahihrnya, namun mereka memiliki alasan dari Al Qur'an dan As Sunnah, baik muttashil (bersambung/ada dalam kalimat itu, seperti adanya istitsna (pengecualian), syarat dan sifat) maupun munfashil (terpisah, seperti karena indera, akal maupun syara').
Ini adalah jawaban secara mujmal, adapun secara mufashshalnya adalah jawaban terhadap penta'wilan Ahlus sunnah terhadap nash yang mereka sebutkan. Misalnya apa yang disebutkan oleh Al Ghazaaliy dari sebagian ulama madzhab Hanbali, bahwa Imam Ahmad tidak melakukan penta'wilan kecuali dalam tiga perkara saja; tentang hajar aswad adalah tangan kanan Allah di muka bumi, hati manusia di antara dua jari dari jari-jari Allah dan tentang perkataan, "saya mendapatkan nafas (pertolongan) Ar Rahman dari arah Yaman.
Syaikhul Islam menukil hal ini dalam Majmu' Fatawa juz 5 hal. 398, lalu ia berkata, "Cerita ini adalah dusta terhadap Imam Ahmad."
Jawab: Karena ada tiga perkara, maka kami sebutkan jawaban terhadap masing-masingnya.
Pertama, apa yang disebutkan bahwa hajar aswad adalah tangan kanan Allah di muka bumi adalah hadits yang tidak sahih sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Jauziy dalam Al 'Ilalul Mutanaahiyah, Ibnu 'Arabiy menyebutnya sebagai hadits batil yang tidak perlu ditengok, sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa hadits itu diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa isnad yang sahih. Dengan demikian tidak perlu membicarakan secara mendalam. Namun Ibnu Taimiyah berkata;
"Dan yang masyhur tentang atsar ini adalah bahwa ia berasal dari Ibnu Abbas, di mana ia berkata:
"Hajar aswad adalah tangan kanan Allah, barangsiapa yang menyalaminya dan menciumnya, maka seakan-akan ia menyalami Allah dan mencium tangan kanan-Nya[i]."
Barang siapa yang memikirkan lafaz yang dinukil tersebut niscaya akan jelas baginya bahwa tidak ada kemusykilan di sana, karena ia berkata, "Tangan kanan Allah di muka bumi" tidak disebutkan secara mutlak "Tangan kanan Allah." Hukum terhadap lafaz muqayyad (yang tidak disebut secara mutlak) berbeda dengan hukum terhadap lafaz yang mutlak." Selanjutnya (dikatakan), "Barang siapa yang menyalaminya dan menciumnya, maka seakan-akan ia menyalami Allah dan mencium tangan kanan-Nya." Hal ini menunjukkan dengan tegas bahwa orang yang sedang bersalaman tidaklah bersalaman sama sekali dengan tangan kanan Allah, akan tetapi seperti orang yang bersalaman dengan Allah. Awal dan akhir hadits itu menerangkan bahwa hajar bukanlah termasuk sifat Allah Ta'ala sebagaimana hal itu diketahui oleh orang yang berakal." (Majmu' Fatawa Juz 6 hal. 398)
Kedua, tentang hati manusia di antara dua jari dari jari-jari Allah Ta'ala.
Memang hadits yang menyebutkannya adalah shahih, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
« إِنَّ قُلُوبَ بَنِى آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ » .
"Sesungguhnya hati anak Adam semuanya di antara dua jari dari jari-jari Ar Rahman seperti satu hati, Dia membolak-balikkan sesuai yang dikehendaki-Nya." (HR. Muslim)
Kaum salaf berpegang dengan zhahir hadits tersebut, mereka berkata, "Sesungguhnya Allah Ta'ala memiliki jari-jari secara hakikat, kita menetapkannya sebagaimana telah ditetapkan oleh Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun yang demikian tidaklah mesti menyatu sehingga memberikan kesan bahwa hadits itu menunjukkan ikut menyatu, oleh karenanya harus dialihkan dari zhahirnya. Perhatikanlah awan yang ditundukkan antara langit dan bumi, ia tidak menyentuh langit dan tidak menyentuh bumi. Demikian juga dikatakan, "Badar itu tempat di antara Makkah dan Madinah" dengan jauhnya jarak masing-masing kota itu sehingga hati anak Adam semuanya di antara jari dari jari Ar Rahman secara hakikat, namun tidak menunjukkan menempel dan menyatu."
