بسم الله الرحمن الرحيم
Islam dan Kedamaian
Segala puji
bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Sesungguhnya kedamaian merupakan salah satu
prinsip dalam Islam yang ditanam secara mendalam dalam hati kaum muslimin
sehingga menjadi bagian dalam kehidupan mereka.
Sejak munculnya cahaya Islam ke dunia, ia
dengan tegas mengajak kepada kedamaian dan meletakkan jalan hidup yang bijak
yang dapat dilalui setiap insan. Sesungguhnya Islam menjunjung tinggi "hak
hidup" dan mendorong manusia untuk mencintainya, demikian juga berusaha
membebaskan mereka dari ketakutan dan ancaman, sehingga ditetapkanlah jalan
yang mulia agar manusia dapat berjalan menuju ke arahnya; menuju kedamaian,
menuju kemerdekaan, dan menuju kebahagiaan.
Lafaz Islam sendiri, di mana ia merupakan
nama bagi agama ini diambil dari kata As Salaam, yang artinya kedamaian.
Salam dan Islam sama-sama bertemu mengajak kepada ketentraman, keamanan,
ketenangan dan kedamaian. Bahkan Tuhan pemilik agama ini di antara nama-Nya
adalah As Salaam, karena Dialah yang memberikan keamanan bagi manusia dengan
syari’at yang ditetapkan-Nya. Sedangkan pembawa agama ini, yakni Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam adalah pembawa bendera kedamaian dan keselamatan.
Abdullah bin Salam radhiyallahu 'anhu
berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah,
orang-orang segera pergi menuju Beliau.., Aku ikut hadir bersama orang-orang
untuk melihatnya, ketika tampak
jelas bagiku wajah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, aku pun mengetahui
bahwa wajahnya bukanlah wajah seorang pendusta. Ketika itu, ucapan yang pertama
kali Beliau ucapkan adalah,
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ أَفْشُو السَّلاَمَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصَلُّوْا وَالنَّاسُ
نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ
"Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan kepada
orang lain, dan shalatlah ketika orang-orang sedang tidur niscaya kalian akan
masuk surga dengan selamat." (HR. Tirmidzi, Shahihul Jaami' no.
7865)
Bukan hanya itu, penghormatan kaum muslimin yang
digunakan untuk menyatukan hati, memperkuat hubungan dan mengikat seseorang
dengan saudaranya adalah ucapan salam yang artinya damai dan selamat.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjadikan lafaz salam
sebagai penghormatan sesama kaum muslimin untuk mengingatkan mereka bahwa
sesungguhnya agama mereka adalah agama kedamaian dan keamanan, bukan agama yang
datang untuk mengancam dan menakut-nakuti. Sedangkan para pemeluknya adalah
orang-orang yang berhak memperoleh kedamaian
dan para pencinta kedamaian.
Bahkan, seorang muslim yang sedang bermunajat dengan
Tuhannya dalam shalat diperintahkan untuk mengucapkan tahiyyat, yang di antara
isinya adalah mengucapkan salam kepada nabinya, kepada dirinya, dan kepada
hamba-hamba Allah yang saleh. Menjelang shalat selesai dan saat seseorang
hendak menghadap lagi kepada urusan dunia, ia memulainya dengan salam ke kanan
dan ke kiri; menyebarkan salam, rahmat, dan berkah.
Islam juga melarang memerangi orang-orang
yang tidak memerangi kaum muslimin, di mana mereka berlepas diri dari
peperangan yang berkecamuk antara kaum muslimin dengan musuh mereka, dan sikap
mereka menunjukkan ingin damai. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
“Tetapi jika
mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian
kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk memerangi) mereka.”
(Terj. QS. An Nisaa’: 90)
Tidak hanya itu, apabila musuh menyampaikan salam
dengan lisannya, maka kita tidak boleh memeranginya, Allah Ta'aala berfirman,
“Janganlah kamu mengatakan kepada orang yang
mengucapkan salam kepadamu, "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di
sisi Allah ada harta yang banyak. (Bukankah) begitu juga keadaan kamu dahulu,
lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah…” (Terj. QS. An
Nisaa’: 94)
Di samping itu, penghormatan Allah kepada kaum mukmin
pada hari mereka bertemu dengan-Nya adalah salam (lihat QS. Al Ahzaab: 44).
Demikian juga penghormatan para malaikat kepada manusia di akhirat adalah salam
(lihat QS. Ar Ra’d: 23-24). Bahkan, tempat orang-orang saleh di akhirat
(surga) adalah tempat yang aman dan penuh kedamaian,
“Allah menyeru (manusia) ke darussalam
(surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus
(Islam). (QS. Yunus: 25)
Dengan banyaknya disebut dan diulang kata-kata salam
ini dalam aktifitas seorang muslim diharapkan sekali dapat membangkitkan semua
indera, pikiran dan sikapnya untuk mengarah kepada prinsip As Salaam (kedamaian)
ini.
Islam dan keteladanan
Ajaran-ajaran Islam begitu mulia, Islam memerintahkan kita memiliki sifat pemaaf, namun
tetap memperhatikan agar kejahatan tetap diberikan hukuman yang setimpal agar
tidak memunculkan kejahatan yang baru. Islam memerintahkan agar manusia selalu
berbuat baik, sekalipun terhadap orang yang pernah berbuat jahat kepadanya. Islam mengajarkan manusia agar mereka banyak beribadah
kepada Allah, tetapi jangan menjadi rahib yang melupakan hak diri dan orang
lain.
Islam memerintahkan
manusia berendah hati, namun jangan melupakan harga diri. Oleh karena itu,
Islam melarang bersikap lemah dan meminta damai dalam peperangan ketika belum
tercapai tujuan, bahkan berdamai di saat seperti ini merupakan kelemahan dan
kehinaan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
"Janganlah kamu lemah dan minta damai
padahal kamulah yang lebih tinggi dan Allah pun bersamamu…" (Terj. QS. Muhammad:
35)
Sesungguhnya perdamaian dalam Islam
tidak ada kecuali setelah kuat dan mampu. Oleh karena itu, Allah tidak
menjadikan perdamaian secara mutlak dalam semua keadaan, bahkan dengan syarat
dapat menghentikan musuh dari permusuhan, dan dengan syarat tidak ada lagi kezaliman
di muka bumi serta seseorang tidak boleh dianiaya ketika menjalankan agamanya
dan mendakwahkannya.
Sesungguhnya tidak ada agama yang
mengajak pemeluknya terjun ke medan perang di jalan Allah dan di atas hak, di
jalan orang-orang yang tertindas dan di jalan hidup yang mulia selain agama
Islam,
"Mengapa
kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah
baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, "Ya
Tuhan Kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan
berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah Kami penolong dari sisi
Engkau!".(Terj. QS. An Nisaa’: 75).
Islam juga menghormati akal dan mendorong manusia untuk
berfikir jernih, serta menjadikan akal dan pikiran sebagai sarana untuk saling
memahami dan mau menerima.
Katakanlah, "Sesungguhnya aku hendak
memperingatkan kepadamu suatu hal saja, Yaitu supaya kamu menghadap Allah
(dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu berfikir…."
(Terj. QS. Saba': 46)
Islam lebih mengedepankan penggunaan akal dan pikiran
dalam mengajak orang lain ke dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,
Katakanlah, "Perhatikanlah apa yang
ada di langit dan di bumi. Dan tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan
para pemberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".(Terj. QS. Yunus:
101)
Dia juga berfirman,
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat." (Al Baqarah: 256)
Sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
tugasnya hanyalah menyampaikan, Allah Ta’ala berfirman –memerintahkan
Rasul-Nya-,
“Dan agar aku membacakan Al Quran (kepada
manusia). Maka barang siapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya ia
hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan barang siapa yang
sesat maka katakanlah, "Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah
seorang pemberi peringatan". (Terj. QS. An Naml: 92)
Hubungan antara
sesama manusia
Islam tidak hanya menjunjung tinggi prinsip
kedamaian, lebih dari itu dalam hubungan antara sesama, antara golongan bahkan
antara negara, Islam mendasari hubungan itu di atas kedamaian dan keamanan,
baik hubungan antara sesama muslim maupun dengan non muslim sebagaimana yang
akan dijelaskan setelah ini.
Hubungan antara sesama muslim
Islam datang untuk menyatukan hati, merapatkan barisan
dan mengarahkan kepada satu persatuan sambil menjauhi sebab-sebab perpecahan,
yang menjadikannya lemah. Tujuan persatuan ini agar dapat mewujudkan
nilai-nilai yang luhur dan tujuan yang mulia yang memang diharapkan oleh
risalah yang agung ini, yaitu agar manusia beribadah kepada Allah Ta'ala
Penciptanya, kalimat Islam menjadi tinggi, kebenaran tegak, perbuatan baik
dapat diamalkan serta dapat berjihad agar prinsip-prinsip Islam menjadi tegak,
karena hanya dengan prinsip tersebut manusia dapat berada di bawah keamanan dan
kedamaian.
Ikatan yang digunakan Islam untuk menyatukan para
pemeluknya merupakan ikatan yang paling kokoh, tidak sama dengan ikatan yang
lain, tidak seperti ikatan materi yang akan habis jika memang sudah habis
pendorongnya dan yang akan habis jika tidak dibutuhkan lagi. Ia adalah ikatan
yang paling kuat; lebih kuat daripada ikatan darah, ikatan warna kulit, ikatan
bahasa, ikatan tanah air, dan ikatan maslahat materi dan ikatan lainnya. Ia
adalah ikatan iman, di mana kaum mukminin berkumpul di bawahnya.
Dengan
ikatan iman kaum mukmin dapat bersaudara, bahkan lebih kuat daripada
persaudaraan senasab, Allah Ta’ala berfirman:
“Orang-orang beriman itu
sesungguhnya bersaudara." (Terj. QS. Al Hujurat: 10)
Di samping itu, tabi'at iman adalah selalu
bersatu dan tidak berpecah belah, satu sama lain saling menguatkan,
“Orang mukmin bagi mukmin lainnya
seperti satu bangunan, yang satu menguatkan yang lain.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
“Perumpamaan orang-orang mukmin
dalam hal saling mencintai dan menyayangi serta saling mengasihi seperti sebuah
jasad, apabila anggota badan yang satu sakit, maka yang lain ikut merasakan
sakit dengan demam dan tidak bisa tidur." (HR.
Muslim)
Hubungan antara muslim dengan non muslim
Hubungan kaum muslimin dengan non muslim
adalah hubungan saling kenal-mengenal, berbuat baik, dan bersikap adil. Allah
Ta'ala berfirman,
“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adaah orang yang paling takwa.
..(Terj. QS. Al Hujurat: 13)
Konsekwensi hubungan ini adalah
dengan saling memberikan maslahat, memberikan manfaat, dan bermu'amalah secara
baik.
Makna di atas tidaklah termasuk ke dalam
berwala’ kepada orang-orang kafir yang terlarang, karena larangan berwala’
kepada orang-orang kafir maksudnya adalah larangan menjadikan mereka sebagai
sahabat setia, sebagai pemimpin, dan membantu mereka melawan kaum muslimin
serta sikap-sikap lain yang menunjukkan walaa'/cinta kepada mereka (seperti
tasyabbuh dalam ciri khas mereka dan menjunjung tinggi mereka), demikian juga
agar kita tidak meridhai kekafiran yang ada pada mereka. Hal itu, karena
membantu mereka melawan kaum muslimin terdapat bahaya besar bagi eksistensi
kaum muslimin, sebagaimana meridhai kekafiran mereka adalah sebuah kekufuran.
Adapun jika berwala’ dalam arti bergaul yang baik, bermu’amalah dengan baik,
saling tukar-menukar maslahat dan saling bahu-membahu dalam hal yang baik, maka
hal ini tidaklah dilarang. Allah Ta'aala berfirman,
"Allah tidak melarang kamu
untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil." (Terj. QS. Al Mumtahanah: 8)
Berdasarkan ayat ini, jika mereka, yakni
non muslim tidak mengganggu keamanan dan ketenteraman, tidak menzalimi dan
melakukan penganiayaan, tidak mengacaukan keamanan dan tidak memaksa
orang-orang meninggalkan agamanya dan mengamalkannya serta tidak mengusir kaum
muslimin dari negeri mereka, maka kita disyariatkan berbuat baik dan bersikap adil
kepada mereka. Termasuk golongan kafir yang tidak boleh diganggu tersebut
adalah:
a.
Kafir
Musta’man, yaitu kaum kafir yang masuk ke
negeri Islam dengan meminta keamanan, maka kita harus melindungi mereka sampai
waktu yang telah ditentukan dan di tempat yang ditentukan (lihat QS. At Taubah:
6)
b.
Kafir Mu’ahad, yaitu kaum kafir
yang mengikat perjanjian dengan kita, maka kita wajib memenuhi perjanjian
sampai selesai waktu perjanjian. Hal ini selama mereka konsisten dengan
janjinya (lihat QS. At Taubah: 4 dan 13)
c.
Kafir Dzimmiy, yaitu kaum kafir
yang tinggal di bawah pemerintah Islam dengan membayar jizyah (pajak) setahun
sekali kepada pemerintah Islam agar memperoleh perlindungan. Pemerintah Islam
wajib melindungi mereka serta memberikan kebebasan kepada mereka menjalankan
agama. Pemerintah berhak melarang mereka melakukan mu'amalah yang haram seperti,
riba, dsb. Demikian juga berhak menegakkan hudud jika mereka melakukan
perbuatan yang menghendaki diberi hukuman hudud. Bagi kafir dzimmiy tesebut
wajib membedakan diri dengan kaum muslimin seperti dalam hal pakaian, juga
tidak menampakkan sesuatu yang mungkar dalam Islam dan tidak menampakkan
syi’ar-syi’ar mereka seperti lonceng, salib, dsb.
Kepada
tiga kelompok kaum kafir ini, kita dilarang menyakiti hartanya, darahnya dan
kehormatannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ قَتَلَ مُعَاهَداً
لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ
أَرْبَعِينَ عَاماً »
“Barang siapa yang membunuh kafir
mu’ahad (yang mengikat perjanjian) maka ia tidak akan mencium wanginya surga,
padahal wanginya dapat tercium dari kejauhan perjalanan empat puluh
tahun." (HR. Bukhari)
Perang dalam Islam
Karena kedamaian merupakan prinsip Islam,
sedangkan peperangan bertentangan dengan prinsip ini, maka menurut Islam,
peperangan dilarang kecuali dalam dua keadaan:
1. Saat
membela diri, membela kehormatan, membela harta, dan tanah air ketika diserang
atau dijajah. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
"Dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas…"
(Terj. QS. Al Baqarah: 190)
2. Untuk
membela dakwah ketika dihalangi. Misalnya orang yang masuk Islam disiksa,
dihalanginya orang yang hendak masuk Islam, atau dilarangnya da'i berdakwah
dsb. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
"Dan perangilah mereka itu,
sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata
untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim." (Terj. QS. Al
Baqarah: 193)
Fitnah di sini adalah syirik,
demikian pula pengusiran kaum muslimin dari kampung halamannya, perampasan
harta mereka dan gangguan kebebasan bagi mereka dalam menjalankan agama, dsb.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Fiqhus
Sunnah (Syaikh Sayyid Saabiq), Fiqh Islam (Sulaiman Rasyid), Huquq
da'at ilaihal fitrah (Syaikh Ibnu Utsaimin), program hadits Al Az-har dll.
1 komentar:
Barakallahu fiik wa jazakallahu khairan ya Syaikh
Posting Komentar