بسم
الله الرحمن الرحيم
Mengkaji Peringatan Maulid Nabi Shallallahu
'alaihi wa Sallam
Segala puji bagi Allah,
shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya,
kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba’du:
Tidak diragukan lagi, kita semua cinta kepada Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan mencintai Beliau termasuk Ushuluddin
(dasar-dasar agama) dan membencinya merupakan sifat orang-orang munafik. Namun
demikian, cinta yang sejati tidak hanya terlontar di lisan, bahkan berpengaruh
pada sikapnya, seperti dengan menghidupkan Sunnahnya, menaati perintahnya,
menjauhi larangannya dan beribadah sesuai contohnya. Oleh karena itu, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ
مِنِّى » .
“Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka ia
bukanlah termasuk golonganku.” (HR. Bukhari)
Bukanlah dinamakan cinta yang sejati jika seseorang mengaku cinta
kepada Beliau tetapi menjauhi Sunnahnya dan membuat bid’ah (mengada-ngada)
dalam agama yang Beliau bawa. Seorang penyair berkata:
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقاً
لَأَطَعْتَهُ إِنَّ المُحِبَّ
لِمَنْ يُحِبُّ مُطيعُ
“Kalau
seandainya cintamu sejati, tentu kamu akan menaati, sesungguhnya orang yang
mencintai akan menaati orang yang dicintai.”
Sejarah singkat maulid
Sesungguhnya orang yang meneliti Sirah Nabi, para sahabat dan para
tabi’in, bahkan generasi yang hidup di atas tahun 350 H, tentu tidak akan
menemukan adanya seorang di kalangan mereka yang menyebut-nyebut peringatan
ini, menyuruh untuk memperingatinya atau mendorong untuk memperingatinya. Oleh karena
itu, Al Haafizh As Sakhaawiy berkata, “Peringatan maulid asy syarif itu
tidak dinukilkan dari seorang pun as salafush shaalih pada tiga abad yang
utama, bahkan hal itu terjadi hanyalah setelahnya.”
Lalu kapankah peringatan maulid ini diadakan?
Seorang ahli sejarah yang bernama Al Imam Al Muqriziy rahimahullah
menyebutkan di dalam kitabnya Al Khuthath (1/490), “Tentang beberapa
hari yang dijadikan para khalifah Bani Fathimiyyah sebagai hari raya dan hari
besar, di mana rakyat diberi kebebasan dan memperoleh banyak kesenangan (di
hari itu). Ia berkata,
“Para khalifah Bani Fathimiyyah dalam setahunnya memiliki hari
raya dan hari-hari besar, yaitu hari besar “Akhir Tahun”, hari besar “Awal
Tahun”, Hari ‘Asyura”, “Maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam”, “Maulid
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu”, “Maulid Al Hasan dan Al Husain
‘alaihimas salaam”, “Maulid Fatimah Az Zahraa ‘alaihas salaam”, “Maulid
Khalifah Al Haadhir”, “Malam Awal Rajab”, “Malam Nishfu Rajab”, hari besar
“Malam Ramadhan”, “Awal Ramadhan”, “Pertengahan Ramadhan”, “Malam Penutupan”,
hari raya “Idul Fithri”, hari raya “‘Idun Nahr (qurban)”, hari raya “Al
Ghadiir”, “Kiswatusy Syitaa’” dan “Kiswatush Shaif”, hari raya “Fat-hul
Khalij”, “Hari Nuuruuz”, “Hari Ghithaas”, “Hari Kelahiran (Al Masih)”,
“Khamiisul ‘adas” dan “Hari-Hari Rukuubaat”.”
Dalam It’aazhul Hunafa (2/48), Al Muqriziy berkata, “Pada
bulan Rabi’ul Awwal, orang-orang diwajibkan menyalakan lampu di semua jalan
baik di jalan raya maupun di gang-gang kecil di Mesir.”
Pada halaman lain (3/99) di tahun 517 H disebutkan, “Acara maulid
Nabi yang mulia pun berjalan di bulan Rabi’ul Awwal seperti biasanya.”
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa yang pertama kali
mengadakan peringatan maulid nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Daulah
Bani Fathimiyyah di Mesir, di samping mereka adakan pula maulid ‘Ali, maulid
Hasan dan maulid Husain radhiyallahu 'anhum.
Jika kita memperhatikan secara seksama hari raya-hari raya
tersebut niscaya kita dapat melihat adanya pencampur-adukan antara hari raya
Islam (yaitu ‘Idul Fitri dan Idul Adh-ha) dengan hari raya di luar Islam, seperti
hari raya Nairuuz, Ghithaas, kelahiran Al Masih dsb. Hal ini tidaklah
mengherankan karena memang Daulah Bani Fathimiyyah ini tegak untuk memudarkan
cahaya Islam, mereka adalah daulah Syi’ah Raafidhah; daulah yang dikenal
permusuhannya terhadap Islam dan ulamanya.
Daulah ini nama sebenarnya adalah Daulah ‘Ubaidiyyah, diganti nama
dengan Fathimiyyah adalah agar terkesan bahwa mereka keturunan Fatimah puteri
Nabi radhiyallahu 'anha, sehingga diterima oleh masyarakat.
Penisbatan daulah mereka dengan “Fathimiyyah” sebenarnya tidak
benar, karena mereka adalah keturunan ‘Ubaid, bukan Fatimah. Imam Abu Syaamah (w.
665 H) seorang Ahli Hadits dan Ahli Sejarah berkata dalam kitabnya Ar
Raudhatain fii Akhbaarid Daulatain hal. 200-202 menjelaskan tentang Bani ‘Ubaidiyyah
tersebut,
“Mereka menampakkan diri ke hadapan manusia sebagai orang-orang
terhormat keturunan Fatimah, akhirnya mereka menguasai beberapa negeri,
menindas banyak orang. Para ulama besar
menyebutkan, bahwa mereka tidak pantas bertindak demikian, nasab mereka juga
tidak benar, bahkan yang terkenal adalah bahwa mereka adalah keturunan Ubaid,
sedangkan orang tua ‘Ubaid sendiri adalah keturunan Al Qaddah seorang atheis lagi
Majusi. Ada yang mengatakan bahwa orang tua ‘Ubaid ini adalah seorang Yahudi
dari penduduk Salmiyyah di daerah Syam, ia adalah seorang tukang besi. Sedangkan
‘Ubaid sendiri nama sebelumnya adalah Sa’id, ketika ia memasuki Maghribi dirubah
namanya menjadi ‘Ubaidullah dan mengaku-ngaku sebagai keturunan ‘Ali dan
Fathimah, ia menasabkan diri dengan tidak benar, yang tidak disebutkan oleh
seorang pun dari kalangan para penulis
nasab Alawi, bahkan jama’ah para ulama menyebutkan nasab sebaliknya. Lama-kelamaan
ia pun menjadi raja dan menamai dirinya dengan Al Mahdiy, dibangunnya kerajaan
Al Mahdiyyah di Maghrib serta ia nasabkan kepadanya. Dia (‘Ubaid) adalah
seorang Zindiq, buruk, dan memusuhi Islam serta terang-terangan menampakkan
sebagai syi’ah dan menggunakannya sebagai tirai di samping semangatnya untuk menghabiskan
agama Islam. Bahkan ia membunuh para fuqaha’ (Ahli Fiqih Islam) dan ahli
haditsnya dalam jumlah banyak, karena memang niatnya adalah menghilangkan
mereka dari dunia, agar alam ini tidak ubahnya seperti binatang, sehingga ia
berhasil merusak akidah mereka dan menyesatkan mereka, dan Allah akan
senantiasa menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membenci.”
