بسم الله الرحمن الرحيم
Adab Menuntut Ilmu (2)
Segala puji bagi Allah, shalawat
dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, para sahabatnya dan orang-orang
yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan
adab penuntut ilmu semoga Allah menjadikannya bermanfaat, Allahumma aamiin.
Adab Penuntut Ilmu
19.
Memurajaah ilmu yang ia
peroleh dari guru.
Mu’adz bin
Jabal berkata, “Pelajarilah ilmu, karena mempelajarinya karena Allah adalah
rasa takut, mencarinya adalah ibadah, mengingat-ingatnya adalah tasbih,
mengkajinya adalah jihad, mengajarkan kepada orang yang tidak tahu adalah
sedekah dan memberikan kepada orang yang berhak adalah sebuah pendekatan diri
kepada Allah.”
20.
Hendaknya waktunya lama.
Imam Ahmad berkata, “(Menuntut
ilmu) dari tempat tinta sampai ke tempat kubur.”
21.
Hendaknya memperhatikan
tiga perkara dalam ilmu, yaitu Al Qur’an, As Sunnah dan Tauhid.
22. Hendaknya ia tidak banyak berdehem atau banyak bertingkah, dan
tidak bersiwak di majlis ilmu. Demikian
juga hendaknya ia tidak banyak tertawa, tidak bercakap-cakap dengan kawannya,
tidak merendahkan saudaranya atau mengolok-olok mereka, karena mereka adalah
saudaranya.
23.
Berusaha tidak
mengantuk.
24.
Tidak banyak meminta
pengulangan kepada guru.
25.
Buah dari ilmu adalah
mengamalkannya dan menyampaikannya.
Allah
Subhaanahu wa Ta’ala mencela orang-orang yang tidak mengamalkan ilmu mereka dan menyerupakan mereka seperti keledai yang
memikul kitab-kitab, namun tidak paham isinya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala
berfirman,
“Perumpamaan
orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya
adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan
ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Terj. QS. Al Jumu’ah: 5)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْئَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَ أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ
فِيْمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ وَعَنْ
جِسْمِهِ فِيْمَ أَبْلاَ
“Tidaklah
bergeser dua kaki seorang hamba pada hari Kiamat sampai ditanya tentang
umurnya, untuk apa ia habiskan. Tentang ilmunya, untuk apa ia berbuat, tentang
hartanya, dari mana ia peroleh dan ke mana ia keluarkan, serta tentang badannya
untuk apa ia letihkan?” (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Shahihul Jami’ no. 7300)
26. Hendaknya ia berusaha mengikat dhawabith
(kaidah dalam satu masalah) dan kaidah kulliyyah (yang menyeluruh), memilah
hadits yang shahih dengan yang dha’if dan mencatat masalah-masalah furu’.
27.
Jika seorang penuntut
ilmu hendak pindah ke guru yang lain, hendaknya ia beritahukan, dan bahwa
berpindahnya itu bukan maksudnya karena merasa tidak butuh kepadanya, dan hal
ini dilakukan dengan penuh adab dan hormat.
28.
Hendaknya ia menjauhi
berbicara dengan guru menggunakan kalimat yang menunjukkan kesombongan, seperti
“menurut saya” atau “saya lebih menguatkannya,” dsb.
29.
Jika seorang guru salah
ucap tanpa disadari, maka silahkan meluruskan dengan penuh hormat.
30.
Hendaknya ketika ia
berdahak atau bersin tidak mengeraskan suaranya. Dan untuk bersin, hendaknya ia
tutup mukanya dengan bajunya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam (HR. Abu Dawud dan Hakim dengan sanad shahih).
31.
Hendaknya ia tidak
mendesak seorang guru ketika guru sedang lelah.
32.
Tidak patut bagi
penuntut ilmu memutuskan penjelasan guru ketika menerangkan pelajaran.
33.
Abu
Hanifah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya saya mendapatkan ilmu dengan memuji
Allah dan bersyukur kepada-Nya. Setiap kali aku paham dan diberitahukan fiqh
dan hikmah, aku berkata “Al Hamdulillah”, maka bertambahlah ilmuku.”
