بسم الله الرحمن الرحيم
Keutamaan Dzikr
الحمد لله والصلاة والسلام على من لانبي بعده
اما بعد:
Saudaraku,
sesungguhnya mengingat Allah dapat menghidupkan hati, membersihkan karatnya,
menghilangkan kekerasannya dan dapat mengalahkan hawa nafsu yang sebelumnya menguasainya
serta dapat menghubungkannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Kita
diperintahkan Allah banyak mengingat-Nya, firman-Nya:
“Karena itu,
ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu (dengan memberikan
rahmat dan pengampunan). Dan bersyukurlah kepadaKu, serta jangan ingkar (kepada
nikmat-Ku)”. (Al Baqarah:152)
… laki-laki
dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Ahzaab:
35)
Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhuma berkata tentang ayat di atas, “Maksudnya adalah mereka mengingat Allah
setelah shalat, pada waktu pagi dan petang, ketika berada di tempat tidur, ketika
bangun tidur, ketika pergi atau pulang ke rumah mereka mengingat Allah.”
Mujahid
berkata, “Seseorang tidak termasuk laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat
Allah sampai ia mengingat Allah ketika berdiri, duduk dan berbaring.”
Beberapa
faedah tentang dzikr
Imam Nawawi
berkata, “Para ulama sepakat bolehnya berdzikr
dengan hati dan lisan bagi orang yang berhadats, junub, wanita haidh dan nifas.
Dan hal ini pada tasbih, tahlil (ucapan Laailaahaillallah), tahmid, takbir,
bershalawat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, berdoa dan
lain-lain. Akan tetapi, membaca Al Qur’an, maka tidak boleh bagi orang yang
junub, haidh dan nifas, baik membaca sedikit maupun banyak atau separuh ayat,
namun boleh bagi mereka melantunkan Al Qur’an dengan hati tanpa dilafazkan,
demikian pula melihat ke mushaf, serta membacanya dalam hati.”[i]
Imam Nawawi
berkata, “Dzikr itu bisa dengan hati dan lisan, dan yang paling utama adalah
dengan hati dan lisan secara bersamaan. Jika hanya salah satunya, maka dengan
hati lebih utama. Kemudian tidak patut dzikr dengan lisan bersama hati
ditinggalkan karena takut dikira riya’, bahkan ia tetap berdzikr dengan
keduanya dan mengharap keridhaan Allah dengannya. Telah kami sebutkan perkataan
dari Fudhail rahimahullah, bahwa meninggalkan amal karena karena manusia adalah
riya’. Dan sekiranya dibukakan bagi manusia pintu perhatian manusia serta
menjaga diri dari persangkaan mereka yang batil, tentu banyak pintu-pintu
kebaikan yang tertutup baginya, dan ia menyia-nyiakan sesuatu yang besar dari
perkara agama yang penting bagi dirinya dan ini bukanlah jalan orang-orang yang
‘arif.”
Beliau juga
berkata, “Ketahuilah keutamaan dzikr tidak terbatas pada tasbih, tahlil,
tahmid, takbir, dsb. Bahkan semua yang mengerjakan ketaatan kepada Allah
Ta’ala, maka berarti dia berdzikr kepada Allah. Demikianlah yang dikatakan
Sa’id bin Jubair radhiyallahu 'anhu dan para ulama yang lain. ‘Atha’
rahimahullah berkata, “Majlis dzikr adalah majlis halal dan haram, majlis
tentang bagaimana engkau membeli dan menjual, shalat, puasa, menikah, mentalak,
berhajji dan semisalnya.”
Beliau juga
berkata, “Sepatutnya orang yang berdzikr dalam keadaan yang paling sempurna.
