بسم
الله الرحمن الرحيم
FIQH DAKWAH (Bag. 3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan
kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat. Amma ba'du:
Berikut ini merupakan lanjutan pembahasan pembahasan tentang bekal
yang perlu dimiliki seorang da'i. semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
7. Berdakwah dengan hikmah
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Terj. QS. An Nahl: 125)
Hikmah artinya tepat sasaran; yakni
dengan memposisikan sesuatu pada tempatnya.
Termasuk ke dalam hikmah adalah
berdakwah dengan ilmu, berdakwah dengan mendahulukan yang terpenting, berdakwah
memperhatikan keadaan mad’u (orang yang didakwahi), berbicara sesuai tingkat
pemahaman dan kemampuan mereka, berdakwah dengan kata-kata yang mudah dipahami
mereka, berdakwah dengan membuat permisalan, berdakwah dengan lembut dan halus,
dan berdakwah dengan menyebutkan kisah-kisah yang menyentuh, dsb.
Setelah dengan hikmah, kemudian dengan
nasihat yang baik, yakni dengan targhib (mendorong) dan tarhib (memperingatkan).
Perhatikanlah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam memberikan nasihat! Beliau
melihat waktu yang tepat dan tidak setiap hari atau terlalu sering agar para
sahabat tidak bosan[i].
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Wa'il, bahwa Abdullah bin Mas'ud
mengingatkan manusia pada setiap hari Kamis, lalu ada seorang yang berkata,
"Wahai Abu Abdirrahman, saya senang sekali jika engkau mengingatkan kami
setiap hari." Ia (Abdullah bin Mas'ud) berkata,
أَمَا إِنَّهُ يَمْنَعُنِي
مِنْ ذَلِكَ أَنِّي أَكْرَهُ أَنْ أُمِلَّكُمْ، وَإِنِّي أَتَخَوَّلُكُمْ بِالْمَوْعِظَةِ،
كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِهَا، مَخَافَةَ
السَّآمَةِ عَلَيْنَا
"Sesungguhnya
yang menghalangiku melakukan demikian adalah karena aku tidak ingin membuat
kalian bosan, dan sesungguhnya aku
memperhatikan waktu semangat kalian untuk memberikan tausiyah sebagaimana Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam memperhatikan waktu semangat kami karena takut
kami bosan."
Dalam
memberikan nasihat, Beliau juga tidak panjang lebar, dan kata-kata Beliau dalam
nasihatnya menyentuh hati. Di samping itu, Beliau mengikuti Al Qur’an dalam
memberikan nasihat, yaitu menyertakan targhib dengan tarhib, sehingga tidak
membuat putus asa manusia dan tidak membuat manusia berani melakukan maksat.
Sebagian kaum salaf berkata,
إنَّ
الْفَقِيهَ كُلُّ الْفَقِيهِ الَّذِي لَا يُؤَيِّسُ النَّاسَ مِنْ رَحْمَةِ
اللَّهِ وَلَا يُجَرِّئُهُمْ عَلَى مَعَاصِي اللَّهِ
“Sesungguhnya orang yang betul-betul faqih adalah orang yang
tidak membuat putus asa manusia dari rahmat Allah dan tidak membuat mereka
berani mengerjakan maksiat kepada Allah.”
Bukanlah termasuk hikmah jika anda
terburu-buru agar manusia bisa langsung berubah keadaannya, bahkan harus
bertahap agar mudah diserap dan diterima oleh mereka.
Demikian pula bukan termasuk hikmah,
ketika kita melihat kemungkaran dilakukan oleh orang, lalu kita malah menjauhi,
bukan menasihati atau mendakwahi. Janganlah seorang da’i mengatakan “Mereka
adalah orang-orang fasik” atau “mereka adalah orang-orang golongan ini”, lalu
ia tidak mau mendekati mereka untuk mendakwahkan. Ini sama sekali bukan
termasuk hikmah.
Demikian juga bukan termasuk hikmah
jika dakwah di atas semangat yang tidak terkendali, saat ia melihat orang lain
mengerjakan kemungkaran langsung dikerasi, tetapi dakwahilah dengan cara yang lembut
dahulu, karena mungkin ia melakukan hal itu karena ketidaktahuan.