Ketiga, tentang perkataan, "Saya mendapatkan nafas (pertolongan) Ar Rahman dari arah Yaman."
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ أَنَّ الْإِيْمَانَ يَمَانٌ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَّةٌ وَأَجِدُ نَفَسَ رَبِّكُمْ مِنْ قِبَلِ الْيَمَنِ
"Ingatlah iman itu ada di kanan, hikmah merupakan bagian kanan dan saya mendapat nafas Tuhanmu dari arah Yaman.[ii]"
Dalam Majma'uz Zawaa'id disebutkan, "Para perawinya adalah para perawi hadits shahih selain Syabib, namun ia tsiqah."
Hadits ini kita bawa sesuai zhahirnya. Nafas merupakan isim masdar dari naffasa –yunaffisu- tanfiisan wa nafasan sebagaimana farraj-yufarriju- tafriijan wa farajan. Dalam Maqaayisul lughah disebutkan, "Nafas bagi segala sesuatu adalah yang menghilangkannya dari derita." Oleh karena itu, makna hadits ini adalah bahwa pertolongan Allah Ta'ala kepada kaum mukminin berasal dari penduduk Yaman. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Mereka adalah orang-orang yang membunuh orang-orang yang murtad dan menaklukkan berbagai kota, melalui mereka Allah menolong kepada kaum mukmin dari penderitaan." (Majmu' Fatawa Juz 6 hal. 398).
Contoh lainnya adalah seperti yang kami sebutkan di bawah ini:
Keempat, tentang firman Allah Ta'ala:
§NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ  
"Dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu." (Terj. QS. Al Baqarah: 29)
Memang Ahlussunnah memiliki dua tafsiran terhadap ayat tersebut. Tafsiran pertama adalah bahwa artinya di atas langit, dan inilah yang dikuatkan Ibnu Jarir. Tafsiran kedua adalah bahwa istiwa' di sini maksudnya adalah menuju secara sempurna, inilah yang dipegang oleh Ibnu Katsir pada tafsir surat Al Baqarah dan Al Baghawi pada tafsir surat Fushshilat . Ibnu Katsir berkata, "Yakni menuju ke langit". Istiwaa' di sini mengandung makna "menuju kepada" karena ada kata "ilaa." Al Baghawiy berkata, "Yakni menuju untuk menciptakan langit."
Perkataan di atas bukanlah mengalihkan kalimat dari zhahihrnya, hal itu karena fi'il (kata kerja) istawaa digandengkan dengan ilaa, sehingga maknanya berpindah kepada makna yang sesuai dengan huruf yang digandengkan tersebut. Perhatikanlah firman Allah Ta'ala:
$YZøŠtã Ü>uŽô³o $pkÍ5 ߊ$t7Ïã «!$# $pktXrãÉdfxÿム#ZŽÉføÿs? ÇÏÈ   
"(Yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya." (Terj. QS. Al Insaan: 6)
Di mana maknanya adalah para hamba Allah telah hilang dahaganya karena air itu, karena fi'il "yasyrabu" ditambahkan huruf "baa" sehingga maknanya berpindah kepada makna yang sesuai, yaitu "yarwaa" (hilang dahaga).