Jika ia duduk di suatu tempat sambil menghadap kiblat dan duduk dalam keadaan
tunduk, khusyu’, tenang dan sopan sambil menundukkan kepala (tentu lebih
utama), namun kalau ia berdzikr dalam keadaan selain ini, maka boleh dan tidak
makruh baginya, namun jika tidak ada uzur, maka ia telah meninggalkan yang
utama. Dalil bahwa yang demikian tidak makruh adalah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,--- (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi .” (Terj. Ali Imran:
190-191)
Beliau juga
berkata, “Ketahuilah, bahwa dzikr disukai dalam semua keadaan kecuali dalam
keadaan yang syara’ mengecualikannya. Kami akan sebutkan sedikit daripadanya
untuk mengisyaratkan selainnya yang akan diterangkan di babnya insya Allah
Ta’ala. Di antaranya adalah dimakruhkan berdzikr ketika duduk buang air besar,
ketika berjima’, ketika berlangsung khutbah bagi orang yang mendengar suara
khatib, ketika berdiri dalam shalat, bahkan ia sibukkan dengan membaca Al
Qur’an, dan ketika mengantuk. Dan tidak makruh ketika berada di jalan dan di
kamar mandi. Wallahu a’lam.
Beliau juga
berkata, “Maksud dari dzikr adalah hadirnya hati. Oleh karena itu, sepatutnya
hal itu menjadi maksud orang yang berdzikr, sehingga ia berusaha untuk
mewujudkannya, memikirkan apa yang ia sebut dan mengerti maknanya.”
Beliau juga
berkata, “Disukai memutuskan dzikr karena sebabnya, lalu ia kembali lagi
setelah sebab itu hilang. Di antaranya adalah apabila ada orang yang memberi
salam kepadanya, maka ia jawab salamnya, lalu ia kembali berdzikr. Demikian
pula apabila ada orang yang bersin di dekatnya, lalu ia mendoakannya kemudian
melanjutkan dzikr. Demikian juga ketika mendengar khatib, mendengar muazin,
maka ia menjawab dalam kalimat azan dan iqamat, lalu kembali berdzikr. Demikian
pula ketika dia melihat kemungkaran, maka ia menyingkirkannya, atau ada hal
ma’ruf yang perlu ia tunjukkan atau orang yang meminta petunjuk yang perlu ia
jawab, lalu ia kembali berdzikr. Demikian pula ketika rasa kantuk menguasainya
atau semisalnya dan hal lain yang serupa ini.”
Beliau juga
berkata, “Ketahuilah, bahwa dzikr-dzikr yang disyariatkan baik dalam shalat
maupun di luarnya, yang wajib maupun yang sunat tidaklah dianggap dan dipandang
sampai ia mengucapkannya, dimana ia dapat memperdengarkan dirinya jika sehat
pendengarannya; tidak ada yang menghalanginya.”
Keutamaan
dzikr
Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِيْ لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ
الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ.
“Perumpamaan
orang yang mengingat Tuhannya dengan orang yang tidak mengingat Tuhannya adalah
seperti perumpamaan orang yang hidup dengan orang yang mati. (HR. Bukhari dalam
Fathul Bari 11/208. Imam Muslim meriwayatkan dengan lafazh sebagai berikut:
“Perumpamaan rumah yang digunakan untuk dzikir kepada Allah dengan rumah yang tidak digunakan untuk dzikir, seperti orang hidup dengan yang mati”. (Shahih Muslim 1/539).
“Perumpamaan rumah yang digunakan untuk dzikir kepada Allah dengan rumah yang tidak digunakan untuk dzikir, seperti orang hidup dengan yang mati”. (Shahih Muslim 1/539).
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا عِنْدَ
مَلِيْكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِيْ دَرَجَاتِكُمْ،
وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ
فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ))؟ قَالُوْا بَلَى. قَالَ: ((ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى.
“Maukah
kamu, aku tunjukkan perbuatanmu yang terbaik, paling suci di sisi Rajamu
(Allah), dan paling mengangkat derajatmu; lebih baik bagimu dari menginfakkan
emas dan perak, dan lebih baik bagimu daripada bertemu dengan musuhmu, lalu
kamu memenggal lehernya atau mereka memenggal lehermu?” Para
sahabat yang hadir berkata, “Mau (wahai Rasulullah)!” Beliau bersabda: “Dzikir
kepada Allah Yang Maha Tinggi”. (HR. Tirmidzi 5/459, Ibnu Majah 2/1245. Lihat
pula Shahih Tirmidzi 3/139 dan Shahih Ibnu Majah 2/316.)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ
ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِيْ، فَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ
نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِيْ نَفْسِيْ، وَإِنْ
ذَكَرَنِيْ فِيْ مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِيْ مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ
إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا،
وَإِنْ أَتَانِيْ يَمْشِيْ أَتَيْتُهُ
هَرْوَلَةً.
