بسم الله الرحمن الرحيم
Ikhlas
Sesungguhnya tujuan utama agama Islam adalah agar manusia beribadah
kepada Allah Ta'ala dengan ikhlas. Allah Ta'ala berfirman:
Dan mereka tidaklah diperintahkan kecuali agar beribadah kepada Allah
dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya (terjemah: Al Bayyinah: 5).
Ta'rif (definisi) ikhlas
Ikhlas secara bahasa artinya memurnikan sesuatu dan
membersihkannya dari campuran. Secara istilah, ada beberapa ta'rif, di
antaranya adalah:
-
Ikhlas adalah
pensucian niat dari seluruh noda dalam
mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.
Noda di sini misalnya mencari perhatian
makhluk dan pujian mereka.
- Ikhlas adalah pengesaan Allah Ta'ala dalam niat dan ketaatan.
- Ikhlas adalah melupakan perhatian makhluk dan selalui mencari
- perhatian
al Khaliq.
- Ikhlas adalah seorang berniat mendekatkan diri kepada Allah dalam ibadahnya.
- Ikhlas adalah samanya perbuatan seorang hamba antara
yang nampak dan yang tersembunyi.
Singkatnya, ikhlas adalah seseorang beribadah dengan
niat mendekatkan diri kepada Allah, mengharapkan pahala-Nya, takut terhadap
siksa-Nya dan ingin mencari ridha-Nya.
Dzun Nun Al Mishriy rahimahullah berkata: "Tiga
tanda keikhlasan adalah: (1) Seimbangnya pujian dan celaan orang-orang
terhadapnya, (2) Lupa melihat amal dalam beramal, (3) Dan mengharapkan pahala
amalnya di akhirat."
Kedudukan Ikhlas
Ikhlas adalah asas keberhasilan dan keberuntungan di
dunia dan akhirat. Ikhlas bagi amal ibarat pondasi bagi sebuah bangunan dan
ibarat ruh bagi sebuah jasad, di mana sebuah bangunan tidak akan dapat berdiri
kokoh tanpa pondasi, demikian juga jasad tidak akan dapat hidup tanpa ruh. Oleh
karena itu, amal shalih yang kosong dari keikhlasan akan menjadikannya mati,
tidak bernilai serta tidak membuahkan apa-apa, atau dengan kata lain
"wujuuduhaa ka'adamihaa" (Keberadaannya sama seperti
ketidakadaannya).
Ikhlas juga merupakan syarat diterimanya amal di
samping sesuai dengan Sunnah. Allah Azza wa Jalla berfirman dalam hadits Qudsi:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ
عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
"Aku
sangat tidak butuh sekutu, siapa saja yang beramal menyekutukan sesuatu
dengan-Ku, maka Aku akan meninggalkan dia dan syirknya." (HR. Muslim)
Tempat Ikhlas
Ikhlas tempatnya di hati. Saat hati seseorang menjadi
baik dengan ikhlas, maka anggota badan yang lain ikut menjadi baik. Sebaliknya,
jika hatinya rusak, misalnya oleh riya', sum'ah, hubbusy syuhrah (agar
dikenal), mengharapkan dunia dalam amalnya, 'ujub (bangga diri) dsb. maka akan
rusaklah seluruh jasadnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا
فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ .
"Apabila
hati menjadi baik, maka akan baik pula seluruh jasadnya, dan apabila hati
menjadi rusak, maka akan rusak seluruh jasadnya." (HR. Bukhari-Muslim)
Seseorang dituntut untuk berniat ikhlas dalam seluruh
amal shalihnya, baik shalatnya, zakatnya, puasanya, jihadnya, amar ma'ruf dan
nahi munkarnya, serta amal shalih lainnya, termasuk belajarnya. Ibnu Mas'ud
radhiyallahu 'anhu berkata, "Janganlah kalian belajar agama karena tiga
hal; agar dapat mengalahkan orang-orang jahil, agar dapat mendebat para fuqaha'
dan agar perhatian orang-orang beralih kepada kalian. Niatkanlah dalam
kata-kata dan perbuatan kalian untuk memperoleh apa yang ada di sisi Allah,
karena hal itu akan kekal, adapun selainnya akan hilang."