Keturunannya tumbuh di atas sikap seperti itu dan siap menampakkan
(permusuhan kepada Islam) secara terang-terangan saat tiba kesempatannya. Jika
tidak ada kesempatan, mereka menyembunyikannya. Para da’inya bertebaran di
berbagai negeri, mereka menyesatkan orang-orang yang dapat mereka sesatkan. Musibah
besar ini terus menimpa Islam dari awal daulah mereka sampai akhirnya, yaitu
dari tahun 299 H sampai tahun 567 H. Di masa kejayaan mereka, banyak sekali
orang-orang Syi’ah Raafidhah dan mereka semakin kuat. Di masa itu pula
orang-orang dikenakan pajak, golongan selain mereka juga banyak yang mengikutinya,
dirusaknya keyakinan-keyakinan berbagai kelompok yang tinggal di pegunungan di
perbatasan Syam seperti Nashiriyyah, Druuz, dan kelompok Hasyisyiyyah yang
termasuk bagiannya, para penguasa mereka berhasil menundukkan kelompok tersebut
karena lemahnya akal dan karena kebodohan mereka, yang tidak mereka lakukan kepada
selainnya, akhirnya orang-orang Faranj berhasil menaklukkan berbagai daerah di
Syam dan jazirah, hingga akhirnya Allah memberikan nikmat kepada kaum muslimin
dengan munculnya Al Baitul Ataabikiy yang dipelopori oleh Shalaahuddin (Al
Ayyubiy), ia berhasil merebut kembali negeri-negeri tersebut dan menyingkirkan
Daulah Fathimiyyah ini….dst” (lih. Ar Raudhatain fii Akhbaarid Daulatain
hal. 200-202)
Al Haafizh Ibnu Katsir rahihamullah mengatakan tentang bani
‘Ubaidiyyah: “(Mereka adalah) orang-orang kafir, fasik dan fajir (suka
maksiat).”
Dari penjelasan di atas kita pun mengetahui bahwa yang mengadakan
pertama kali Maulid Nabi adalah Daulah Fathimiyyah bukan Shalaahuddin Al
Ayyubiy, tidak seperti yang dikatakan oleh sebagian saudara-saudara kita dengan
tanpa bukti, bahkan dialah yang menyingkirkan Daulah Fathimiyyah ini.
Secara jujur kami katakan, “Pantaskah orang-orang yang memusuhi
Islam dan ulamanya dijadikan sebagai rujukan oleh kita sehingga kita
ikut-ikutan memperingati maulid yang mereka adakan?!”
Hukum memperingati maulid
Ketahuilah saudaraku kaum muslimin, sesungguhnya peringatan maulid
ini sama sekali tidak memiliki dasar, baik dari Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas yang shahih sehingga ia merupakan perkara bid’ah. Di samping itu, peringatan
maulid ini:
1.
Tidak
pernah diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memperingati hari
kelahirannya semasa hidupnya.
2.
Tidak
pernah diadakan oleh generasi terbaik umat ini (para sahabat, tabi’in dan
tabi’ut tabi’in), bahkan yang mengadakannya pertama kali adalah orang-orang
yang lebih dekat dengan kekafiran daripada keimanan yaitu orang-orang
Bathiniyyah (Daulah Fathimiyyah).
3.
Orang
yang memperingatinya sama saja telah mengerjakan larangan Beliau shallallahu
'alaihi wa sallam dalam sabdanya,
إِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٍ وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ
“Jauhilah olehmu hal yang diada-adakan (dalam
agama), karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
sesat.” (Shahih, HR. Abu Dawud)
4.
Orang
yang memperingatinya sama sekali tidak memperoleh pahala apa-apa, karena
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَن عَمِلَ عمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أمْرُنا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang
mengerjakan amalan yang tidak kami perintahkan maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim)
Niat baik tidaklah cukup, bahkan harus disertai amal yang sesuai Sunnah.
5. Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
masih hidup, telah turun ayat kepada Beliau,
“Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agamamu.” (Terj. QS. Al Maa’idah: 3)
Ayat ini menunjukkan telah sempurnanya agama ini dan tidak boleh
ditambah-tambah.
6.
Kalau
seandainya memperinghati kelahiran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
adalah baik tentu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya sudah mendahului
kita melakukannya.
7.
Kalau
seandainya orang yang memperingatinya beralasan bahwa hal ini sebagai bukti
cinta kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sebagaimana
telah diterangkan sebelumnya bahwa cinta yang sejati menghendaki untuk menghidupkan Sunnahnya, menaati perintahnya,
dan menjauhi larangannya.
8.
Peringatan
maulid ini mirip dengan orang-orang Nasrani yang memperingati hari kelahiran Al
Masih, sedangkan kita dilarang menyerupai mereka.
9.
Hari
besar dalam Islam hanyalah tiga: Hari raya ‘Idul Fithri, hari raya ‘Idul Adh-ha
dan hari Jum’at, selainnya bukanlah hari besar Islam.
