بسم
الله الرحمن الرحيم
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 10)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang kaedah
penting Asma'ul Husna, namun mengenai beberapa syubhat sekaligus bantahannya,
semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamiin.
**********
Batilnya anggapan bahwa kebersamaan Allah
dengan makhluk-Nya menunjukkan bahwa Dia menempati dan menyatu dengan
makhluk-Nya
Anggapan tersebut adalah sangat batil sekali
berdasarkan beberapa alasan berikut:
1. Anggapan
itu menyelisihi ijma' kaum salaf, tidak ada satu pun di antara mereka yang
menafsirkan seperti itu.
2. Yang
demikian sama saja menafikan ketinggian Allah Ta'ala yang jelas berdasarkan Al
Qur'an, As Sunnah, akal, fitrah dan ijma' kaum salaf.
3. Yang
demikian mengakibatkan hal-hal yang batil yang tidak layak bagi Allah Ta'ala.
Oleh karena itu, pendapat kedua sebagaimana telah
diterangkan sebelumnya itulah yang benar, yakni Allah Ta'ala bersama
makhluk-Nya yang menghendaki pengetahuan-Nya meliputi mereka, demikian pula
kekuasaan, pendengaran, penglihatan dan kepengurusan-Nya yang memang
dikehendaki oleh rububiyyah-Nya dengan ketinggian Dzat-Nya di atas 'arsy-Nya;
di atas semua makhluk-Nya. Perhatikanlah firman Allah Ta'ala berikut kepada
Nabi Musa 'alaihis salam:
tA$s% w !$sù$srB ( ÓÍ_¯RÎ) !$yJà6yètB ßìyJór& 2ur&ur ÇÍÏÈ
Allah berfirman, "Janganlah kamu berdua
khawatir, sesungguhnya aku beserta kamu berdua, aku mendengar dan
melihat". (Terj.
QS. Thaha: 46)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
"Kesimpulannya, bahwa dalam Al Qur'an dan As Sunnah dapat diperoleh
petunjuk dan cahaya yang sempurna bagi orang yang mentadabburi kitab Allah dan
Sunnah Nabi-Nya, dimana maksudnya mencari yang hak dan berpaling dari mengubah
perkataan dari tempat-tempatnya serta sikap menyimpang dalam masalah nama Allah
dan sifat-Nya. Janganlah ada seorang yang menyangka bahwa salah satunya
bertentangan dengan yang lain dengan menyatakan bahwa apa yang disebutkan dalam
Al Qur'an dan As Sunnah bahwa Allah Ta'ala berada di atas 'Arsy menyalahi
zhahir firman Allah Ta'ala "Wa huwa ma'akum" (Dan Dia bersama
kamu) serta sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ إِلَى
الصَّلاَةِ فَإِنَّ اللهَ قِبَلَ وَجْهِهِ
"Apabila
salah seorang di antara kamu bangkit untuk shalat, sesungguhnya Allah di
depannya."
Dan semisalnya, sangkaan ini adalah keliru. Hal itu,
karena Allah bersama kita secara hakikat, Dia juga berada di atas 'Arsy secara
hakikat sebagaimana Allah menggabung keduanya dalam firman-Nya:
uqèd Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Îû ÏpGÅ 5Q$r& §NèO 3uqtGó$# n?tã ĸóyêø9$# 4 ÞOn=÷èt $tB ßkÎ=t Îû ÇÚöF{$# $tBur ßlãøs $pk÷]ÏB $tBur ãAÍ\t z`ÏB Ïä!$uK¡¡9$# $tBur ßlã÷èt $pkÏù ( uqèdur óOä3yètB tûøïr& $tB öNçGYä. 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/ ÇÍÈ
Dialah yang menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang
masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari
langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu
berada[i].
Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (Al Hadiid: 4)
Allah mengabarkan bahwa Dia berada di atas 'Arsy,
mengetahui segala sesuatu, dan Dia bersama kita di mana saja kita berada
sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits tentang
kambing gunung,
وَاللهُ فَوْقَ الْعَرْشِ وَهُوَ
يَعْلَمُ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ
"Dan
Allah berada di atas 'Arsy, Dia mengetahui keadaan kamu."[ii]
Tafsir ma'iyyah (kebersamaan) Allah sesuai
zhahirnya yang layak bagi Allah Ta'ala tidaklah bertentangan dengan apa yang
disebutkan bahwa Allah Ta'ala Maha Tinggi Dzat-Nya di atas 'arsy-Nya
Tafsir ma'iyyah (kebersamaan) Allah sesuai zhahirnya
yang layak bagi Allah Ta'ala tidaklah bertentangan dengan apa yang disebutkan
bahwa Allah Ta'ala Mahatinggi Dzat-Nya di atas 'arsy-Nya berdasarkan beberapa
alasan berikut:
- Allah Ta'ala menggabung kedua hal tersebut, "Kebersamaan dan ketinggian-Nya" dalam kitab-Nya yang bersih dari pertentangan antara ayat yang satu dengan ayat lainnya, ada apa yang digabungkan Allah Ta'ala dalam kitab-Nya tidaklah bertentangan.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
xsùr& tbrã/ytFt tb#uäöà)ø9$# 4 öqs9ur tb%x. ô`ÏB ÏZÏã Îöxî «!$# (#rßy`uqs9 ÏmÏù $Zÿ»n=ÏF÷z$# #ZÏW2 ÇÑËÈ
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al
Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (Terj. QS. An Nisaa': 82)
Oleh karena itu, ketinggian Allah Ta'ala
tidaklah bertentangan dengan kebersamaan-Nya dengan makhluk-Nya, sebagaimana
kebersamaan-Nya tidak bertentangan dengan ketinggian-Nya, bahkan kedua-duanya
adalah hak.
- Pada hakikatnya makna ma'iyyah tidak bertentangan dengan ketinggian Allah, karena berkumpul bersama kedua-duanya adalah hal yang mungkin bagi makhluk, seperti pada kata-kata seseorang, "Ketika kita berjalan, bulan selalu menyertai kita," dan hal itu tidaklah dipandang bertentangan serta tidaklah dipahami bahwa bulan tersebut turun ke bumi. Jika hal ini saja masih mungkin bagi makhluk, apalagi bagi Al Khaliq yang meliputi segala sesuatu dengan ketinggian-Nya. Hal itu, karena hakikat ma'iyyah itu tidaklah menghendaki berkumpul di satu tempat. Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata, "Jika yang mengetahui dirimu, melihat dan memperhatikanmu, mendengar kata-katamu, melihat perbuatanmu dan mengatur semua urusanmu, maka sebenarnya Dia bersamamu, meskipun Dia berada di atas 'Arsy secara hakikat, karena ma'iyyah tidaklah menghendaki bersama di satu tempat."
- Anggap saja misalnya, tidak mungkin bagi makhluk berkumpul dua hal; ma'iyyah (kebersamaan) dan ketinggian. Namun hal itu, tidaklah mustahil bagi Khaaliq yang menggabungkan kedua hal itu pada Diri-Nya. Hal itu, karena tidak ada sesuatu pun makhluk yang serupa dengan Allah Ta'ala. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam 'Aqidah Wasithiyyah (hal. 143) berkata, "Apa yang disebutkan dalam Al Qur'an dan As Sunnah tentang kedekatan-Nya dan kebersamaan-Nya tidaklah menafikan apa yang disebutkan tentang ketinggian dan keberadaan-Nya di atas. Hal itu, karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dalam semua sifat-Nya; Dia Mahatinggi dengan kedekatan-Nya dan Mahadekat dengan ketinggian-Nya."
Setelah anda memahami hal ini, maka sesungguhnya
manusia dalam masalah ini terbagi menjadi beberapa golongan:
- Golongan yang mengatakan bahwa kebersamaan Allah Ta'ala dengan makhluk-Nya menghendaki bahwa Dia mengetahui dan meliputi dalam ma'iyyah (kebersamaan) yang sifatnya umum. Dia memberikan pertolongan dan bantuan dalam ma'iyyah yang sifatnya khusus tentunya dengan tetap ketinggian dzat (Diri) dan bersemayam-Nya di atas 'Arsy. Inilah pendapat yang dipegang kaum salaf dan inilah pendapat yang benar.
- Golongan yang mengatakan, bahwa kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya menghendaki bahwa Dia bersama mereka di bumi dan menolak ketinggian-Nya dan keberadaan-Nya di atas 'Arsy. Pendapat ini dipegang oleh kaum Hululiyyah dari kalangan Jahmiyyah yang terdahulu dan lainnya. Pendapat ini adalah batil dan munkar, kaum salaf telah sepakat terhadap kebatilannya serta kemungkarannya.
Catatan:
Tafsir kaum salaf tentang kebersamaan Allah Ta'ala
dengan makhluk-Nya yakni dengan ilmu-Nya tidaklah menunjukkan terbatas sampai
di situ, bahkan kebersamaan ini menghendaki juga meliputi mereka baik
pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, kekuasaan-Nya dan kepengurusan-Nya dan lain
sebagainya yang termasuk bagian makna rububiyyah-Nya.
Khulashah (kesimpulan)
1. Ma'iyyah
(kebersamaan) Allah Ta'ala dengan makhluk-Nya adalah benar berdasarkan Al
Qur'an, As Sunnah dan ijma' kaum salaf.
2. Kebersamaan
tersebut merupakan hak (benar) hakikatnya sesuai yang layak bagi Allah Ta'ala,
namun berbeda dengan kebersamaan makhluk dengan makhluk.
3. Kebersamaan
tersebut menghendaki Dia mengetahui, mengusai, mendengar, melihat dan mengatur
makhluk-Nya dan makna lainnya yang terkandung dalam rububiyyah-Nya. Inilah yang
disebut dengan "Ma'iyyah 'Ammah" (umum). Kebersamaan itu menghendaki
juga memberikan pertolongan, bantuan, penguatan dan taufiq dari-Nya jika
ma'iyyah tersebut khashshah (khusus) seperti kepada wali-wali-Nya.
4. Kebersamaan
Allah Ta'ala dengan makhluk-Nya tidaklah menghendaki bahwa Allah bersatu dengan
makhluk-Nya atau menempati tempat mereka, dan hal itu tidak ditunjukkkan oleh
satu dalil pun dari berbagai sisi.
Dengan demikian,
tidak ada pertentangan antara kebersamaan Allah Ta'ala dengan makhluk-Nya
secara hakikat dan dengan Zat-Nya yang berada di atas 'Arsy-nya secara hakikat.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji':
Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin (tahqiq Hani Al Haaj, cet. Maktabah Al 'Ilm,
Cairo, th.1425 H).
[i] Zhahir ayat ini adalah bahwa konsekwensi dari
kebersamaan Allah Ta'ala adalah dengan mengetahui hamba-hamba-Nya dan melihat
amalan mereka dengan ketinggian-Nya di atas mereka dan bersemayamnya Dia di atas
'Arsy, tidak menunjukkan bahwa Dia ikut menyatu dengan makhluk-Nya, dan tidak
juga menunjukkan bahwa Dia bersama mereka di bumi. Karena jika tidak seperti
itu, tentu akhir ayat bertentangan dengan awalnya yang menunjukkan
ketinggian-Nya dan bersemayam-Nya di atas 'Arsy.
[ii] Hadits ini dha'if, diriwayatkan oleh Ahmad (206, 207),
Abu Dawud dalam As Sunnah bab tentang Jahmiyyah (4723), Tirmidzi
(5/3320), Ibnu Majah dalam Mukaddimah bab tentang yang diingkari oleh
Jahmiyyah (193) dan lainnya melalui jalan Samaak bin Harb dari Abdullah bin
Umairah dari Al Ahnaf bin Qais dari Al 'Abbas secara marfu'. Sanad hadits ini
dha'if dan terputus, di samping matannya mungkar sebagaimana dalam penjelasan
berikut:
1.
Samaak bin Harb menyendiri, Nasa'i dalam At Tahdziib berkata: "Terkadang
ia diajari, jika ia sendiri dengan asalnya, maka tidak menjadi hujjah, karena
ia diajari baru kemudian bisa." (4/396)
2.
Majhulnya Abdullah bin Umairah. Muslim dalam Al Wihdaan (hal. 144
cet. Al Baaz) berkata, "Samaak menyendiri dalam riwayatnya dari Abdullah
bin Umairah. Sehingga Ibnu Umairah adalah majhul orangnya menurut Muslim,
karena majhul orangnya tidaklah bisa hilang kecuali dengan riwayat dua orang
yang tsiqah. Oleh karena itu, Adz Dzahabiy berkata dalam Al Miizaan, "Di
dalamnya terdapat kemajhulan." Lihat Adh Dha'iifah (2/hadits no.
881/hal. 282) cet. Al Ma'aarif-Riyadh.
3.
Tentang mungkarnya. Syaikh Abdullah bin Ash Shidiq berkata dalam
tahqiqnya terhadap kitab At Tamhiid (7/140), "Ia adalah hadits yang
dha'if sanadnya karena terputus dan karena mudhtharibnya Samaak di sana,
maknanya juga mungkar karena menyalahi Al Qur'an dan As Sunnah yang mutawatir
yang menyifati para malaikat dengan sayap-sayap, namun hadits ini menyifatinya
dengan tanduk dan kuku. Al Qur'an juga mencela orang-orang musyrik karena
mereka menjadikan para malaikat yang sebenarnya adalah sebagai hamba Ar Rahman
menjadi kaum wanita, sedangkan hadits tersebut menjadikan malaikat para pemikul
'arsy sebagai kambing gunung, padahal kambing gunung itu biasa disebut sebagai
celaan sebagaimana hadits "Maukah kalian aku beritahukan tentang
kambing gunung yang dipinjam?" yaitu Al Muhallil", seorang
penyair Arab juga berkata, "Seburuk-buruk pemberian adalah kambing gunung
sebagai pinjaman."
Syaikh Al Albani juga
mengisyaratkan tentang kedha'ifannya, Adh Dha'iifah (2/hal. 282), ia
juga mendha'ifkannya dalam Zhilaalul Jannah (577) dan Syarh Ath
Thahaawiyyah (hal. 277). [Dari Tahqiq Haaniy Al Haaj].
0 komentar:
Posting Komentar