Buah yang dihasilkan dari
keikhlasan
Buah yang dihasilkan dari keikhlasan sungguh banyak,
seorang yang ikhlas dalam mengucapkan Laailaahaillallah, maka Allah akan
mengharamkan neraka baginya. Seorang yang mengikuti ucapan muazin dengan
ikhlas, maka Allah akan memasukkannya ke surga. Seorang yang menuntut ilmu
agama dengan ikhlas, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga. Seorang
yang ikhlas menjalankan puasa, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang
telah lalu. Bahkan perbuatan mubah akan menjadi berpahala dengan keikhlasan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً
تَبْتَغِيَ بِهَا وَجْهُ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَ
تَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ
"Sesungguhnya
kamu tidaklah menafkahkah satu nafkah pun karena mengharapkan keridhaan Allah,
kecuali kamu akan diberikan pahala terhadapnya sampai dalam suapan yang kamu
masukkan ke dalam mulut istrimu." (HR. Bukhari-Muslim)
Perhatikanlah kisah tiga orang yang bermalam di sebuah
gua, lalu jatuh sebuah batu besar
menutupi gua tersebut, sehingga mereka tidak bisa keluar. Masing-masing
mereka berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal shalih yang mereka kerjakan
dengan ikhlas, akhirnya Allah menyingkirkan batu tersebut dari gua, hingga
mereka semua bisa keluar. Ini sebuah contoh buah dari keikhlasan.
Akibat tidak ikhlas
Sebaliknya, jika amal shalih dikerjakan atas dasar
niat yang tidak ikhlas, bukan mendapatkan pahala, bahkan mendapatkan siksa.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya
orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid.
Ia pun dihadapkan, lalu Allah mengingatkan kepadanya nikmat-nikmatNya, ia pun
mengingatnya, kemudian ditanya, “Kamu gunakan untuk apa nikmat itu?"
Ia menjawab, “Aku (gunakan untuk) berperang di jalan-Mu hingga aku mati
syahid”, Allah berfirman, “Kamu dusta, sebenarnya kamu berperang agar
dikatakan sebagai pemberani dan sudah dikatakan demikian”, kemudian Allah
memerintahkan orang itu agar dibawa, lalu ia diseret dalam keadaan telungkup kemudian
dilempar ke neraka. (Kedua) seorang yang belajar agama, mengajarkannya dan
membaca Al Qur’an, Ia pun dihadapkan, lalu Allah mengingatkan kepadanya
nikmat-nikmat-Nya, ia pun mengingatnya, kemudian ditanya, “Kamu gunakan
untuk apa nikmat itu?" Ia menjawab, “Aku (gunakan untuk) mempelajari
agama, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an karena Engkau”, Allah berfirman: “Kamu
dusta, sebenarnya kamu belajar agama agar dikatakan orang alim, dan membaca Al
Qur'an agar dikatakan qaari', dan sudah dikatakan", kemudian Allah
memerintahkan orang itu agar dibawa, lalu ia diseret dalam keadaan telungkup
kemudian dilempar ke neraka. (Ketiga) seseorang yang dilapangkan rezkinya dan
diberikan kepadanya berbagai jenis harta, ia pun dihadapkan, lalu Allah
mengingatkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya, ia pun mengingatnya, kemudian
ditanya, “Kamu gunakan untuk apa nikmat itu?" Ia menjawab, “Tidak
ada satu pun jalan, di mana Engkau suka dikeluarkan infak di sana kecuali aku keluarkan karena Engkau”.
Allah berfirman, “Kamu dusta, sebenarnya kamu lakukan hal itu agar dikatakan
sebagai orang yang dermawan dan sudah dikatakan", kemudian Allah
memerintahkan orang itu agar dibawa, lalu ia diseret dalam keadaan telungkup
kemudian dilempar ke neraka." (HR. Muslim)
Contoh Riya' dan kurang ikhlas
Berikut beberapa contoh riya' dan amalan yang kurang ikhlas:
-
Seorang
menambahkan lagi ketaatannya ketika dipuji, atau mengurangi bahkan meninggalkan
ketaatan ketika dicela.
-
Seseorang beramal
shalih dan berakhlak mulia agar dicintai orang-orang, diperlakukan secara baik
dan mendapat tempat di hati mereka. Jika hal itu tidak tercapai, ia pun berat
sekali melakukannya.
-
Seseorang
bersedekah karena ingin dilihat orang, jika tidak ada yang melihatnya, ia tidak
mau bersedekah.
- Ibnu Rajab berkata, "Dan termasuk
penyakit riya' yang tersembunyi adalah bahwa seseorang terkadang merendahkan
dirinya, di hadapan manusia, mengharap dengan itu agar manusia melihat bahwa
dirinya adalah seorang tawadhu', sehingga terangkat kedudukannya di sisi mereka
dan mendapat pujian dari mereka.."
- Seorang yang berjihad agar ia terbiasa perang.
Keadaaan manusia dalam beramal
shalih
Orang-orang dalam beramal shalih beraneka ragam sbb:
-
Ada
yang beramal shalih, niatnya murni riya', seperti orang-orang munafik. Di mana,
amal yang dilakukan tidak lain agar mendapatkan perhatian dari orang lain.
Amalan ini sia-sia.
-
Seorang yang beramal
shalih, niat asalnya karena Allah bercampur riya' dari awal hingga akhirnya. Nas-nas
yang shahih menunjukkan bahwa amalnya juga sia-sia.
-
Seorang yang beramal
shalih, niat asalnya ikhlas lillah, namun kedatangan riya' di tengah-tengahnya.
maka dalam hal ini ada dua keadaan:
1. Awal ibadah dan akhirnya terpisah, maka yang awalnya
sah dan yang terakhirnya sia-sia. Contoh: Seseorang mempunyai 20.000,- yang
ingin disedekahkannya, ia pun menyedekahkan 10.000, yang pertama ikhlas lillah,
namun 10.000,- sisanya karena riya'. Maka yang pertama sah, sedangkan yang
kedua sia-sia.
2. Awal ibadah dengan akhirnya menyatu. Dalam hal ini ada
dua keadaan juga:
a. Riya' yang datang tiba-tiba dilawannya, kemudian
berhasil disingkirkan. Maka amal
shalihnya tetap sah.
b. Riya' yang datang tiba-tiba dibiarkannya, akhirnya
dirinya terbawa oleh riya' tersebut. Maka dalam hal ini amalnya sia-sia.
Obat Riya'
Di antara sebab timbulnya riya’ adalah karena lemahnya
keimanan dan karena kebodohan. Oleh karena itu, ketika iman lemah,
seseorang mudah berbuat maksiat, Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِينَ يَزْنِى
وَهْوَ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُ وَهْوَ مُؤْمِنٌ ،
"Tidaklah berzina seorang pezina ketika dia
sedang berzina sedang dia seorang mukmin, dan tidaklah ia meminum khamr ketika
dia sedang meminumnya sedang dia mukmin (HR. Bukhari)
Demikian juga, seseorang tidaklah berbuat kemaksiatan kecuali
karena ia jahil (bodoh), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Segala
maksiat itu bersumber pada kebodohan, dan seandainya manusia mengetahui ilmu
yang bermanfaat niscaya ia tidak melakukan maksiat." Selanjutnya beliau
berkata ketika menafsirkan ayat:
Sesungguhnya hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah ulama (terj.
Al Fathir: 28).
"Setiap orang takut kepada Allah dan taat kepada-Nya serta tidak
memaksiati-Nya maka dia adalah alim/berilmu."
Obat lemahnya iman dan kebodohan adalah dengan belajar
dan beramal.
Termasuk sebab timbulnya riya' juga adalah karena
menyukai pujian, takut celaan dan menyukai pemberian. Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata: "Tidak mungkin berkumpul bersama antara ikhlas dengan mencintai
pujian, sanjungan serta tamak (rakus) terhadap harta manusia kecuali seperti
berkumpulnya air dengan api, binatang dhab (mirip biawak namun kecil) dengan
ikan besar (pemangsanya)."
Cara agar kita tidak cinta terhadap pujian manusia
adalah dengan mengetahui bahwa pujian seseorang tidaklah bermanfaat apa-apa,
demikian juga celaannya tidaklah berbahaya, yang bermanfaat adalah pujian Allah
Subhaanahu wa Ta'aala dan yang berbahaya adalah celaan-Nya. Sedangkan cara agar
kita tidak tamak terhadap harta manusia adalah dengan mengetahui bahwa harta
yang kita inginkan tersebut di Tangan Allah-lah perbendaharaan.
Termasuk cara agar dapat menghindarkan diri dari riya'
adalah dengan menyembunyikan amal shalih, hal ini telah diisyaratkan oleh
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya tentang tujuh golongan
yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan selain
naungan-Nya, di antaranya, "Seorang yang
bersedekah lalu ia menyembunyikan sedekahnya sampai-sampai tangan kirinya tidak
mengetahui apa yang dikeluarkan oleh tangan kanannya"
(Sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim)
Termasuk obat pernyakit riya' adalah:
-
Seseorang mengetahui
bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala Maha Mendengar dan Melihat serta mengetahui
apa saja yang kita sembunyikan dan kita tampakkan.
-
Meyakini bahwa pahala
hanya milik Allah, selain-Nya tidak memiliki pahala.
-
Mengetahui bahwa dunia
ini tidak ada apa-apanya dibanding akhirat.
-
Berdoa, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
اَلشِّرْكُ
فِيْكُمْ أَخْفَى مِنْ دَبِيْبِ النَّمْلِ، وَسَأَدُلُّكَ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتَهُ
أُذْهِبَ عَنْكَ صِغَ ارُ الشِّرْكِ
وَكِبَارُهُ، تَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ
وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ
Syirk yang menimpamu lebih halus daripada rayapan
semut. Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu yang jika kamu lakukan, niscaya akan
dihilangkan darimu syirk yang besar maupun yang kecil. Yaitu kamu berkata: "Allahumma…dst
(artinya: "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari
menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahui, dan aku meminta ampun kepada-Mu
terhadap hal yang tidak aku ketahui." (Shahihul Jami': 3625)
Kesimpulannya,
bahwa amalan yang didasari motivasi mencari pujian dan sanjungan manusia atau
mengharapkan imbalan dari mereka merupakan amalan tercela meskipun zhahirnya
kelihatan sebagai amal shalih. Namun demikian, tidaklah mengurangi keikhlasan
jika ternyata ada orang lain yang memuji amalnya, asalkan niatnya tetap ikhlas
lillah berdasarkan hadits riwayat Muslim bahwa Nabi shallalllahu 'alaihi wa
sallam pernah ditanya tentang seseorang yang beramal karena cinta kepada Allah,
lalu orang-orang memujinya, maka Beliau menjawab:
تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ
“Itu
adalah kabar gembira bagi seorang mukmin yang disegerakan.”
Marwan bin Musa
Maraaji': Al Ikhlas (Syaikh Abdul Muhsin Al ’Abbad), Kitab Al Ikhlas
(Husain Al 'Awaaisyah), Nuurul Ikhlas (DR. Sa'id Al Qahthaani), Ikhlas versus
Riya’ (Majalah As Sunnah Edisi
08/IV/1421-2000, tulisan M. Abu Hamdan) dll.
0 komentar:
Posting Komentar