10. Pada umumnya dalam acara maulid, terdapat ghuluw
(sikap melampaui batas) kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
padahal hal itu dilarang oleh Beliau.
Bahkan terkadang dilantunkan sya’ir-sya’ir yang di dalamnya mengandung
syirk, seperti dalam Qasidah Burdah karya Al Buwshairiy sbb.:
يَاأَكْرَمَ اْلخَلْقِ مَاِلي مَنْ
أَلُوْذُ بِهِ
سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ اْلحَادِثِ
الْعَمَم
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتِهَا
وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمِ اللَّوْحِ وَاْلقَلَمِ
“Wahai manusia paling mulia, kepada siapa lagi aku
berlindung,
selain kepadamu ketika datang musibah yang merata,
sungguh, di antara kedermawananmu adalah dunia dan
perhiasannya,
dan
di antara ilmumu adalah ilmu tentang Al Lauhul Mahfuzh dan Al Qalam.”
Padahal dalam shalat, kita sering mengucapkan, “Dan hanya
kepadaMu-lah (ya Allah) kami meminta pertolongan.” (QS. Al Fatihah:
5), dan di surat
Al A’raaf: 188 diterangkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
mengetahui yang ghaib.
Setelah diketahui, bahwa
dalam peringatan maulid banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran
Islam, oleh karenanya, seorang tokoh non muslim imperialis Prancis, yaitu
Napoleon Bonaparte mendukung sekali acara tersebut. Bahkan saat peringatan ini
semakin pudar di Mesir , ia mengeluarkan uang 300 riyal Frank untuk
acara tersebut. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ahli Sejarah Mesir Al
Jibritiy dalam kedua bukunya ‘Ajaa’ibul Aatsaar (2/201, 249) dan Mazh-harut
Taqdiis hal. 47. Al Jibritiy menjelaskan, bahwa kaum imperialis Prancis
mendukung hal itu karena di dalamnya terdapat pelanggaran-pelanggaran terhadap
ajaran Islam.
Kita juga sering menyaksikan, saat beberapa orang yang memperingatinya
menyebutkan nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka semua berdiri,
di antara mereka ada yang beranggapan bahwa ketika itu ruh Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam sedang datang? Subhaanallah, dari mana keyakinan
ini muncul?
Padahal ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masih
hidup, para sahabat tidak mau berdiri ketika Beliau datang, karena mengetahui
bahwa Beliau membenci dihormati dengan berdiri. Anas bin Malik radhiyallahu
'anhu mengatakan,
لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ
مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَكَانُوا إِذَا
رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِكَ
“Tidak ada seorang pun yang paling
dicintai oleh mereka (para sahabat) daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, namun mereka apabila melihat Beliau (datang) tidak berdiri, karena
mengetahui bahwa Beliau benci hal itu.” (Shahih, HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ اَحَبَّ اَنْ يَتَمَثَّلَ لَهُ النَّاسُ
ِقيَامًا فَلْيَتَبَوّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّاِر
“Barangsiapa yang suka dihormati dengan
berdiri, maka hendaknya ia siapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, dan Tirmidzi, Shahihul Jami' no. 5957)
Oleh karena itu, para ulama di berbagai tempat dan dari
berbagai madzhab fiqh dari sejak dahulu hingga sekarang telah mengingatkan kaum
muslimin untuk tidak mengadakan peringatan maulid, seperti Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Al Fakihaniy (ulama madzhab Maliki), Syaikh Muhammad Bakhyat Al
Muthii’iy (mufti Mesir), Imam Syathibiy, Syaikh Ali Mahfuzh, Syaikh Rasyid
Ridha, Syaikh Basyiruddin Al Qanuujiy (ulama India), Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,
Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Syaikh Shalih Al Fauzaan, Syaikh Hamuud At
Tuwaijiriy, Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz (Mufti umum kerajaan ‘Arab Saudi),
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Al Albani dan lainnya.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa
alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al
Maulidun Nabawiy (Nashir bin Yahya Al Haniiniy), Minhaajul Firqatin
Naajiyah (M. bin Jamiil Zainu), dll.
0 komentar:
Posting Komentar