بسم الله الرحمن الرحيم
Adab Menuntut Ilmu (1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada
Rasulullah, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Ilmu memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam, bahkan ayat yang
pertama turun adalah ayat yang mengajak untuk belajar. Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,”
(Terj. Al ‘Alaq: 1)
Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga sampai bersumpah dengan sarana untuk
memperoleh ilmu, yaitu pena. Dia berfirman, “Nun, demi kalam dan apa yang
mereka tulis,” (Terj. Al Qalam: 1)
As Sunnah juga menguatkan kedudukan ilmu sampai-sampai menjadikan
usaha ntuk memperoleh ilmu sebagai jalan ke surga. Rasulllah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ
فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa
yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya
jalan ke surga.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi)
Bahkan
pahala ilmu akan terus mengalir setelah pemiliknya wafat. Rasulllah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seseorang meninggal, maka terputuslah amalnya selain
tiga perkara; sedekah jaariyah, ilmu yang dimanfaatkan atau anak saleh yang
mendoakannya.” (HR. Muslim)
Para penuntut llmu juga merupakan wasiat Rasulllah
shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana para pengajar diperintahkan berbuat baik
kepada mereka. Beliau bersabda,
سَيَأْتِيْكُمْ أَقْوَامٌ يَطْلُبُوْنَ
الْعِلْمَ فَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُمْ فَقُوْلُوْا لَهُمْ مَرْحَبًا بِوَصِيَّةِ رَسُوْلِ
اللهِ وَ أَفْتُوْهُمْ
“Akan
datang kepadamu orang-orang yang mencari ilmu, maka apabila kamu melihat
mereka, ucapkanlah kepada mereka, “Selamat datang kepada wasiat Rasulllah shallallahu
'alaihi wa sallam”, dan berlah fatwa kepada mereka.” (HR. Ibnu Majah dari Abu
Sa’id, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3651)
Ilmu juga merupakan jalan bagi seorang muslim untuk mengenal Allah
dengan sebenar-benarnya. Oleh karena itu, ahli lmu adalah orang yang paling
takut kepada Allah (lihat surat
Fathir: 28).
Pembagian ilmu
Ilmu terbagi menjadi dua bagian; fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.
Fardhu ‘ain adalah ilmu yang setap muslim wajib mengetahuinya,
seperti ilmu tentang Tuhannya, agamanya dan Nabinya shallallahu 'alaihi wa
sallam. Adapun yang fardhu kifayah adalah llmu yang harus ada di kalangan kaum
muslimin untuk menopang kehidupan mereka, seperti ilmu kedokteran, industri,
dsb.
Adab menuntut ilmu
Dalam menuntut ilmu ada beberapa adab yang perlu diperhatikan,
namun sebelumnya perlu kiranya dketahui tentang pentingnya adab tersebut.
Burhanuddin Az Zarnuuji berkata, “Orang-orang yang hadir di majlis
ilmu itu banyak, namun mengapa yang keluar (berhasil) hanya sedikit? Hal itu,
karena kebanyakan mereka tidak mengerjakan adab penuntut ilmu.”
Ibnul Mubarak berkata, “Aku belajar ilmu selama dua puluh tahun,
dan aku belajar adab ilmu selama tiga puluh tahun.”
Ibnul Kharrath Al Isybiliy menyebutkan dari sebagian ahli ilmu, ia
berkata, “Janganlah meremehkan adab, karena barang siapa yang meremehkan adab,
maka ia akan meremehkan sunnah-sunnah, dan barang siapa yang meremehkan
sunnah-sunnah, maka ia akan meremehkan yang wajib-wajib.”
Adab Penuntut Ilmu
Berikut ini beberapa adab penuntut ilmu yang perlu diperhatikan:
1.
Jujur dan ikhlas.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Wahai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang
benar.” (QS. At Taubah: 119)
Rasulllah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
amal itu tergantung niat, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai yang ia niatkan.”
(HR. Bukhari)
Nab shallallahu 'alaihi wa sallam juga memberitahukan, bahwa orang
yang pertama kali menjadi bahan bakar neraka adalah tiga orang, yang salah
satunya adalah orang yang belajar agama dan mengajarkannya agar disebut sebagai
orang ‘alim, dan orang yang membaca Al Qur’an agar disebut qari’ (sebagaimana
dalam hadits riwayat Muslim), nas’alullahas
salaamah wal ‘aafiyah.
Oleh karena itu, hendaknya seorang penuntut
ilmu meniatkan di hatinya untuk menggapai ridha Allah dan mendapatkan kampung
akhirat, menyingkirkan kebodohan dari dirinya serta menghilangkan kebodohan
yang menimpa orang lain. Dia pun hendaknya berniat untuk menegakkan agama Islam
dan menjaganya, karena Islam terjaga dengan ilmu. Sikap zuhud dan takwa pun
tidak mungkin dicapai dengan kebodohan.