Allah Ta’ala
berfirman, Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya
(dengan ilmu dan rahmat) jika dia ingat Aku. Jika dia mengingat-Ku dalam
dirinya, Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Jika dia menyebut nama-Ku dalam suatu
perkumpulan, Aku menyebutnya dalam perkumpulan yang lebih baik dari mereka. Jika
dia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika dia
mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika dia datang
kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.”
(HR. Al Bukhari 8/171 dan Muslim 4/2061. Lafazh hadits ini riwayat Bukhari.)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً
قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ شَرَائِعَ اْلإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَأَخْبِرْنِيْ بِشَيْءٍ
أَتَشَبَّثُ بِهِ. قَالَ: ((لاَ
يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ.
Dari
Abdullah bin Busr radhiyallahu ’anhu, dia berkata: Ada seorang lelaki berkata, “Wahai,
Rasulullah! Sesungguhnya syari’at Islam telah banyak bagiku, oleh karena itu,
beritahulah aku sesuatu sebagai pegangan.” Beliau bersabda, “Tidak hentinya
lidahmu basah karena dzikir kepada Allah (lidahmu selalu mengucapkannya).” (HR.
At Tirmidzi 5/458, Ibnu Majah 2/1246, lihat pula dalam Shahih At-Tirmidzi 3/139
dan Shahih Ibnu Majah 2/317.)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ
أَمْثَالِهَا، لاَ أَقُوْلُ: {الـم} حَرْفٌ؛
وَلَـكِنْ: أَلِفٌ حَرْفٌ، وَلاَمٌ حَرْفٌ، وَمِيْمٌ حَرْفٌ.
“Barang siapa
yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an, maka ia akan mendapatkan satu kebaikan.
Sedangkan satu kebaikan akan dilipatkan sepuluh semisalnya. Aku tidak berkata:
Alif laam miim, satu huruf. Akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim
satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi 5/175. Lihat pula Shahih At-Tirmidzi 3/9 dan Shahih
Jaami’ush Shaghiir 5/340.)
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ: خَرَجَ
رَسُوْلُ اللهِ وَنَحْنُ فِي الصُّفَّةِ فَقَالَ: ((أَيُّكُمْ
يُحِبُّ أَنْ يَغْدُوَ كُلَّ يَوْمٍ إِلَى بُطْحَانَ أَوْ إِلَى الْعَقِيْقِ فَيَأْتِيْ
مِنْهُ بِنَاقَتَيْنِ كَوْمَاوَيْنِ فِيْ غَيْرِ اِثْمٍ
وَلاَ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ؟ )) فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ نُحِبُّ ذَلِكَ.
قَالَ: ((أَفَلاَ يَغْدُوْ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَعْلَمَ، أَوْ يَقْرَأَ آيَتَيْنِ مِنْ
كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ، وَثَلاَثٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ
ثَلاَثٍ، وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَرْبَعٍ،
وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ اْلإِبِلِ.
Dari Uqbah
bin Amir radhiyallahu’anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam keluar, sedang kami di serambi masjid (Madinah). Lalu beliau bersabda,
“Siapakah di antara kamu yang senang berangkat pagi pada setiap hari ke Buthhan
atau Al-Aqiq, lalu kembali dengan membawa dua unta yang besar punuknya, tanpa
mengerjakan dosa atau memutus silaturrahim?” Kami (yang hadir) berkata: “Ya
kami senang, wahai Rasulullah!” Lalu beliau bersabda, “Apakah seseorang di
antara kamu tidak berangkat pagi ke masjid, lalu memahami atau membaca dua ayat
Al-Qur’an, hal itu lebih baik baginya daripada dua unta. Jika (memahami
atau membaca) tiga (ayat) akan lebih baik daripada memperoleh tiga (unta). Jika
(memahami atau membaca) empat ayat akan lebih baik baginya daripada memperoleh
empat (unta), dan jika lebih maka lebih baik pula dari sejumlah unta.” (HR. Muslim 1/553)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
مَنْ قَعَدَ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ
اللهِ تِرَةٌ، وَمَنِ اضْطَجَعَ مَضْجَعًا لَمْ
يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ.