Demikianlah
sepatutnya seorang penuntut ilmu, ia menyibukkan diri dengan bersyukur baik
dengan lisan, hati, anggota badan maupun keadaan. Dia yakin bahwa pemahaman,
ilmu dan taufiq yang didapatkannya adalah berasal dari Allah Ta’ala. Ia pun
meminta hidayah-Nya dengan berdoa dan bertadharru’ (merendahkan diri)
kepada-Nya, karena Allah Ta’ala akan menunjuki orang yang meminta hidayah
kepadanya.
34.
Demikian juga hendaknya
ia membaca buku-buku tentang adab menuntut ilmu, seperti Tadzkiratus saami’
wal mutakallim fii aadabil ‘aalim wal muta’allim karya Badruddin bin
Jama’ah, Ta’limul Muta’allim (namun ada beberapa kekeliruan di dalamnya
dan hadits-haditsnya juga banyak yang dha’if), Adabul ‘aalim wal muta’allim
oleh Imam Nawawi yaitu pada kitab Al Majmu’nya, Hilyah Thalibil ‘Ilmi
oleh Syaikh Bakar Abu Zaid dan bagian awal kitab Jami’ul ilmi wa fadhluh
oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
Kaum salaf dalam menuntut ilmu
Setelah Rasulllah shallallahu
'alaihi wa sallam wafat, maka Ibnu ‘Abbas banyak bertanya kepada para sahabat Rasulllah
shallallahu 'alaihi wa sallam tentang apa yang disabdakan Rasulllah shallallahu
'alaihi wa sallam. Setiap kali ia mengetahui ada seorang yang mengetahui hadits
Rasulllah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia segera pergi kepadanya. Jika
ia mendapati sahabat tersebut sedang tidur siang, maka ia duduk di pintunya dan
menunggunya hingga bangun, sampai-sampai ia tertimpa debu-debu yang
diterbangkan oleh angin yang bertiup di gurun. Ketika sahabat itu keluar dan
melihat Ibnu ‘Abbas, maka ia berkata, “Wahai keponakan Rasulllah shallallahu
'alaihi wa sallam, kenapa engkau datang ke sini? Tidakkah engkau kirim
seseorang kepadaku, biarlah aku yang datang kepadamu?” Ibnu ‘Abbas menjawab,
“Tidak, saya lebih berhak datang kepadamu untuk menanyakan hadits kepadamu?”
(HR. Hakim)
Jabir bin
Abdillah berkata, “Telah sampai kepadaku sebuah hadits dari seseorang yang ia
dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku beli seekor unta
untuk pergi mendatanginya, maka aku pergi kepadanya dalam waktu sebulan hingga
aku sampai di Syam, lalu aku mendapatinya yaitu Abdullah bin Unais radhiyallahu
‘anhu, maka aku berkata kepada penjaga pintu, “Katakan kepadanya bahwa Jabir
ada di pintu.” Maka Abdullah bin Unais berkata, “Apakah putera Abdullah?” Aku
menjawab, “Ya.” Maka ia pun segera keluar menemuinya,
lalu ia memelukku dan aku pun memeluknya, maka aku berkata, “Ada sebuah hadits
yang sampai kepadaku darimu; bahwa engkau mendengarnya dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang qishas, maka aku khawatir kamu wafat atau
aku wafat sebelum aku mendengarnya, maka Abdulllah bin Unais menyampaikan
hadits itu kepadanya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani)
Ubaidullah
bin ‘Addiy berkata, “Telah sampai kepadaku sebuah hadits yang ada pada ‘Ali
(bin Abi Thalib), maka aku khawatir jika ia wafat, lalu aku tidak memperolehnya
pada orang lain. Oleh karena itu, aku mengadakan perjalanan untuk menemuinya
sehingga aku menemuinya di Irak.” (Diriwayatkan oleh Al Khathib)
Ibnu
Mas’ud berkata, “Kalau sekiranya ada orang yang dapat dicapai oleh unta, dimana
orang tersebut ternyata lebih tahu tentang apa yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku akan mendatanginya sehingga
ilmuku bertambah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir)
Wallahu a’lam, wa
shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Adab Thalibil ‘Ilmi
(Syaikh KHalid bin Abdul ‘Aziz Al Huwaisain), Aadabul ‘Ilmi (dari situs islam.aljayyash.net.),
Modul Akhlak (penyusun) dll.
0 komentar:
Posting Komentar