Dalam ayat di atas (An Nahl: 125),
Allah memerintahkan kita berdakwah dengan menempuh beberapa tahapan, yaitu:
1. Dengan hikmah
2. Dengan nasehat yang baik
3. Berdebat dengan cara yang baik
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan tingkatan (dalam) berdakwah sesuai tingkatan
manusia; bagi orang yang menyambut, menerima dan cerdas, di mana dia tidak
melawan yang hak (benar) dan menolaknya, maka didakwahi dengan cara hikmah.
Bagi orang yang menerima namun ada sisi lalai dan suka menunda, maka didakwahi
dengan nasihat yang baik, yaitu denga diperintahkan dan dilarang disertai
targhib (dorongan) dan tarhib (membuat takut), sedangkan bagi orang yang
menolak dan mengingkari didebat dengan cara yang baik.”
Perlu diingat, berdebat dengan cara
yang baik bukanlah bertujuan untuk mughalabah (siapa yang menang), tetapi
tujuannya untuk menunjukkan hidayah kepada orang lain.
8.
Tidak malu mengatakan “Saya tidak tahu”
Termasuk manhaj para nabi adalah tidak takalluf
(membebani diri). Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman memerintahkan Nabi-Nya
shallallahu 'alaihi wa sallam,
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ
أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
“Katakanlah (wahai Muhammad), "Aku tidak meminta upah
sedikit pun padamu atas dakwahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang
takalluf.” (QS. Shaad: 86)
Masruq pernah mengatakan, “Kami datang
kepada Abdullah bin Mas’ud, lalu ia berkata, “Wahai manusia, barang siapa yang
mengetahui sesuatu maka katakanlah, namun barang siapa yang tidak mengetahui,
ucapkanlah “Allahu a’lam” (Allah lebih mengetahui). Karena
termasuk ilmu seseorang mengatakan terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya, “Allahu
a’lam”, Allah Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi kalian, “Katakanlah
(hai Muhammad), "Aku tidak meminta upah sedikit pun kepadamu atas dakwahku
dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang takalluf.”
Faedah:
Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah
berkata,
وليعلم المفتى بأنه
واسطة بين الله وبين خلقه في تبليغ ما جاءت به رسله ، وبيانه للخلق،وانه مسئول عما
في الكتاب والسنة ، فإنهما المصدران اللذان كلف العبد فهمهما، والعمل بهما ، وكل
ما خالف الكتاب والسنة فهو خطأ يجب رده على قائله ، ولا يجوز العمل به ، وإن كان قائله قد يكون معذوراً مجتهداً
فيؤجر على اجتهاده لكن غيره العالم بخطئه لا يجوز له قبوله .
ويجب على المفتي أن
يخلص النية لله تعالى ، ويستعين به في كل حادثة تقع به ، ويسأله تعالى الثبات
والتوفيق للصواب . ويجب عليه أن يكون موضع اعتباره ما جاء في الكتاب والسنة ، فينظر ويبحث في ذلك أو فيما يستعان به
من كلام أهل العلم على فهمهما .
وإنه كثيراً ما
تحدث مسألة من المسائل ، فيبحث عنها الإنسان فيما يقدر عليه من كلام أهل العلم ،
ثم لا يجد ما يطمئن إليه في حكمها ، وربما لا يجد لها ذكراً بالكلية ، فإذا رجع
إلى الكتاب والسنة ، تبين له حكمها قريباً ظاهراً وذلك بحسب الإخلاص والعلم والفهم
.
*ويجب على المفتي
أن يتريث في الحكم عند الإشكال وألا يتعجل ، فكم من حكم تعجل فيه ، ثم تبين له بعد
النظر القريب ، أنه مخطئ فيه ، فيندم على ذلك ، وربما لا يستطيع أن يدرك ما أفتي
به .
* والمفتي إذا عرف
الناس منه التأني والتثبت وثقوا بقوله واعتبروه ، وإذا رأوه متسرعاً ، والمتسرع
كثير الخطأ ، لم يكن عندهم ثقة فيما يفتي به فيكون بتسرعه وخطئه قد حرم نفسه وحرم
غيره ما عنده من علم وصواب .
نسأل الله تعالى أن
يهدينا وإخواننا المسلمين صراطه المستقيم ، وأن يتولانا بعنايته ، ويحفظنا من
الزلل برعايته ، إنه جواد كريم ، وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
. والحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات .
“Perlu diketahui
oleh seorang mufti (pemberi fatwa), bahwa dirinya adalah penghubung antara
Allah dan para hamba-Nya dalam menyampaikan ajaran yang dibawa RasuI-Nya dan
menjelaskannya kepada mereka. Dia akan ditanya tentang kandungan Al Qur'an dan
Sunnah, yang keduanya merupakan sumber hukum yang diperintahkan untuk dipahami
dan diamalkan. Setiap yang bertentangan dengan Al Qur'an dan Sunnah adalah
salah, dan wajib ditolak siapapun orang yang mengucapkannya serta tidak boleh
diamalkan, sekalipun orang yang mengatakannya mungkin dimaafkan karena berijtihad
dan mendapat pahala atas ijtihadnya, tetapi orang lain yang mengetahui
kesalahannya tidak boleh menerima ucapannya.
Seorang mufti
wajib memurnikan niatnya, semata-mata karena Allah Ta'ala, selalu memohon
ma'unah (pertolongan)-Nya dalam segala kondisi yang dihadapi, meminta kepada-Nya
ketetapan hati dan petunjuk kepada kebenaran.
Al Qur'an dan
Sunnah wajib menjadi pusat perhatiannya. Dia mengamati dan meneliti keduanya
atau menggunakan pendapat para ulama untuk memahami keduanya.
Sering terjadi
suatu permasalahan, ketika jawabannya dicari pada pendapat para ulama tidak
didapati ketenangan atau kepuasan dalam keputusan hukumnya, bahkan mungkin
tidak diketemukan jawabannya sama sekali. Akan tetapi setelah kembali kepada
Al-Qur'an dan Sunnah tampak baginya hukum permasalahan itu dengan mudah dan
gamblang. Hal itu sesuai dengan keikhlasan, keilmuan, dan pemahamannya.
Wajib bagi mufti
bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskan hukum apabila
mendapatkan sesuatu yang rumit. Betapa banyak hukum yang diputuskan secara
tergesa-gesa, kemudian setelah diteliti ternyata salah. Akhirnya hanya bisa
menyesali dan mungkin fatwa yang terlanjur disampaikan tidak bisa diluruskan.
Seorang mufti
jika diketahui bersikap hati-hati dan teliti, ucapanmya akan dipercaya dan
diperhatikan. Tetapi jika dikenal ceroboh yang sering kali membuat kekeliruan,
niscaya fatwanya tidak akan dipercaya orang. Maka dengan kecerobohan dan
kekeliruannya dia telah menjauhkan dirinya dan orang lain dari ilmu dan
kebenaran yang diperolehnya.
Semoga Allah Ta'ala menunjukkan kita dan kaum Muslimin kepada jalan-Nya yang lurus, melimpahkan inayah-Nya dan menjaga kita dengan bimbingan-Nya dari kesalahan. Sungguh, Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Salawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Segala puji bagi Allah, dengan nikmat-Nya tercapailah segala kebaikan. (Dikutip dari kutaib Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin-Nisa' oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin, bagian akhir kitab)
Semoga Allah Ta'ala menunjukkan kita dan kaum Muslimin kepada jalan-Nya yang lurus, melimpahkan inayah-Nya dan menjaga kita dengan bimbingan-Nya dari kesalahan. Sungguh, Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Salawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Segala puji bagi Allah, dengan nikmat-Nya tercapailah segala kebaikan. (Dikutip dari kutaib Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin-Nisa' oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin, bagian akhir kitab)
9. Memiliki akhlak yang mulia
Seorang da’i hendaknya memiliki akhlak
yang mulia. Jadikanlah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai
panutan, di mana akhlak Beliau sangat mulia, sehingga Allah memuji Beliau
dengan firman-Nya:
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar
berbudi pekerti yang agung.” (Al Qalam: 4)
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
“Di antara akhlak yang patut anda miliki wahai da’i adalah memiliki sikap halim
(santun) dalam dakwahmu, bersikap lembut, siap memikul beban dan bersabar
sebagaimana yang dilakukan oleh para rasul ‘alaihimush shalaatu was salam.
Hindarilah sikap terburu-buru, sikap kasar dan keras. Milikilah sikap sabar dan
santun serta bersikap lembutlah dalam dakwahmu.”
Sungguh ahkhlak
mulia sangat penting dimiliki seorang da’i. Dengan akhlak mulia, manusia akan
menilai sendiri dan akhirnya mereka akan mengikuti ajakannya. Berbeda, jika
seorang da’i akhlaknya buruk, bagaimana orang lain mau mengikuti ajakannya,
mendekat saja sudah enggan apalagi sampai mau menerima dakwahnya.
Perlu diketahui,
bahwa dakwah bil hal (dengan akhlak mulia) terkadang lebih meresap di hati
mad'u, dibanding dakwah billisan (dengan lisan).
10.
Menampakkan kemudahan Islam dan menyampaikan busyraa (berita menyenangkan)
Ini pun termasuk
hal yang tidak kalah penting. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
« يَسِّرُوا وَلاَ
تُعَسِّرُوا ، وَبَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا »
.
“Berikan kemudahan
dan jangan menyusahkan, sampaikan kabar yang menyenangkan dan jangan membuat
orang lari.” (HR. Bukhari)
Hadits ini
menunjukkan:
- Hendaknya seorang da’i bersikap lembut dan tidak keras
terhadap orang yang masih baru belajar,
- Hendaknya mencegah kemungkaran didahulukan dengan cara
yang lembut agar orang yang berbuat maksiat mau menerima,
- Belajar mengenal syari’at perlu tahapan, karena apabila
orang merasakan kemudahan di awalnya maka akan membuat orang lain semakin
tertarik sehingga siap menerima materi selanjutnya.
Sabda Beliau, “Sampaikan
kabar yang menyenangkan” adalah kepada orang yang masih baru masuk
Islamnya, dan kepada orang yang bertaubat dari maksiat karena luasnya rahmat
Allah dan besar-Nya pahala bagi orang yang beriman dan beramal saleh.
Adapun kebalikan
hal di atas adalah menyusahkan, misalnya memaksa manusia mengerjakan hal yang
sunat, mememilihkan yang berat untuk umat daripada yang ringan padahal
kedua-duanya boleh. Aisyah radhiyallahu 'anha pernah berkata:
مَا خُيِّرَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطْ إِلاَّ
أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ
أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ مِنْ شَيْءٍ قَطْ إِلاَّ أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللهِ
فَيَنْتَقِمُ ِللهِ تَعَالىَ
“Tidaklah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diberikan pilihan antara dua perkara
kecuali mengambil yang paling ringannya, selama tidak berdosa. Jika ada dosanya,
maka Beliau adalah orang yang paling jauh terhadapnya. Rasulullah juga tidak
pernah membalas karena dirinya disakiti kecuali jika larangan Allah yang
dilanggar, saat itulah Beliau marah karena Allah.” (HR. Bukhari)
Contoh lainnya
yang dapat membuat manusia menjauh adalah sering membawakan tarhib (ancaman
terhadap suatu amalan) tanpa adanya targhib (keutamaan suatu amalan), bersikap
kasar dan keras serta menyusahkan manusia, dsb.
Catatan:
a.
Jika
seorang da’i berdakwah kepada orang awam yang baru hendaknya tidak menyelisihi
mereka jika yang mereka lakukan juga sesuai Sunnah, hal ini agar
dakwahnya diterima mereka. Yakni jika suatu amalan termasuk sunnah dan amalan
lain juga termasuk sunnah, maka kerjakanlah amalan sunnah yang biasa
orang-orang kerjakan. Kecuali jika anda berdakwah kepada orang yang sudah lama
atau sudah belajar atau kepada penuntut ilmu, maka tidak mengapa anda kerjakan
cara yang berbeda dengan mereka yang termasuk sunnah pula, hal ini agar
diketahui mereka bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga
mengajarkan demikian selain cara yang biasa mereka kerjakan, di samping untuk
menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
b.
Jika
anda berdakwah kepada orang awam, berikanlah waktu khusus –tidak setiap hari-
agar mereka tidak jenuh atau bosan dan agar mereka semangat serta senang
menghadirinya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri membuat waktu
khusus untuk membina para sahabatnya tidak setiap hari (sebagaimana disebutkan
dalam hadits riwayat Bukhari), berbeda jika kepada penuntut ilmu yang haus akan
ilmu.
c.
Hendaknya
seorang da’i melihat masyarakat yang sudah rusak sebagai ladang dakwah,
janganlah hanya karena melihat mayoritas masyarakat sudah rusak, akhirnya ia
menjauhi. Janganlah ia mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang akan
celaka” dengan nada ‘ujub (bangga terhadap diri), karena hal itu dapat
membinasakan diri kita. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
قَالَ هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ اَهْلَكَهُمْ
“Barang
siapa yang mengatakan “Orang-orang telah binasa”, maka sebenarnya kata-kata itu
telah membinasakannya.” (HR. Muslim)
Imam Malik berkata –menerangkan hadits di atas-, “Apabila ia
mengucapkan kata-kata itu karena melihat keadaan manusia yakni agamanya (yang
kurang), saya kira hal itu tidak mengapa…, akan tetapi apabila ia mengucapkan
kata-kata itu karena merasa ‘ujub dengan dirinya dan merendahkan manusia, maka
hal itu dibenci dan dilarang.”
d.
Jika
anda berdakwah kepada orang awam, janganlah menyebutkan perbedaan-perbedaan
pendapat ulama secara panjang lebar dalam suatu masalah agar mereka tidak
bingung. Tetapi, pilihlah di antara pendapat-pendapat tersebut yang lebih
rajih/kuat.
e.
Kepada
orang awam ajarkan materi-materi agama yang ringan (muyassar), seperti tauhid
yang muyassar, tafsir yang muyassar, fiqh yang muyassar, dan al hamdulillah,
buku-buku yang ringan tersebut telah disusun oleh para ulama kita –semoga Allah
balas mereka dengan kebaikan-.
f.
Kita
mengetahui, bahwa masing-masing da'i berpeluang salah. Oleh karena itu, apabila
kita melihat kesalahan pada saudara kita, maka berusahalah memperbaiki
kesalahan ini dengan berkomunikasi langsung dengannya serta menerangkan
kesalahan ini. Janganlah kita menjadikan kesalahan tersebut sebagai alasan
untuk mencacatkannya serta menjauhkan manusia daripadanya, karena yang demikian
bukanlah akhlak yang mulia, apalagi akhlak seorang da'i.
g.
Terkadang
ada di antara da'i yang berjalan sendiri dalam berdakwah, namun pada dirinya
terdapat kesalahan. Ia tidak peduli ucapan orang lain, bahkan merasa ujub
dengan ilmu dan pemikirannya meskipun sesungguhnya ia sangat kurang ilmunya dan
pemikirannya dangkal. Ia meremehkan orang lain dan tidak segera tunduk kepada
kebenaran yang ada pada orang lain. Bahkan, ketika dirinya diingatkan dengan
seorang imam kaum muslimin yang sudah diakui ilmu, agama dan amanahnya, ia
balik menjawab, "Siapa dia? Bukankah dia orang yang sama seperti
kita?" dsb. Tidak diragukan lagi, bahwa jalan seperti ini tidak benar.
Tidak boleh bagi seseorang meyakini bahwa orang lainlah yang salah dan dirinya
yang selalu benar dalam masalah-masalah ijtihadiyyah. Hal itu, karena jika
sampai demikian, maka sama saja ia telah menempati posisi kenabian, kerasulan
dan kemaksuman, padahal kesalahan itu sebagaimana bisa menimpa orang lain, bisa
pula menimpa dirinya.
h.
Saudaraku,
telah jelas bagi anda sebagian masalah yang banyak tidak diketahui oleh
saudara-saudara anda sehingga mereka tergelincir, maka bersyukurlah kepada
Allah atas nikmat ini. Dan termasuk syukur adalah anda menjelaskan kebenaran
kepada manusia. Janganlah khawatir terhadap celaan manusia, sesungguhnya wali
Allah tidak takut celaan orang yang mencela (lih. Al Maa’idah: 54). Ingatlah, “Jika
kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan
kedudukanmu.” (Terj. QS. Muhammad: 7)
i.
Janganlah
menyembunyikan kebenaran karena hendak mencari keridhaan manusia atau karena
takut kepada mereka, ini adalah tanda lemahnya iman. Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman:
“Karena
itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu
benar-benar orang yang beriman.” (Terj.
QS. Ali Imran: 175)
j.
Ketahuilah,
siapa saja yang mencari keridhaan manusia dengan kemurkaan Allah, maka Allah
akan murka kepadanya dan menjadikan manusia murka kepadanya, sebaliknya siapa
saja yang mencari keridhaan Allah meskipun manusia murka, maka Allah akan ridha
kepadanya dan menjadikan manusia ridha kepadanya. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ ، وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ ، وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ
اللهِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ ، وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ
“Barang siapa yang
mencari keridhaan Allah dengan kemurkaan manusia, maka Allah akan ridha
kepadanya dan Dia akan membuat manusia ridha kepadanya. Dan barang siapa yang
mencari keridhaan manusia dengan kemurkaan Allah, maka Allah akan murka
kepadanya dan Dia akan menjadikan manusia murka kepadanya” (HR. Ibnu Hibban
dalam Shahihnya).
Yunus bin Abdul A'la
rahimahullah berkata, "Imam Syafi'i berkata kepadaku, "Wahai Abu
Musa, keridhaan manusia adalah ujung
yang tidak ada batasnya. Aku tidaklah berkata demikian selain memberikan
nasihat kepadamu. Tidak ada jalan untuk selamat dari celaan orang, maka
lihatlah sesuatu yang dapat memperbaiki dirimu, lalu peganglah, dan biarkanlah manusia berikut
sikapnya."
(Manaqib Asy Syafi'i
karya Al Abriy)
Wallahu
a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa
man waalaah.
Marwan bin Musa
Maraaji': Zaadu Daa'iyah (Syaikh Ibnu
'Utsaimin), Silsilah Ta'limil Lughatil 'Arabiyyah (mustawa 4 tentang
Uslub dakwah), Ta'aawunud du'aat (Syaikh Ibnu 'Utsaimin), Ad Da'wah
Ilallah (Syaikh Ibnu Baaz), Taisirul Karimir Rahman (Syaikh
Abdurrahman As Sa'diy), Tafsir Al 'Usyril Akhir wayaliih ahkaam tahummul
muslim, Maktabah Syaamilah, Mausu'ah Haditsiyyah Mushaghgharah, dll.
[i] Ibnu
Abbas radhiyallahu 'anhu berkata:
حَدِّثِ
النَّاسَ كُلَّ جُمُعَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ أَبَيْتَ فَمَرَّتَيْنِ، فَإِنْ
أَكْثَرْتَ فَثَلاَثَ مِرَارٍ، وَلاَ تُمِلَّ النَّاسَ هَذَا القُرْآنَ، وَلاَ
أُلْفِيَنَّكَ تَأْتِي القَوْمَ وَهُمْ فِي حَدِيثٍ مِنْ حَدِيثِهِمْ، فَتَقُصُّ
عَلَيْهِمْ، فَتَقْطَعُ عَلَيْهِمْ حَدِيثَهُمْ فَتُمِلُّهُمْ، وَلَكِنْ أَنْصِتْ،
فَإِذَا أَمَرُوكَ فَحَدِّثْهُمْ وَهُمْ يَشْتَهُونَهُ، فَانْظُرِ السَّجْعَ مِنَ
الدُّعَاءِ فَاجْتَنِبْهُ» ، فَإِنِّي عَهِدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ لَا يَفْعَلُونَ إِلَّا ذَلِكَ يَعْنِي لاَ
يَفْعَلُونَ إِلَّا ذَلِكَ الِاجْتِنَاب
"Sampaikanlah
(nasihat) kepada manusia sejum'at (sepekan) sekali. Jika engkau tidak suka,
maka dua kali, dan jika engkau ingin menambah, maka cukup tiga kali. Jangan
membuat manusia bosan terhadap Al Qur'an ini. Dan aku tidak ingin sama sekali
engkau mendatangi orang yang baru sadar, lalu engkau sampaikan kisah kepada
mereka sehingga kamu putuskan pembicaraan (aktifitas) mereka, akhirnya kamu
membuat mereka bosan. Akan tetapi berhentilah. Jika mereka menyuruh(meminta)mu,
maka sampaikanlah (nasihat) sedang mereka dalam keadaan suka. Perhatikanlah
masalah berdoa dengan sajak (puisi), jauhilah ia. Karena yang aku tahu Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak melakukan selain itu,
yakni meninggalkannya." (Diriwayatkan oleh Bukhari)
0 komentar:
Posting Komentar