“Barang siapa yang duduk
di suatu tempat, lalu tidak berdzikir kepada Allah di dalamnya, pastilah dia
mendapatkan penyesalan dari Allah dan barangsiapa yang berbaring dalam suatu
tempat lalu tidak berdzikir kepada Allah, pastilah mendapatkan penyesalan dari
Allah.” (HR. Abu Dawud 4/264; Shahihul Jaami’ 5/342)
مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ فِيْهِ، وَلَمْ يُصَلُّوْا
عَلَى نَبِيِّهِمْ إِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ
تِرَةٌ، فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ.
“Apabila suatu kaum
duduk di majlis, lalu tidak berdzikir kepada Allah dan tidak membaca shalawat
kepada Nabinya, pastilah ia mendapat penyesalan, maka jika Allah menghendaki
bisa menyiksa mereka dan jika menghendaki mengampuni mereka.” (Shahih
At-Tirmidzi 3/140.)
مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلاَّ
قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ
لَهُمْ حَسْرَةً.
“Setiap kaum
yang berdiri dari suatu majelis, yang mereka tidak berdzikir kepada Allah di
dalamnya, maka mereka seperti berdiri dari bangkai keledai dan hal itu menjadi
penyesalan mereka (di hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud 4/264, Ahmad 2/389 dan
Shahihul Jami’ 5/176)
Manfaat Dzikr
Dzikr memiliki banyak manfaat, di
antaranya:
1. Mengusir setan.
2. Membuat ridha Allah Ar Rahman.
3. Menghilangkan kesedihan dan
kegundahan.
4. Menguatkan hati dan badan.
5. Menyinari wajah.
6. Mendatangkan rezeki.
7. Mewariskan sikap kembali kepada
Allah.
8. Memberikan kewibawaan.
9. Menjadikan hati hidup.
10.Makanan bagi hati.
11.Menggugurkan dosa-dosa.
12.Menghilangkan kerisauan antara
hamba dengan Tuhannya.
13.Sebab turunnya malaikat.
14.Sebab jauhnya lisan dari ghibah
(membicarakan orang lain).
15.Majlis dzikr adalah majlis para
malaikat.
16.Sebagai ibadah yang paling mudah.
17.Menjadi tanaman surga.
18.Memberikan cahaya bagi orang yang
berdzikr di dunia.
19.Dzikr merupakan puncak segala
urusan.
20.Dzikr membangunkan hati dari
tidurnya (lihat Al Waabilush Shayyib).
Wallahu
a’lam, wa shallallahu 'ala Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Dzikrullah (Syaikh Thariq
Asy Syaikh), Hishnul Muslim (Dr. Sa’id Al Qahthani), Al Adzkaar (Imam Nawawi),
Risalah fid dima’ith thabii’iyyah (Syaikh Ibnu ’Utsaimin) dll.
[i] Namun menurut Imam Bukhari, Ibnu Jarir dan
Ibnul Mundzir, hal itu adalah boleh. Bahkan Imam Bukhari menyebutkan secara
mu'allaq (tanpa sanad) dari Ibrahim An Nakha'iy bahwa tidak mengapa bagi wanita
haidh membaca Al Qur'an.
Menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, sebaiknya wanita yang haidh
tidak membaca Al Qur'an kecuali jika dibutuhkan, misalnya ia sebagai pendidik
untuk mengajarkan Al Qur'an kepada wanita lain atau ia sedang ujian, di mana ia
butuh untuk membaca Al Qur'an.
0 komentar:
Posting Komentar