Imam Abu Muhammad ibnu Hazm rahimahullah berkata,
"Jika engkau hadir ke majlis ilmu, maka hendaknya
kehadiranmu untuk menambah ilmu dan mendapatkan pahala, bukan sebagai orang
yang sudah merasa cukup dengan ilmunya, ingin mencari kekurangan yang bisa
disebarluaskan atau keanehannya yang bisa engkau cacatkan. Ini hanyalah
tindakan yang dilakukan oleh orang-orang rendah yang tidak beruntung selamanya
dalam menuntut ilmu.
Tetapi jika engkau hadir dengan niat yang benar, maka
engkau akan memperoleh kebaikan dalam keadaan bagaimana pun.
Sebaliknya, jika niatmu buruk, maka duduk di rumah
lebih menenangkan badanmu, memuliakan akhlakmu, dan menyelamatkan
agamamu." (Al Akhlaq was Siyar 1/92)
2.
Mencari ilmu yang bermanfaat
Di antara doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah,
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ
بِكَ مِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَ مِنْ دُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ وَ مِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ
وَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَؤُلاَءِ الْأَرْبَعِ
“Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak khusyu’, dari doa
yang tidak didengar, dari jiwa yang tidak puas dan dari ilmu yang tidak
bermanfaat. Aku berlindung dari empat hal itu kepada-Mu.” (HR. Tirmidzi dan
Nasa’i dari Ibnu ‘Amr, dan diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah dan
Hakim dari Abu Hurairah, dan Nasa’i dari Anas, dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1297).
Seorang penyair
berkata,
مَا
أَكْثَـرُ الْعِلْـمَ وَمَــا أَوْسَعَــهُ
مَنْ ذَا الَّـذِيْ يَقْــدِرُ أَنْ يَجْمَعَـهُ
إِنْ كُنْـتَ لاَ بـُدَّ لَـهُ طَـالِــبًا
مُحَاوِلاً، فَالْتَمِــسْ أَنْفَعَــــــــهُ
مَنْ ذَا الَّـذِيْ يَقْــدِرُ أَنْ يَجْمَعَـهُ
إِنْ كُنْـتَ لاَ بـُدَّ لَـهُ طَـالِــبًا
مُحَاوِلاً، فَالْتَمِــسْ أَنْفَعَــــــــهُ
Alangkah banyak ilmu
itu dan alangkah luasnya
Siapakah yang dapat
mengumpulkannya
Jika kamu harus
mencari dan berusaha kepadanya,
Maka carilah yang
bermanfaat darinya.
3.
Menyiapkan
alat tulisnya.
Imam Syafi’i berkata,
“Sesungguhnya di antara penyebab terhalangnya ilmu adalah menghadiri majlis ilmu tanpa
menyalinnya.”
Ada yang berkata,
“Ikatlah ilmu dengan tulisan.” Ada pula yang berkata, “Ilmu itu binatang
buruan, dan talinya adalah mencatat.”
Ada atsar (riwayat) dari Thawus, bahwa ketika ia menghadiri
(majlis) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, maka ia selalu menulis, sampai suatu
ketika ia tidak memperoleh sesuatu untuk menulis, maka ia menulis di
tangannya.”
4.
Fokus
kepada ilmu tersebut.
Ada seorang yang
berkata,
الْعِلْمُ
لاَ يُعْطِيْكَ بَعْضَهُ حَتَّى تُعْطِيَهُ كُلَّكَ
“Ilmu tidak akan
memberikan sebagiannya kepadamu sampai kamu memberikan bagianmu semua
kepadanya.”
5.
Membersihkan
jiwa dari akhlak yang buruk.
Ilmu yang bermanfaat
adalah cahaya dari Allah yang diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang
bertakwa. Oleh karena itu, hendaknya seorang penuntut ilmu menjauhi dirinya
dari hasad, riya’, ‘ujub, dan semua akhlak tercela. Imam Syafi’i berkata,
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ
حِفْظِيْ
فَأَرْشَدَنِيْ إِلَى تَرْكِ
الْمَعَاصِى
فَإِنَّ الْحِفْظَ فَضْلٌ مِنَ
اللهِ
وَفَضْلُ اللهِ لاَ يُعْطَى
لِعَاصِى
Aku pernah mengeluh
kepada Waki’ tentang buruknya hapalanku,
Maka ia menunjukiku
agar meninggalkan maksiat
Karena hapalan adalah
karunia Allah
Dan karunia Allah itu
tidak diberikan kepada pelaku maksiat.
6.
Manfaatkanlah
usia muda untuk menuntut ilmu, meskipun usia tua bukan penghalang menuntut
ilmu.
Hal itu, karena
belajar di masa kecil seperti mengukir di atas batu, sedangkan belajar di masa
tua seperti mengukir di atas air, karena disibukkan oleh banyak urusan.
Meskipun begitu, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berkuasa menjadikan seseorang kuat
hapalan walaupun usianya telah lanjut.
7.
Hendaknya penuntut ilmu hadir dalam keadaan
yang rapi dan baik.
Oleh karena itu, hendaknya ia tidak datang dalam keadaan menahan
buang air, lapar, pikiran sedang risau dan sebagainya.
8.
Bekerja
tidaklah menghalangi untuk belajar.
Para sahabat semuanya
bekerja, namun setelah mereka bekerja, maka sisa waktunya mereka gunakan untuk
belajar agama. Abu Sa’id berkata, “Kami berperang dan membiarkan seorang atau
dua orang untuk mendengar hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
keduanya menceritakan kepada kami sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu kami juga menceritakan; kami katakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam bersabda.” (HR. Ibnu ‘Asakir).
9.
Bertahap
dalam menuntut ilmu.
Hendaknya seorang
penuntut ilmu mendahulukan yang terpenting di antara sekian ilmu, seperti ilmu
tentang ‘Aqidah dan ibadah, serta yang dibutuhkan pada saat itu.
10.
Harus sabar.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Yahya bin Katsir, ia
berkata, “Ilmu tidaklah diperoleh dengan jiwa-raga yang santai.”
Imam Syafi’i pernah berkata,
أَخِيْ لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنَبِّئُكَ عَنْ
تَفْصِيْلِهَا بِبَيَانٍ: ذَكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاجْتِهَادٍ وَدِرْهَمٍ وَصُحْبَةِ
أُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ
“Saudaraku, kamu tidak akan mencapai ilmu kecuali dengan enam
perkara, aku akan terangkan dengan jelas, yaitu: kecerdasan, semangat,
sungguh-sungguh, ada dirham (biaya), didampingi guru, dan waktu yang lama.”
11.
Demikian juga
hendaknya seorang
murid, tidak memilih jenis ilmu menurut dirinya sendiri. Bahkan hendaknya ia serahkan masalah
itu kepada guru. Karena guru memiliki pengalaman tentang hal itu.
12.
Duduk yang sopan. Oleh karena itu,
hendaknya ia tidak bersandar. Demikian juga hendaknya ia tidak duduk dengan
duduk orang yang sombong, yaitu dengan menaruh kaki yang satu di atas kaki yang
lain.
13.
Hendaknya ia bertanya dengan baik, dan
lebih baik lagi jika ia awali dengan mendoakannya, seperti mengucapan “Semoga
Allah mengampuni engkau” dan menggunakan kata-kata yang lembut terhadapnya.
Imam Malik berkata, “Abu Salamah bin Abdurrahman bin ‘Auf pernah
mendebat Ibnu Abbas sehingga banyak ilmu yang terhalang baginya.” Adh Dhahhak
berkata, “Aku tidaklah mengambil ilmu ini dari para ulama kecuali dengan
bersikap lembut kepada mereka.”
14.
Tidak
malu dalam bertanya.
Allah Subhaanahu wa
Ta’aala berfirman, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui,” (Terj. QS. An Nahl: 43)
Aisyah berkata, “Sebaik-baik
wanita adalah wanita Anshar, dimana rasa malu tidak menghalangi mereka belajar
agama.”
Oleh karena itu,
hendaknya seorang penuntut ilmu tidak malu bertanya, karena ilmu itu perbendaharaan,
sedangkan kuncinya adalah bertanya.
Meskipun begitu,
hendaknya ia tidak banyak bertanya kecuali jika dibutuhkan, tentunya dengan
sikap sopan dan beradab.
15.
Hadir di majlis sebelum guru datang.
16.
Tidak memotong pembicaraannya.
17.
Hendaknya ia memuliakan guru tanpa
berlebihan. Hal itu, karena ia membawa kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam.
18.
Diam
memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru.
Sufyan Ats Tsauriy rahimahullah pernah berkata:
اَوَّلُ الْعِلْمِ
اْلإِسْتِمَاعُ ثُمَّ الْإِنْصَاتُ ثُمَّ الْحِفْظُ ثُمَّ الْعَمَلُ ثُمَّ
النَّشْرُ
“Ilmu diawali dengan mendengarkan, lalu memperhatikan,
kemudian menghapalnya, lalu mengamalkan kemudian menyebarkan.”
Bersambung….
Wallahu
a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Adab Thalibil ‘Ilmi
(Syaikh KHalid bin Abdul ‘Aziz Al Huwaisain), Aadabul ‘Ilmi (dari situs islam.aljayyash.net.),
Modul Akhlak (penyusun) dll.
0 komentar:
Posting Komentar