Kelima, firman Allah Ta'ala di surat Al Hadid:
( uqèdur óOä3yètB tûøïr& $tB öNçGYä. 4
"Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan." (Terj. QS. Al Hadid: 4)
Jawabnya adalah bahwa ayat tersebut kita bawa kepada hakikat dan zhahirnya, akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah apa hakikat dan zhahirnya? Apakah zhahir dan hakikatnya adalah bahwa Allah Ta'ala bersama makhluk-Nya yang menunjukkan bahwa Dia ikut menyatu dengan makhluk-Nya atau menempati tempat-tempat mereka, atau apakah zhahir dan hakikatnya bahwa Allah Ta'ala bersama makhluk-Nya menghendaki meliputi mereka pengetahuan-Nya, Kekuasaan-Nya, Pendengaran-Nya, Penglihatan-Nya, Pengaturan-Nya dan Kekuasaan-Nya dan makna yang terkandung dari rububiyyah lainnya, sedangkan Dia tetap berada Tinggi di atas 'arsyi-Nya; di atas semua makhluk-Nya?
Jelas tanpa ragu lagi, bahwa  pendapat kedua itulah yang benar dan pendapat pertama tidak ditunjukkan oleh susunan ayat tersebut dan tidak ditunjukkan demikian dari berbagai segi. Hal itu, karena kebersamaan di sini dihubungkan kepada Allah Ta'ala, sedangkan Dia Maha Agung dan Maha Besar sehingga tidak mungkin diliputi oleh satu pun makhluk-Nya. Di samping itu, kebersamaan dalam bahasa Arab; bahasa yang dengannya Al Qur'an diturunkan tidaklah menghendaki bersatu atau bersama tempatnya, bahkan hanyalah menunjukkan kebersamaan mutlak yang kemudian ditafsirkan menurut yang sesuai.
Contoh keenam, firman Allah Ta'ala:
uä!$uK¡¡9$#ur $yg»oYøt^t/ 7&÷ƒr'Î/ $¯RÎ)ur tbqãèÅqßJs9 ÇÍÐÈ  
"Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa." (Adz Dzaariyaat: 56)
Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah dan Ats Tsauriy menafsirkan kata "Aiid" di ayat tersebut dengan kekuatan. Sebagian orang mengira bahwa Ibnu Abbas dan yang sama seperti beliau telah melakukan ta'wil, karena mengartikan dengan "kekuatan." Terhadap persangkaan ini kita jawab, bahwa "yad" dengan "Aiid" itu dalam bahasa Arab berbeda. Yad artinya tangan, sedangkan aiid artinya quwwah (kekuatan), seperti pada ayat:
( $tRô­ƒr'sù tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä 4n?tã öNÏdÍirßtã (#qßst7ô¹r'sù tûï̍Îg»sß ÇÊÍÈ  
"Maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (Ash Shaff: 14)
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin.


[i] Namun atsar ini juga sangat dha'if, disebutkan oleh Ibnu Qutaibah dalam Ghariibul hadits (3/107/1) dari Ibrahim bin Yazid dari 'Athaa' dari Ibnu Abbas secara mauquf, sepertinya lebih tampak mauquf, meskipun dalam sanadnya terdapat orang yang sangat dha'if, karena Ibrahim ini, yakni Al Khauziy adalah seorang yang matruk (ditinggalkan) sebagaimana dikatakan Ahmad dan Nasa'i. (Lihat Adh Dha'iifah (1/ hal. 391) cet. Al Ma'aarif-Riyadh [Dari tahqiq Haaniy Al Haaj].
[ii] Isnadnya tidak mengapa, diriwayatkan oleh Ahmad (2/541), Thabrani dalam Musnad Syaamiyin (2/183). Al Haafizh dalam Takhrij Al Kasysyaaf (4/541) berkata, "Disebutkan oleh Thabrani dalam Al Awsath dan Musnad orang-orang Syam dari jalan Jarir bin Utsman dari Syabib bin Rauh dari Abu Hurairah…isnadnya tidak mengapa. Hadits ini juga memiliki syahid dari hadits Salamah bin Nufail As Sukuuniy dalam Musnad Al Bazzar, Thabrani dalam Al Kabir dan Baihaqi dalam Al Asmaa'. Dalam isnadnya terdapat Sulaiman Al Afthas, Al Bazzar berkata, "Sesungguhnya ia tidak masyhur." [Dari Takhqiq Haaniy Al Haaj].

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger