بسم الله الرحمن الرحيم
Pernikahan
Islami
إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
--يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
أما بعد:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاثُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Bapak, ibu dan saudara-saudari
sekalian yang berbahagia
Merupakan nikmat besar yang Allah
berikan kepada kita adalah diutus-Nya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam, di mana dunia yang dahulunya dipenuhi oleh kegelapan menjadi terang
dengan diutus-Nya Beliau. Dunia yang sebelumnya dipenuhi oleh gelapnya
kekufuran, menjadi terang dengan cahaya keimanan. Dunia yang sebelumnya
dipenuhi oleh gelapnya kebodohan, menjadi terang dengan cahaya pengetahuan, dan
dunia yang dahulunya dipenuhi oleh gelapnya kemaksiatan yang merupakan perusak
bumi, menjadi terang dengan cahaya ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, di mana
taat adalah sesuatu yang memperbaiki bumi yang kita tempati ini.
Bapak, ibu dan saudara-saudari
sekalian yang berbahagia
Dengan diutus-Nya Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam ke tengah-tengah manusia, maka menjadi jelaslah
jalan yang seharusnya ditempuh mereka. Oleh karena itu, sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Bapak, ibu dan saudara-saudari
sekalian yang berbahagia
Di antara sekian banyak petunjuk
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menikah, di mana ia merupakan
sunnah para nabi, termasuk di antaranya adalah sunnah Beliau shallallahu
'alaihi wa sallam. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa
rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan
keturunan. “ (Terj. Ar Ra’d: 38)
Dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan, bahwa ada tiga orang yang
datang ke rumah istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menanyakan
tentang ibadah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Saat diberitahukan, maka
mereka menganggap ibadah Beliau sedikit, lalu mereka berkata, “Bagaimana
keadaan kami dibanding Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang
dosa-dosanya telah diampuni yang dahulu maupun yang akan datang?” Salah seorang
di antara mereka berkata, “Adapun saya, maka saya akan shalat malam terus.”
Yang lain berkata, “Sedangkan saya, maka saya akan berpuasa terus (setiap hari)
dan tidak akan berbuka.” Yang satu lagi berkata, “Saya akan menjauhi wanita dan
tidak akan menikah selama-lamanya.” Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam datang, dan berkata, “Kamukah yang berkata ini dan itu? Adapun saya demi
Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah daripada kamu serta paling
takwa kepada-Nya. Akan tetapi, aku puasa dan berbuka, aku shalat dan tidur, dan
aku menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku, maka bukanlah
termasuk golonganku.”
Bapak, ibu dan
saudara-saudari sekalian yang berbahagia
Kita
mengetahui, bahwa manusia yang normal suka kepada lawan jenis, oleh karena
itulah Islam tidak menghalanginya, bahkan memberikan kepada mereka sebuah jalan
yang terbaik, yaitu menikah, dan memang sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Bukan petunjuk dan jalan yang
ditempuh dan diserukan oleh orang-orang yang tidak berakal, yaitu seks bebas,
karena madharratnya yang begitu banyak dan menjadikan dunia ini rusak. Di
antaranya adalah wanita akan terlantar, demikian pula anak-anak yang lahir akan
terlantar, tidak ada yang menafkahi, mengurus dan mendidiknya.
Bapak, ibu dan saudara-saudari
sekalian yang berbahagia
Hukum nikah berbeda-beda sesuai kondisi orang
yang menikah.
Ia bisa menjadi wajib, yaitu apabila seseorang khawatir jatuh ke
dalam zina jika tidak menikah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika
seseorang butuh segera menikah dan khawatir jatuh ke dalam zina, maka hendaknya
ia mendahulukannya daripada berhajji yang wajib.”
Ulama lain menjelaskan, “Bahkan bisa menjadi
lebih utama dari hajji yang sunat, shalat dan puasa sunat.” Mereka juga
mengatakan, “Tidak ada bedanya antara yang mampu memberi nafkah maupun yang
tidak (yakni dalam kondisi seperti ini wajib hukumnya).”
Alasan mereka adalah karena Allah berjanji akan
memberikan kecukupan kepadanya sebagaimana disebutkan dalam surah An Nur: 32,
juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut,
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلىَ اللهِ عَوْنُهُمُ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيْدُ اْلأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ
“Ada tiga orang yang
menjadi kewajiban Allah menolong mereka; mujahid fii sabiilillah, seorang budak
yang hendak memerdekakan dirinya dengan membayar iuran dan orang yang menikah
dengan tujuan menjaga dirinya.” (HR. Tirmidzi, ia katakan, “Hadits ini hasan”)
Nikah menjadi sunat apabila ia tidak mengkhawatirkan dirinya jatuh ke dalam
zina (yakni ia merasa aman dari melakukan perbuatan haram), meskipun ia
bersyahwat. Namun nikah lebih utama bdaripada mengkhususkan diri beribadah. Ibnu
Abbas radhiyallahu 'anhuma pernah berkata:
لاَ يَتِمُّ نُسُكُ النَّاسِكِ حَتىَّ يَتَزَوَّجَ
“Tidak
sempurna ibadah seseorang sampai ia menikah.”
Nikah menjadi mubah ketika tidak adanya syahwat. Misalnya ia lemah syahwat dan
orang yang sudah tua. Bahkan dalam kondisi ini hukumnya bisa menjadi makruh, karena hilangnya tujuan yang sesungguhnya
dari pernikahan yaitu menjaga kehormatan wanita dan bisa memadharratkan wanita.
Bahkan nikah pun bisa menjadi haram dalam kondisi tertentu, misalnya ia tidak
mempedulikan hak istri untuk digauli dan dinafkahi. At Thabari berkata, “Kapan
saja seorang suami mengetahui bahwa dirinya tidak sanggup memberi nafkah
isterinya, atau tidak sanggup membayar mahar atau memberikan salah satu
hak-haknya yang wajib dipenuhinya, maka tidak halal bagi laki-laki menikahinya
sehingga ia menjelaskan kepada wanita itu atau sampai ia merasa memampu
memenuhi hak-hak wanita itu. Demikian juga jika seandainya si laki-laki
memiliki penyakit yang menghalanginya untuk bersenang-senang, maka si laki-laki
wajib menjelaskan agar wanita itu tidak tertipu olehnya…dst.”
Bapak, ibu dan saudara-saudari
sekalian yang berbahagia
Proses
pernikahan dalam Islam sungguh mudah. Ada
empat rukun yang harus dipenuhi dalam nikah:
1. Wali bagi wanita,
Wali yaitu orang yang terdekat dengan wanita dari kalangan ‘ashabahnya
(urutannya adalah ayah, ayahnya ayah (kakek), saudara kandung, saudara sebapak,
anak-anaknya, paman, anak-anaknya, dan kemudian hakim) Imam Syafi’i berkata, “Menikahi wanita tidak sah
kecuali dengan ucapan wali yang dekat, jika tidak ada wali yang dekat maka
dengan wali yang jauh, dan jika tidak ada wali yang jauh maka dengan sulthan
(pemerintah).” Oleh karena itu, jika ada saudara kandung, maka tidak dipakai
saudara sebapak. Syarat wali adalah seorang laki-laki, baligh, berakal, dan
seorang muslim.
Bolehnya mewakilkan
2. Dua orang saksi yang adi
Seseorang dipandang adil apabila meninggalkan dosa-dosa besar dan
meninggalkan sebagian besar dosa-dosa kecil. Namun jika banyak, maka lebih baik
lagi.
3. Shighat ‘Aqad (Ijab dan qabul).
Ijab yaitu lafaz yang diucapkan si wali misalnya, “Saya
menikahkan kamu dengan si fulaanah.”
Qabul yaitu lafaz yang diucapkan calon suami misalnya,
“Saya terima nikah ini.”
4. Mahar
Dalam hal mahar, dianjurkan agar ringan, yakni tidak mahal.
Mahar boleh ditunda atau diserahkan sebagiannya, dan sebagian lagi nanti. namun
dianjurkan agar disebutkan maharnya ketika akad.
Adakan
walimah
Walimah
hukumnya adalah wajib. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada
Abdurrahman bin ‘Auf, “Adakanlah
walimah, meskipun dengan menyembelih seekor kambing.”
Ukuran walimah
menurut sebagian fuqaha adalah tidak kurang dari seekor kambing, namun lebih
utama lebih dari itu –Hal ini jika mampu- namun jika tidak mampu maka sesuai
kemampuan, bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengadakan walimah
untuk Shafiyyah dengan makanan hais yaitu tepung, samin dan aqith (susu kering)
yang dicampur dan ditaruh di atas tikar kulit. Hal ini menunjukkan sah juga
meskipun tidak dengan kambing.
Bapak, ibu dan
saudara-saudari sekalian yang berbahagia
Sebagai
penutup, di sini kami akan menyebutkan sedikit hak suami dan istri sebagai
bekal bagi mereka yang mengarungi bahtera rumah tangga:
-
Hak
istri yang wajib dipenuhi suami
Di antara hak istri adalah diberi nafkah (makanan-minuman, pakaian
dan tempat tinggal secara ma’ruf/wajar). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah ditanya tentang hak istri yang wajib dipenuhi
suami?, Beliau menjawab:
تُطْعِمُهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوْهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ ، وَلاَ تُقَبِّحْ ، وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Yaitu
kamu memberinya makan ketika kamu makan, kamu memberinya pakaian ketika kamu
memakai pakaian dan kamu tidak memukul muka, menjelekkannya serta tidak
menjauhi kecuali tetap di dalam rumah.” (Shahih, HR. Ibnu Majah dan Abu Dawud)
Termasuk hak istri pula adalah menjaganya dari segala yang menodai
kemuliaannya, misalnya mencegah istri dari bercampur baur pria-wanita serta
tidak membiarkan istrinya melakukan kemaksiatan (seperti melepas jilbab),
karena suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban terhadap
kepemimpinannya.
Istri pun berhak diajarkan masalah agama yang
sifatnya dharuuriy (mendesak) jika suami memiliki ilmu atau mengizinkan
istrinya menghadiri majlis ta’lim, karena kebutuhan memperbaiki keadaan
agamanya tidak kalah penting dengan kebutuhannya terhadap makan dan minum.
Jika
suami memiliki istri lebih dari satu, maka ia wajib berbuat adil dalam hal yang
bisa berbuat adil di sana
seperti dalam hal nafkah, tempat tinggal dan bermalam. Namun dalam hal yang
tidak mungkin berbuat adil di sana
yaitu dalam hal cinta, maka tidak mengapa lebih mencintai salah satunya
daripada yang lain (lih. An Nisaa’: 129). Demikian juga tidak mengapa
melebihkan salah satu istri dari yang lain dalam hal bermalam jika diridhai
oleh istri yang lain, sebagaimana yang dilakukan Saudah ketika menghibahkan
gilirannya kepada Aisyah radhiyallahu 'anha.
-
Hak
suami yang wajib dipenuhi istri
Hak suami yang wajib
dipenuhi istri di antaranya adalah menaatinya dalam hal yang bukan maksiat,
tidak mengizinkan seseorang masuk ke rumahnya kecuali setelah diizinkan suami,
meminta izin kepada suami ketika hendak puasa sunat, istri berusaha untuk tetap
bersama suami dan tidak meminta talaq kepadanya tanpa sebab, ridha’ dan qana’ah
(menerima apa adanya) dengan harta sedikit yang dimiliki suami serta tidak
membebani suami dengan beban yang berat (lih. Ath Thalaaq: 7) dsb.
Wallahu a’lam, wa shallallahu
‘ala Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar