بسم الله الرحمن الرحيم
Kemudahan Islam
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ
الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا
وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama
(Islam) mudah, tidak ada seorang pun yang hendak menyusahkan agama (Islam) kecuali ia akan
kalah. Maka bersikap luruslah, mendekatlah, berbahagialah dan manfaatkanlah waktu pagi, sore dan ketika
sebagian malam tiba.” (HR. Bukhari)
Demikianlah
agama Islam, buktinya dalam bertobat anda cukup dengan berhenti dari perbuatan
itu, berniat untuk tidak mengulanginya dan adanya rasa penyesalan terhadap
perbuatan itu, sedangkan syari’at sebelumnya tobat itu dengan membunuh dirinya
sebagaimana yang terjadi pada bani Israil (lih. Surat Al Baqarah: 54).
Syarh
(penjelasan) hadits di atas
Sabda
Beliau “tidak ada seorang pun yang hendak menyusahkan agama (Islam)” Yakni
menjalankan ibadah dengan sikap tasyaddud (mempersempit kelapangan Islam) dan
ghuluw (melewati aturan yang ditetapkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam) seperti menjadikan perkara sunat sebagai wajib, mengharamkan beberapa
hal yang dihalalkan dan tidak
mau mengambil rukhshah (keringanan/kelonggaran dari Allah).
Sabda Beliau
“kecuali dia akan kalah”, yakni akan bosan sendiri dan akhirnya tidak
dikerjakan.
Namun tidak
termasuk tasyaddud/ghuluw kalau seseorang berusaha ke arah kesempurnaan dalam
mengerjakan ajaran Islam.
Sabda Beliau
“Maka bersikap luruslah” yakni tetaplah mengerjakan ajaran Islam tanpa
tasaahul/bermalas-malasan dan tanpa tasyaddud/ghuluw (melewati aturan) seperti
menambah-nambah atau berbuat bid’ah. Hal ini sebagaimana firman Allah:
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana
diperintahkan kepadamu.” (terj. Huud: 112)
Ayat “Maka tetaplah kamu pada jalan
yang benar” yakni tetaplah
kamu berada di atas ajaran Islam, jangan malas mengerjakannya atau
meremehkannya.
Sedangkan
ayat “sebagaimana
diperintahkan kepadamu” yakni
sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak
melewati aturan dan tidak menambah-nambah.
Berdasarkan
keterangan ini, seseorang akan merasakan kesulitan menjalankan agama ketika
ia menambah-nambah ajaran Islam (berbuat bid’ah).
Sabda Beliau
“mendekatlah” yakni jika kamu
tidak dapat mengerjakan seluruh ajaran Islam, maka berusahalah mengerjakan
sebagian besarnya.
Sabda Beliau
“berbahagialah” yakni berbahagialah dengan pahala yang
Allah janjikan, dan Dia tidak pernah mengingkari janji. Dengan anda mengingat-ingat
pahala yang Allah janjikan, akan membuat anda semakin semangat dan ringan
mengerjakan amal shalih.
Sabda Beliau
“manfaatkanlah
waktu pagi, sore dan ketika sebagian malam tiba” yakni usahakanlah selalu mengerjakan ibadah pada
saat-saat kuat dan semangat mengerjakannya yaitu di waktu pagi, petang dan
sebagian malam.
Ini termasuk
jawami’ul kalim yang diberikan Allah Ta’ala kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Perhatikanlah sabda Beliau, kata-katanya sedikit
namun kandungannya begitu dalam.
Mudahnya
ajaran Islam
Ketahuilah, bahwa
Allah yang mengutus Rasul-Nya membawa ajaran Islam sama sekali tidak
menginginkan kesulitan bagi kita. Allah berfirman:
Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (terj. Al Baqarah: 185)
Oleh karena
itu, Dia menetapkan syari’at yang mudah bagi kita; tidak menyulitkan. Allah
Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (terj.
Al Hajj: 78)
Jika anda
melihat satu-persatu ajaran Islam, anda akan mendapatkan kemudahan di atas
kemudahan. Perintah-perintah yang ada di dalamnya disesuaikan dengan kemampuan
sedangkan larangannya wajib segera ditinggalkan, karena meninggalkan dengan
mengerjakan lebih mudah meninggalkan. Oleh karena itu, larangan harus segera
ditinggalkan berbeda dengan perintah yang disesuaikan kemampuan. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ
فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa
saja yang aku larang, hendaklah kalian menjauhinya dan apa saja yang aku
perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bukti mudahnya
Islam
Salah satu
bukti mudahnya Islam adalah adanya rukhshah (kelonggaran). Misalnya dalam
hal-hal berikut:
1. Ketika safar (bepergian jauh)
Islam memberikan rukhshah bagi musafir dengan
dibolehkan mengqashar shalat (mengurangi shalat yang empat rak’at
menjadi dua rak’at), berbuka puasa, mengusap sepatu khuff (yang
menutupi mata kaki) selama tiga hari tiga malam tanpa perlu membukanya ketika
berwudhu’, gugurnya kewajiban Jum’at (yakni boleh menggantinya dengan
shalat Zhuhur) dan dibolehkan menjama’ (menggabung dua shalat dalam satu
waktu, misalnya Zhuhur dengan ‘Ashar di waktu Zhuhur/’Ashar dan Maghrib dengan
Isya di waktu Maghrib/Isya).
Demikian juga dibolehkan shalat sunat di
atas kendaraan; saat takbiratul ihram ia menghadap ke kiblat, setelah itu
terserah menghadap ke arah mana saja sesuai kendaraan menghadap.
2. Ketika sakit
Rukhshah
yang diberikan Islam kepada orang yang sakit cukup banyak di antaranya adalah boleh
bertayammum jika dikhawatirkan akan sakit atau bertambah parah sakitnya
atau membuat sembuhnya lama, melakukan shalat sambil duduk ketika tidak
sanggup berdiri, atau shalat sambil berbaring ketika tidak mampu duduk.
Bahkan jika khatib Jum’at tidak mampu berdiri, ia boleh berkhutbah sambil
duduk. Demikian juga bagi orang yang sakit boleh menjama’ shalat
yakni jika tidak menjama’ seseorang merasakan kepayahan/masyaqqah yang sangat,
juga dibolehkan tidak shalat berjama’ah dengan tetap mendapatkan
keutamaannya (yakni jika sakitnya memberatkan penderitanya menghadiri shalat
berjama’ah), juga dibolehkan tidak shalat Jum’at (namun wajib
menggantinya dengan shalat Zhuhur), boleh juga baginya berbuka puasa,
bahkan bagi orang yang sudah tua renta boleh tidak berpuasa dengan
mengganti membayar fidyah.
3. Ketika ikraah (dipaksa)
Ikrah
terbagi dua:
a. Ikraah Qauliy (paksaan yang berkaitan dengan lisan),
misalnya seseorang dipaksa mengatakan kata-kata kufur, di mana jika tidak mau
ia diancam akan dibunuh, atau dipaksa untuk mentalaq (mencerai) istrinya atau
dipaksa untuk memerdekakan budaknya. Orang yang seperti ini tidak dihukumi
sebagai orang yang melakukan hal itu sehingga ia tidak berdosa mengatakan
kata-kata kufur, istrinya tidaklah tertalaq dan budaknya tidaklah menjadi
merdeka. Hal ini karena hatinya tidak demikian (yakni tetap tidak mau
mengerjakan perbuatan itu).
b. Ikraah Fi’liy (paksaan yang berkaitan dengan perbuatan),
misalnya seeorang dipaksa untuk sujud kepada selain Allah jika tidak, maka ia
akan dibunuh, atau dipaksa untuk merusak harta milik orang lain, maka dalam
keadaan seperti ini seorang yang dipaksa tidaklah berdosa. Karena ia melakukan
perbuatan kufur itu karena dipaksa sedangkan hatinya masih tetap tentram dengan
keimanan, juga ketika ia dipaksa untuk merusak harta orang lain ia tidak
berdosa karena hatinya tidak ridha melakukan perbuatan itu, namun harta yang
dirusaknya itu harus ditanggung dengan menggantinya, karena harta itu milik
orang lain, bukan miliknya.
Hal ini berdasarkan keumuman ayat,
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah
dia beriman (maka dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa
kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (maka dia tidak berdosa), akan
tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar.” (terj. An Nahl: 106)
Al Qurthubiy berkata dalam tafsirnya, “Ahli ilmu sepakat bahwa
orang yang dipaksa melakukan kekafiran di mana ia khawatir dirinya dibunuh
tidaklah berdosa melakukan kekafiran itu sedangkan hatinya tetap tentram dengan
keimanan, istrinya tidaklah lepas darinya (masih tetap sebagai istri) dan tidak
dihukumi dengan hukum kafir (yakni tidak dihukumi sebagai orang kafir).”
Al Qurthubiy juga berkata, “Ahli ilmu sepakat bahwa jika seseorang
dipaksa melakukan kekafiran lalu ia memilih dibunuh (daripada melakukan kekafiran)
maka sesungguhnya hal itu lebih besar pahalanya di sisi Allah daripada yang
memilih rukhshah (kelonggaran).”
4. Ketika lupa
Seorang yang
lupa tidaklah berdosa, misalnya makan ketika puasa Ramadhan atau salam sebelum
shalatnya selesai. Untuk yang pertama (makan ketika puasa) ia melanjutkan
puasanya dan tidak batal, sedangkan untuk yang kedua ia tambahkan kekurangannya
lalu sujud sahwi dua kali setelah salam lalu salam lagi, tidak perlu mengulangi
shalat dari awal.
5. Jahl (tidak mengerti)
Contohnya
berbicara ketika shalat karena tidak mengetahui haramnya, maka shalatnya tidak
batal. Disebutkan dalam shahih Muslim bahwa seorang sahabat bernama Mu’awiyah
bin Hakam As Sulamiy pernah berbicara ketika shalat, lalu sahabat yang lain
memukulkan tangannya ke paha berisyarat agar tidak berbicara, Mu’awiyah pun
diam. Setelah shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ
النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya shalat ini
tidak pantas jika ada kata-kata manusia. Shalat itu isinya tasbih, takbir dan
bacaan Al Qur’an.”
Beliau tidak menyuruh Mu’awiyah mengulangi shalatnya, karena
memang ia tidak mengetahui hukumnya.
6. Ketika merasakan kesukaran
Misalnya
shalat memakai pakaian yang masih ada atsar/bekas najis, yakni setelah
dibersihkan bekas najisnya tetap tidak hilang. Demikian juga jika pakaian
seseorang terkena najis yang tidak diketahui secara pasti di mana najisnya,
maka ia cukup membasuh lebih bagian yang menurut perkiraan kuat najisnya ada di
situ.
Jika anggota
badan kita terkena tanah basah di jalanan, maka tidak wajib dibasuh.
Demikian
juga jika seseorang kejatuhan sesuatu yang tidak diketahui apakah sesuatu itu
air biasa atau air kencing, maka ia tidak wajib bertanya dan yang ditanya tidak
wajib menjawab.
Juga tidak
mengapa bersuci menggunakan air kolam yang terdapat ikan beserta kotorannya.
Dan tidak
mengapa menggunakan air yang sudah berubah dari aslinya karena sudah lama, atau
karena terkena sesuatu yang biasa menyatu seperti lumut, dedaunan dsb.
Demikian
juga dibolehkan menelan air liur saat berpuasa, meskipun air liur tersebut
berada di dekat mulut (hampir keluar).
Juga
dibolehkan bersandar kepada perkiraan, jika mencapai hal yang yakin
dirasakan sulit, dan perbuatan-perbuatan lain yang sukar dihindari.
Bahkan hal
yang makruh menjadi mubah ketika dibutuhkan.
7. Karena adanya kekurangan pada
diri seseorang
Misalnya
tidak dibebaninya anak kecil dan orang gila. Demikian juga ringannya beban
wanita daripada laki-laki, sehingga mereka boleh tidak shalat berjama’ah, tidak
ikut shalat Jum’at, tidak berjihad, tidak membayar jizyah bagi dzimmiyyah, juga
dibolehkan memakai sutera dan memakai perhiasan emas. Wanita pun tidak dibebani
untuk mencari nafkah.
Bagi budak,
ia diberikan beban setengah daripada orang merdeka misalnya dalam menerima
hukuman hudud dan dalam menjalani masa ‘iddah.
Ini baru
sekilas bukti mudahnya Islam, jika anda mendalami lagi, maka anda akan temukan
kemudahan di atas kemudahan.
Oleh karena
itu, termasuk penyebab seseorang merasakan kesulitan menjalankan Islam adalah karena
jahil (tidak mengerti) ajaran Islam, di samping karena ketidaktahuannya
terhadap hikmah di balik perintah dan larangan.
Hukum
menerima rukhshah
Menerima
rukhshah ada beberapa hukum sbb:
1. Wajib, yaitu jika tidak diterima rukhshah
dikhawatirkan seseorang akan binasa. misalnya memakan bangkai agar tidak
kelaparan yang menyebabkan dirinya binasa. Demikian juga berbuka puasa yanng
jika tetap berpuasa ia akan binasa.
2. Sunat, yaitu tanpa rukhshah ia merasa keberatan
menjalankannya. Misalnya berbuka puasa ketika safar karena terasa berat
menjalankannya.
3. Mubah, yaitu jika tidak berat menjalankannya tanpa
rukhshah. Misalnya tidak mengusap sepatu khuff dan tidak bertayammum ketika air
yang ada dijual mahal.
4. Makruh, yaitu jika mengerjakan yang bukan rukhshah
sangat ringan. Misalnya mengqashar shalat sedangkan jarak perjalanan tidak
begitu jauh.
Semua ini
didasari ka’idah Islam berikut,
اِذَا ضَاقَ اْلأَمْرُ اتَّسَعَ وَاِذَا اتَّسَعَ ضَاقَ
“Jika
sesuatu terasa sulit, maka menjadi longgar dan jika sesuatu menjadi longgar,
maka pelaksanaannya menjadi sempit.”
Marwan bin Musa
Maraji’: Fat-hul Bari,
‘Aqidatut Tauhid, Al Asybaah wan Nazhaa’ir, Fiqhus Sunnah dll.
0 komentar:
Posting Komentar